Kehidupan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam kekacauan yang luar biasa. Mereka menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala, banyak berbuat maksiat, tidak memiliki norma, percaya kepada khurafat, dan berbagai bentuk kebobrokan moral lainnya.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang merupakan Nabi dan Rasul terakhir, diutus di saat tidak adanya
para Rasul. Vakum masa itu dari para pembawa risalah. Allah subhanahu wa ta’ala
murka kepada penduduk bumi baik orang Arab dan selainnya (‘ajam),
kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang sebagian
besar dari mereka telah meninggal. Dalam sebuah riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
Allah melihat kepada penduduk bumi. Lalu murka kepada mereka, Arabnya
atau ajamnya, kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab.” (Shahih, HR. Muslim)
Saat itu, baik bangsa Arab atau lainnya, hanya ada dua jenis manusia. Pertama, yang berpegang dengan kitab yang sudah dirubah atau dihapus. Kedua,
yang berpegang dengan agama yang punah. Agama yang sebagiannya tidak
diketahui dan sebagian yang lain sudah ditinggalkan. Akibatnya, seorang
ummi (tidak bisa baca tulis) hanya bisa bersemangat ibadah namun hanya
berdasar apa yang ia anggap baik atau disangka memberi manfaat.
Sehingga terjadi penyembahan kepada bintang, berhala, kubur, benda
keramat, dan yang lainnya.
Manusia
saat itu benar-benar dalam kebodohan yang parah. Bodoh akan
ucapan-ucapan mereka yang disangka baik padahal bukan, serta bodoh akan
amalan mereka yang disangka baik padahal rusak. Paling pintarnya
mereka, adalah yang mendapat ilmu dari warisan para nabi terdahulu,
namun telah rancu antara yang haq dan batil. Atau yang sibuk dengan
sedikit amalan, itupun kebanyakannya bid’ah yang dibuat-buat. Walhasil,
kebatilannya berlipat-lipat kali dari kebenarannya. (Iqtidha’ Sirathil Mustaqim, 1/74-75)
Inilah
gambaran ringkas keadaan manusia yang sangat parah pada saat itu,
khususnya di kota Makkah dan sekitarnya. Keadaan tersebut mulai
terlihat sejak munculnya Amr bin Luhay Al-Khuza’iy. Ia dikenal sebagai
orang yang gemar ibadah dan beramal baik sehingga masyarakat waktu itu
menempatkannya sebagai seorang ulama. Sampai suatu saat, Amr pergi ke
daerah Syam. Ketika mendapati para penduduknya beribadah kepada
berhala-berhala, Amr menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan benar.
Apalagi, Syam dikenal sebagai tempat turunnya kitab-kitab Samawi
(kitab-kitab dari langit).
Ketika
pulang, Amr membawa oleh-oleh berhala dari Syam yang bernama Hubal. Ia
kemudian meletakkannya di dalam Ka’bah dan menyeru penduduk Makkah
untuk menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah subhanahu wa ta’ala
dengan beribadah kepadanya. Disambutlah seruan itu oleh masyarakat
Hijaz, Makkah, Madinah dan sekitarnya karena disangka sebagai hal yang
benar. (Mukhtashar Sirah Rasul hal. 23 & 73)
Sejak
itulah, berhala tersebar di setiap kabilah. Di samping Hubal yang
menjadi berhala terbesar di Ka’bah dan sekitarnya, sekaligus menjadi
sanjungan orang-orang Makkah, terdapat pula berhala Manat di antara
Makkah dan Madinah. Manat merupakan sesembahan orang-orang Aus dan
Khazraj (dua qabilah dari Madinah). Juga ada Latta di Thaif dan ‘Uzza.
Ketiga berhala ini merupakan yang terbesar dari yang ada. (lihat Mukhtashar Sirah Rasul 75-76, Rahiqul Makhtar, hal. 35)
Akibatnya,
peribadatan kepada berhala menjadi pemandangan yang sangat menyolok.
Apalagi, kesyirikan tersebut disangka masyarakat waktu itu sebagai
bagian dari agama Ibrahim ‘alaihissalam. Padahal, tradisi
menyembah berhala-berhala itu kebanyakannya adalah hasil rekayasa Amr
bin Luhay yang kemudian dianggap bid’ah hasanah.
Dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perbuatan Amr ini, “Aku
melihat Amr bin Amir (bin Luhay) Al-Khuza’iy menyeret ususnya di
neraka. Dia yang pertama kali melukai unta (sebagai persembahan kepada
berhala dan yang pertama mengubah agama Ibrahim ‘alaihissalam)” (HR. Al-Bukhari)
Di
antara tradisi syirik masyarakat waktu itu adalah menginap di sekitar
berhala itu, memohonnya, mencari berkah darinya -karena diyakini dapat
memberi manfaat-, thawaf, tunduk dan sujud kepadanya, menghidangkan
sembelihan dan sesaji kepadanya, dan lain-lain. Mereka melakukan hal
itu karena meyakini itu akan mendekatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan memberi syafaat sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala kisahkan dalam Al-Qur’an. Mereka mengatakan,
مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (az-Zumar: 3)
وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِۚ
“Dan
mereka menyembah kepada selain Allah, apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat. Dan
mereka berkata, ’Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi
Allah’.” (Yunus: 18)
Selain
kesyirikan, kebiasaan jelek yang mereka lakukan adalah perjudian dan
mengundi nasib dengan tiga anak panah. Caranya dengan menuliskan pada
masing-masingnya dengan “ya”, “tidak” dan kosong. Ketika ingin
bepergian misalnya, mereka mengundinya. Jika yang keluar “ya”, mereka
pergi, jika “tidak”, tidak jadi pergi, dan jika yang keluar kosong maka
diundi lagi.
Selain dengan anak panah, mereka juga menggantungkan nasib melalui burung-burung, yaitu mengusir burung ketika ingin bepergian. Jika terbang ke kanan berarti terus, dan jika ke kiri berarti harus diurungkan.
Mereka mempercayai berita-berita ahli nujum, peramal dan dukun.
Selain dengan anak panah, mereka juga menggantungkan nasib melalui burung-burung, yaitu mengusir burung ketika ingin bepergian. Jika terbang ke kanan berarti terus, dan jika ke kiri berarti harus diurungkan.
Mereka mempercayai berita-berita ahli nujum, peramal dan dukun.
Mereka
juga pesimis dengan bulan-bulan tertentu, misalnya bulan Shafar.
Mereka mengubah aturan haji dengan tidak mengijinkan orang luar Makkah
berhaji kecuali dengan memakai pakaian dari mereka. Jika tidak
mendapatkan, maka diharuskan melakukan thawaf dengan telanjang.
Di
bidang sosial kemasyarakatan, hubungan lain jenis pun sangat rendah,
khususnya di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sampai-sampai pada
salah satu cara pernikahan mereka, seorang wanita menancapkan bendera
di depan rumah. Ini merupakan tanda untuk mempersilahkan bagi laki-laki
siapapun yang ingin ‘mendatanginya’. Jika sampai melahirkan, maka
semua yang pernah melakukan hubungan dikumpulkan dan diundang seorang
ahli nasab untuk menentukan siapa bapaknya, kemudian sang bapak harus
menerimanya.
Poligami saat itu
juga tidak terbatas, sehingga seorang laki-laki bisa menikahi wanita
sebanyak mungkin. Bahkan sudah menjadi hal yang biasa seorang anak
menikahi bekas istri ayahnya dengan mahar semau laki-lakinya. Jika
wanita itu tidak mau, maka anak tersebut bisa melarang si wanita untuk
menikah kecuali dengan laki-laki yang diizinkannya. Sehingga dalam
banyak hal, wanita terdzalimi. Sampai yang tidak berdosapun merasakan
kedzaliman itu, yaitu bayi-bayi wanita yang ditanam hidup-hidup karena
takut miskin dan hina.
Tentunya,
kenyataan yang ada lebih dari yang tergambar di atas. Meski tidak
dipungkiri di sisi lain mereka memiliki sifat atau perilaku yang baik,
namun itu semua lebur dalam kerusakan agama, moral yang bejat, yang di
kemudian hari seluruhnya ditentang oleh Islam dengan diutusnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pelita yang sangat terang bagi umat ini.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
pada 11/09/2011
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi