Asy-Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hendaknya diketahui bahwa memberontak (kudeta) kepada penguasa adalah tidak diperbolehkan kecuali dengan syarat-syarat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya sebagaimana dalam hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu:
بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ عَلىَ السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنا وَأَلاَّ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ
“Kami berbai’at kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan kami giat atau tidak suka, susah atau mudah, dalam keadaan mereka mengutamakan diri mereka daripada kami dan agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) dari pemiliknya.
Beliau bersabda, ‘Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti padanya dari Allah’.”
Dari hadits di atas kita bisa mengambil pelajaran tentang syarat-syarat kapan dibolehkan melakukan pemberontakan kepada pemerintah.
Syarat pertama: Kita melihat, yang maknanya kita mengetahui dengan ilmu yang yakin bahwa penguasa telah melakukan kekafiran.
Syarat kedua: Apa yang dilakukan oleh penguasa adalah benar-benar kekafiran. Bila masih tergolong perbuatan kefasikan maka tidak boleh memberontak bagaimanapun besar kefasikan yang dilakukan penguasa.
Syarat ketiga: Dilakukan dengan terang dan jelas, tanpa mengandung penafsiran lain.
Syarat keempat: Kita memiliki bukti dari Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal ini, yakni hal itu berdasarkan bukti yang pasti dari dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ umat.
Syarat kelima: Diambil dari dasar-dasar umum agama Islam yaitu kemampuan mereka (rakyat) untuk menumbangkan penguasa. Jika tidak punya kemampuan, maka akan terbalik, sehingga malah mencelakakan rakyat yang justru menimbulkan mudarat yang jauh lebih besar daripada mudarat yang akan diakibatkan jika mendiamkan penguasa tersebut… (Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 277—278)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberontak kepada penguasa dan memecah tongkat ketaatan kecuali jika didapati pada penguasa itu kekafiran yang nyata yang ada buktinya dari Allah subhanahu wa ta’ala di sisi para pemberontak dan mereka mampu untuk itu (melakukan pemberontakan) dengan cara yang tidak menimbulkan kemungkaran dan kerusakan yang lebih besar.” (Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 185)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Adapun menyikapi penguasa yang kafir (jika benar-benar kafir sebagaimana perincian di atas, red.) maka (menyikapinya) berbeda-beda sesuai dengan keadaannya. Jika kaum muslimin punya kekuatan dan mereka mampu untuk menyingkirkan (penguasa kafir itu) dari kekuasaannya serta menggantikan dengan penguasa muslim maka hal itu wajib atas mereka, dan ini termasuk jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun jika mereka tidak mampu menyingkirkannya maka tidak diperbolehkan bagi mereka melawan orang-orang zalim dan kafir, karena ini akan mengakibatkan kebinasaan kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di Makkah selama 13 tahun setelah kenabian dalam keadaan kepemimpinan waktu itu di tangan orang-orang kafir, dan bersama beliau (telah ada) para sahabat yang masuk Islam akan tetapi beliau tidak melawan orang-orang kafir itu. Bahkan mereka (para sahabat) dilarang untuk melawan orang-orang kafir di masa itu.” (Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 287—288)
Perlu diketahui bahwa berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala tidak termasuk kekufuran yang nyata akan tetapi termasuk kufrun duna kufrin atau kufur kecil (lihat pembahasan tentang Kufur pada Majalah Syariah edisi 4) kecuali jika:
- Meyakini bahwa selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik dari hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
- Meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala boleh dan sama dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
- Meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala boleh walaupun meyakini bahwa hukum Allah subhanahu wa ta’alalebih baik dari hukum selainnya. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 91)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Sumber : Asy Syariah Edisi 005, Kajian Utama
14 November 2011
http://asysyariah.com/kapan-dibolehkan-memberontak/
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi