Kekalahan Akibat Kelalaian (Perang Uhud)

 Kekalahan Akibat Kelalaian (Perang Uhud bagian 2)


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar)

Kemenangan yang sudah berada di depan mata dalam sekejap berubah menjadi kekalahan. Inilah keadaan kaum muslimin dalam peperangan Uhud. Kemenangan yang sudah hampir diraih berubah menjadi kekalahan disebabkan pasukan pemanah yang ditempatkan di atas bukit Uhud tidak mematuhi perintah Rasulullah n. Akibat kelalaian ini, pasukan musyrikin memiliki kesempatan memukul balik pasukan muslimin.

Jalannya Pertempuran

Ibnul Qayyim menceritakan dalam Zaadul Ma’ad (3/194):

“Pada hari Sabtu, mereka bersiap siaga untuk berperang. Kaum muslimin bergerak dengan tujuh ratus orang. Nabi menempatkan lima puluh orang pasukan pemanah di atas bukit Uhud dan mengingatkan agar mereka jangan bergerak meskipun mereka melihat burung-burung menyambar pasukan muslimin. Juga agar mereka selalu melepaskan anak panah ke arah pasukan musyrikin supaya tidak menyerang kaum muslimin dari arah belakang.”

Al-Imam Al-Bukhari menceritakan dalam Shahih-nya dari Al- Bara` bin ‘Azib:

Nabi menentukan seorang komandan bagi pasukan panah yang berjumlah lima puluh orang yang memimpin mereka yaitu Abdullah bin Jubair. Beliau berkata: “Meskipun kamu lihat kami disambar burung, tetaplah kamu di markas kamu ini, sampai kamu dipanggil. Dan kalau kamu lihat kami mengalahkan dan menundukkan mereka, tetaplah kamu di sini sampai kamu dipanggil.”

Selanjutnya Ibnul Qayyim mengisahkan pula (Az-Zaad, 3/195):

Kaum musyrikin Quraisy pun mulai bersiap untuk menyerang. Mereka datang dengan kekuatan 3.000 personil. Seratus di antaranya adalah pasukan berkuda. Sayap kanan dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid yang ketika itu belum masuk Islam. Sedangkan di sebelah kiri dipimpin oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahl yang juga belum masuk Islam pada saat itu.

Petempuran berlangsung dengan hebat, masing-masing berusaha menjatuhkan lawannya. Abu Dujanah yang saat itu memegang pedang Rasulullah berhasil menembus  jantung pertahanan kaum musyrikin hingga mereka kocar-kacir. Pedang Rasulullah yang di tangannya terayun menyambar setiap lawan, hingga akhirnya sampai di sebuah kepala ternyata kepala Hindun binti ‘Utbah isteri Abu Sufyan yang ketika itu masih musyrik. Abu Dujanah merasa tidak rela mengotori pedang Rasulullah akhirnya menarik pedang itu dan mencari lawan yang lain.

Hanzhalah putera Abu ‘Amir Fasiq, bertempur dengan hebatnya sampai ke jantung pertahanan musuh bahkan sudah siap menebaskan pedang ke kepala Abu Sufyan bin Harb ketika itu. Namun Syaddad bin Al-Aswad mendahuluinya, akhirnya diapun gugur sebagai syahid. Dan ketika itu dia sedang junub.

Waktu itu, Hanzhalah sedang berpengantin baru dengan isterinya. Ketika dia mendengar panggilan jihad, dia segera bangkit menyambut seruan itu. Rasulullah menerangkan kepada para shahabat nya:
“Bahwasanya para malaikat memandikan jenazahnya.”

Kemudian beliau berkata: “Tanyakan kepada keluarganya, ada apa sebenarnya?” Para shahabat  bertanya kepada isterinya. Wanita itupun menceritakan kejadian sebenarnya.[1]

Kemenangan tampaknya menjadi milik kaum muslimin. Perlahan tapi pasti pasukan musyrikin mulai kewalahan. Akhirnya mereka melarikan diri meninggalkan gelanggang pertempuran meninggalkan wanita-wanita mereka. Inilah tahap awal jalannya pertempuran.

Dalam peristiwa ini, para shahabat wanita juga ikut bertempur dengan hebatnya. Sebut saja Ummu Imarah Nusaibah binti Ka’b yang ikut mengayunkan pedang, namun dia terluka hebat ditebas oleh ‘Amr bin Qami`ah yang ketika diserangnya mengenakan dua lapis baju besi.

Kekalahan Kaum Muslimin

Pasukan musyrikin berantakan dan melarikan diri meninggalkan perempuan-perempuan mereka. Melihat kejadian ini, pasukan panah yang berada di bagian belakang lupa dengan tugas yang dibebankan Rasulullah kepada mereka. Akhirnya merekapun turun meninggalkan markas mereka.

Kata mereka: “Lihat ghanimah (rampasan perang, red), ghanimah! Mari kita kejar. Musuh sudah kalah. Apalagi yang kalian tunggu?!”

Abdullah bin Jubair berusaha mengingatkan mereka: “Apakah kamu lupa pesan Rasulullah?”

Namun kata mereka: “Demi Allah, kami akan datang ke sana untuk mengambil ghanimah.”

Mereka tidak mengindahkannya, lantas merekapun turun dari bukit tersebut. Mereka merasa yakin kaum musyrikin tidak mungkin kembali.

Tempat itupun kosong dari penjagaan. Kaum musyrikin melihat peluang ini, segera menempatkan posisi mereka. Akhirnya mereka berhasil mengepung barisan kaum muslimin.

Mendapat serangan balik ini, beberapa gelintir shahabat di bukit itu masih berusaha bertahan. Namun merekapun gugur satu demi satu, semoga Allah mengampuni dan meridhai mereka. Perlahan namun pasti, pasukan musyrikin mulai menyerang ke depan. Sementara pasukan musyrikin yang tadi melarikan diri juga berbalik menyerang kaum muslimin. Keadaan kaum muslimin mulai terjepit, diserang dari arah depan dan belakang.

Para shahabat  kocar-kacir. Kaum musyrikin maju mendekati posisi Rasulullah. Mereka berhasil melukai kepala beliau, memecahkan gigi seri beliau. Bahkan beberapa kali beliau terperosok ke dalam lubang yang digali oleh Abu ‘Amir Fasiq dan melempari beliau dengan batu-batuan.

Inilah yang diceritakan Allah dalam firman-Nya (artinya):
“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman. (Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput daripada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali ‘Imran 152-153)

Al-Imam Al-Bukhari menceritakan dalam Shahih-nya:

Dari Anas katanya: “Ketika terjadi perang Uhud, kaum muslimin berlarian meninggalkan Nabi. Sedangkan Abu Thalhah tetap berdiri di hadapan Nabi melindungi beliau dengan perisainya. Abu Thalhah adalah seorang pemanah ulung (sangat kuat dalam menarik panah). Pada waktu itu dia telah memecahkan dua atau tiga buah busur. Kalau ada yang melintas dengan membawa panah, beliau berkata kepadanya: “Serahkan panah itu kepada Abu Thalhah.”

Nabi n berusaha melihat suasana pertempuran dari balik punggung Abi Thalhah. Abu Thalhah berkata: “Ayah dan ibuku jadi tebusanmu (aku mohon) janganlah anda melihat-lihat, nanti anda terkena panah musuh. Dadaku di dekat dadamu (sebagai perisai).”

--- 000 ---

Perang Uhud benar-benar pertempuran yang dahsyat. Rasulullah sempat terluka di bagian pipi dan gigi beliau ada yang tanggal. Kaum muslimin sempat patah semangat ketika setan meniupkan berita bahwa beliau telah meninggal. Pada pertempuran ini pula salah satu pahlawan Islam, Hamzah bin AbdulMuththalib, gugur.

Keadaan pribadi Nabi n juga sangat menyedihkan. Apalagi kaum musyrikin betul-betul dendam kepada beliau. Beberapa prajurit musyrikin berusaha mendekati beliau, ada yang berhasil memecahkan topi baja beliau sehingga melukai kepala dan menembus pipi beliau serta memecahkan gigi seri beliau. Al-Imam Al-Bukhari menceritakan dalam Shahih-nya:

(Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka..).[2] Humaid dan Tsabit berkata, dari Anas bahwasanya Nabi luka berdarah kepala beliau pada perang Uhud, lalu berkata: “Bagaimana mungkin beruntung satu kaum yang melukai Nabi mereka. Maka turunlah ayat: (Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu).”Ibnu Hajar t mengatakan (Al-Fath, 7/457): Adapun hadits (riwayat) Humaid (Ath-Thawil), disambungkan sanadnya oleh Al-Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dari beberapa jalan dari Humaid. Ibnu Ishaq sendiri dalam kitab Al-Maghazi mengatakan: “Telah bercerita kepada saya Humaid Ath-Thawil dari Anas, katanya: “Gigi seri Nabi pada waktu perang Uhud, dan wajah beliau luka sehingga mengalirlah darah di wajah beliau. Mulailah beliau mengusap darah yang mengalir di wajahnya seraya berkata:

“Bagaimana beruntung suatu kaum yang menodai wajah Nabi mereka dengan darah, padahal dia mengajak mereka kembali kepada Rabb mereka”, maka turunlah ayat (128 surat Ali ‘Imran).”

Adapun hadits (riwayat) Tsabit disambungkan sanadnya oleh Al-Imam Muslim dari riwayat Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi n berkata pada peristiwa Uhud dalam keadaan darah mengalir di wajah beliau:

Bagaimana beruntung suatu kaum yang melukai Nabi mereka dan memecahkan gigi serinya, padahAl-dia mengajak mereka kepada Allah. Maka Allah menurunkan firman-Nya:  (Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu)”. Kemudian Ibnu Hajar menukilkan riwayat Ibnu Hisyam dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya ‘Utbah bin Abi Waqqash-lah yang memecahkan gigi dan bibir Rasulullah bagian bawah, sedangkan ‘Abdullah bin Syihab Az-Zuhri melukai kening Nabi, dan ‘Abdullah bin Qami`ah melukai pelipis beliau sehingga lingkar besi topi baja beliau menembus wajah beliau. Ibnu Ishaq sebagaimana dinukil Ibnu Hajar menceritakan ucapan Sa’d bin Abi Waqqash yang mengatakan: “Belum pernah saya berambisi membunuh seseorang sama sekali sebagaimana ambisi saya untuk membunuh saudara saya sendiri ‘Utbah karena perlakuannya terhadap Nabi n pada waktu Uhud.” Ibnul Qayyim t menceritakan (dalam kitab Az-Zaad 3/198) bahwa ketika sedang berkecamuknya pertempuran, syaithan berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh.[3] Ibnu Qami`ah setelah berhasil melukai Rasulullah kembali kepada pasukan musyrikin dan mengatakan bahwa dia telah membunuh Muhammad, padahal dia hanya berhasil melukai kepala beliau. Hal ini menyebabkan semangat sebagian kaum muslimin semakin merosot untuk melanjutkan pertempuran. Sebagian dari mereka melarikan diri, sebagian lagi bertempur hingga gugur sebagai syuhada`. Dan satu persatu sahabat-sahabat Rasulullah berguguran. Imam Bukhari meriwayatkan pula:
“Dari ‘Aisyah, katanya: “Pada waktu perang Uhud, mulanya kaum musyrikin berhasil dikalahkan, maka berteriaklah Iblis yang dilaknat oleh Allah: “Hai hamba Allah, yang terakhir dari kalian.” Maka kembalilah barisan pertama mereka sehingga bergabung dengan yang terakhir (mengepung kaum muslimin). Hudzaifah melihat, ternyata ayahnya Al-Yaman, diapun berteriak: “Hai hamba Allah itu ayahku, ayahku.”Kata ‘Aisyah: “Mereka mengepungnya lalu membunuhnya.” Kata Hudzaifah: “Semoga Allah mengampuni kamu.”Abu Dawud Ath-Thayalisi meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Abu Bakr kalau teringat peristiwa Uhud menceritakan bahwa itu adalah hari-harinya Thalhah bin ‘Ubaidillah. Saya termasuk orang pertama yang kembali mendekati Rasulullah. Saya lihat ada seseorang bertempur membela Rasulullah. Ternyata Thalhah yang bertempur dengan hebat hingga putus jari-jarinya. Dia berkata: “Hiss.” Nabi berkata kepadanya: “Seandainya kau ucapkan Bismillah, niscaya para malaikat akan mengangkatmu sedangkan orang banyak melihat.” (Al-Fath 7/451)

Gugurnya Hamzah bin ‘Abdil Muththalib

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya

Dari Ja’far bin ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamri, katanya: “Saya berangkat bersama ‘Ubaidullah bin ‘Adi bin Khiyar. Ketika tiba di Himsh, ‘Ubaidullah bin ‘Adi berkata kepada saya: “Maukah kamu bertemu Wahsyi, lalu kita tanyakan dia tentang pembunuhan terhadap Hamzah?” Saya berkata: “Ya.” Wahsyi ketika itu tinggal di Himsh. Lalu kamipun bertanya tentang dia. Dikatakan kepada kami bahwa dia di bawah naungan rumahnya seakan-akan dia hamit[4].Kami menemuinya hingga berdiri di dekatnya, lalu kami ucapkan salam kepadanya dan diapun membalas salam kami. Waktu itu ‘Ubaidullah melilitkan sorbannya sehingga yang dilihat Wahsyi hanyalah mata dan kedua kakinya. Dia berkata: “Hai Wahsyi, kamu kenal saya?” Wahsyi memandangnya kemudian ia berkata: “Tidak, demi Allah. Hanya saja saya tahu ‘Adi bin Khiyar menikah dengan seorang wanita bernama Ummu Qital bintu Abil ‘Ish, lalu melahirkan seorang putera di Makkah. Dan saya mencarikan susuan untuk anak itu. Saya membawa anak itu dan ibunya, lalu saya berikan kepada wanita itu. Seakan-akan saya melihat kedua kakimu.”‘Ubaidullah membuka sorbannya, lalu berkata: “Maukah kamu ceritakan tentang terbunuhnya Ham-zah?”Kata Wahsyi: “Ya. Sesungguhnya Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin ‘Adi bin Khiyar dalam perang Badr. Lalu berkatalah majikan saya Jubair bin Muth’im kepada saya: “Kalau kamu bunuh Hamzah sebagai balasan atas pamanku, maka kamu bebas.”Maka ketika orang-orang berangkat tahun ‘ainain –sebuah  gunung setentang Uhud yang dipisahkan sebuah lembah– saya ikut bersama mereka.Ketika mereka telah berbaris, keluarlah Siba’, dia berkata: “Siapa yang maju bertanding?”Lalu keluarlah Hamzah bin ‘Abdil Muththalib menyambut tantangannya, katanya: “Hai Siba’, hai putera Ummu Anmar, pemotong buzhur[5], apakah kamu menentang Allah dan Rasul-Nya?”Kemudian Hamzah menyerangnya dan berhasil membunuhnya. Lalu saya bersembunyi mengintai Hamzah di bawah sebuah batu besar. Setelah dia mendekat ke arah saya, saya lemparkan tombak saya tepat menembus perutnya. Itulah kematiannya.Setelah orang-orang kembali, sayapun ikut bersama mereka. Sayapun tinggal di Makkah sampai Islam tersebar di sana. Kemudian saya keluar menuju Thaif. Merekapun mengirim utusan kepada Rasulullah, lalu dikatakan kepada saya bahwa beliau tidak menghardik dan menyakiti para utusan.”Sayapun berangkat bersama mereka hingga bertemu dengan Rasulullah. Setelah melihat saya beliau bertanya: “Engkau Wahsyi?”Saya berkata: “Ya.” Kata beliau: “Engkau yang membunuh Hamzah?”Saya berkata: “Itulah berita yang sampai kepada anda.”Beliau berkata lagi: “Bisakah engkau jauhkan wajahmu dari saya?”[6] Sayapun keluar. Setelah Rasulullah n wafat, muncullah Musailamah Al-Kadzdzab (Si Pendusta).[7] Saya bertekad akan keluar menghadapinya. Mudah-mudahan saya dapat membunuhnya sebagai tebusan atas terbunuhnya Hamzah.[8] Maka saya keluar bersama kaum muslimin. Kemudian terjadilah sebagaimana yang terjadi. Ternyata ada seseorang berdiri di rekahan sebuah dinding seakan-akan seekor unta kelabu yang kusut rambutnya, lantas saya lemparkan tombak tepat menembus kedua dadanya hingga ke tulang belikatnya. Lalu melompatlah seseorang dari Anshar[9] lalu mene-bas kepalanya.”Kata rawi: “’Abdullah bin Al-Fadhl[10] berkata: “Sulaiman bin Yasar menceritakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Abdillah bin ‘Umar berkata: “Seorang budak wanita berkata dari atas balkon sebuah rumah: “Tolong, Amirul Mukminin (yakni Musailamah) dibunuh seorang budak hitam (Wahsyi).”

Beberapa ahli tarikh menceritakan kekalahan ini dan menerangkan bahwa kaum muslimin yang tewas dalam perang Uhud adalah sekitar tujuh puluh orang.

--- 000 ---

Beberapa Pelajaran Penting

Di balik kekalahan yang dialami kaum muslimin dalam perang Uhud, tersimpan banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik.

Ibnul Qayyim mengatakan (Zaadul Ma’ad 3/210):

“Az-Zuhri, ‘Ashim bin ‘Umar, Mu-hammad bin Yahya bin Hibban dan yang lainnya menyebutkan bahwa peristiwa Uhud ini adalah hari-hari ujian dan saringan (pembersihan). Allah menguji kaum mukminin melalui peristiwa Uhud ini. Melalui peristiwa ini pula, semakin jelaslah siapa yang dengan lisannya menyimpan kemunafikan dan menampilkan keislaman. Dan Allah memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya sebagai syuhada`.”

Allah mengisahkan peristiwa Uhud dalam ayat-ayat-Nya yang mulia, agar menjadi pelajaran yang berharga bagi kaum muslimin hingga hari kiamat.

Firman Allah (artinya) :
“Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu, (untuk) menempatkan mukminin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ketika dua golongan darimu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendak-lah karena Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (Ali ‘Imran: 121-122)

Al-Imam Al-Qurthubi menerangkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Anshar. Hal itu terjadi setelah membelotnya Abdullah bin Ubay bin Salul, pentolan munafikin, dengan membawa sepertiga pasukan. Namun Allah memelihara hati orang-orang Anshar, sehingga mereka tidak ikut berbalik.

Kemudian dalam firman Allah (artinya) :
“Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya; (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya.”(Ali ‘Imran 143)

Al-Imam Al-Qurthubi mengatakan, ayat ini berkenaan dengan sebagian shahabat Anshar yang tertinggal dari perang Badr, dan mereka ingin turut serta berperang demi memperoleh syahadah. Namun ketika pertempuran berkecamuk, sebagian mereka surut. Akan tetapi ada pula yang tetap tabah dan pantang mundur, di antaranya Anas bin An-Nadhr. Ketika dia melihat kaum muslimin bercerai-berai dia berkata:
“Ya Allah aku meminta uzur kepada-Mu dari apa yang mereka -yakni kaum muslimin- lakukan, dan aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang didatangkan kaum musyrikin.”

Kemudian dia mengambil pedangnya dan berpapasan dengan Sa’d bin Mu’adz, lalu berkata kepadanya: ”Mau ke mana, hai Sa’d? Sungguh aku mencium bau harumnya surga di balik bukit Uhud ini. Diapun maju bertempur dengan sengit sampai gugur sebagai kembang syuhada` dengan hampir 80 bekas tebasan dan tusukan pedang, tombak atau panah. Hampir tidak ada yang mengenalnya kecuali saudarinya melalui jari-jarinya.[11]

Peristiwa Uhud ini cukup memilukan. Al-Yaman, ayahanda shahabat Hudzaifah terbunuh di tangan kaum muslimin karena salah bunuh. Hamzah Singa Allah dan Rasul-Nya, gugur sebagai syuhada`, dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun demikian hikmah yang terkandung dalam peristiwa ini sangat banyak. Di antaranya sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar t (Fathul Bari, 7/433):

“Para ulama menjelaskan bahwa dalam kisah perang Uhud ini, juga dengan musibah yang dialami kaum muslimin, mengandung beberapa pelajaran atau faedah serta hikmah rabbaniyah yang sangat agung, di antaranya:
  • Memahamkan kepada kaum muslimin betapa buruknya akibat kemaksiatan dan mengerjakan apa yang telah dilarang, yaitu ketika barisan pemanah meninggal pos-pos mereka yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah n agar mereka berjaga di sana.
  • Sudah menjadi kebiasaan bahwa para rasul itu juga menerima ujian dan cobaan, yang pada akhirnya mendapatkan kemenangan. Sebagaimana dijelaskan dalam kisah dialog Abu Sufyan dan Hiraqla (Heraklius). Di antara hikmahnya, apabila mereka senantiasa mendapatkan keme-nangan, tentu orang-orang yang tidak pantas akan masuk ke dalam barisan kaum mukminin sehingga tidak bisa dibedakan mana yang jujur dan benar, mana yang dusta. Sebaliknya, kalau mereka terus-menerus kalah, tentulah tidak tercapai tujuan diutusnya mereka. Sehingga sesuai dengan hikmah-Nya terjadilah dua keadaan ini.
  • Ditundanya kemenangan pada sebagian pertempuran, adalah sebagai jalan meruntuhkan kesombongan diri. Maka ketika kaum mukminin diuji lalu mereka sabar, tersentaklah orang-orang munafikin dalam keadaan ketakutan.
  • Allah mempersiapkan bagi hamba-Nya yang beriman tempat tinggal di negeri kemuliaan-Nya yang tidak bisa dicapai oleh amalan mereka. Maka Dia tetapkan beberapa sebab sebagai ujian dan cobaan agar mereka sampai ke negeri tersebut.
  • Bahwasanya syahadah (mati syahid) termasuk kedudukan tertinggi para wali Allah.
  • Allah menghendaki kehancuran musuh-musuh-Nya maka Dia tetapkan sebab yang mendukung hal itu, seperti kekufuran, kejahatan dan sikap mereka melampaui batas dalam menyakiti para wali-Nya. Maka dengan cara itulah Allah menghapus dosa kaum mukminin.
  • Perang Uhud ini seakan-akan persiapan menghadapi wafatnya Rasulullah. Allah meneguhkan mereka, mencela mereka yang berbalik ke belakang, baik karena Rasulullah terbunuh atau meninggal dunia.
  • Hikmah lain adalah adanya pembersihan terhadap apa yang ada di dalam hati kaum mukminin.

Pertempuran Usai

Setelah peperangan usai, Abu Sufyan mendaki sebuah bukit dan berteriak: “Apakah Muhammad ada di antara kalian?!” Namun kaum muslimin tidak menjawabnya. Kemudian dia berteriak lagi: “Apakah Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakr) ada di antara kalian?!” Tidak juga dijawab. Akhirnya dia berteriak lagi: “Apakah ‘Umar bin Al-Khaththab ada di antara kalian?!” Juga tidak dijawab. Dan dia tidak menanyakan siapapun kecuali tiga orang ini, karena dia dan kaumnya mengerti bahwa mereka bertiga adalah pilar-pilar Islam. Lalu dia berkata: “Adapun mereka bertiga, kalian sudah mencukupkan mereka.”

‘Umar tak dapat menahan emosinya untuk tidak menyahut: “Wahai musuh Allah, sesungguhnya orang-orang yang kau sebut masih hidup! Dan semoga Allah menyisakan untukmu sesuatu yang menyusahkanmu.”

Abu Sufyan berkata: “Di kalangan yang mati ada perusakan mayat, saya tidak memerintahkan dan tidak pula menyusahkan saya.” Kemudian dia berkata: “Agungkan Hubal!”

Lalu Nabi berkata: “Mengapa tidak kalian jawab?” Kata para shahabat: “Apa yang harus kami katakan?” Kata beliau: “Allah Lebih Tinggi dan Lebih Mulia.”

Abu Sufyan berkata lagi: “Kami punya ‘Uzza, sedangkan kalian tidak.”

Kata Rasulullah : “Mengapa tidak kalian balas?”

Kata para shahabat: “Apa yang harus kami katakan?”

Katakanlah: “Allah adalah Maula (Pelindung, Pemimpin) kami, sedangkan kalian tidak mempunyai maula satupun.”[12]

Perintah Rasulullah agar mereka membalas ketika Abu Sufyan merasa bangga dengan sesembahan-sesembahan dan kesyirikannya, dalam rangka pengagungan terhadap tauhid sekaligus menunjukkan Keperkasaan dan Kemuliaan Dzat yang diibadahi oleh kaum muslimin.

Kemarahan ‘Umar mendengar kata-kata Abu Sufyan menunjukkan penghinaan, keberanian, terang-terangan kepada musuh tentang kekuatan dan keperkasaan mereka bahwa mereka bukanlah orang yang hina dan lemah.

Berikut ini beberapa hukum dan fiqih yang terkandung dalam peristiwa Uhud yang dinukil Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (3/211), antara lain:
  • Bahwa jihad harus segera dijalankan. Sehingga siapa yang telah memakai pakaian perangnya dan melakukan beberapa sebab untuk berperang serta bersiap untuk berangkat, dia tidak boleh kembali sampai dia memerangi musuhnya.
  • Kaum muslimin tidak diwajibkan keluar menghadapi musuh, apabila diserbu oleh musuh mereka di kampung-kampung mereka. Bahkan hukumnya boleh, tetap berada di rumah-rumah mereka dan memerangi musuh dari rumah-rumah tersebut, jika memang hal tersebut lebih memungkinkan untuk dapat mengalahkan musuh. Sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah dalam peristiwa Uhud.
  • Bolehnya melakukan serangan total ke jantung pertahanan musuh seperti yang dilakukan Anas bin An-Nadhr dan lain-lainnya.
  • Kalau imam mendapat musibah, dia boleh shalat mengimami sambil duduk dan makmum juga ikut duduk.
  • Bolehnya berdoa mati di jalan Allah dan mendambakan hal tersebut.
  • Menurut As-Sunnah, (jenazah) syuhada` tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.[13]
  • Bolehnya menguburkan dua atau tiga orang dalam satu liang.[14]
  • Menurut As-Sunnah, syuhada` dikubur di tempat dia terbunuh, tidak dipindah ke lain tempat.
  • Apabila kaum muslimin membunuh seorang yang disangka kafir, maka tanggung jawab imam untuk menyerahkan diat (denda)-nya dari Baitul Mal.

Selengkapnya lihat Zaadul Ma’ad (3/210-222). Wallahul Muwaffiq.




[1] Sanadnya jayyid, lihat tahqiq Zaadul Ma’ad, 3/200.

[2] Al-Quran surat Ali ‘Imran ayat 128.

[3] Lihat juga Tafsir Ibnu Katsir t ketika menerangkan ayat 144 surat Ali ‘Imran.

[4] Maksudnya hitam dan gemuk.

[5] Wanita yang bekerja mengkhitan perempuan. Dan kalimat ini adalah ejekan yang sangat menyakitkan bagi yang mendengarnya. Wallahu a’lam.

[6] Yakni, jangan sampai melihat Rasulullah, wallahu a’lam.

[7] Yang mengaku-aku Nabi.

[8] Dalam riwayat lain dia menyatakan: “Saya telah membunuh sebaik-baik manusia (setelah Rasulullah), dan sejahat-jahat manusia (yaitu Musailamah). Wallahu a’lam.

[9]  Yaitu ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini.

[10]  Ibnu ‘Abbas bin Rabi’ah bin Al-Harits bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi Al-Madini, dari kalangan tabi’in kecil (setingkat Az-Zuhri atau yang semasa dengan beliau). Wallahu a’lam.

[11] HR. Al-Bukhari dalam Al-Maghazi.

[12] HR. Al-Bukhari (7/269-272), Ahmad (4/293), lihat tahqiq Zaadul Ma’ad (3/201).

[13] Walaupun menurut sebagian pendapat lain hukumnya adalah sunnah bukan wajib, lihat tahqiq Zaadul Ma’ad (3/213).

[14] HR. Al-Bukhari (7/286), Abu Dawud (3138), At-Tirmidzi (1036), An-Nasa`i (4/62), Ibnu Majah (1514) dari hadits Jabir z. Tetapi ini berlaku dalam kondisi darurat, lihat tahqiq Zaadul Ma’ad (3/215).

Sumber : Asy Syariah Edisi 018 , Asy Syariah Edisi 01, Asy Syariah Edisi 020
15 November 2011
16 November 2011
http://asysyariah.com/kekalahan-akibat-kelalaian-perang-uhud-bagian-2/
http://asysyariah.com/kekalahan-akibat-kelalaian-perang-uhud-bagian-3/
http://asysyariah.com/beberapa-pelajaran-penting/ 

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi