Makan tak lagi sekadar rutinitas. Namun juga telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Cara dan posisi makan, tata hidang berikut alatnya, hingga busana yang dikenakan juga menganut ‘ideologi’ tertentu. Repotnya, model yang dianut (lagi-lagi) adalah tata cara Barat. Bagaimana agama Islam nan sempurna ini mengatur tata cara makan? Simak bahasannya!
Islam adalah dien rahmat bagi alam semesta. Dien yang menjelaskan segala bentuk kemaslahatan manusia, mulai dari masalah yang paling kecil dan ringan hingga masalah yang paling besar dan berat. Islam sebagai rahmat telah memberikan arahan kepada pemeluknya untuk tidak mendekati perkara-perkara yang akan memudaratkan dirinya. Demikianlah kesempurnaan Islam yang hujahnya sangat jelas dan terang, malamnya bagaikan siang. Sehingga tidak ada satu pun permasalahan yang tersisa melainkan telah dijelaskan di dalamnya.
Namun dalam menerima kesempurnaan ini, sebagian umat Islam ada yang tidak puas sehingga :
1. Melakukan tindak kriminal dalam agama, yaitu dengan menambah syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dijadikan sebagai jalan menuju ridha Allah subhanahu wa ta’ala.
Dari tindak kriminal ini lahirlah konsep akal bahwa jalan menuju Allahsubhanahu wa ta’ala itu banyak dan bukan satu. Ada yang cepat menyampaikan ke tujuan dan ada yang lambat. Kiasnya seperti perjalanan yang ada di dunia. Berangkat dari pemahaman ini, maka semua jamaah dan semua aliran yang muncul di dalam Islam—sekalipun mengajak kepada kekufuran—tidak bisa disalahkan. Karena itu, ketika ada yang tampil menjelaskan kebatilan sebagian atau semua aliran tersebut, justru dituding sebagai tindakan ghibah atas saudaranya seiman, sementara ghibah itu haram.
Tindak kriminal lainnya adalah mengentengkan syariat Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menghilangkan kecemburuan terhadap agama.
Tindakan ini mengajak masyarakat untuk bersikap permisif, membiarkan kemungkaran eksis dan tumbuh di dalam lingkungannya. “Yang alim silakan alim. Yang berjudi, berzina, mencuri, dan yang mabuk silakan. Yang penting tidak saling usik dan mengganggu. Biarkan berjalan pada jalannya masing-masing dan jika berselisih, kita saling memaafkan.” Kedua bentuk kriminal telah melahirkan setan-setan yang bisu, jelas hal ini bertentangan dengan dien islam.
2. Melakukan studi perbandingan dan pendekatan agama sehingga lahir dari konsep ini menghomogenkan agama agar menjadi lebih sempurna.
3. Melakukan perombakan kiblat dengan melakukan penggalian kemajuan-kemajuan Barat untuk disinkronkan dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau.
Jika penjelasan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tentang kesempurnaan dien Islam ini masih belum memuaskan mereka, lalu dengan keterangan siapa lagi mereka bisa yakin dan puas?
لِّيَهۡلِكَ مَنۡ هَلَكَ عَنۢ بَيِّنَةٖ وَيَحۡيَىٰ مَنۡ حَيَّ عَنۢ بَيِّنَةٖۗ
“Agar binasa orang-orang yang binasa di atas keterangan dan agar hidup orang-orang yang hidup di atas keterangan.” (al-Anfal: 42)
Kesempurnaan Islam
Makan dan minum merupakan kebutuhan jasmani setiap orang dan akan bernilai rohani bila diniatkan untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada satu pun dari makhluk di muka bumi, yang melata sekalipun, yang tidak butuh makan dan minum. Allah subhanahu wa ta’alatelah banyak mengingatkan tentang kebutuhan ini di dalam firman-firman-Nya,
يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ
“Hai sekalian bani Adam, ambillah perhiasan-perhiasan kalian setiap kalian memasuki masjid, makan dan minumlah dan jangan kalian berlebih-lebihan.” (al-A’raf: 31)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا
“Hai sekalian manusia makanlah apa-apa yang ada di muka bumi dari (rezeki) yang baik dan halal.” (al-Baqarah: 168)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَٰلِحًاۖ
“Hai sekalian para rasul, makanlah dari (rezeki) yang baik dan beramal salehlah kalian!” (al-Mukminun: 51)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ
“Hai orang-orang yang beriman makanlah dari yang baik dari apa-apa yang kami rezekikan.” (al-Baqarah: 172)
Dan masih banyak dalil yang menjelaskan hal itu. Semua dalil di atas memang tidak menunjukkan wajib namun hanya sebatas bimbingan, akan tetapi menjadi wajib bila meninggalkannya akan memudaratkan diri sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ
“Dan janganlah kalian melemparkan diri kalian ke dalam kebinasaan.”(al-Baqarah: 195)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh berbuat mudarat bagi dirimu dan memudaratkan orang lain.”
Kaitannya dengan makan sebagai kebutuhan jasmani, Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan perhatian yang sempurna dengan mengatur, mengarahkan dan menjelaskan tentang zat makanan dan minuman serta tatacara menikmatinya.
Semuanya bertujuan agar tidak timbul kemudaratan bagi setiap hamba. Allah telah menjelaskan di dalam firman-Nya,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
“Pada hari ini aku telah menyempurnakan agama kalian dan telah mencukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (al-Maidah: 3)
Bagi orang yang berjalan di atas kesempurnaan dien ini dengan menerima dan tunduk padanya, niscaya dia akan menemukan keindahan Islam dan kemudahan di dalam beragama ini. Dari Abdullah bin ‘Abbasradhiallahu ‘anhuma berkata,
سُئِلَ النَّبِيُّ أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الْحَنِفِيَّةُ السَّمْحَةُ
Nabi ditanya, “Agama yang paling dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala?” Rasulullah bersabda, “Agama yang lurus dan mudah.”[1]
Sebagai agama yang mudah:
1. Islam telah menjelaskan kepada kita segala jalan yang menyampaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan kita tidak dibiarkan membuat jalan selain jalan-Nya.
2. Islam tidak meninggalkan satu pun dari sendi-sendi Islam kecuali telah memberikan arahan dan bimbingan kepada yang lebih maslahat. Dan dalam hal ini Islam menyelisihi/membedakan diri dari agama lainnya. Sampai-sampai salah seorang dari Yahudi mengatakan, ‘Sungguh nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai-sampaitatacara buang air.”[2]
Dan di antara mereka ada yang mengatakan, “Orang ini (Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak membiarkan sedikit pun urusan kita melainkan mesti dia menyelisihinya.”[3]
Makan & Minum Serta Adab-adabnya
Sebagai bentuk kesempurnaan syariat dan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala di dalam menentukan urusan-urusan-Nya, Islam telah menjelaskan tatacara dan adab di dalam memenuhi kebutuhan jasmani setiap orang beriman agar mereka mendapatkan nilai yang besar di sisi Allah dan bernilai ibadah ketika melaksanakan hal itu.
1.Keadaan Bejana
Dianjurkan bagi setiap muslim untuk memerhatikan bejana yang dipakai, baik ketika memasak ataupun menghidangkannya. Tidak diperbolehkan bagi mereka untuk menggunakan bejana orang kafir. Dan bila tidak ada bejana lainnya, maka diperbolehkan dengan syarat bejana tersebut harus disucikan dari kotoran dan najis, bila bejana tersebut tadinya dipakai untuk memasak babi dan minum khamr. Bila bejana tersebut tidak dipakai untuk hal-hal kotor dan najis, hal itu diperbolehkan secara mutlak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu,
كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُوْلِ اللهِ فَنُصِيْبُ مِنْ آنِيَةِ الْمُشْرِكِيْنَ وَأَسْقِيَتِهِمْ فَنَسْتَمْتَعُ بِهَا وَلَايَعِيْبُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ
“Di saat kami berperang bersama Rasulullah, kami mendapatkan bejana-bejana kaum musyrikin dan kendi-kendi minum mereka. Kemudian kami memanfaatkannya dan beliau tidak mencelanya.”[4]
Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ وَهُمْ يَطْبَخُوْنَ فِيْ قُدُوْرِهِمُ الْخِنْزِيْرَ وَيَشْرَبُوْنَ فِيْ آنِيَتِهِمْالْخَمْرَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ :إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوْا فِيْهَا وَاشْرَبُوْا، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوْاغَيْرَهَا فَأَحْضَوْهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا
“Sesungguhnya kami berada di tengah ahli kitab dan mereka memasak babi di panci-panci mereka dan meminum khamr di bejana-bejana mereka. Rasulullah bersabda, ‘Kalau kalian menjumpai yang lain, maka makan dan minumlah padanya. Dan jika kalian tidak menjumpai bejana lainnya, maka cucilah dengan air lalu makan dan minumlah (padanya)’.”[5]
Selain larangan memakai bejana orang kafir ketika makan dan minum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita untuk makan dan minum dengan bejana emas dan perak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ
“Janganlah kalian minum memakai bejana emas dan perak… karena sesungguhnya (bejana emas dan perak tersebut) bagi mereka (orang kafir) di dunia dan bagi kalian di akhirat.”[6]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الَّذِيْ يَشْرَبُ فِيْ إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِيْ بَطْنِهِ ناَرَ جَهَنَّمَ
“Orang yang minum dengan bejana perak, sesungguhnya akan dituangkan api jahannam dalam perutnya.”[7]
Bila hal ini dilakukan oleh seorang mukmin di dunia, dan dia belum bertaubat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
لَمْ يَشْرَبْ بِهَا فِي الْآخِرَةِ
“Dia tidak akan minum dengannya di akhirat nanti.”[8]
2. Berdoa Sebelum Makan
Permasalahan yang sungguh sangat ringan, namun sering terlalaikan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu berdoa sebelum makan. Padahal lebih ringan daripada mengangkat sesuap nasi ke mulut dan lebih ringan daripada menahan lapar. Yaitu membaca,
بِسْم اللهِ
“Dengan nama Allah.”
Bila lupa membacanya kemudian ingat, kita diperintahkan untuk membaca,
بِسْم اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ
“Dengan nama Allah, di awalnya dan di akhirnya.”
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيِقُلْ: بِسْم اِللهِ فَإِنْ نَسِيَ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْم اللهِ فِيْأَوَّلِهِ وَآخِرِهِ
“Apabila salah seorang kalian makan suatu makanan, maka hendaklah dia mengucapkan ‘bismillah’ dan bila dia lupa di awalnya hendaklah dia mengucapkan ‘bismillah fii awwalihi wa akhirihi’.”[9]
Di dalam hadits yang lain dari sahabat yang membantu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam selama 18 tahun, dia bercerita bahwa, “Dia selalu mendengar Rasulullah apabila mendekati makanan mengucapkan bismillah.”[10]
3.Hukum Membaca Bismillah Ketika Makan
Berdasarkan dalil yang sahih dan sharih (tegas) di atas bahwa membaca bismillah ketika makan adalah wajib dan berdosa jika meninggalkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Umar bin Abu Salamah dan saat itu dia masih kecil,
يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَقُلْ بِيَمِيْنِكَ
“Hai nak, sebutlah nama Allah dan makanlah kamu dengan tangan kanan.”[11]
Ibnul Qayyim berkata, “Yang benar adalah wajib membaca bismillah ketika makan. Dan hadits-hadits yang memerintahkan demikian adalah shahih dan sharih. Tidak ada yang menyelisihinya serta tidak ada satu pun ijma’ yang membolehkan untuk menyelisihinya dan mengeluarkan dari makna lahirnya. Orang yang meninggalkannya akan ditemani setan dalam makan dan minumnya.” (Lihat Zadul Ma’ad 2/396)
Bolehkah Ditambah dengan ‘Arrahmanirrahim’?
Ada satu kaidah yang harus kita ketahui yakni berhenti di atas bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan satu kewajiban. Dan sungguh betapa banyak yang tersesat jalan di dalam beragama karena mengentengkan masalah ini. Seseorang bisa menjadi salah satu musuh Islam yang paling berbahaya karena tidak mengikuti bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Memang berjalan dengan tepat di atas petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masa sekarang ini adalah hal yang berat bagi orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk Allah.
Oleh karena itu bermunculanlah istihsanat (anggapan baik terhadap sesuatu yang bukan dari agama) di dalam agama. Padahal, kaidah menyatakan, sesuatu itu baik apabila agama menganggapnya baik dan jelek apabila dianggap jelek oleh agama. Orang dengan mudah mengatakan ‘Hal ini termasuk agama’ padahal tidak termasuk agama sedikit pun. Orang dengan mudah mengada-adakan dalam urusan agama padahal tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah akibat kejahilan terhadap agama, orang akan membeo tanpa ada rasa takut sedikit pun kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tanpa merasa salah di hadapan agama-Nya. Salah satu contoh adalah menambah doa makan dari “bismillah” menjadi “bismillahirrahmanirrahim.”
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits ash- Shahihah (1/152) mengatakan, “Membaca tasmiyah di permulaan makan adalah ‘Bismillah’ dan tidak ada tambahan padanya. Semua hadits-hadits yang sahih dalam masalah ini tidak ada tambahannya sedikit pun. Saya tidak mengetahui satu hadits pun yang menyebut ada tambahan (bismillahirrahmanirrahim, pen.). Hal ini termasuk bid’ah menurut ulama fuqaha.”
Mengapa kita dilarang, bukankah itu lebih sempurna dan lebih baik?
Jawabannya:
Kesempurnaan di dalam agama adalah kesempurnaan dalam mengikuti segala tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menambah dan tidak pula menguranginya.
Jika hal ini lebih baik, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamakan mengajarkan kepada kita, dan akan dinukilkan oleh para sahabat beliau, dan merekalah yang pertama kali akan melakukannya.
Di dalam perbuatan ini ada unsur pembebanan diri dengan beban yang tidak datang dari syariat.
Perbuatan ini tergolong keluar dari bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara kita meyakini bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau keluar dari jalan beliau dengan membuat jalan tersendiri atau menambah syariat yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberarti,
Menentang apa yang telah difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’alatentang kesempurnaan Islam.
Mengangkat diri setara dengan Allah dalam pembuatan syariat.
Menuduh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamberkhianat dalam menyampaikan risalah sehingga perlu ditambah atau dikurangi.
Menuduh para sahabat Nabi radhiallahu 'anhum yang menukilkan kesempurnaan syariat tersebut berkhianat kepadanya.
Keempat hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
مَنْ عَمِلَ عَمَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[12]
Hati-hati Ditemani Setan
Setan akan ikut nimbrung bila engkau tidak berdoa ketika hendak makan dan minum. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau dan hikmah membaca bismillah ketika memulai makan adalah untuk melemahkan kekuatan setan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيْتَ لَكُمْوَلَا عَشَاءَ؛ وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ؛ وَإِذَالَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ وَالْعَشَاءَ
“Apabila seseorang masuk ke dalam rumahnya, lalu dia menyebut nama Allah ketika masuk dan ketika makan, maka setan berkata (kepada teman-temannya), ‘Kalian tidak mendapatkan kesempatan bermalam (bersamanya) dan makan malam.’ Bila dia masuk rumah dan tidak menyebut Allah ketika masuknya, setan berkata (kepada teman-temannya):,‘ Kalian akan mendapatkan kesempatan bermalam (bersamanya)’. Bila dia tidak menyebut nama Allah ketika makannya maka setan berkata (kepada teman-temannya), ‘Kalian mendapatkan kesempatan bermalam dan makan malam (bersamanya).”[13]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam riwayat al-Imam Muslim rahimahullah no. 2017 dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Apabila kami makan suatu makanan bersama Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tidak meletakkan tangan kami di makanan tersebut, sampai Rasulullah meletakkan kedua tangannya, beliau (mulai). Pada suatu hari kami makan bersama Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, datanglah seorang budak wanita seakan-akan dia terdorong lalu bergegas meletakkan tangannya ke makanan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tangannya, dan datang pula seorang A’rabi (orang dusun) seakan-akan dia terdorong (dan bergegas meletakkan tangannya pada makanan tersebut).
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tangannya dan bersabda, “Sesungguhnya setan ikut menyertai dalam makanan bila tidak disebut nama Allah padanya. Sesungguhnya setan datang bersama budak perempuan ini lalu aku mengambil tangannya, dan dia datang bersamaA’rabi ini lalu aku mengambil tangannya. Sesungguhnya tanganku memegangtangan setan bersama tangan budak tersebut.”
--- 000 ---
Menjilati jari-jemari usai makan atau memungut makanan yang berceceran lalu memakannya, perbuatan ini dipandang menjijikkan dan tidak beradab oleh sebagian orang. Namun, dalam Islam, keduanya justru adab yang dianjurkan. Memang terasa ganjil, tetapi demikianlah adanya. Pembahasan berikut menjelaskan bahwa dua perbuatan itu mengandung banyak kebaikan yang kadang tidak pernah kita pikirkan.
Sesungguhnya, mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kemenangan dan ketinggian derajat, kebahagian dan keselamatan dunia dan akhirat. Mengikuti jejak beliau adalah hidayah, ridha, dan cinta Allah.
Sungguh, sangat mustahil seseorang ingin meraih kemenangan dalam memperjuangkan diri dan agamanya tanpa menempuh jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalaupun dalam pandangannya dia menang dan jaya, hal tersebut tidak lebih dari fatamorgana.
Kemenangan dalam sejarah perjuangan yang dilakukan oleh para hamba yang saleh, pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan para sahabat dan generasi setelahnya, adalah dengan mengikuti jejak Rasul mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti jejak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tidak menjatuhkan diri ke dalam kubangan ifrath dan tafrith.
Ifrath artinya berlebih-lebihan hingga menyebabkan terjatuh dalam sikap mengada-ada sesuatu yang beliau tidak pernah ajarkan. Adapun tafrith artinya meremehkan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya menerima yang sesuai dengan perilakunya, dan membuang yang tidak sesuai ke belakang punggungnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat dengan kitab ini suatu kaum dan merendahkan kaum yang lain dengannya.” (HR. Muslim no. 817)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Allah akan mengangkat derajat seorang hamba sesuai dengan (kekuatannya) berpegang dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Tidak ada seorang pun dari kita melainkan ingin mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, mendapatkan kecintaan dan pengampunan dari-Nya. Sungguh, jawabannya sangat singkat, yaitu firman Allah,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
“Katakan (hai Nabi), jika kalian benar-benar cinta kepada Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kecintaan dari Allah, keridhaan dan hidayah dari-Nya. Allah berfirman,
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهۡتَدُواْۚ
“Jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk.” (an-Nur: 54)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Jika kalian menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus, baik ucapan maupun perbuatan. Tidak ada jalan untuk mendapatkan hidayah kecuali dengan menaatinya. Tanpa (menaatinya), tidak mungkin (seseorang akan mendapatkan hidayah), mustahil.” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 521)
Di antara Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering ditinggalkan oleh kaum muslimin dalam masalah menyantap hidangan adalah:
1. Mengambil makanan apabila terjatuh
Termasuk tuntunan cara makan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengambil makanan yang jatuh dari tangan. Ini tidak berarti bahwa Islam tidak menjaga kebersihan dan kesehatan.
Oleh karena itu, ketika makanan yang jatuh diambil, kotoran yang menempel padanya harus dibersihkan. Dalam hal ini, seseorang tidak boleh beranggapan bahwa mengambil makanan yang jatuh termasuk merusak adab Islam.
Dengarkan ajaran dan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya,
إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ مِنَ اْلأَذَى وَلْيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ
“Apabila makanan salah seorang dari kalian jatuh, ambillah, lalu bersihkan kotoran yang ada padanya, kemudian makanlah. Jangan dia biarkan bagi setan.” (HR. Muslim no. 2033)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa salah satu adab makan dan minum ialah mengambil makanan yang terjatuh apabila tidak ada kotoran padanya. Apabila padanya ada kotoran, hendaklah kita bersihkan, jika memungkinkan.
Apabila tidak mungkin dibersihkan, apa yang harus diperbuat?
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat beberapa sunnah… (di antaranya) disunnahkan mengambil dan memakan makanan yang jatuh setelah dibersihkan dari kotoran. Ini dilakukan makanan itu tidak terjatuh pada tempat najis.
Apabila terjatuh pada tempat yang najis, makanan tersebut menjadi najis dan harus dicuci, jika memungkinkan. Apabila tidak memungkinkan, hendaknya diberikan untuk binatang, jangan dia biarkan untuk setan.” (Syarah Shahih Muslim, 7/204)
Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mengingatkan kepada kita agar tidak memberi kesempatan bagi setan untuk menyantap makanan sehingga dia mendapatkan kekuatan untuk mengganggu Bani Adam.
Dinukilkan oleh pengarang kitab ar-Raudhah an-Nadiyyah, dari salah seorang ulama, dia berkata, “Seorang sahabat kami mengunjungi kami. Kami keluarkan makanan baginya. Saat mereka makan, banyak makanan yang berjatuhan dari tangannya dan berserakan di tanah. Dia berusaha dengan penuh kesungguhan untuk mengambilnya kemudian memakannya.
Aku pun menjauh darinya. Hal ini menjadikan yang hadir terheran-heran.
Suatu hari ada seseorang kesurupan. Setan tersebut berbicara melalui lisannya dan di antara ucapannya, ‘Sesungguhnya aku melewati orang yang sedang makan. Makanan itu sangat mengundang selera. Orang tersebut tidak mau memberiku sedikit pun. Aku berusaha menyambarnya dari tangannya, tetapi dia mencabutnya balik dari tanganku.” (at-Ta’liqat ar-Radhiyyah, 3/81)
2. Tidak bernapas di bejana atau meniup makanan
Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى أَنْ يَتَنَفَّسَ فِي اْلإِنَاءِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang bernapas dalam bejana.” ( HR. al- Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 267)
Dalam lafadz yang lain, riwayat al-Bukhari,
إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي اْلإِنَاءِ
“Apabila salah seorang dari kalian minum, janganlah dia bernapas di bejana.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ibnu Abi Syaibah menambahkan dari jalan yang lain, dari Abdullah bin Abu Qatadah, dari bapaknya, tentang larangan bernapas di dalam bejana dan meniupnya. Riwayat ini juga memiliki penguat dari hadits Ibnu ‘Abbas dalam riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi, Rasulullah melarang bernapas dalam bejana dan meniup padanya. Larangan meniup dalam bejana disebutkan dalam banyak hadits. Demikian pula larangan bernapas padanya.” (Lihat Fathul Bari, 10/106)
Demikianlah gambaran kesempurnaan Islam mengatur urusan setiap insan. Sebuah pengaturan yang penuh kebijakan dalam menjaga hubungan antara sesama.
Bisa jadi, ketika Anda bernapas dalam bejana, akan menimbulkan bau yang busuk. Terlebih lagi apabila yang bernapas itu memiliki bau mulut yang tidak sedap. Bisa jadi akan mengakibatkan sakit, apabila yang bernapas membawa penyakit yang berbahaya. Islam melarang setiap orang mengganggu dan memudaratkan orang lain.
Di antara pelajaran yang diambil adalah penjegaan Islam terhadap kesehatan individu pemeluknya. Sebab, bersama napas tersebut terkadang keluar air ludah, dahak, dan bau busuk yang mengakibatkan berubahnya bau air dan bejananya. (Fathul Bari, 10/106)
Lihat pula ucapan al-Imam al-Qurthubi dalam Fathul Bari (10/108). Tentang meniup dalam bejana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dalam hadits berikut ini. Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشَّرَابِ .فَقَالَ رَجُلٌ :الْقَذَاةُ أَرَاهَا فِي اْلإِنَاءِ؟ فَقَالَ :أَهْرِقْهَا .قَالَ :إِنِّي لاَ أَرْوَى مِنْ نَفَسٍ وَاحِدٍ؟ قَالَ :فَأَبْنِ الْقَدَحَ إِذًا عَنْ فِيْكَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meniup di dalam minuman.”
Seseorang berkata, “(Bagaimana bila) aku melihat kotoran di dalam bejana?”
Beliau berkata, “Tuangkanlah ia.”
Dia berkata, “Aku tidak bisa minum dengan satu napas?”
Beliau berkata, “Jauhkanlah bejana itu dari mulutmu.”[14]
Juga hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma:
أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى أَنْ يَتَنَفَّسَ فِي اْلإِنَاءِ أَوْ يَنْفُخُ فِيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bernapas di dalam bejana atau melarang untuk meniup padanya.”[15]
Lantas bagaimana dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
كاَنَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّراَبِ ثَلاَثًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bernapas tiga kali ketika minum.” (HR. al-Bukhari no. 5631 dan Muslim no. 2028)
Bukankah hadits ini bertentangan dengan hadits yang melarang bernapas pada bejana?
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa kedua hadits ini tidak bertentangan. Kata beliau, yang dimaksud hadits ini adalah di luar bejana, bukan di dalamnya, seperti yang disebutkan dalam hadits Abu Sa’id dan Ibnu ‘Abbas.
3.Menjilat tangan atau bejana
Termasuk pendidikan tawadhu’ dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika selesai makan, seseorang hendaknya menjilat tangannya. Ini bukan sifat kerakusan atau keluar dari adab yang Islami.
Sungguh, adab yang Islami adalah segala sesuatu yang sejalan dan seiring dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan adab ini,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ مِنَ الطَّعَامِ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا
“Apabila salah seorang dari kalian makan, janganlah dia usap tangannya sampai dia menjilatnya atau memberikan kepada orang lain untuk menjilatnya.”[16]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hikmahnya sebagai berikut,
فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي فِي أَيَّتِهِنَّ الْبَرَكَةُ
“Sesungguhnya, dia tidak mengetahui tempat terletaknya barakah.”
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maknanya, wallahu a’lam, janganlah dia mengusap tangannya sampai dia menjilatnya. Jika tidak dia lakukan, hendaknya dia berikan kepada orang lain untuk menjilatnya. Tentu saja, diberikan kepada orang-orang yang tidak merasa jijik dengan hal tersebut, seperti istri, budak, anak, atau pembantunya, yang mencintainya dan merasakan kenikmatan saat melakukannya.” (Syarah Shahih Muslim, 7/206)
Tentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Kalian tidak mengetahui tempat terletaknya barakah,” an-Nawawi juga menjelaskan, “Maknanya, wallahu a‘lam, makanan yang dimakan oleh seseorang mengandung barakah. Namun, manusia tidak mengetahui letak barakah tersebut. Bisa jadi, barakah tersebut ada pada makanan yang telah dia makan, pada apa yang tersisa di tangannya, yang masih ada di bejana, atau yang berjatuhan. Karena itu, sudah sepantasnya setiap orang memerhatikannya agar bisa mendapatkan barakahnya.” (Syarah Shahih Muslim, 7/206)
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang membenci perbuatan menjilat tangan (setelah makan) karena jijik. Perasaan jijik itu terjadi apabila dia menjilatnya saat makan. Sebab, setelah menjilatnya, dia mengambil makanan lagi dan di tangannya ada air liur.
Al-Khaththabi berkata, ‘Sekelompok orang menganggap bahwa menjilat jari adalah perbuatan kotor. (anggapan) ini disebabkan kerusakan akal mereka karena sifat angkuh. Seakan-akan, mereka tidak mengetahui bahwa makanan yang dijilat (yang berada) di tangannya atau di bejana makannya adalah bagian dari makanan yang telah mereka santap.
Jika semua bagian makanan tersebut tidak menjijikkan, bagaimana bisa sisa makanan yang sedikit akan menjijikkan? Menjilat jari tidaklah lebih besar urusannya dibanding dengan menjilat seluruh tangan (ketika makan). Sungguh, orang yang berakal tidak ragu bahwa hal itu tidak mengapa. Bahkan, terkadang seseorang berkumur-kumur lalu menggosok giginya dan seluruh bagian dalam mulutnya dengan jari-jemarinya, dan tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ini menjijikkan atau termasuk adab yang jelek.
Di dalam hadits ini terdapat anjuran mengusap tangan setelah makan.” (Fathul Bari, 9/662)
Beliau menjelaskan, “Dalam hadits Ka’b bin ‘Ujrah yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath terdapat tata cara menjilat jari-jemari, ‘Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan tiga jari: ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Kemudian aku melihat beliau menjilat ketiga jari beliau sebelum beliau mengelapnya. (Beliau memulai dengan) jari tengah, kemudian telunjuk, lalu ibu jari.’
Guru kami berkata dalam at- Tirmidzi, rahasianya adalah bahwa jari tengah lebih banyak terlumuri makanan. Jadi, sisa makanan padanya lebih banyak. Di samping itu, karena lebih panjang, tentu jari tengah lebih dahulu turun dan menyentuh makanan. Mungkin beliau menjilatnya mulai dari ujung ketiga jarinya menuju ke atas, apabila beliau memulai dari jari tengah lalu pindah ke jari telunjuk. Demikian juga ibu jarinya. Wallahu a’lam.” (lihat rujukan sebelumnya)
4. Memakan makanan yang sangat panas
Di antara yang banyak dilalaikan oleh mayoritas orang yang akan menyebabkan luputnya banyak barakah adalah memakan makanan atau minumam dalam keadaan sangat panas. Semestinya. kita makan atau minum dalam keadaan dingin atau tidak terlalu panas.
Apabila dibawakan tsarid kepada Asma’ bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anhuma, beliau menyuruh menutupnya hingga hilang panasnya yang sangat dan asapnya. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ini akan menyebabkan barakah lebih banyak’.”[17]
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Makanan tidak boleh dimakan kecuali setelah hilang asap panasnya.”[18]
Sungguh, para ulama mengecam orang-orang yang memakan makanan dalam keadaan yafur. Mereka memakan makanan yang panas sekali dan tidak bersabar menunggu sampai dingin.
Akibatnya, mulutnya akan terbakar dan matanya menangis. Terkadang mengakibatkan dia mengeluarkan makanan tersebut dari mulutnya atau dengan segera mengiringinya dengan meminum air dingin karena ususnya terbakar.
Pertanyaan: Ada beberapa minuman yang tidak diminum melainkan dalam keadaan panas, seperti teh dan sebagainya. Bagaimana jalan keluarnya?
Jawabnya: Hendaknya dia tunggu sampai hilang asap panasnya, kemudian baru dia minum, walaupun masih panas. Minumlah dengan tenang sambil menikmatinya.
--- 000 ---
Apa yang kita lakukan bila menjumpai makanan yang tidak kita disukai? Bolehkah kita mengucapkan sesuatu untuk menunjukkan ketidaksukaan kita? Pembahasan berikut masih melanjutkan adab-adab seputar makan, termasuk cara bersikap terhadap makanan yang kita tidak suka.
Ada beberapa hal dari pembahasan yang telah lewat yang belum disampaikan. Maka dalam pembahasan ini penulis ingin melengkapinya walaupun sesungguhnya belum secara menyeluruh. Mungkin perlu diangkat sebagai pelengkap dalam pembahasan terakhir ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Makan Bila Shalat akan Didirikan
Termasuk dari rahmat dan kasih sayang Allah bagi setiap orang yang beriman adalah adanya keringanan dan kemudahan yang telah diberikan oleh Allah di dalam pembebanan syariat-Nya. Ini sebagai bukti apa yang telah dijelaskan-Nya di dalam firman-Nya (artinya):
“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
“Allah menginginkan dari kalian kemudahan dan tidak menginginkan bagi kalian kesulitan.” (Al-Baqarah: 185)
Rasulullah bersabda:
“Agama itu mudah dan tidak ada seorangpun yang memaksakan diri melainkan akan dikalahkan (tidak akan sanggup).”[19]
Keringanan dan kemudahan yang diberikan oleh Allah kepada setiap hamba-Nya bertujuan untuk mengeluarkan mereka dari kesulitan yang menimpanya. Di antara kemudahan dan keringanan itu adalah apabila makanan telah dihidangkan dan dia sangat menginginkannya alias lapar maka dia berhak untuk memakannya walaupun shalat telah didirikan. Hal ini termasuk rukhshah dan udzur untuk meninggalkan shalat secara berjamaah.
Pertanyaan: Bolehkah kita mendahulukan hak diri kita di hadapan hak Allah? Bukankah hak Allah lebih didahulukan daripada hak manusia?
Jawab: Memang hak dasar adalah setiap hamba harus lebih mendahulukan hak Allah daripada hak manusia. Namun dalam permasalahan ini telah dijelaskan oleh Rasulullah di dalam sabda beliau:
“Apabila telah hadir makan malam dan shalat telah didirikan maka dahulukanlah makan malam.”[20]
Lalu bagaimana hukumnya bila kita menemukan keadaan demikian?
Menurut jumhur ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, bahwa perintah ini menunjukkan mustahab (sunnah). Namun setelah itu mereka berselisih. Di antara mereka ada yang memberikan persyaratan yaitu bila dia sangat membutuhkannya saat itu, sebagaimana hal ini masyhur di kalangan Asy-Syafi’iyyah dan Al-Ghazali menambahkan, yaitu apabila makanan tersebut menjadi rusak bila tidak dimakan.
Sebagian mereka tidak memberikan syarat sedikitpun. Ini adalah ucapan Al-Imam Ats-Tsauri, Al-Imam Ahmad dan Ishaq dan pendapat ini yang telah dipraktekkan oleh Ibnu Umar. Sementara Ibnu Hazm t memiliki pendapat yang berlebihan dalam hal ini, yaitu dia mengatakan batal shalatnya.
Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Al-Imam Malik bahwa beliau berpendapat, seseorang harus mendahulukan shalat bila makanan tersebut adalah ringan. Adapun para pengikutnya, mereka memberikan rincian yaitu mengerjakan shalat bila dirinya tidak terlalu terkait dengan makanan tersebut, atau bila dirinya terkait dengan makanan, tapi tidak membuat shalatnya tergesa-gesa, maka jangan mengakhirkan shalatnya.tapi bila membuat shalatnya tergesa-gesa, maka dia mendahulukan makanannya dan disunnahkan baginya untuk mengulangi shalatnya.” (lihat Fathul Bari, 2/188)
Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya meriwayatkan amalan Ibnu Umar secara mu’allaq: “Ibnu Umar mengerjakan makan malamnya dahulu.”
Nafi’ maula (bekas budak) Ibnu ‘Umar menjelaskan amalan majikannya dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari : “Apabila Ibnu ‘Umar dihidangkan makanan malam dan shalat telah didirikan maka beliau tidak mendatangi shalat sampai beliau selesai, dan beliau mendengar bacaan imam.”[21]
Al-Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan ucapan Abu Darda’ secara mu’allaq di dalam Shahih-nya: “Termasuk kefaqihan seseorang adalah dia mendahulukan hajatnya kemudian dia melaksanakan shalat dalam keadaan hatinya kosong (tidak memikirkan hajat itu -ed).”
Dari dalil-dalil di depan, kita bisa menyimpulkan bahwa untuk mempraktekkan nash tersebut ada beberapa hal yang sangat penting:
Pertama: Makanan tersebut telah dihidangkan
Kedua: Dia sangat menginginkan alias lapar
Ketiga: Dia sanggup untuk menyantapnya, artinya bukan dalam keadaan dia berpuasa atau makanan tersebut memudharatkan dirinya.
Demikianlah gambaran kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya dan kasih sayang-Nya untuk kemaslahatan hamba itu sendiri.
Demikian pula bentuk keringanan yang diberikan oleh Islam. Dan bukan termasuk keringanan di dalam Islam bila seseorang mencari-cari keringanan dari ucapan para ulama, lalu mengambil yang paling mudah yang mencocoki hawa nafsunya, sekalipun salah dan menyelisihi dalil.
Tentu cara seperti ini tidak akan bisa diterima oleh seorang muslim yang berakal jernih. Bahkan ini termasuk bermain-main dengan syariat, mengikuti hawa nafsu, lari dari hukum syariat, kelemahan iman, dan mengikuti bisikan setan.
Al-Imam Asy-Syathibi mengata-kan: “Mencari-cari keringanan kecenderungannya selalu diikuti oleh hawa nafsu. Sementara syariat melarang untuk mengikuti hawa nafsu, dan sikap seperti ini menyelisihi prinsip yang telah disepakati, yaitu firman Allah (artinya):
“Jika kalian berselisih dalam satu permasalahan maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An-Nisa`: 59)
Maka tidak boleh mengembalikannya kepada hawa nafsu.”
2. Menutup Makanan dan Bejana
Sebuah adab yang mulia demi kemaslahatan manusia dan sungguh tidak ada satupun yang luput melainkan telah disampaikan oleh pembawa syariat yaitu Rasulullah. Dan kesalahan itu terjadi dari manusia itu sendiri karena kekurangan yang ada pada mereka.
Di antara adab yang dituntunkan oleh Rasulullah kepada kita adalah menutup bejana dan makanan. Rasulullah telah menyebutkan beberapa hikmah padanya:
Pertama:
“Dari Jabir, dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: “Tutuplah bejana kalian, ikat tutup gentong, tutuplah pintu dan matikan lentera karena sesungguhnya setan tidak akan masuk ke dalam gentong, tidak membuka pintu dan tidak membuka bejana, dan kalau sekiranya salah seorang tidak menemukan sesuatu melainkan kayu diletakkan padanya dan dia menyebut nama Allah maka lakukanlah juga, karena sesungguhnya tikus akan membakar rumah dan penghuninya.”[22]
Mafhum hadits di atas, bila semuanya dalam keadaan terbuka maka setan akan masuk melaluinya.
Kedua: Sebuah hikmah yang belum diketahui oleh pakar ilmu kedokteran, yaitu apa yang telah disebutkan dalam hadits:
Dari Jabir bin Abdullah berkata aku telah mendengar Rasulullah n bersabda: “Tutuplah bejana kalian, dan ikatlah tutup gentong kalian karena di dalam satu tahun ada satu malam di antaranya di mana wabah turun. Dan tidaklah wabah tersebut melewati bejana yang tidak ditutup, atau gentong yang tidak tertutup melainkan akan turun padanya wabah tersebut.”[23]
Ketiga: Dengan ditutup, makanan atau bejana tersebut akan terpelihara dari kotoran-kotoran dan serangga yang kerap kali menyebabkan mudharat. Oleh karena itu Rasulullah dengan penuh ketegasan memerintahkan untuk menutupnya, meskipun dengan tangkai kayu sebagaimana dalam hadits di atas.
Pertanyaan: Apakah kulkas termasuk penutup bagi makanan yang dimasukkan ke dalamnya dengan tanpa penutup? Dan apakah kita akan selamat dari bahaya yang disebutkan di atas?
Jawab: Jawaban terhadap pertanyaan ini dari dua sisi pandang yaitu:
Pertama: Tidak termasuk penutup, karena yang dimaksudkan dengan adanya kulkas adalah mendinginkan dan mengawetkan makanan. Adapun penutup yang langsung, terdapat padanya hikmah-hikmah syariat.
Kedua: Ya, termasuk penutup, dari sisi bahwa kedua-duanya yaitu penutup langsung maupun kulkas merupakan penjaga dari segala yang diperingatkan oleh Rasulullah. Dan insya Allah inilah pendapat yang kuat. (Lihat kitab Adab Ath-Tha’am fis Sunnah Al-Muthahharah karya Al-Harits bin Zaidan Al-Mazidi, hal. 12)
3. Tidak Boleh Menghina Makanan
Semua yang kita makan dan minum merupakan rizki yang datang dari Allah I maka tidak boleh bagi kita menghina sedikitpun apa yang telah diberikan Allah. Rasululah mengajarkan kepada kita suatu adab yang mulia, yaitu ketika tidak menyukai makanan yang dihidangkan sebagaimana dalam hadits:
“Abu Hurairah berkata: “Rasulullah tidak pernah mencerca makanan sama sekali. Bila beliau menginginkan sesuatu beliau memakannya dan bila tidak suka beliau meninggalkannya.”[24]
4. Jangan Tidur Sebelum Membasuh Tangan
Ini juga termasuk dari sekian adab yang dibimbingkan oleh Rasulullah kepada kita semua. Dan kita yakin bahwa dalam setiap bimbingan ada hik-mah dan barakah padanya. Sebagai-mana dalam hadits:
“Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah bersabda: “Barangsiapa tertidur dan di tangannya terdapat lemak (kotoran bekas makan) dan dia belum mencucinya lalu dia tertimpa oleh sesuatu, maka janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.”[25]
5. Berdoa Selesai Makan
Adab Islami dalam tata cara makan yang telah diajarkan oleh Rasulullah n yaitu memulai dengan menyebut nama Allah dengan mengucapkan “Bismillah” sebagaimana dalam pembahasan yang telah lalu. Dan kita dianjurkan juga untuk menutupnya dengan menyebut nama Allah sebagai bentuk syukur dan sebagai bentuk mengingat keutamaan Allah dan rizki-Nya kepada kita.
Dari Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhani, dari bapaknya, dari Nabi n, beliau bersabda: “Barangsiapa memakan makanan dan dia mengatakan: ‘Segala puji milik Allah yang telah memberiku makan, dan memberikanku rizki dengan tanpa ada daya dan kekuatan dariku,’ maka akan diampuni dosanya.”[26]
Apakah ada doa yang lain yang bisa dibaca setelah makan?
Ada doa selain ini dan boleh dibaca selama doa tersebut benar datang dari Rasulullah.
Penutup
Demikianlah beberapa dari sekian adab makan Islami yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada kita. Semua maslahatnya akan kembali kepada kita.
Semoga Allah memberikan kekuatan dan keistiqamahan dalam menjalankan Sunnah Rasulullah dan memberikan kemudahan kepada kita untuk berjalan menuju kemulian hidup dunia dan akhirat. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah an-Nawawi
[1] HR. al-Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad no. 287 dan asy-Syaikh al-Albani di dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 220 dan Silsilah ash-Shahihah no. 881, beliau mengatakan haditsnya hasan lighairihi.
[2] HR. al-Imam Muslim no. 605 dari Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu.
[3] HR. al-Imam Muslim no. 692
[4] HR. Abu Dawud no. 3838 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud 2/727, no. 3251 dan dalam al-Irwa’, 1/72.
[5] HR. Abu Dawud no. 3839 dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalamShahih Sunan Abu Dawud 2/726, no. 3240 dan al-Irwa’, 1/74.
[6] HR. al-Bukhari no. 5633
[7] HR. al-Bukhari no. 5634
[8] HR. Muslim no. 5358
[9] HR. at-Tirmidzi no. 1936 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan at-Tirmidzi 2/167, no. 1513 dari ‘Aisyahradhiallahu ‘anha.
[10] HR. Ahmad (4/5062/375) dan Abu asy-Syaikh dalam kitab Akhlaq an-Nabi hlm. 238 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitabSilsilah Ahadits sahihah 1/152 no. 71
[11] HR. al-Bukhari no. 5376
[12] HR. Muslim
[13] HR. Muslim no. 2018
[14] HR. ad-Darimi dalam Sunan beliau no. 2029, Malik dalam al-Muwaththa’ 2/945, at-Tirmidzi no. 1887, dan Ahmad 3/32. Semuanya dari jalan Ayyub bin Habib, dia mendengar Abu Mutsanna an-Nuhani menyebutkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu.
Hadits ini dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1538 dan ash-Shahihah no. 385.
[15] HR. at-Tirmidzi dalam Sunan beliau no. 1975, Ibnu Majah no. 3429, Abu Dawud no. 3728. Semuanya dari jalan ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Hadits ini dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1539, Shahih Sunan Abu Dawud no. 3171, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2768, al-Misykat no. 4277, dan al-Irwa’ no. 1977.
[16] Hadits ini diriwayatkan dari beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
– Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu(HR. al-Bukhari no. 5456, Muslim no. 2031, Ahmad no. 3319, Abu Dawud no. 3349, Ibnu Majah no. 3260 dan ad-Darimi no. 1940) – Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu(HR. Muslim no. 2033, Ahmad no. 14410, Ibnu Majah no. 2261)
– Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu (HR. Muslim no. 2032, Abu Dawud no. 4450, Ahmad no. 25914 dan ad-Darimi no. 1946)
[17] HR. ad-Darimi 2/100; Ibnu Hibban no. 1344; al-Hakim 4/118; Ibnu Abid Dunya dalam al-Ju’, 14/2, dan al-Baihaqi 7/280; dari jalan Qurrah bin Abdur Rahman, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin az-Zubair, dari Asma’ bintu Abu Bakr; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah no. 392 dan al-Irwa’ pada penjelasan hadits no. 1978.
[18] HR. al-Baihaqi, 7/280; dan dihukumi sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 1978.
[19] Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 38 dari shahabat Abu Hurairah z
[20] Hadits ini datang dari beberapa shahabat Nabi, di antaranya ‘Aisyah, Anas bin Malik dan Abdullah bin ‘Umar, dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 671, 672, 673 dan 674, Al-Imam Muslim no. 557, 558, 559 dan 560 dan selain mereka berdua.
[21] Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 672
[22] Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2012 dan Ibnu Majah no. 3401
[23] Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2014
[24] Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim
[25] Dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud no. 3852, Al-Imam Ibnu Majah no. 3297 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3262, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2666, di dalam Al-Misykat no. 4219 dan di dalam kitan Ar-Raudh no. 823
[26] Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 4023, Ibnu Majah no. 3285 dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3394, di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2656, di dalam kitab Al-Irwa’ no. 1989, Ta’liq Ar-Raghif 3/100 dan di dalam kitab Takhrij Al-Kalimut Thayyib 187.
Sumber : Akhlak, Asy Syariah Edisi 016 , Akhlak, Asy Syariah Edisi 018, Asy Syariah Edisi 019
15 November 2011 & 16 November 2011
http://asysyariah.com/makan-ala-islam/
http://asysyariah.com/makan-ala-islam-3-2/
http://asysyariah.com/makan-ala-islam-3/
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi