Kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah menimbulkan ketidaksenangan kalangan Yahudi yang tinggal di negeri tersebut. Masuk Islamnya tokoh mereka Abdullah bin Salam dan turunnya syariat tentang perpindahan kiblat adalah sebagian persoalan yang memicu gesekan dengan kaum muslimin. Puncaknya, beberapa kabilah besar mereka seperti bani Nadhir, bani Qainuqa’, dan bani Quraizhah menyatakan perang dengan umat Islam setelah sebelumnya mengkhianati perjanjian damai yang telah dibuat.
Setibanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah, Abdullah bin Salam datang menemui beliau dan bertanya kepada beliau. al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
قَالَ بَلَغَ عَبْدَاللهِ بْنَ سَلامٍ مَقْدَمُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنِّي سَائِلُكَ عَنْ ثَلاثٍ لا يَعْلَمُهُنَّإِلا نَبِيٌّ قَالَ مَا أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ وَمَا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ وَمِنْ أَيِّ شَيْءٍ يَنْزِعُ الْوَلَدُ إِلَى أَبِيهِ وَمِنْ أَيِّ شَيْءٍيَنْزِعُ إِلَى أَخْوَالِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَّرَنِي بِهِنَّ آنِفًا جِبْرِيلُ قَالَ فَقَالَ عَبْدُاللهِ ذَاكَ عَدُوُّ الْيَهُودِ مِنَالْمَلائِكَةِ
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ فَنَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنَ الْمَشْرِقِ إِلَى الْمَغْرِبِ وَأَمَّا أَوَّلُطَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَزِيَادَةُ كَبِدِ حُوتٍ وَأَمَّا الشَّبَهُ فِي الْوَلَدِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشِيَ الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشَّبَهُ لَهُوَإِذَا سَبَقَ مَاؤُهَا كَانَ الشَّبَهُ لَهَا قَالَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللهِ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ الْيَهُودَ قَوْمٌ بُهُتٌ إِنْ عَلِمُوابِإِسْلامِي قَبْلَ أَنْ تَسْأَلَهُمْ بَهَتُونِي عِنْدَكَ
فَجَاءَتِ الْيَهُودُ وَدَخَلَ عَبْدُاللهِ الْبَيْتَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ رَجُلٍ فِيكُمْ عَبْدُاللهِ بْنُ سَلامٍ قَالُوا أَعْلَمُنَاوَابْنُ أَعْلَمِنَا وَأَخْيرُنَا وَابْنُ أَخْيَرِنَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَرَأَيْتُمْ إِنْ أَسْلَمَ عَبْدُاللهِ قَالُوا أَعَاذَهُ اللهُ مِنْذَلِكَ فَخَرَجَ عَبْدُاللهِ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ فَقَالُوا شَرُّنَا وَابْنُ شَرِّنَا وَوَقَعُوافِيهِ
“Sampai kepada Abdullah bin Salam berita tentang kedatangan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Iapun menemui beliau dan berkata, ‘Saya bertanya kepada Anda tiga hal yang tidak diketahui siapa pun kecuali oleh seorang nabi. (Pertama): Apa tanda kiamat yang pertama; (kedua) apa yang dimakan pertama kali oleh penduduk jannah (surga); (terakhir), bagaimana terjadinya kemiripan anak dengan ayahnya atau dengan akhwal (paman dari pihak ibu)-nya.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Baru saja Jibril menerangkan kepada saya.’
Abdullah menukas, ‘Jibril itu musuh orang-orang Yahudi dari kalangan malaikat.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan, ‘Adapun tanda kiamat yang pertama adalah munculnya api yang menggiring manusia dari timur ke barat. Yang pertama kali dimakan penduduk jannah adalah ziyadah kabid hut[1]. Adapun kemiripan itu terjadi jika mani seorang laki-laki lebih dahulu naik daripada mani wanita, maka terjadi kemiripan dengan ayahnya. Jika mani wanita lebih dahulu, akan terjadi kemiripan dengan akhwalnya.[2]
Abdullah bin Salam berkata, ‘Saya bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah. Ya Rasulullah, orang-orang Yahudi adalah pendusta besar. Jika mereka mengetahui keislamanku sebelum Anda tanyakan kepada mereka, tentu mereka mendustakanku di sisimu.’
Beliau memanggil orang Yahudi, dan mereka pun datang. Sementara Abdullah masuk bersembunyi di dalam salah satu rumah. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kedudukan Abdullah bin Salam di tengah-tengah kalian?’
Kata mereka, ‘Ia orang yang paling alim di antara kami, putra orang alim kami. Dia orang terbaik di kalangan kami dan putra orang terbaik kami.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Bagaimana pendapat kalian jika Abdullah masuk Islam?’
Kata mereka, ‘Semoga Allah melindunginya dari hal itu.’
Lalu keluarlah Abdullah menemui mereka dan berkata, ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah.’
Serta-merta mereka berkata, ‘Dia adalah orang paling jahat di antara kami, putra penjahat kami’.”
Ibnu Hajar mengatakan (al-Fath, 7/344): Ibnu Ishaq menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perjanjian damai dengan (ketiga kabilah) Yahudi ketika tiba di Madinah, dalam keadaan mereka menolak untuk mengikuti beliau. Beliau pun membuat kesepakatan di antara mereka. Namun di kemudian hari, ketiga kabilah itu satu per satu melanggar perjanjian itu. Mereka diperangi. Bani Qainuqa’ masih diberi kesempatan tinggal di Madinah, bani Nadhir diusir keluar Madinah, dan bani Quraizhah ditumpas, harta mereka dijadikan ghanimah, anak istri mereka dijadikan budak dan tawanan. (Tentang mereka Insya Allah akan dikisahkan pada edisi selanjutnya –pen)
Kembali Menghadap Baitul Haram (Ka’bah)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari al-Barra bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu,قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللهِصَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللهُ ) قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ( فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِوَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ وَهُمُ الْيَهُودُ )مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمِ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْيَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ( فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنَالأَنْصَارِ فِي صَلاةِ الْعَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ هُوَ يَشْهَدُ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ تَوَجَّهَنَحْوَ الْكَعْبَةِ فَتَحَرَّفَ الْقَوْمُ حَتَّى تَوَجَّهُوا نَحْوَ الْكَعْبَةِ
“Pada mulanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha di Palestina) selama enam atau tujuh belas bulan. Beliau sangat suka jika diperintah menghadap ke arah Ka’bah sehingga Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ
(Sungguh kami sering melihat mukamu menengadah ke langit).[3]
Kemudian beliau pun berbalik menghadap Ka’bah. Lalu berkomentarlah orang-orang yang lemah akalnya di antara manusia, yakni orang-orang Yahudi, seperti disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمِ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ للهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
‘Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?’ Katakanlah, ‘Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki- Nya ke jalan yang lurus’).[4]
Ada seorang sahabat yang shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai, pulanglah ia dari masjid dan melewati sekelompok muslimin dari kalangan Anshar yang sedang melakukan shalat ‘Ashar menghadap Baitul Maqdis. Kemudian dia mengatakan bahwa dia telah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdan beliau telah menghadap ke arah Ka’bah. Serentak, orang-orang tersebut berpaling menghadap ke arah Ka’bah.”
Permasalahan ini kemudian memicu perdebatan di kalangan orang-orang yang lemah akalnya. Ini seperti yang diterangkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ
“Dan sungguh (perpindahan kiblat) itu amat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah.” (al-Baqarah: 143)
Dalam perubahan arah kiblat yang tadinya menghadap Baitul Maqdis kemudian bergeser ke arah Ka’bah ini, terkandung hikmah yang sangat besar. Sekaligus juga merupakan ujian bagi kaum muslimin, orang-orang musyrik, Yahudi, dan orang-orang munafik.
Adapun kaum muslimin, mereka akan mengatakan (terhadap semua yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala), seperti yang diterangkan Allah subhanahu wa ta’ala,
ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ
“Kami beriman dengannya, semua itu adalah dari sisi Rabb kami.” (Ali‘Imran: 7)
Merekalah yang diberi petunjuk oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang berat bagi mereka.
Adapun orang-orang musyrik, mereka akan berkata, “Sebagaimana dia telah kembali kepada kiblat kita, boleh jadi nanti dia juga akan kembali kepada agama kita. Dan sesuatu yang dia kembali kepadanya tentulah suatu kebenaran.”
Orang-orang Yahudi mengatakan, “Dia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah menyelisihi kiblat para nabi sebelumnya. Kalau dia memang seorang nabi, tentulah dia shalat menghadap ke arah kiblat para nabi.”
Orang-orang munafik berkata, “Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak tahu ke mana dia harus menghadap. Jika yang pertama itu yang benar, berarti dia telah meninggalkannya. Dan seandainya yang kedua yang benar, berarti selama ini dia di atas kebatilan.”
Ketika permasalahan kiblat ini menjadi persoalan yang besar, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan sebelumnya masalah nasikh mansukh dan kodrat-Nya terhadap hal tersebut. Dikatakan oleh para ulama bahwa perpindahan kiblat ini merupakan masalah nasikh mansukh pertama dalam Islam.
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, berkaitan dengan perpindahan kiblat ini, dalam tafsirnya (hlm. 70) menerangkan, “Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan akan munculnya ejekan dari orang-orang yang kurang akalnya, mereka yang tidak mengerti kemaslahatan diri mereka sendiri, bahkan menelantarkan dan menjualnya dengan harga jual yang sangat rendah. Yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam menentang hukum-hukum dan syariat Allahsubhanahu wa ta’ala….
Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan, sudah tentu orang-orang yang kurang akalnya ini akan mempertanyakan,
مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمِ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا
“Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?”
Yakni, apa yang menyebabkan mereka berpindah dari Baitul Maqdis?
Sikap seperti ini merupakan sikap tidak setuju (protes) terhadap ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala, syariat, karunia dan kebaikan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala menghibur Rasul-Nya dan kaum mukminin. Dia menjelaskan bahwa hal itu pasti terjadi dan munculnya justru datang dari orang-orang yang kurang akalnya sehingga janganlah memedulikan mereka.
Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala tidak membiarkan syubhat (berupa pertanyaan-pertanyaan) yang muncul sehubungan dengan perpindahan tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala menguraikan dan membantah syubhat tersebut dengan menyatakan,
قُل لِّلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ يَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ١٤٢
“Katakanlah (Ya Muhammad, sebagai jawaban atas komentar mereka). Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.” (al-Baqarah: 142)
Artinya, jika timur dan barat itu jelas-jelas milik Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada satu arah pun yang keluar dari kekuasaan dan kepemilikan Allah subhanahu wa ta’ala. Di samping itu, Dia pula yang memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Dari-Nya pula, hidayah untuk menghadap kiblat yang merupakan peninggalan dari ajaran bapak kalian Ibrahim ‘alaihissalam.
Atas dasar apa orang-orang yang kurang akalnya itu mencemooh kalian ketika kalian berpindah menghadap kiblat yang jelas-jelas berada di bawah kekuasaan dan kepemilikan Allah subhanahu wa ta’ala?
Hal ini seharusnya mendorong terwujudnya sikap tunduk menerima perintah Allah subhanahu wa ta’ala meski hanya dengan berita atau dalil ini saja….
Artinya, karena semua ini adalah hidayah dan kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala kepada kalian, maka mereka yang memprotes atau mencemooh kalian itu berarti menentang turunnya karunia dan kebaikan Allahsubhanahu wa ta’ala kepada kalian karena dengki dan dendam terhadap kalian.”
Semua ini ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah untuk menyempurnakan nikmat-Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallamdan kaum mukminin.
Perintah Jihad
Kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin kokoh di Madinah. Allah subhanahu wa ta’ala menolong beliau melalui hamba-hamba-Nya dari kalangan al-Anshar serta Allah subhanahu wa ta’alasatukan hati kaum Muhajirin dan Anshar. Padahal sebelumnya mereka dalam permusuhan dan silang sengketa. Akhirnya, Ansharullah (para penolong Allah subhanahu wa ta’ala) ini membela Nabi- Nya, mencurahkan seluruh jiwa raga dan harta mereka serta mendahulukan kecintaan mereka terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya di atas kecintaan mereka terhadap orang tua, istri, dan anak-anak mereka.Kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama bagi mereka daripada diri mereka sendiri. Ketika kaum musyrikin dan orangorang Yahudi menyerang beliau dalam satu barisan (dengan permusuhan mereka), bangkitlah para pembela Nabi menghadapi musuh-musuh tersebut. Sementara itu, Allah subhanahu wa ta’alasenantiasa memerintahkan untuk bersabar dan memaafkan, namun keadaan semakin genting. Akhirnya Allah subhanahu wa ta’alamengizinkan mereka untuk balas menyerang dalam satu pertempuran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصرِهِمۡ لَقَدِيرٌ ٣٩
“Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.” (al-Hajj: 39)
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan perintah tersebut dimulai. Ada yang mengatakan di Makkah dan ada pula yang berpendapat hal itu bermula di Madinah. Wallahu a’lam. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’alamemerintahkan mereka untuk berperang menghadapi orang-orang yang memerangi mereka. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu.” (al-Baqarah: 190)
Jihad dan Keutamaannya
Sebenarnya jihad itu sendiri secara umum merupakan suatu kewajiban individual, berlaku bagi setiap muslim, baik dengan hati, lisan, maupun harta. Adapun jihad dengan jiwa dan raga (berperang), hukumnya fardhu kifayah[5]. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ هَلۡ أَدُلُّكُمۡ عَلَىٰ تِجَٰرَةٖ تُنجِيكُم مِّنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ ١٠تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١١ يَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ وَيُدۡخِلۡكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةٗ فِي جَنَّٰتِ عَدۡنٖۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٢ وَأُخۡرَىٰ تُحِبُّونَهَاۖ نَصۡرٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَتۡحٞ قَرِيبٞۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ١٣
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul- Nya, serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya) Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (ash-Shaff: 10—13)
Allah subhanahu wa ta’ala juga menerangkan,
إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَيَقۡتُلُونَ وَيُقۡتَلُونَۖ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan jannah (surga) untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh….” (at-Taubah: 111)
Ketika semakin banyak yang mengaku cinta, mereka dituntut untuk membuktikan pengakuan cinta mereka itu. Allah subhanahu wa ta’alaberfirman,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah, red), niscaya Allah mencintai kamu….” (Ali ‘Imran: 31)
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan tanda bukti bagi orang-orang yang mencintai- Nya dengan dua hal: ittiba’ (mengikuti) Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Karena sesungguhnya jihad adalah hakikat suatu ijtihad (kesungguhan) dalam memperoleh apa yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, berupa iman dan amal saleh, serta menjauhkan apa yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala seperti kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.
Al-Jihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dan kekuatan dalam upaya meraih hal-hal yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhkan apa yang dibenci-Nya. Dengan demikian, jika seorang hamba meninggalkan jihad di mana dia sebenarnya mampu menunaikannya, ini menunjukkan kelemahan cintanya kepada Allahsubhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Cinta tak mungkin diraih—umumnya demikian—kecuali dengan memikul (merasakan) berbagai hal yang tidak disukai. Padahal orang yang beriman sangatlah hebat cintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
غَدْوَةٌ أَوْ رَوْحَةٌ فِي سَبِيلِ اللهِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَ
“Berangkat di awal siang atau di akhir siang (untuk berjihad) di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, lebih baik daripada dunia dan seisinya.”(Sahih, HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, dari Sahl bin Sa’d as-Sa’idi, Abu Hurairah, dan lainnya radhiallahu ‘anhum)
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ فَإِذَا سَأَلْتُمُاللهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
“Sesungguhnya di surga ada 100 tingkat yang disediakan oleh Allahsubhanahu wa ta’ala bagi para mujahidin di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, yang jarak antara satu tingkat ke tingkat lainnya seperti jarak antara langit dan bumi. Maka jika kamu minta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mintalah surga Firdaus karena dia terletak di surga yang paling tengah dan paling tinggi, di atasnya adalah ‘Arsy Allah Yang Maha Pemurah dan dari situlah terpancarnya sungai-sungai di surga.” (Sahih,HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Sa’id al-Khudriradhiallahu ‘anhu,
يَا أَبَا سَعِيدٍ، مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ. فَعَجِبَ لَهَا أَبُو سَعِيدٍ فَقَالَ: أَعِدْهَا عَلَيَّ يَارَسُولَ اللهِ. فَفَعَلَ ثُمَّ قَالَ: وَأُخْرَى يُرْفَعُ بِهَا الْعَبْدُ مِائَةَ دَرَجَةٍ فِي الْجَنَّةِ مَا بَيْنَ كُلِّ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ.قَالَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Hai Abu Sa’id, siapa yang ridha Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya, dia pantas memperoleh surga.”
Abu Sa’id merasa takjub dan berkata, “Ulangi untukku, ya Rasulullah.”
Beliau mengulanginya dan berkata, “Yang lain, dengan itu seorang hamba diangkat derajatnya 100 tingkat di dalam surga, yang jarak antara dua tingkatnya seperti jarak langit dan bumi.”
Kata Abu Sa’id, “Apakah itu, ya Rasulullah?” Beliau berkata,”Jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.”(HR. Muslim no. 4856)
Pasukan ‘Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu
Pada bulan Rajab, bulan ke 17 setelah hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diutuslah pasukan kecil berjumlah 12 orang dari Muhajirin. Setiap dua orang dari mereka mengendarai seekor unta. Akhirnya mereka tiba di Nakhlah untuk mengintai kafilah dagang Quraisy. Dalam ekspedisi ini, ‘Abdullah bin Jahsy dijuluki Amirul Mukminin dan memegang sepucuk surat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang tidak boleh dibaca kecuali setelah dua hari perjalanan.Setelah menempuh perjalanan dua hari, barulah surat itu dibaca, di antara isinya menyebutkan, “Kalau engkau membaca surat ini, lanjutkan perjalanan hingga tiba di Nakhlah, antara Makkah dan Thaif. Amatilah kafilah Quraisy dan carilah berita untuk kami tentang mereka.” ‘Abdullah menyambut dengan semangat lalu menyampaikannya kepada para sahabatnya. Dia tidak memaksa mereka, siapa yang mau ikut mencari syahadah, segera berangkat, siapa yang tidak suka boleh pulang. Adapun ‘Abdullah berketetapan untuk berangkat.
Ternyata, mereka berangkat seluruhnya. Di tengah perjalanan, unta tunggangan Sa’d bin Abi Waqqash dan ‘Utbah bin Ghazwan tersesat. Keduanya terpaksa mencarinya hingga menjauh dari pasukan ‘Abdullah. Setiba di Nakhlah, lewatlah kafilah dagang Quraisy membawa kismis, kulit, dan dagangan lainnya. Di dalam kafilah itu terdapat ‘Amr bin al-Hadhrami, ‘Utsman dan Naufal (keduanya putra Abdullah bin al-Mughirah), juga al- Hakam bin Kaisan, maula (bekas budak) bani al-Mughirah.
Pasukan Islam tersebut akhirnya bermusyawarah mengingat saat itu adalah akhir bulan Rajab, salah satu bulan Haram (suci). Jika mereka menyerang, berarti melanggar kehormatan bulan haram ini. Namun, jika kaum musyrikin Quraisy dibiarkan malam ini, niscaya mereka masuk ke wilayah Haram (Makkah). Akhirnya, mereka sepakat untuk menyerang. Salah seorang pasukan muslim berhasil memanah ‘Amr bin al-Hadhrami hingga tewas. Kemudian mereka menawan al-Hakam dan ‘Utsman. Sementara itu, Naufal berhasil lolos.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengingkari Perbuatan Mereka
Pasukan kembali ke Madinah membawa tawanan dan rampasan perang yang telah dipisahkan seperlimanya (al-khumus). Ini adalah pertempuran, tawanan, dan rampasan perang pertama di dalam Islam.Namun ternyata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan mereka. Di sisi lain, peristiwa ini menjadikan orang-orang kafir Quraisy semakin hebat permusuhan dan penentangannya. Mereka merasa mendapat celah untuk menjatuhkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin.
Mereka menuduh kaum muslimin telah melanggar kehormatan bulan Rajab sebagai bulan Haram. Hal ini sangat menyusahkan kaum muslimin. Mereka mencela pasukan tersebut. Akhirnya Allah subhanahu wa ta’alamenurunkan firman-Nya,
يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلشَّهۡرِ ٱلۡحَرَامِ قِتَالٖ فِيهِۖ قُلۡ قِتَالٞ فِيهِ كَبِيرٞۚ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَكُفۡرُۢ بِهِۦ وَٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ وَإِخۡرَاجُ أَهۡلِهِۦ مِنۡهُ أَكۡبَرُ عِندَ ٱللَّهِۚ وَٱلۡفِتۡنَةُ أَكۡبَرُ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۗ
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh…’.” (al-Baqarah: 217)
Allah subhanahu wa ta’ala dengan tegas menyatakan, bahwa apa yang diingkari itu, jika dikatakan (dosa) besar, maka kekafiran kepada Allahsubhanahu wa ta’ala, menghalangi manusia dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala (untuk beriman), merintangi mereka dari rumah Allah subhanahu wa ta’ala (untuk beribadah di Masjidil Haram), mengusir kaum muslimin dari tanah haram serta kesyirikan yang dikerjakan berikut fitnah yang timbul akibat kesyirikan itu, jauh lebih besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala daripada pembunuhan yang dilakukan di bulan-bulan haram (Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab)
Di sini, Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan keadilan-Nya, tidak berat sebelah, baik terhadap musuhnya maupun para walinya. Artinya, Allahsubhanahu wa ta’ala tidak mentolerir perbuatan kaum muslimin berperang di bulan haram ini, bahkan tetap menganggapnya (dosa) besar. Tetapi apa yang dilakukan oleh orangorang kafir jauh lebih parah dan lebih besar. Sehingga mereka (orang-orang kafir) itu lebih pantas untuk mendapat celaan dan hukuman. Apalagi dalam hal ini, para wali-Nya (kaum mukminin) melakukan pembunuhan tersebut berdasarkan takwil.
Setelah turunnya ayat ini, yang Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kelonggaran bagi kaum muslimin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenahan rampasan dan para tawanan tersebut. Akhirnya datanglah utusan dari Quraisy menebus ‘Utsman dan al- Hakam. Namun, ditolak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan kedua sahabatnya, Sa’d bin Abi Waqqash dan ‘Utbah bin Ghazwan (yang mencari unta tunggangan mereka) belum ketahuan rimbanya. Khawatir, kalau-kalau keduanya juga terbunuh.
Setelah kedua sahabat tersebut muncul, barulah kedua tawanan itu dilepaskan dengan tebusan tadi. Adapun al-Hakam segera masuk Islam dan baik Islamnya, sedangkan ‘Utsman kembali ke Makkah dan mati dalam kekafiran.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] Yakni potongan yang menempel di hati, dikatakan sebagai makanan paling lezat. (Fathul Bari, 7/341)
[2] Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menerangkan, ada enam hal tentang masalah ini:
- Jika mani laki-laki lebih banyak dan lebih dahulu, anak itu laki-laki dan mirip dengan ayahnya.
- Sebaliknya,
- Jika mani perempuan lebih banyak tetapi mani pria lebih dahulu, anak laki-lakinya mirip dengan ibunya.
- Sebaliknya,
- Jika mani laki-laki sama banyak dengan mani wanita tetapi lebih dahulu, anaknya laki-laki.
- Wallahu a’lam. (Fathul Bari 7/342)
[3] Al-Baqarah: 144
[4] Al-Baqarah: 142
[5] Kewajiban yang apabila telah ada sebagian yang menjalankannya, maka yang lain yang tidak mengerjakannya, tidaklah berdosa. Wallahu a’lam. –red.
Sumber : Asy Syariah Edisi 010, Jejak dan Asy Syariah Edisi 011, Jejak
14 November 2011
http://asysyariah.com/masyarakat-madinah/
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi