Aktivitas ulama dalam berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar, meneliti hadits, dsb, sering dituding sebagai bentuk ketidakpekaan dalam menyikapi kondisi kekinian umat. Repotnya, mereka yang menuding justru sibuk dengan parpol dan segala tetek bengeknya.
Dengan masuk sistem—meski bertentangan dengan Islam—, mereka merasa telah berada di garda terdepan dalam perjuangan membela umat. Di tempat lain, sebagian umat Islam justru sibuk menebar agitasi dan teror dengan mengatasnamakan Islam. Mereka lupa, bahwa bimbingan agama merupakan solusi sekaligus jawaban dari persoalan umat.
Tingginya Kedudukan Ulama
Predikat orang alim, berilmu, dan menguasai urusan agama (syariat) merupakan anugerah agung dari Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat Yang Maha Berilmu. Titian jalan yang ditempuhnya senantiasa mendapat iringan berkah Ilahi. Kedudukannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala pun berada pada tingkatan yang tinggi lagi mulia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, kita dapati orang-orang yang berilmu selalu menyandang pujian. Setiap (nama mereka) disebut, pujian pun tercurah untuk mereka. Ini merupakan wujud diangkatnya derajat (mereka) di dunia. Adapun di akhirat, akan menempati derajat yang tinggi lagi mulia sesuai dengan apa yang mereka dakwahkan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan realisasi dari ilmu yang mereka miliki.” (Kitabul Ilmi, hlm.14)
Merekalah sejatinya referensi utama dalam menyibak perkara-perkara yang musykil. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Oleh karena itu, keberadaan mereka di tengah umat sangatlah berarti, sedangkan ketiadaan mereka merupakan suatu bencana.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Selagi para ulama masih ada, umat pun masih dalam kebaikan. Para setan dari kalangan jin dan manusia tidak akan leluasa untuk menyesatkan mereka. Karena para ulama tidak akan tinggal diam untuk menerangkan jalan kebaikan dan kebenaran sebagaimana mereka selalu memperingatkan umat dari jalan kebinasaan.” (Ma Yajibu fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 7)
Teladan Salafush Shalih dalam Memuliakan Ulama
Bila kita buka catatan sejarah, niscaya akan kita lihat kehidupan assalafus shalih yang diwarnai oleh akhlakul karimah. Memuliakan dan menjunjung tinggi ulama merupakan bagian dari prinsip kehidupan mereka. Perhatikanlah secercah cahaya dari kehidupan mereka ini:- Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, suatu hari menuntun hewan tunggangan yang dinaiki sahabat Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu, seraya beliau berkata, “Seperti inilah kita diperintah dalam memperlakukan ulama.”
- Ketika al-Imam al-Auza’i rahimahullah menunaikan ibadah haji dan masuk ke kota Makkah, maka al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah menuntun tali kekang ontanya seraya mengatakan, “Berilah jalan untuk Syaikh!” Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menggiring onta tersebut (dari belakang) hingga mereka persilahkan al-Auza’i duduk di sekitar Ka’bah. Kemudian mereka berdua duduk di hadapan al-Imam al-Auza’i rahimahullah untuk menimba ilmu darinya.
- Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Dahulu aku membuka lembaran-lembaran kitab di hadapan al-Imam Malik rahimahullahdengan perlahan-lahan agar tidak terdengar oleh beliau, karena rasa hormatku kepada beliau yang sangat tinggi.” (Dinukil dari Kitab ad-Diin wal ‘Ilm, hlm. 27)
Demikianlah seharusnya yang terpatri dalam hati sanubari setiap insan muslim, tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap ulama dan nabi mereka. Tidak pula seperti ahlul bid’ah yang selalu melecehkan ulama umat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Wajib bagi seluruh kaum muslimin—setelah mencintai Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya—untuk mencintai orang-orang yang beriman sebagaimana yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an, terkhusus para ulama sang pewaris para nabi, yang diposisikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala bagaikan bintang-bintang di angkasa yang jadi petunjuk arah di tengah gelapnya daratan ataupun lautan. Kaum muslimin pun sepakat bahwa para ulama merupakan orang-orang yang berilmu dan dapat membimbing ke jalan yang lurus.” (Raf’ul Malam ‘Anil Aimmatil A’lam, hlm. 3)
Lebih dari itu, melecehkan ulama merupakan ghibah dan namimah yang paling berat (termasuk dosa besar). Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Menggunjing ulama, melecehkan, dan menjelek-jelekkan mereka merupakan jenis ghibah dan namimah yang paling berat, karena dapat memisahkan umat dari ulamanya dan menjadi sebab terkikisnya kepercayaan umat kepada mereka. Jika ini terjadi, akan muncul kejelekan yang besar.” (Ma Yajibu fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 17)
Kebejatan Akhlak Orang-Orang Yahudi Terhadap Ulama dan Para Nabi
Tatanan kehidupan mulia ini yakni memuliakan ulama, sangatlah jauh dari kehidupan orang-orang Yahudi. Titah Ilahi yang terkandung di dalam al-Qur’an telah cukup menggambarkan bagaimana bejatnya akhlak mereka terhadap ulama. Bahkan terhadap para nabi yang diutus Allahsubhanahu wa ta’ala kepada mereka. Pelecehan, penghinaan, bahkan pembunuhan kerap mereka lakukan terhadap orang-orang mulia itu.قَالُواْ يَٰمُوسَىٰٓ إِنَّا لَن نَّدۡخُلَهَآ أَبَدٗا مَّا دَامُواْ فِيهَا فَٱذۡهَبۡ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَٰتِلَآ إِنَّا هَٰهُنَا قَٰعِدُونَ ٢٤
“Mereka berkata, ‘Wahai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya (menaklukkan Palestina), selagi mereka (orang-orang yang gagah perkasa itu) ada di dalamnya. Maka dari itu pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (al-Maidah: 24)
وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا مُوسَى ٱلۡكِتَٰبَ وَقَفَّيۡنَا مِنۢ بَعۡدِهِۦ بِٱلرُّسُلِۖ وَءَاتَيۡنَا عِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَيَّدۡنَٰهُ بِرُوحِ ٱلۡقُدُسِۗ أَفَكُلَّمَا جَآءَكُمۡ رَسُولُۢ بِمَا لَا تَهۡوَىٰٓ أَنفُسُكُمُ ٱسۡتَكۡبَرۡتُمۡ فَفَرِيقٗا كَذَّبۡتُمۡ وَفَرِيقٗا تَقۡتُلُونَ ٨٧
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan al-Kitab (Taurat) kepada Musa. Dan telah Kami susulkan (berturut-turut) sesudah itu rasul-rasul. Dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus (Malaikat Jibril). Apakah setiap kali datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (ajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian bersikap angkuh? Maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?!” (al-Baqarah: 87)
قُلۡ فَلِمَ تَقۡتُلُونَ أَنۢبِيَآءَ ٱللَّهِ مِن قَبۡلُ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٩١
“Katakanlah, ‘Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika kalian benar-benar orang yang beriman?’.” (al-Baqarah: 91)
Demikianlah sekelumit kebejatan, kebobrokan, dan kebrutalan orang-orang Yahudi. Perilaku mereka merupakan potret suatu kaum yang dikendalikan oleh hawa nafsu, durhaka lagi melampaui batas. Tak segan-segan di dalam meluluskan kehendak hawa nafsunya itu, mereka membinasakan orang-orang yang membimbing mereka ke jalan yang lurus. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala timpakan kepada mereka nista, kehinaan, kemurkaan, dan kutukan.
وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ وَٱلۡمَسۡكَنَةُ وَبَآءُو بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلنَّبِيِّۧنَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّۗ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ٦١
“Lalu ditimpakanlah kepada mereka (orang-orang Yahudi) nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (al-Baqarah: 61)
وَقَالُواْ قُلُوبُنَا غُلۡفُۢۚ بَل لَّعَنَهُمُ ٱللَّهُ بِكُفۡرِهِمۡ فَقَلِيلٗا مَّا يُؤۡمِنُونَ ٨٨
“Dan mereka berkata, ‘Hati kami tertutup.’ Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka. Maka sedikit sekali dari mereka yang beriman.” (al-Baqarah: 88)
Ahlul Bid’ah, Pewaris Akhlak Orang-Orang Yahudi
Adapun ahlul bid’ah dari umat ini, sesungguhnya mereka pewaris dan pemegang tongkat estafet akhlak bejat orang-orang Yahudi. Sikap melecehkan ulama sunnah merupakan ciri utama ahlul bid’ah di setiap generasi dan kurun waktu.Al-Imam Ahmad bin Sinan al-Qaththan rahimahullah berkata, “Tidak ada seorang pun dari ahlul bid’ah di dunia ini kecuali benci terhadap ahlul hadits (Ahlus Sunnah wal Jamaah).” (Syaraf Ash-habil Hadits, karya al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah, hlm. 73)
Al-Imam Isma’il bin Abdurrahman ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Tanda dan ciri mereka yang utama adalah permusuhan, penghinaan, dan pelecehan yang luar biasa terhadap pembawa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ulama).” (Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, hlm.116)
Al-Imam Abu Hatim ar-Razi rahimahullah berkata, “Ciri-ciri ahlul bid’ah adalah melecehkan ahlul atsar (Ahlus Sunnah wal Jamaah).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya al-Lalikai rahimahullah, 1/200)
Pelecehan mereka itu menerpa ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah baik secara umum maupun secara khusus (individu tertentu).
Adapun secara umum, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam Abu Hatim ar-Razi rahimahullah, “Ciri utama Zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran) adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Hasyawiyyah, dalam rangka menggugurkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ciri utama Jahmiyyah adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Musyabbihah. Ciri utama Qadariyyah adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Mujbirah. Ciri utama Murjiah adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Mukhalifah dan Nuqshaniyyah. Ciri utama Syi’ah Rafidhah adalah menjuluki Ahlus Sunnah dengan Naashibah.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/201)
Adapun pelecehan secara khusus (terhadap individu tertentu) maka ahlul bid’ah dan para pengikutnya tak segan-segan melakukannya. Kaum Syi’ah Rafidhah melecehkan, bahkan mengafirkan sebagian besar para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula Khawarij, memberontak terhadap khalifah ‘Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu kemudian membunuhnya dengan sadis. Tak luput pula pengkafiran mereka terhadap semua yang terlibat dalam peristiwa tahkim (di kalangan sahabat dan tabi’in).
Kelompok Jahmiyah Mu’tazilah pun demikian garangnya terhadap ulama sunnah, khususnya di masa al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Kelompok Sufi tak ketinggalan di dalam melecehkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, al-Imam Ibnul Qayyim, dan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah. Tulisan Muhammad Zahid al-Kautsari sangat penuh dengan tikaman terhadap ulama as-Sunnah seperti: al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Utsman bin Sa’id ad-Darimi, Ibnu Abi Hatim, ad-Daraquthni, al-Hakim, al-Humaidi, Abu Zur’ah ar-Razi, Abu Dawud, adz-Dzahabi, dan yang lainnya. (Lihat at-Tankil, karya asy-Syaikh al-Mu’allimi rahimahullah)
Tulisan-tulisan Sayyid Quthb juga banyak dengan tikaman terhadap Nabi Musa ‘alaihissalam, sahabat ‘Utsman bin Affan, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhum. (Lihat Adhwa Islamiyah ‘Ala ‘Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrihi dan Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habiRasulillah, karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali)
Demikian pula goresan-goresan pena Abu Rayyah sarat akan pelecehan terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat al-Anwarul Kasyifah, karya asy- Syaikh al-Mu’allimi rahimahullah)
Muhammad al-Ghazali juga sangat tajam tikamannya terhadap ulama sunnah. (lihat al-Irhab, karya asy-Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkhali, hlm. 132—133)
Adapun Abdurrahman Abdul Khaliq, ia termasuk pelopor penikaman terhadap ulama sunnah abad ini (sebagaimana dalam kitabnya Khuthuth Ra’isiyyah Liba’tsil Ummatil Islamiyyah)[1].
Tak kalah pula pelecehan terhadap ulama sunnah (abad ini) yang dilakukan oleh Salman bin Fahd al-‘Audah dalam kasetnya Waqafaat Ma’a Imami Daril Hijrah dan tanya jawabnya dengan majalah al-IshlahEmirat[2], ‘Aidh al- Qarni dalam Qashidah “Da’il Hawasyi Wakhruj” yang terdapat dalam kitabnya Lahnul Khulud (hlm. 46—47)[3], Nashir al-‘Umar dalam kitabnya Fiqhul Waqi’[4], dan Safar Hawali dalam kasetnya FafirruuIlallah[5]. Lebih-lebih lagi yang dilakukan oleh Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin dalam majalah as-Sunnah-nya (yang lebih pantas disebut al-Bid’ah)[6] dan Muhammad bin Abdillah al-Mas’ari[7]. Betapa kasar dan arogannya pelecehan mereka itu.
Apakah Pelecehan Itu Sesuai Kenyataan?
Al-Imam Isma’il bin Abdurrahman ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Aku melihat, julukan-julukan yang ditujukan kepada Ahlus Sunnah itu justru tertuju kepada ahlul bid’ah sendiri. Dan tidak satu pun dari julukan-julukan tersebut yang mengena—karena keutamaan dan jaminan dari Allah subhanahu wa ta’ala.Di dalam menyikapi Ahlus Sunnah, mereka meniru metode musyrikin (Makkah)—semoga Allah subhanahu wa ta’ala melaknati mereka—ketika menyikapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan memberikan julukan-julukan (palsu) kepada beliau. Sebagian dari mereka menjulukinya “tukang sihir”, sebagian lagi menjulukinya “dukun”, “penyair”, “orang gila”, “orang yang terfitnah”, “pembual”, dan “pendusta.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersih dari semua julukan tersebut, dan tidak lain beliau adalah seorang rasul, manusia pilihan dan nabi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱنظُرۡ كَيۡفَ ضَرَبُواْ لَكَ ٱلۡأَمۡثَٰلَ فَضَلُّواْ فَلَا يَسۡتَطِيعُونَ سَبِيلٗا ٩
“Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu).” (al-Furqan: 9)
Demikian pula ahlul bid’ah—semoga Allah subhanahu wa ta’ala hinakan mereka— yang memberikan julukan-julukan (palsu) kepada para ulama pembawa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu mengikuti jejak beliau dan berpegang teguh dengan sunnahnya (yang dikenal dengan Ashhabul hadits). Sebagian ahlul bid’ah menjuluki mereka dengan Hasyawiyyah, sebagian lagi menjuluki dengan Musyabbihah, Nabitah, Nashibah, dan Jabriyyah. Namun tentu saja ashhabul hadits sangatlah jauh dan bersih dari julukan-julukan negatif itu. Mereka justru orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, jalan yang diridhai lagi lurus, serta hujah-hujah yang kuat lagi kokoh.” (Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits, hlm. 119—120)
Di Balik Pelecehan Ulama
Mungkin kita akan tertegun, mengapa pelecehan terhadap orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala muliakan ini terjadi? Ketahuilah, di balik pelecehan ulama ada misi terselubung, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, “Hal itu untuk memisahkan umat dari ulamanya. (Apabila berhasil), akan mudah bagi mereka (ahlul bid’ah) untuk menyusupkan berbagai kerancuan pemikiran dan kesesatan yang dapat menyesatkan umat dan memecah belah kekuatan mereka. Itulah misi yang mereka inginkan, maka hendaknya kita waspada.” (Ma Yajibu fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 17)Penutup
Dari bahasan di atas, dapat kita petik beberapa pelajaran berharga, yakni:- Melecehkan ulama merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi dan ahlul bid’ah.
- Melecehkan ulama bermudarat bagi diri sendiri, karena ia termasuk ghibah dan namimah (yang keduanya merupakan dosa besar).
- Melecehkan ulama bermudarat bagi umat, karena ia dapat memisahkan umat dari ulamanya, dan terkikisnya nilai kepercayaan umat kepada mereka.
رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ ١٠
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Dan janganlah Engkau biarkan kedengkian terhadap orang-orang yang beriman bercokol pada hati kami. Ya Allah, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”(al-Hasyr: 10)
Amin Yaa Rabbal ‘Alamin….
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
[1] Di antara pelecehannya terhadap ulama tauhid secara umum adalah, “Dan saat ini sangat disayangkan kita tidak mempunyai ulama kecuali orang-orang yang memahami Islam dengan pemahaman tradisional….” Juga perkataannya, “Kita tidak inginkan barisan dari ulama mumi (jasadnya ada, namun pola pikirnya kuno, –pen.).”
Adapun pelecehannya terhadap ulama besar Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah adalah, “Dia ibarat perpustakaan berjalan, namun cetakan lama yang perlu direvisi.” Juga perkataannya, “Orang ini tidak mampu menjawab syubhat yang dilancarkan oleh musuh-musuh Allahsubhanahu wa ta’ala, bahkan tidak ada kesiapan untuk mendengarkan syubhat tersebut.” (Dinukil dari Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, karya asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hlm. 119—120)
[2] Salman al-‘Audah berkata, “Di dunia Islam saat ini sangat banyak lembaga-lembaga yang jauh dari agama, dan terkadang lembaga tersebut bertanggung jawab tentang fatwa atau urusan agama namun yang dilakukan sebatas pengumuman masuk dan keluarnya bulan Ramadhan.” Dia juga berkata, “Berbagai insiden yang terjadi di Teluk (Arab) semakin membongkar berbagai macam penyakit tersembunyi yang diidap oleh kaum muslimin ….—hingga perkataannya—dan membongkar pula tentang tidak adanya referensi ilmiah (ulama) yang benar dan dapat dipercaya oleh kaum muslimin.” (Dinukil dari al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hlm. 98)
[3] Aidh al-Qarni bersyair tentang para ulama Ahlus Sunnah yang tinggal di kota Riyadh, Saudi Arabia:
Shalat dan puasalah sekehendakmu,
Agama tidak mengenal “Aabid” hanya dengan sekadar shalat dan puasa.
Engkau hanyalah ahli ibadah dari kalangan pendeta,
Bukan dari umat Muhammad, cukuplah ini sebagai celaan.
hingga perkataannya:
Karya tulismu hanya untuk membicarakan orang-orang yang telah mati.
Tidak lain engkau orang yang sekarat dan banyak omong.
Karya tulismu hanya untuk membicarakan orang-orang yang telah mati,
Tidak lain engkau orang yang sekarat dan banyak omong,
Tiap hari kau syarah matan dengan mazhab taklid, sungguh kau telah menambah noda-noda hitam
Engkau pun tampak sibuk dengan masalah-masalah sampingan ketika engkau takut dengan seorang yang jahat lagi ganas.
Jangan berkata sepatah kata pun wahai Syaikh! Dan tunggulah usia fatwa orang sejenismu hanya 50 tahun saja.
(Dinukil dari kitab al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hlm. 99)
[4] Kitab ini benar-benar dijadikan sebagai senjata ampuh oleh hizbiyyun harakiyyun untuk menjatuhkan ulama sunnah dan mengangkat tinggi-tinggi gembong-gembong harakah.
[5] Safar Hawali berkata, “Ulama kita wahai ikhwan!!! Semoga Allahsubhanahu wa ta’ala menjaga mereka… Semoga Allah subhanahu wa ta’alamenjaga mereka!!! (sebagai ungkapan kekecewaan, –pen.), kita tidak bisa membenarkan segala sesuatu dari mereka, mereka tidak ma’shum (terjaga dari kesalahan)!!… Kita nyatakan, “Ya! Mereka kurang di dalam memahami waqi’ (fenomena kekinian), mereka punya sekian banyak kekurangan yang harus kita lengkapi!!
Bukan kita lebih utama dari mereka, tetapi kita hidup dan bergelut dengan berbagai macam persoalan kekinian, sedangkan mereka menyikapi persoalan-persoalan tersebut dengan hukum yang tidak sesuai dengan zaman yang mereka hidup padanya!”—hingga perkataannya—”Dan sebagian dari ulama tersebut mulai menerima kritikan ini, karena mereka sudah jompo! atau telah memasuki fase ……!?” (Dinukil dari Madarikun Nazhar fis Siyasah, hlm. 351 footnote no.1)
[6] Muhammad Surur berkata tentang para ulama besar Ahlus Sunnah yang ada di Saudi Arabia, “Dan jenis lain adalah orang-orang yang berbuat tanpa ada rasa takut, yang selalu menyesuaikan sikap-sikapnya dengan sikap para tuannya… Ketika para tuan ini meminta bantuan (pasukan) dari Amerika (untuk menghadapi Saddam Husain sosialis, -pen.), dengan sigap para budak tersebut mempersiapkan dalil-dalil yang membolehkan perbuatan itu, dan ketika para tuan berseteru dengan Iran (yang berpaham sesat Syi’ah Rafidhah, –pen.) maka para budak itu pun selalu menyebut-nyebut kejahatan dan kesesatan Syi’ah Rafidhah.…” (Majalah as-Sunnah, edisi 23, hlm. 29—30).
Dia juga berkata tentang para ulama tersebut, “Perbudakan di masa lalu cukup sederhana, karena si budak hanya mempunyai tuan (secara langsung). Adapun hari ini, perbudakan cukup rumit, dan rasa heranku tak pernah sirna terhadap orang-orang yang berbicara tentang tauhid namun mereka budak budak budak budaknya budak, dan tuan terakhir mereka adalah seorang Nasrani (yakni George Bush, –pen).” (Majalah As-Sunnah, edisi. 26). (Lihat kitab al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hlm. 89)
[7] Muhammad al-Mas’ari berkata tentang asy-Syaikh Abdul Aziz bin Bazrahimahullah, “Adapun pendapatku secara pribadi sesungguhnya asy-Syaikh Ibn Baz telah sampai pada tingkat pikun, dungu, serta lemah yang sangat.”
Adapun pelecehannya terhadap sahabat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya aku menganggap Mu’awiyah sebagai seorang perampas kekuasaan.”
Adapun pelecehannya terhadap asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, “Dia seorang yang polos (biasa-biasa saja) dan bukan seorang yang ‘alim.” (Lihat kitab al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hlm. 115).
Sumber : Asy Syariah Edisi 012, Manhaji
14 November 2011
http://asysyariah.com/melecehkan-ulama-kebiasaan-yahudi-dan-ahlul-bidah/
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi