Pembahasan tentang pembatal-pembatal wudhu termasuk persoalan yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat para ulama. Dalam prinsip Ahlus Sunnah, perbedaan yang demikian termasuk sesuatu yang lumrah dan biasa terjadi. Karenanya diperlukan sikap lapang dada untuk menerima perbedaan pendapat tersebut, selama masing-masing berpegang pada dalil yang ada.
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fikih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali.
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari al-Qur’an dan as- Sunnah, dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Pembatal Wudhu yang Disepakati
1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. al-Bukhari no. 135)
Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.
2. Buang Air Besar
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yangmengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat):
أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ
“Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar….” (al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal. Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al- Mazini radhiallahu ‘anhu berkata, “Diadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. al-Bukharino. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. al-Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut, “Seperti apa hadats itu, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Angin yang keluar dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata, “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, Salma, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau istri Abu Rafi‘ maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’, “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?”
Abu Rafi‘ menjawab, “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?”
Kata Salma, “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatu pun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan kepadanya, ‘Wahai Abu Rafi’, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.”
Mendengar hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata, “Wahai Abu Rafi’, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus-menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus-menerus) (al-Fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyah rahimahullah, 1/282) atau orang yang buang angin terus-menerus atau buang air besar terus-menerus, maka ia diberi uzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi
Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali berkata, “Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya (Fathimah radhiallahu ‘anha) yang menjadi istriku. Aku pun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu untuk menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab,
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
“Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
5.Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas tentang batalnya wudhu karena hadats. Selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa, dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus-menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaiminrahimahullah berkata, “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hlm. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. al-Bukharino. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Sekalipun ia tidak keluar mani.” Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu.
Pembatal Wudhu yang Diperselisihkan
Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fikih ibadah ataupun fikih muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan yang masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan.Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam.
Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih.
Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami asy-Syaikh al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil).
Namun, selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis meski beliau berkuasa untuk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan, dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan murid-muridnya yang tidak taklid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau, tetapi berpegang dengan dalil sekalipun berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.
1. Menyentuh wanita
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allahsubhanahu wa ta’ala,
أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
“Atau kalian menyentuh wanita.…” (an-Nisa: 43)
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan sahabat. Abu ‘Utsman an-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim an-Nakha’i, dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu.
Pendapat kedua menunjukkan sekadar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu. Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri[1] dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Yang dimaukan (oleh ayat Allahsubhanahu wa ta’ala ini) adalah jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang sahih tentang makna ayat ini. Adapun menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu.
Kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri mereka, namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintah seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).” Beliau berkata pula, “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan, dan ini adalah pendapat sekelompok salaf. Adapun menyentuh wanita dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya.
Apabila dia berwudhu, itu lebih baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat, aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ al-Fatawa, 21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pendapat yang rajih, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani, wajib baginya mandi. Adapun kalau yang keluar madzi, wajib baginya mencuci zakarnya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201-202)
Dalil dari as-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya,
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat (ketika beliau sedang shalat,pen). Saat sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) sehingga aku menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. al-Bukhari no. 382 dan Muslimno. 512)
Aisyah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan,
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَيَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَعَلَى نَفْسِكَ
“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa, ‘Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu’.” (HR. Muslim no. 486)
2. Muntah
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan, “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya. Tsauban berkata, “Abu ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. at-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain al-Baihaqi berkata, “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268).
Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan,, “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujah.” (ta’liq beliau dinukil dariTa’liqat ar- Radhiyyah, 1/174)[2]
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
– Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut, dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata,“Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq.
Sementara itu, ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan asy-Syafi’i. (Sunan at-Tirmidzi, 1/59)
– Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy- Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit maupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, asy-Syarhul Mumti’, 1/234)
Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barang siapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i. Apa yang telah pasti tidaklah mungkin diangkat kesuciannya (dinyatakan hilang/batal) kecuali dengan dalil syar‘i.
Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang sematamata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (asy-Syarhul Mumti’, 1/224—225)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak maupun sedikit.[3] Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Makhul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur, dan Dawud. Al-Baghawi berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas sahabat dan tabi`in.” (al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hlm. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌّ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ..
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas[4] atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz dinilai lemah. Sementara itu, dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij, seorang Hijaz. Selain itu, para rawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij—yang merupakan para tokoh penghafal—meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal [bersambung], pen.), sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar.
Apalagi riwayat yang mursal ini dinyatakan sahih oleh adz-Dzuhli, ad-Daruquthni dalam kitab al-‘Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata bahwa hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, al-Imam Ahmadrahimahullah dan selain beliau men-dha’if-kan hadits ini. (Bulughul Maramhlm. 36)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, an-Nashir, Malik, dan asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269—270) Ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu a’lam bish-shawab.
Kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, al-Imam Ahmad, dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang sahabat al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan selainnya. Dinyatakan sahih asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para sahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah.
Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hlm. 51—52)Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
- 000 -
Bagian 2
Apakah tidur membatalkan wudhu? Bagaimana jika cuma mengantuk, apakah juga membatalkan wudhu? Barangkali di antara kita pernah mengalami kebingungan semacam ini.
Dalam masalah fikih, kebingungan kadang muncul bukan hanya karena tidak tahu hukum yang ada, namun tidak sedikit yang bingung karena banyaknya perbedaan pendapat di antara ulama. Dalam masalah fikih, khilaf di antara ulama tampaknya telah menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Karena itu, dalam mengkaji hukum sebuah permasalahan diperlukan sikap lapang dada dan juga kehati-hatian. Sehingga kita tidak terjatuh pada sikap mencela orang lain yang berbeda dengan kita, padahal mereka juga memiliki dalil yang mendukung sikapnya.
Hilang Akal
Ada dua bentuk hilangnya akal seseorang:
- Hilangnya akal secara keseluruhan sehingga seseorang tidak waras lagi dalam berpikir, seperti gila.
- Tertutupnya akal seseorang dalam beberapa saat karena suatu sebab seperti pingsan, mabuk, tidur, dan semisalnya.
Hilangnya akal disebabkan gila, pingsan, dan mabuk karena minum khamr atau karena minum obat, membatalkan wudhu seseorang, sebentar ataupun lama. Jadi, bila seseorang gila kemudian waras kembali, atau mabuk, atau jatuh pingsan kemudian siuman, ia wajib memperbarui thaharahnya. (al-Mughni, 1/114, Syarah Shahih Muslim, 4/74,al-Majmu’, 2/25)
Inilah pendapat rajih (yang kuat) menurut kami, wallahu a’lam bish-shawab. Adapun al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dan yang sependapat dengan beliau memandang bahwa semua perkara di atas selain tidur tidaklah membatalkan wudhu dan tidak dapat di-qiyas-kan dengan tidur. (al-Muhalla, 1/212)
Tidur
Ulama berbeda pendapat dalam masalah tidur ini sampai 8 pendapat:
- Tidur tidak membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya. Dinukilkan pendapat ini dari Abu Musa al-Asy’ari, Ibnul Musayyab, Abu Mijlaz, Syu’bah, dan Humaid al-A’raj.
- Tidur membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya. Ini merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri, al-Muzani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Ishaq, dan satu pendapat yang gharib dari al-Imam Syafi’irahimahullah. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Aku berpendapat demikian.” Diriwayatkan juga pendapat yang semakna dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Anas radhiallahu ‘anhum.
- Tidur yang banyak/nyenyak membatalkan wudhu bagaimana pun posisinya, sedangkan tidur yang sedikit tidak membatalkan. Demikian mazhab az-Zuhri, Rabi’ah, al-Auza’i, Malik, dan Ahmad dalam satu riwayat darinya.
- Tidur dalam posisi duduk dan pantatnya mapan menempel ke tanah tidaklah membatalkan wudhu. Selain dari posisi ini membatalkan wudhu sama saja tidurnya sedikit ataupun banyak, di dalam shalat ataupun di luar shalat. Demikian mazhab asy-Syafi’i rahimahullah.
- Tidur dalam posisi orang yang sedang shalat seperti dalam posisi ruku, sujud, berdiri, dan duduk tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah itu terjadi di dalam shalat ataupun di luar shalat. Apabila tidurnya itu dalam keadaan berbaring atau telentang di atas tengkuknya maka akan membatalkan wudhunya. Demikian mazhab Abu Hanifah, Dawud dan satu pendapat yang gharib dari asy-Syafi’i.
- Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang rukuk dan sujud. Diriwayatkan pendapat ini dari Ahmad.
- Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang sujud. Diriwayatkan pendapat ini juga dari Ahmad.
- Tertidur ketika sedang shalat tidak membatalkan wudhu. Adapun di luar shalat membatalkan wudhu. Ini merupakan pendapat yang lemah dari al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. (Syarah Shahih Muslim, 4/73)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Diserukan iqamah untuk shalat sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbicara pelan (berbisik-bisik) dengan seseorang. Maka beliau terus berbisik-bisik dengan orang tersebut hingga para sahabat beliau tertidur. Kemudian beliau datang lalu shalat bersama mereka.” Kata Anas, “Mereka tertidur, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.” (HR.Muslim no. 376)
Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Anas, ia berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanti dilaksanakannya shalat Isya yang akhir, dalam keadaan kepala mereka terangguk-angguk (karena rasa kantuk yang berat) kemudian mereka bangkit mengerjakan shalat tanpa berwudhu.” (Sunan Abu Dawud hadits no.172 dan dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Irwaul Ghalil, 1/149)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan bahwa hadits Shafwan[6] yang menggandengkan tidur dengan hadats (kencing dan BAB) dibatasi dengan tidur nyenyak yang membuat orang tidak mengerti apa-apa (hilang kesadaran).
Adapun apa yang disebutkan Anas berupa mendengkurnya (beberapa) sahabat ketika dibangunkan, mereka membaringkan/merebahkan tubuh mereka sampai-sampai dibangunkan untuk mengerjakan shalat, ditakwilkan (dinyatakan) dengan tidur yang tidak nyenyak. Terkadang memang ada orang yang mendengkur di awal tidurnya sebelum ia pulas, demikian pula ada orang tidur dalam posisi berbaring tetapi tidak mesti menunjukkan tidur yang nyenyak.
Selain itu, seseorang yang baru tertidur bisa saja dibangunkan agar tersadarkan dan tidak pulas dalam tidurnya. (Kami nukilkan secara makna dan ringkas sebagaimana di dalam Subulus Salam, 1/97)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Pingsan membatalkan wudhu, karena pingsan itu lebih dari sekadar tidur sementara tidur yang nyenyak itu membatalkan wudhu, di mana orang yang tidur tersebut tidak tahu seandainya ada sesuatu yang keluar dari (kemaluan)-nya.
Adapun tidur yang ringan di mana bila orang yang tidur itu berhadats dia bisa merasakannya maka tidur seperti ini tidak membatalkan wudhu, sama saja apakah tidur itu berbaring, duduk bersandar atau duduk tanpa bersandar atau satu keadaan dari keadaan-keadaan yang ada. Selama ia bisa merasakan keluarnya hadats tersebut (seandainya ia berhadats).”
Beliau juga menyatakan, “Tidur itu sendiri bukanlah pembatal wudhu[7], hanya saja tidur ini merupakan satu keadaan yang diperkirakan/diduga bisa terjadinya hadats pada keadaan tersebut. Dengan demikian bila hadats tersebut dapat ditolak, di mana orang tersebut dapat merasakan bila keluar hadats darinya, maka tidurnya tidaklah membatalkan wudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/195, 200, 201)
Memandikan Jenazah
Memandikan jenazah tidaklah membatalkan wudhu dan inilah pendapat yang rajih dari sebagian ahlul ilmi seperti Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan kebanyakan fuqaha.Abul Hasan at-Tamimi berkata, “(Bagi orang yang memandikan jenazah) tidak harus berwudhu.” (al-Mughni 1/124, Syarhul Umdah, 1/341)
Mereka menyatakan, menetapkan sesuatu sebagai pembatal wudhu itu membutuhkan dalil syar’i, sementara tidak ada dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, atau ijma’ yang menunjukkan memandikan jenazah membatalkan wudhu.
Adapun atsar dari ketiga sahabat yang disebutkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum (diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya no. 1601, 6107) bahwa mereka memerintah orang yang memandikan jenazah untuk berwudhu, bisa jadi berwudhu di sini mustahab (sunnah). Jadi, kalau dianggap wajib, butuh dalil syar’i yang menenangkan jiwa. Sebab, mewajibkan sesuatu yang tidaklah wajib sama dengan mengharamkan sesuatu yang tidak haram. (asy-Syarhul Mumti’, 1/247)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang wajib bagi kita adalah berhati-hati dalam masalah pembatal wudhu. Jangan sampai ada di antara kita yang berani mengatakan perkara ini adalah pembatal wudhu kecuali apabila mendapatkan dalil yang jelas yang akan menjadi hujah (argumen) baginya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (asy-SyarhulMumti’, 1/247)
Adapun yang lain dari kalangan ahlul ilmi berpendapat bahwa memandikan jenazah membatalkan wudhu sebagaimana atsar dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas dan pendapat seperti ini dipegangi oleh Ishaq dan an-Nakha’i. (al-Mughni, 1/124)
Berbekam (hijamah)
Mazhab al-Hanafiyyah berpendapat keluarnya darah dikarenakan berbekam (hijamah) merupakan salah satu dari pembatal wudhu.As-Sarkhasi berkata, “Menurut kami, seseorang yang berbekam maka wajib baginya berwudhu dan mencuci bagian tubuh yang dibekam. Karena, wudhu itu wajib dengan keluarnya najis (yaitu darah bekaman [dianggap] najis di sisi mereka). Bila dia berwudhu namun tidak mencuci bagian tubuh yang dibekam, maka bila bagian itu lebih besar dari ukuran dirham, ia tidak boleh mengerjakan shalat. Namun bila kurang dari itu boleh baginya mengerjakan shalat.”
Adapun ulama mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa berbekam atau sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat dan dikeluarkannya segumpal darah dengan cara diisap tidaklah membatalkan wudhu.
Az-Zarqani berkata, “Berbekam tidaklah membatalkan wudhu, baik orang yang membekam maupun orang yang dibekam. Demikian pula sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat.”
Dalam kitab al-Umm disebutkan, “Tidak wajib berwudhu karena muntah, mimisan, dan berbekam.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 17/14)
Inilah pendapat yang rajih, karena tidak adanya dalil yang bisa dijadikan hujah bahwa berbekam itu membatalkan wudhu. Adapun hadits[8] yang mendukung penguatan bahwa berbekam tidak membatalkan wudhu, pada sanadnya ada pembicaraan tentang seorang rawinya, yaitu Shalih ibnu Muqatil. Al-Imam ad-Daraquthni rahimahullah mengatakan tentang Shalih, “Bukan seorang yang kuat.”
Hadits ini juga dinyatakan dhaif oleh para imam, seperti al-Baihaqi, an-Nawawi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumullah. (al-Majmu 2/63, at-Talkhisul Habir, 1/171) (Sehingga kembali kepada hukum asal atau bara’ahashliyah -red.)
Makan Daging Unta
Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الْغَنَم؟ِ قَالَ: إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ. قَالَ: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الْإِبِلِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَتَوَضَّأْمِنْ لُحُوْمِ الْإِبِلِ
“Apakah aku berwudhu setelah makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Kalau engkau mau engkau berwudhu, kalau mau maka engkau tidak perlu berwudhu.” Beliau ditanya lagi: “Apakah aku berwudhu karena makan daging unta?” Beliau menjawab, “Ya, berwudhulah setelah makan daging unta.” (Sahih, HR. Muslim no. 360 dari hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu)
Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang harus berwudhu setelah makan daging unta, karena makan daging unta membatalkan wudhu. Demikian pendapat Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Muhammad bin Ishaq, Ahmad, Ishaq, Abu Khaitsamah, Yahya bin Yahya, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, dan dinukilkan pendapat ini dari Ashabul Hadits dan sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; al-Mughni, 1/122; al-Muhalla, 1/226; Subulus Salam, 1/106)
Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami berwudhu dari makan daging unta dan kami tidak berwudhu karena makan daging kambing.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 1/46, dinyatakan sahih sanadnya oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hlm. 106)
Pendapat lain menyatakan bahwa makan daging unta tidaklah membatalkan wudhu dengan dalil hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak).” (HR. at-Tirmidzi no. 80 dan an-Nasai no. 185)
Yang berpendapat seperti ini adalah jumhur tabi’in, Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan murid-murid mereka, dihikayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’b, Abud Darda, Abu Thalhah, Amir bin Rabi’ah, dan Abu Umamah. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; al-Mughni 1/122; Subulus Salam, 1/106)
Dari dua pendapat yang ada, yang rajih dalilnya adalah pendapat pertama. Adapun hadits Jabir, “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak),” dinyatakan oleh Abu Hatim mudhtharib pada matannya.
Sangat dimungkinkan seorang rawinya, yakni Syu’aib, salah menyampaikan haditsnya. (al-’Ilal Ibnu Abi Hatim, 168) Selain itu, ada pembicaraan tentang hadits ini di kalangan para imam ahlul hadits, lihatat-Talkhisul Habir, 1/174—176.
Hadits ini memiliki lafadz dan hukumnya umum, sementara hadits yang menunjukkan wudhu karena makan daging unta adalah hadits yang khusus. Kaidah yang masyhur menurut ulama ahli ushul, ketika ada dalil yang khusus maka dikedepankan pengamalannya daripada dalil yang umum, wallahu a’lam. Selain itu, makan daging unta membatalkan wudhu bukan karena ia disentuh api, namun karena keberadaannya sebagai daging unta, dimasak (dengan api) ataupun dimakan dalam keadaan mentah tetap saja membatalkan wudhu. (Syarah Shahih Muslim, 4/49; al-Mughni, 1/122—123; al-Majmu’ 2/670; I’lamul Muwaqqi’in 1/298—299;Ijabatus Sail hlm. 36)
Makan Makanan yang Dimasak
Ulama berselisih pendapat dalam masalah memakan makanan yang dimasak, apakah membatalkan wudhu atau tidak? Dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga pendapat:- Tidak wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak apa pun, termasuk di dalamnya makan daging unta dan sama saja apakah makanan itu disentuh api (dimasak) ataupun tidak.
- Wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak yang disentuh api. Demikian pendapat Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan, az-Zuhri, Abu Qilabah, Abu Mijlaz, dan dihikayatkan Ibnul Mundzir dari sekumpulan sahabat: Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Musa, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, dan Aisyah radhiallahu ‘anhum.
- Wajib berwudhu karena makan daging unta secara khusus. Demikian pendapat Ahmad, Ishaq, Yahya bin Yahya dan al-Mawardi menghikayatkan pendapat ini dari jamaah sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Hurairah dan Aisyahradhiallahu ‘anhum. Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Muhammad bin Ishaq, Abu Tsaur, Abu Khaitsamah, dan ia memilih pendapat ini, demikian pula Ibnu Khuzaimah. (al-Majmu’, 2/68)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Mayoritas ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan orang-orang setelah mereka berpendapat tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang dimasak.” (Sunan Tirmidzi, 1/53)
Ucapan al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim dan di dalam al-Majmu’: “Mayoritas ulama berpendapat (makan daging unta) tidaklah membatalkan wudhu, di antara mereka yang berpendapat demikian adalah al-Khulafa’ur Rasyidun yang empat….” Ini merupakan anggapan yang keliru dari beliau rahimahullah.
Kekeliruan beliau ini telah diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Qawa’id an-Nuraniyyah (hlm. 9).
Beliau menyatakan, “Adapun yang dinukilkan dari al-Khulafa ar-Rasyidun atau jumhur sahabat bahwa mereka tidak berwudhu karena makan daging unta, sungguh yang menukilkan demikian telah keliru dalam anggapannya terhadap mereka. Kesalahan anggapan tersebut karena adanya riwayat bahwa mereka tidaklah berwudhu karena memakan sesuatu yang dimasak.
Padahal yang dimaksud menurut mereka adalah keberadaan sesuatu yang dimasak bukan sebagai satu sebab diwajibkannya berwudhu. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berwudhu karena makan daging unta, bukan karena daging unta ini telah dimasak. Sebagaimana dikatakan: Fulan tidak perlu berwudhu karena menyentuh kemaluannya, walaupun dalam satu keadaan wajib baginya untuk berwudhu setelah menyentuh kemaluannya apabila keluar madzi dari kemaluannya.” (Sebagaimana dinukilkan dari Tamamul Minnah hlm. 105)
Menyentuh kemaluan (dzakar)
Dari Busrah bintu Shafwan radhiallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.” ( HR. Abu Dawud no. 154, dinyatakan sahih oleh al-Imam Ahmad, al-Bukhari, Ibnu Ma’in dan selainnya. Kata al-Imam al-Bukhari rahimahullah, “Hadits ini paling sahih dalam bab ini.” Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalamShahih Sunan Abu Dawud no. 174)
Dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah disebutkan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَ يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Siapa yang menyentuh kemaluannya, janganlah ia shalat sampai berwudhu.”
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits ini, “Hadits sahih di atas syarat al-Bukhari dan Muslim.” (al-Jami’ush Shahih, 1/520)
Sementara Thalaq bin Ali radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudhu, apakah batal wudhunya? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
وَهَلْ هُوَ إِلاَّ بِضْعَةٌ مِنْهُ
“Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari (tubuh) nya?” (HR. at-Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullah, “Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.” Asy-Syaikh al-Albanirahimahullah menyatakan sahih sanadnya dalam al-Misykat)
Dua hadits di atas menerangkan, yang pertama menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu, sementara hadits yang kedua menetapkan tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana dua hadits di atas bertentangan makna secara zahirnya, dalam hal ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.
1. Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.
Ini adalah pendapat Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah, az-Zuhri, Ibnul Musayyab, Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, al-Laits, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Malik dalam pendapatnya yang masyhur, dan selain mereka.
Mereka berdalil dengan hadits Busrah. (Sunan Tirmidzi 1/56; al- Mughni1/117; al-Muhalla, 1/223; Nailul Authar, 1/282)
2. Berpegang dengan hadits kedua, menyentuh zakar tidak membatalkan wudhu.
Di antara yang berpegang dengan hadits ini ialah ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda, ‘Imran bin Hushain, al-Hasan al-Bashri, Rabi’ah, ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya, serta selain. (Sunan at-Tirmidzi, 1/57; al-Mughni, 1/117; Nailul Authar, 1/282)
3.Dikumpulkannya dua hadits yang sepertinya bertentangan tersebut.
Di antara yang berpendapat demikian ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah dan yang lainnya. Mereka menyatakan, apabila menyentuhnya dengan syahwat[9], hendaknya dia berwudhu dengan (dalil) hadits Busrah; dan kalau menyentuhnya tanpa syahwat, tidak mengapa hanya saja disenangi baginya berwudhu[10], dengan (dalil) hadits Thalaq.
Pendapat inilah yang penulis pilih sebagai pendapat yang rajih, walaupun pendapat yang pertama menurut pandangan penulis adalah pendapat yang juga kuat yang banyak dipilih dan dibela oleh ahlul ilmi, seperti al-Imam ash-Shan’ani (di dalam Subulus Salam, 1/104), al-Imam asy-Syaukanirahimahullah (Nailul Authar, 1/283; ad-Darari al-Mudhiyyah hlm. 36), dan yang lainnya.
Namun, penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu ta’alaa’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu’, di dalamnya ada isyarat yang lembut bahwa menyentuh dzakar yang tidak dibarengi syahwat tidak mengharuskan wudhu, karena menyentuh dalam keadaan yang seperti ini sama halnya dengan menyentuh anggota tubuh yang lain.
Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh dengan syahwat maka ketika itu tidak bisa disamakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Sebab, biasanya menyentuh anggota tubuh yang lain tidaklah dibarengi oleh syahwat. Ini adalah perkara yang jelas sebagaimana yang kita ketahui. Berdasarkan hal ini maka hadits: “Hanyalah zakar itu bagian dari (tubuh) mu” tidak bisa dijadikan dalil oleh mazhab Hanafi untuk menyatakan bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak. Namun, hadits ini adalah dalil bagi yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar tanpa disertai syahwat tidak membatalkan wudhu.
Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat, dapat membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Busrah. Dengan demikian, terkumpullah dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa yang aku ketahui.Wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah, hlm. 103)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Apabila seseorang menyentuh dzakarnya, disenangi baginya untuk berwudhu secara mutlak, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak. Apabila menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat yang mengatakan wajib baginya berwudhu sangatlah kuat, namun hal ini tidak ditunjukkan secara zahir dalam hadits. Aku tidak bisa memastikan akan kewajibannya, namun demi kehati-hatian sebaiknya ia berwudhu.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/234)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
[1] Seperti dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.
[2] Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini, seperti Ibnu Mandah dan asy-Syaikh al- Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya sahih (hlm. 111).
[3] Permasalahan yang disebutkan di sini juga diperselisihkan oleh ahlul ilmi, sebagaimana disebutkan sendiri oleh al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ (2/63).
[4] Qalas adalah muntah yang keluar dari kerongkongan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)
[5] Walaupun penulis menyadari bahwa pendapat yang mengatakan tidur secara mutlak juga kuat dalam masalah ini sebagaimana pendapat tersebut dikuatkan oleh al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah di dalam al-Muhalla (1/213) dan al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah hlm. 99-103 dan silakan pembaca melihatnya. Namun yang menenangkan hati penulis adalah pendapat yang penulis rajihkan.Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
[6] Hadits Shafwan yang dimaksud adalah,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَأْمُرْنَا إِذَا كَانَ سَفْرًا أَلاَّ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami, bila kami sedang safar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali bila ditimpa janabah. Namun bila hanya buang air besar, kencing, dan tidur (tidak perlu melepaskannya).” (HR. At-Tirmidzi no. 96. Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalamal-Jami’us Shahih, 1/538)
[7] Seperti buang air kecil misalnya, banyak ataupun sedikitnya air seni tetaplah membatalkan wudhu.
[8] Diberitakan dari hadits Anas radhiallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ احْتَجَمَ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa berwudhu.” (HR. ad-Daraquthni 1/157 dan al-Baihaqi, 1/141)
[9] Karena dalam keadaan demikian ini sangat memungkinkan keluarnya madzi.
[10] Juga disenangi wudhu disini dalam rangka kehati-hatian, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber : Asy Syariah Edisi 012, Seputar Hukum Islam dan Asy Syariah Edisi 013, Hukum Islam, Seputar Hukum Islam
14 November 2011
http://asysyariah.com/pembatal-pembatal-wudhu/
http://asysyariah.com/pembatal-pembatal-wudhu-bagian-2/
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi