Niat
Niat adalah ketetapan dan kemantapan hati untuk mengerjakan suatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla(Taisirul ‘Allam, 1/23). Dan niat ini merupakan syarat seluruh amalan ibadah, tidak sebatas amalan wudhu (asy-Syarhul Mumti’, 1/157). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan….” (Sahih, HR. al-Bukharino. 1 dan Muslim no. 1907)
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan niat itu umum dikenakan pada seluruh amalan dan tidak dikhususkan sesuatu pun darinya, baik itu amalan yang wajib (fardhu) maupun yang sunnah (nafilah).” (al-Ausath, 1/371)
Namun yang perlu diperhatikan, niat ini tempatnya di hati, bukan dilafadzkan dengan lisan. Bahkan bid‘ah hukumnya bila niat itu dilafadzkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tempat niat itu di hati, bukan di lisan. Hal ini merupakan kesepakatan para imam kaum muslimin dalam seluruh ibadah seperti thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan selainnya. Seandainya seseorang berucap dengan lisannya namun berbeda dengan apa yang ada di niatannya (hatinya) maka yang teranggap adalah apa yang dia niatkan, bukan yang dia lafadzkan. Seandainya ia mengucapkan niat dengan lisannya sementara tidak terbetik niat itu di hatinya maka hal ini tidaklah teranggap, menurut kesepakatan para imam kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa, 22/217—218)
Pelafadzan niat ini tidak didapatkan riwayatnya sama sekali dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam hadits yang sahih maupun dalam hadits yang dha’if (lemah), baik yang musnad ataupun mursal. Tidak juga dinukilkan dari para sahabat beliau, para imam dari kalangan tabi‘in, dan yang setelahnya dari kalangan imam-imam yang mendapat petunjuk. (Zadul Ma’ad, 1/51)
Seandainya niat itu harus diucapkan dengan lisan, maka tentu akan diterangkan oleh Allah ‘azza wa jalla lewat Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dengan perbuatan maupun ucapan beliau. (asy-Syarhul Mumti’, 1/159)
Niat ini bukanlah sesuatu yang sulit, meskipun sebagian orang yang dihinggapi penyakit waswas menganggapnya sulit. Karena setiap orang yang berakal bisa menentukan sesuai dengan kehendaknya sendiri apa yang hendak ia lakukan, ketika melakukan sesuatu tentunya ia telah berniat sebelumnya. Seandainya didekatkan air kepada seseorang, kemudian ia mengucapkan basmalah, mencuci kedua tangannya, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dan seterusnya, maka mustahil dan tidak masuk akal jika hal ini dia lakukan tanpa dilandasi niat.
Tasmiyah (Membaca Basmalah)
Dalam permasalahan tasmiyah ini, sering dibawakan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ketika mengerjakannya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dengan sanad yang dha’if (lemah).” At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan yang semisal dengan hadits ini dari Sa’id bin Zaid dan Abu Sa’id. Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Dalam permasalahan ini tidak ada satu pun hadits yang kokoh (yang bisa jadi hujjah/pegangan).” (Bulughul Maram, hlm. 26)
Ulama berselisih pendapat tentang hukum membaca basmalah ini. Ada yang berpendapat wajib, ada pula yang berpendapat sunnah.
Mereka yang berpendapat wajib di antaranya Ishaq bin Rahawaih, mazhab Dzhahiriyah, salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad[1], al-Hasan al-Bashri, Abu Bakar serta asy-Syaukani rahimahumullah (Tamamul Minnah, hlm. 89, al-Mughni, 1/73).
Mereka berdalil dengan hadits di atas. Menurut pendapat ini, apabila ada orang yang meninggalkan membaca basmalah dengan sengaja, maka tidak sah wudhunya karena ia meninggalkan perkara yang wajib dalam wudhu. Namun apabila ia tidak mengucapkannya karena lupa atau meyakini tidak wajib, wudhunya tidak batal. (al-Majmu’, 1/387)
Ibnul Mundzir rahimahullah (al-Ausath, 1/367—368) berkata, “Ahlul ilmi berbeda pendapat dalam permasalahan wajibnya tasmiyah sebelum berwudhu. Mayoritas ahlul ilmi menganggap sunnah/disenangi bagi seseorang untuk menyebut nama Allah apabila ia hendak berwudhu, sebagaimana mereka menganggap sunnah, tidak wajib membaca basmalah sebelum makan dan minum, tidur, serta yang lainnya. Kebanyakan mereka mengatakan tidak apa-apa bagi seseorang untuk meninggalkan tasmiyah saat hendak wudhu, karena sengaja ataupun lupa. Demikian pendapat Sufyan ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad ibnu Hambal, Abu ‘Ubaid, dan ashabur ra’yi.”
Ini juga pendapat yang dipegangi jumhur ulama, Abu Hanifah, dan lainnya. (al-Majmu’, 1/386)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku menyenangi bagi seseorang untuk menyebut nama Allah ‘azza wa jalla saat hendak berwudhu. Bila ia lupa, maka ia mengucapkannya ketika ingat selama ia sedang menunaikan wudhunya. Bila ia meninggalkan tasmiyah karena lupa atau sengaja, maka tidak akan merusak wudhunya, insya Allah.” (al-Umm, 1/31)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan tasmiyah sebelum wudhu, dalam seluruh ibadah dan juga perbuatan-perbuatan lainnya, sampaipun dalam bersenggama (jima’).” (al-Majmu’, 1/386)
Beliau juga menyatakan bahwa tasmiyah ini termasuk sunnah-sunnah wudhu, bila meninggalkannya dengan sengaja maka tidak membatalkan wudhu.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Disenangi mengucapkan tasmiyah ketika hendak berwudhu, bila ada seseorang yang meninggalkannya maka wudhunya tetap sempurna.” (al-Muhalla, 2/49)
Dengan pemaparan di atas, maka yang kuat di antara pendapat-pendapat yang ada adalah pendapat yang mengatakan sunnah, bukan wajib, karena dalil yang dijadikan sandaran yang mengisyaratkan wajibnya tasmiyah adalah dha’if/lemah. At-Tirmidzi rahimahullah berkata menukilkan ucapan al-Imam Ahmad rahimahullah, “Aku tidak mengetahui dalam bab ini satu hadits pun yang memiliki sanad yang jayyid/bagus.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/21)
Walaupun di kalangan ahlul ilmi ada yang mensahihkan hadits ini, namun al-Bazzar rahimahullah mengatakan bahwa pengertian hadits itu dibawa kepada makna ‘tidak ada keutamaan wudhu bagi orang yang tidak mengucapkan nama Allah’, bukan maknanya ‘tidak boleh wudhu bagi orang yang tidak membaca basmalah’.” (at-Talkhis, 1/112)
Memulai dari Kanan
Disunnahkan mendahulukan bagian tubuh yang kanan ketika berwudhu dengan berdalil hadits yang umum dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam mengenakan sandalnya, menyisir rambutnya, dalam bersuci, dan dalam seluruh keadaannya[2].” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 168, 5854, dan Muslim no. 268)
Yang menyebutkan secara khusus tentang memulai dari bagian kanan ini adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Abu Dawud rahimahullah dalam Sunan-nya.
إِذَا لَبِسْتُمْ وَإِذَا تَوَضَّئْاتمُ ْ فَابْدَءُوْا بِمَيَامِنِكُمْ
“Apabila kalian mengenakan pakaian dan berwudhu, hendaklah kalian mulai dari bagian yang kanan.” (Hadits ini sahih sesuai dengan persyaratan al-Imam al-Bukhari rahimahullah sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami‘us Shahih 1/507)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama bersepakat tentang sunnahnya mendahulukan bagian yang kanan dari yang kiri ketika mencuci tangan dan kaki dalam berwudhu. Siapa yang menyelisihinya maka hilang darinya keutamaan sunnah, namun wudhunya tetap sah.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160)
Mencuci Kedua Telapak Tangan
Humran, maula (bekas budak) ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhumenyatakan:
أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِيْنَهُ فِي الْوَضُوْءِ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلىَ الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا وَقَالَ: مَنْ تَوَضَّئَا نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَينِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Ia pernah melihat ‘Utsman meminta diambilkan air untuk wudhu, lalu dituangkannya air dari bejana ke atas dua telapak tangannya dan mencucinya sebanyak tiga kali. Kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya. Setelah itu, ia mencuci wajahnya sebanyak tiga kali, mencuci kedua lengannya sampai siku tiga kali. Setelahnya, ia mengusap kepalanya, lalu mencuci kedua kakinya tiga kali. Setelah selesai dari semua itu, ia berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini dan beliau bersabda, ‘Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian ia shalat dua rakaat dan tidak terbetik di dalam hatinya selain dari perkara shalatnya, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)
‘Utsman radhiallahu ‘anhu memeragakan tata cara wudhu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam secara lengkap dan sempurna dengan maksud agar dapat lebih dipahami dan lebih tergambar di benak. (Taisirul ‘Allam, 1/37)
Mencuci kedua telapak tangan ini hukumnya sunnah menurut kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan al-Imam an-Nawawirahimahullah (Syarah Muslim, 3/105, al-Majmu’, 1/391) dan Ibnul Mundzirrahimahullah (al-Ausath, 1/375). Walaupun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus melakukannya, hukumnya tidaklah menjadi wajib, karena dalam ayat wudhu (surat al-Ma’idah ayat 6), tidak disebutkan mencuci kedua telapak tangan. (asy-Syarhul Mumti’, 1/137)
Madhmadhah, Istinsyaq, dan Istintsar
Madhmadhah adalah memasukkan air ke dalam mulut, kemudian berkumur-kumur dengannya, lalu disemburkan keluar. (Fathul Bari, 1/335)Istinsyaq adalah memasukkan air ke dalam hidung dengan menghirupnya sampai jauh ke dalam hidung. (al-Mughni, 1/74, Nailul Authar, 1/203)
Sedangkan istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung setelah istinsyaq. (Syarah Shahih Muslim, 3/105)
Disunnahkan untuk bersungguh-sungguh dalam ber-istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung) kecuali bila sedang puasa. (al-Mughni, 1/74, al-Majmu’ 1/396, Subulus Salam, 1/73, Nailul Authar, 1/212)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَبَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah engkau dalam beristinsyaq kecuali bila engkau sedang puasa.” (HR. Abu Dawud no. 123, at-Tirmidzi no. 718, dan selain keduanya, serta disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih 1/512)
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesekali pernah madhmadhah dan istinsyaq dengan satu cidukan. Di waktu lain dengan dua cidukan dan sekali waktu tiga cidukan. Beliau menyambung antara madhmadhah dan istinsyaq ini. Beliau mengambil dari cidukan tersebut, setengahnya untuk mulut dan setengahnya lagi untuk hidung, dan tidak mungkin melakukan pada satu cidukan kecuali dengan cara ini. Adapun dengan dua dan tiga cidukan memungkinkan untuk memisahkan serta menyambung madhmadhahdan istinsyaq. Namun petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini adalah beliau menyambung antara keduanya (tidak memisahkan dengan cidukan yang berbeda) sebagaimana terdapat haditsnya dalam Shahihain dari hadits Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan madhmadhah danistinsyaq dari satu telapak tangan, dan beliau lakukan hal itu sebanyak tiga kali. Dalam satu lafadz beliau melakukan madhmadhah dan istinsyaqdengan tiga cidukan. Inilah yang paling sahih dalam permasalahan ini.” (Zadul Ma’ad, 1/48—49)
Dalam Sunan Abi Dawud, dibawakan riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang mencontohkan tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara cara wudhunya tersebut ia melakukan madhmadhahdan istintsar tiga kali dengan menggunakan (satu cidukan) tangan yang dipakai untuk mengambil air wudhu. (Disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih 1/508)
Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di atas menunjukkan sunnahnya madhmadhah dan istintsar dari satu telapak tangan dengan sekali cidukan, dan dilakukan sebanyak tiga kali, dengan memerhatikan penghematan dalam menggunakan air, karena mulut dan hidung itu (dianggap) satu anggota atau bagian dari wajah. Sementara hadits Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu (HR. al-Bukhari no. 185 dan Muslimno. 235) menunjukkan sunnahnya madhmadhah dan istinsyaq dari satu telapak tangan dengan tiga cidukan. Demikian keterangan asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam ketika memberi keterangan hadits ‘Ali dan Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma dalam kitabnya Taudhihul Ahkam.
Adapun hadits yang memisahkan antara madhmadhah dan istinsyaq dari hadits Thalhah bin Musharrif, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dha’if (lemah), karena adanya perawi yang bernama al-Laits bin Abi Sulaim. Al-Hafizh berkata tentangnya, “Orang ini dha’if.” Yahya ibnul Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Ma’in, dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah meninggalkan haditsnya. Al-Imam an-Nawawi berkata dalam Tahdzibul Asma’, “Ulama bersepakat terhadap pen-dha’if-annya” (at-Talkhis, 1/112). Di samping itu ada illat(penyakit) lain dalam hadits ini.
Kita cukupkan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah tentang memisahkan antara madhmadhah dan istinsyaq dengan cidukan berbeda, bahwasanya tidak ada satu pun hadits yang sahih dalam permasalahan ini. (Zadul Ma’ad, 1/49)
Dalam istinsyaq ini disenangi menggunakan tangan kanan, sedangkanistintsar dengan tangan kiri.[3] (al-Majmu’, 1/396, Nailul Authar, 1/209)
Mencuci Wajah
Mencuci wajah ketika berwudhu secara jelas disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Maidah ayat 6 yang di dalamnya juga memuat anggota-anggota tubuh yang wajib, bahkan rukun, untuk dicuci (dibasuh) dan diusap (untuk bagian kepala).يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian dan lengan-lengan kalian sampai siku. Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian hingga mata kaki….” (al-Maidah: 6)
Dengan demikian, sangat jelas hukum mencuci wajah ini, sebagaimana disebutkan al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah-nya, “Ulama bersepakat tentang wajibnya mencuci wajah, kedua lengan, dan kedua kaki (di dalam berwudhu).” (Syarah Shahih Muslim, 3/107)
Batasan wajah yang harus dicuci adalah di bawah tempat tumbuhnya rambut kepala, (yang biasanya, red.) di bagian paling atas dahi sampai ke dagu, dan dari cuping/daun telinga kanan ke cuping telinga kiri, termasuk rahang. (al-Umm, 1/25, al-Muhalla, 2/49, asy-Syarhul Mumti’, 1/149, 171—172)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya membawakan bab “Mencuci wajah dengan dua tangan dari satu cidukan”, dengan hadits:
ثُمَّ أَخَذَ غُرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَجَعَلَ بِهَا هَكَذَا أَضَافَهَا إِلىَ يَدِهِ الْأُخْرَى فَغَسَلَ بِهَا وَجْهَهُ
“Kemudian Ibnu ‘Abbas (yang mencontohkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengambil satu cidukan air, lalu menggabungkan satu tangannya dengan tangannya yang lain, dan mengusap wajahnya.”(Sahih, HR. al-Bukhari no. 140)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil mencuci wajah dengan menggunakan dua tangan secara bersama-sama walau dengan satu cidukan. Karena satu tangan terkadang tidak menyempurnakan pencucian wajah.” (Fathul Bari, 1/04)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Disenangi untuk mengambil air dengan kedua telapak tangan ketika hendak mencuci wajah, karena hal tersebut lebih mudah dan lebih dekat untuk membaguskan wudhu.” (Syarah Shahih Muslim, 3/122)
Menyela-nyela Jenggot
Saat mencuci wajah, disenangi pula bagi yang memiliki jenggot untuk menyela-nyela jenggotnya. (al-Ausath, 1/386, al-Mughni, 1/74)Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Kebanyakan ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang setelah mereka berpandangan adanya menyela-nyela jenggot. Demikian pula yang dikatakan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Al-Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, ‘Jika seseorang lupa menyela-nyela jenggotnya, maka hal tersebut tidak menjadi permasalahan’.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/24)
Di antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan menyela-nyela jenggotnya adalah ‘Ali bin Abu Thalib, Ibnu ‘Abbas, al-Hasan bin ‘Ali, Ibnu ‘Umar, dan Anas radhiallahu ‘anhum. (al-Ausath, 1/381)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata, “Jenggot juga disela-sela ketika berwudhu. Telah datang berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambahwasanya beliau menyela-nyela jenggotnya, sekalipun al-Imam Ahmadrahimahullah mengatakan tidak ada satu pun hadits yang sahih dalam pengusapan jenggot ini. Namun mungkin yang beliau maksudkan adalah tidak ada hadits yang sahih bila dilihat secara masing-masingnya, namun tidaklah menolak kemungkinan hadits-hadits tersebut bila dikumpulkan jalan-jalannya pantas dijadikan sebagai hujjah.” (Ijabatus Sa’il, hlm. 29)
Mencuci Lengan
Adapun mencuci lengan dinyatakan dengan ayat:وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ
“Dan (basuhlah) lengan-lengan kalian sampai siku.” (al-Maidah: 6)
Demikian pula hadits Humran, maula (bekas budak) ‘Utsman radhiallahu ‘anhu, yang menyebutkan tentang pencucian lengan sampai ke siku. Sehingga dipahami dari ayat dan hadits ini bahwa mencuci lengan itu dimulai dari ujung jari hingga siku. Namun ada perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang batasan mencuci lengan ketika berwudhu ini, yakni apakah siku termasuk bagian yang dicuci atau tidak.
Perselisihan mereka timbul karena perbedaan memaknakan huruf jar dalam firman Allah , apakah huruf jar tersebut bermakna الْغَايَةُ وَالْاِنْتِهَاءُ(akhir/sampai) atau bermakna مَعَ (bersama/beserta). (al-Muhalla, 2/51, al-Ausath, 1/390, Fathul Bari, 1/366)
Mazhab Dzahiriyyah, sebagian pengikut al-Imam Malik rahimahullah[4], serta selainnya memaknakan dengan الْغَايَةُ وَالْاِنْتِهَاءُ. Sehingga mereka menyatakan bahwa siku tidak wajib disertakan dalam pencucian karena yang wajib dicuci hanyalah lengan sampai batas siku (dan siku tidak termasuk di dalamnya). Hal ini sama dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ
“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam hari.” (al-Baqarah: 187)
Sementara jumhur ulama termasuk imam yang empat memaknakan إِلَىdengan مَعَ. Dengan demikian, siku pun ikut dicuci saat berwudhu. Sehingga huruf jar tersebut maknanya seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٰلِكُمۡۚ
“Dan janganlah kalian memakan harta mereka bersama dengan harta kalian.” (an-Nisa’: 2) [Fathul Bari, 1/366, al-Ausath, 1/391, Bidayatul Mujtahid, hlm. 15]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Jumhur ulama sepakat tentang wajibnya mencuci mata kaki dan siku. Sementara Zufar dan Dawud adz-Dzahiri bersendirian dalam pendapat keduanya dengan menyatakan tidak wajib. Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 3/107, al-Majmu’, 1/430)
Demikian pula yang dikatakan asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (1/207).
Namun dari kedua pendapat yang ada, pendapat kedua (yang menyatakan siku ikut dicuci) inilah yang kuat dari sisi dalil, seperti ditunjukkan dalam riwayat Muslim rahimahullah dari hadits Nu’aim bin Mujmir rahimahullah yang pernah melihat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berwudhu dengan mencuci lengannya hingga melewati sikunya[5]. Di akhir hadits tersebut Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,“Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu.” (HR. Muslim no. 246) [al-Majmu’, 1/430, Bidayatul Mujtahid, hlm. 15, asy-Syarhul Mumti’, 1/150, Ijabatus Sa’il, hlm. 29]
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata, إِلَى dalam ayat bisa dimungkinkan bermakna الْغَايَةُ dan bisa pula bermakna مَعَ, tetapi As-Sunnah menjelaskan bahwa huruf tersebut bermakna مَعَ.” (Fathul Bari, 1/366, Subulus Salam, 1/65)
Mengusap Kepala
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ
“Dan usaplah kepala-kepala kalian.” (al-Maidah: 6)
Ayat di atas menunjukkan kepala tidaklah dibasuh sebagaimana anggota wudhu lainnya tetapi hanya diusap. Namun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang batasan yang wajib diusap. (Syarah Shahih Muslim, 3/107)
Perbedaan tersebut timbul karena adanya perbedaan dalam memaknakan huruf ba dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas(Fathul Bari, 1/366). Pendapat yang ada:
- Cukup mengusap sebagian kepala, sebagaimana pendapat al-Imam asy-Syafi’i, sebagian pengikut al-Imam Malik, Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan al-Auza’i rahimahumullah. Mereka kemudian berbeda pendapat lagi tentang seberapa batasan sebagian kepala tersebut. Ada yang mengatakan setengahnya, ada yang dua pertiganya, ada yang mengatakan bila diusap ubun-ubun maka sudah mencukupi, dan ada pula yang mengatakan sehelai pun sudah cukup.
- Wajib mengusap seluruh kepala. Demikian pendapat al-Imam Malik dan Ahmad rahimahumallah, dan inilah pendapat yang rajih. (Majmu’ Fatawa, 21/122—123, 124, Bidayatul Mujtahid, hlm. 15, Taisirul ‘Allam, 1/38)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para imam telah bersepakat bahwasanya yang dicontohkan dalam As-Sunnah adalah mengusap seluruh kepala sebagaimana hal ini telah pasti dalam hadits-hadits yang sahih dan hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak satu pun perawi (sahabat) yang menukilkan tata cara wudhu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwasanya Nabi mencukupkan mengusap sebagian kepalanya.” (Majmu’ Fatawa, 21/122)
Ditegaskan lagi oleh beliau bahwa pendapat yang benar dalam pengusapan kepala adalah mengusap seluruhnya, karena yang demikian ini ditunjukkan oleh dzahir (teks) Al-Qur’an. (lihat Majmu Fatawa, 21/123, 125)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak didapati satu hadits sahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mencukupkan mengusap sebagian kepala. Akan tetapi bila beliau mengusap ghurrah(rambut bagian depan)nya, beliau sempurnakan dengan mengusap di atas imamah (sorban)nya.” (Zaadul Ma’ad, 1/49)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Lafadz ayat (wudhu) yang datang itu secara global. Oleh karena itu, bisa jadi yang diinginkan dalam mengusap kepala adalah mengusap seluruh kepala dengan pernyataan huruf ba yang ada dalam ayat adalah huruf zaidah (tambahan), atau bisa pula mengusap sebagian kepala dengan memaknakan huruf ba yang ada sebagai tab’idhiyyah (bermakna sebagian). Akan tetapi bila ditinjau dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka akan diketahui dengan jelas bahwa yang dimaukan adalah yang awal (mengusap seluruh kepala). Tidak pula didapatkan penukilan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamyang menunjukkan beliau mengusap sebagian kepala, kecuali dalam hadits al-Mughirah yang mengabarkan beliau mengusap ghurrah dan imamahnya….” (Fathul Bari, 1/363)
Sementara asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa seandainya seseorang hanya mengusap jambulnya tanpa mengusap bagian kepala lainnya maka hal tersebut tidaklah mencukupinya. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Usaplah kepala-kepala kalian”, dan Allahsubhanahu wa ta’ala tidaklah mengatakan, “Usaplah sebagian kepala-kepala kalian.” Huruf ba dalam bahasa Arab tidaklah datang dengan makna tab’idh sama sekali. Ibnu Burhan berkata, “Siapa yang menganggap huruf ba dalam bahasa Arab datang dengan makna tab’idhmaka sungguh ia telah salah dan keliru.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/151)
Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu ketika mencontohkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya:
فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ
“Lalu beliau mengedepankan kedua tangannya tersebut dan membelakangkannya. Beliau memulai dari depan kepalanya kemudian menjalankan kedua tangannya sampai tengkuknya kemudian beliau mengembalikan keduanya ke posisi awal ia mengusap.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 185 dan Muslim no. 235)
Dalam hadits Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu di atas didapati bahwa beliau mengusap kepalanya dari depan kepala dengan kedua tangannya, kemudian beliau mengarahkannya ke belakang kepalanya, lalu mengembalikan ke arah depan. Juga didapatkan faedah bahwasanya beliau mengusap kepalanya hanya sekali. Demikian pula yang disebutkan dalam hadits ‘Ali radhiallahu ‘anhu:
وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً
“Dan beliau mengusap kepalanya sekali.” (HR. Abu Dawud no. 99, at-Tirmidzi no. 48, dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih, 1/508)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan dalam Sunan-nya, “Pengusapan kepala dengan hanya sekali inilah yang diamalkan oleh mayoritas sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang setelah mereka. Demikian pendapat yang dipegangi Ja’far bin Muhammad, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah. Mereka semua meriwayatkan pengusapan kepala hanya sekali saja.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/26)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa yang dicontohkan dalam As-Sunnah dalam pengusapan kepala adalah mengusapnya hanya sekali.” (Nailul Authar, 1/228)
Demikian pula yang dikatakan al-Mubarakfuri rahimahullah dalam syarahnya terhadap hadits-hadits yang terdapat dalam Sunan at-Tirmidzi(Tuhfatul Ahwadzi, 1/135).
Adapun hadits yang menunjukkan pengusapan kepala sebanyak tiga kali[6] diperselisihkan ulama tentang keshahihannya. Namun yang rajih (kuat), hadits tersebut dha’if (lemah). Lihat pembahasan dha’ifnya hadits tersebut dalam Nailul Authar (1/228—300).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang benar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengulang pengusapan kepala (yakni beliau hanya mengusapnya sekali), bahkan sekalipun beliau mengulang pencucian anggota wudhu lainnya. Adapun untuk kepala, beliau hanya mengusapnya sekali. Demikianlah keterangan yang datang dari beliau secara jelas. Tidak ada kabar/berita yang sahih sama sekali dari beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi hal tersebut. Bahkan kabar yang selain ini periwayatannya bisa jadi shahih namun tidak sharih (tidak jelas menunjukkan pengulangan dalam mengusap kepala), ataupun periwayatannya itu sharih namun tidak sahih.” (Zadul Ma’ad, 1/49)
Abu Dawud rahimahullah berkata, “Hadits-hadits ‘Utsman radhiallahu ‘anhu yang shahih semuanya menunjukkan bahwa mengusap kepala itu hanya sekali.” (Zadul Ma’ad, 1/49, Nailul Authar, 1/230)
Demikian pula yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (21/126).
Mengusap Telinga
Telinga diusap bersamaan dengan mengusap kepala karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ
“Dua telinga termasuk bagian dari kepala.” (HR. Abu Dawud no. 115,at-Tirmidzi no. 37, dan Ibnu Majah no. 438, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 36)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits di atas, “Dengan banyaknya jalan-jalannya, hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah.” (Ijabatus Sa’il, hlm. 29)
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata, “Maksud dari hadits ini adalah dibolehkan mengusap dua telinga bersamaan mengusap kepala dengan menggunakan air yang sama (tidak mengambil air baru). Demikian pendapat al-Imam Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah.” (‘Aunul Ma’bud, 1/154)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan dua telinga itu merupakan bagian dari kepala, maka keduanya diusap bersama dengan mengusap kepala dan ini merupakan pendapat jumhur.” (Nailul Authar, 1/231)
At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Yang diamalkan di sisi mayoritas ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang setelah mereka adalah dua telinga tersebut bagian dari kepala. Pendapat inilah yang dipegangi Sufyan, Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/28)
Demikian pula pendapat ‘Atha, Sa’id ibnul Musayyib, al-Hasan, ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, an-Nakha’i, Ibnu Sirin, Sa’id bin Jubair, Malik bin Anas, Qatadah, an-Nu’man, dan pengikutnya, rahimahumullah. (al-Ausath, 1/402)
Yang diusap dari telinga ini adalah bagian luar dan dalamnya[7], tanpa mengambil air baru namun cukup air sisa mengusap kepala. (Zadul Ma‘ad, 1/49, al-Ausath, 1/404, Subulus Salam, 1/75)
Adapun hukum mengusap telinga itu sendiri diperselisihkan oleh para ulama. Sekelompok sahabat dan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya sama dengan hukum mengusap kepala, dengan dalil hadits yang telah disebutkan di atas, “Dua telinga termasuk bagian dari kepala.” Inilah pendapat yang rajih (kuat).
Sementara jumhur ulama berpendapat mengusap telinga hukumnya mustahab (sunnah), tidak wajib. (al-Ausath, 1/400—403)
Mengusap Kepala dengan Air Baru
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya membawakan bab “Keterangan yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengambil air baru untuk mengusap kepalanya”, dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Zaidradhiallahu ‘anhu:أَنَّهُ رَأَى النَّبِيُّ تَوَضَّأَ، وَأَنَّهُ مَسَحَ رَأْسَهُ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدَيْهِ
“Ia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dan beliau mengusap kepalanya bukan dengan air sisa yang ada pada kedua tangannya.”
Kemudian al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah menyatakan, “Mayoritas ahlul ilmi mengamalkan hadits ini, mereka berpandangan untuk mengambil air baru ketika mengusap kepala.” (Sunan Tirmidzi, 1/26—27)
Inilah pendapat yang rajih dari kalangan ahlul ilmi, insya Allah.
Adapun pendapat yang membolehkan mengusap kepala dengan air sisa yang ada pada kedua lengan dengan berpegang dengan hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha —bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada pada kedua lengannya–, merupakan pendapat yang lemah. Karena, hadits yang dijadikan dalil tersebut pada matannya ada kegoncangan (idhthirab), di mana periwayatan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 384) dari Syarik, dari Ibnu ‘Aqil, dari ar-Rubayyi’ radhiallahu ‘anha, menyelisihi matan yang ada dengan pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil air baru kemudian beliau mengusap kepalanya. Juga di dalam sanad hadits ini ada Ibnu ‘Aqil yang dia itu dibicarakan oleh para imam seperti al-Imam Ahmad rahimahullah. Al-Imam Ahmad mengatakan, “Ibnu ‘Aqil ini munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya).” Bisa kita lihat pembicaraan hadits ini dalam ‘Aunul Ma’bud(1/150—151) dan Tuhfatul Ahwadzi (1/115—117).
Ibnul Mundzir rahimahullah setelah membawakan perselisihan yang ada, menyatakan, “Yang aku senangi bila seseorang ingin mengusap kepalanya, hendaklah ia mengambil air baru. Namun bila hal itu tidak ia lakukan dan ia mengusap kepalanya dengan air yang masih ada di tangannya dari sisa mencuci lengan, maka aku berharap hal tersebut mencukupinya.” (al-Ausath, 1/392)
Wallahu ta’ala a’lam.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang tata cara wudhu, beliau berkata, “Tata cara wudhu yang syar’i itu ada dua sisi:
Sisi pertama: Tata cara wajib di mana tidak sah wudhu tanpanya, yakni yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku. Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata kaki….” (al-Maidah: 6)
Mencuci wajah sekali, termasuk madhmadhah (berkumur) dan istinsyaq (menghirup air ke hidung), mencuci dua tangan dari ujung-ujung jari sampai siku sekali. Ketika mencuci lengan ini, orang yang berwudhu hendaknya memerhatikan kedua telapak tangannya dengan turut mencucinya bersamaan dengan mencuci tangan. Karena sebagian manusia melalaikan hal ini hingga tidak mencucinya, namun hanya mencuci lengannya. Ini jelas satu kesalahan.
Setelah itu ia mengusap kepala sekali termasuk mengusap kedua telinga karena kedua telinga merupakan bagian dari kepala. Sebagai penutup wudhunya, ia mencuci kedua kakinya termasuk mata kaki sekali. Demikian tata cara wudhu yang wajib dan tidak boleh ditinggalkan.
Sisi kedua: tata cara yang mustahab (sunnah) yang akan kami sebutkan berikut ini dengan memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala:
- Membaca basmallah ketika seseorang hendak berwudhu
- Mencuci kedua telapak tangan tiga kali
- Madhmadhah dan istinsyaq tiga kali dengan tiga kali cidukan
- Mencuci wajah tiga kali
- Mencuci kedua lengan sampai siku masing-masing tiga kali, dimulai dari lengan kanan kemudian dilanjutkan lengan kiri
- Mengusap kepala sekali, dengan membasahi kedua telapak tangannya kemudian menjalankan kedua tangannya tersebut dari depan kepalanya sampai ke belakang kepala kemudian dari belakang kepala ia jalankan kembali ke depan.
- Mengusap telinga dengan memasukkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinga sementara kedua ibu jarinya mengusap bagian luar telinga
- Mencuci kedua kaki sampai mata kaki masing-masingnya tiga kali, dimulai dari kaki kanan kemudian kaki kiri.
- Setelah itu ia berdoa:
“Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah sendiri-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang membersihkan/menyucikan dirinya.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/150—151)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
[1] Adapun riwayat lain, beliau berpendapat sunnah dan ini yang zhahir (tampak) dari pendapat beliau, kata Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (1/73).
[2] Lafadz ‘dalam segala keadaan” pada hadits ini umum, namun dikecualikan pada beberapa perkara, seperti masuk WC, keluar masjid, dan semisalnya dimulai dengan yang kiri. (Fathul Bari, 1/339)
[3] Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ali radhiallahu ‘anhu yang disahihkan asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i hadits no. 89.
[4] Adapun al-Imam Malik sendiri berpendapat siku wajib disertakan dalam pencucian. (al-Umm, 1/25)
[5] Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan apa yang diterangkan dalam hadits (Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) ini hanyalah ingin menunjukkan bahwasanya siku dan mata kaki ikut dicuci ketika berwudhu, bukan menunjukkan masalah (disenanginya) memanjangkan (melebihkan) pencucian anggota wudhu dari yang semestinya. (Zaadul Ma’ad, 1/49)
[6] Pendapat yang demikian ini dipegangi oleh al-Imam asy-Syafi’irahimahullah dan orang-orang yang mengikuti beliau. (Syarah Shahih Muslim, 3/106—107)
[7] Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepala dan kedua telinganya, bagian luarnya dan bagian dalamnya. (HR. at-Tirmidzi no. 36, dihasankan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 1/512)
At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Mayoritas ahlul ilmi mengamalkan hal ini. Mereka memandang yang diusap adalah bagian luar dan dalam kedua telinga.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/27)
Sumber : Asy Syariah Edisi 004, Seputar Hukum Islam, Asy Syariah Edisi 005, Seputar Hukum Islam , dan Asy Syariah Edisi 006, Seputar Hukum Islam
14 November 2011
http://asysyariah.com/tata-cara-wudhu-nabi-bagian-1/
http://asysyariah.com/tata-cara-wudhu-rasulullah-bagian-2/
http://asysyariah.com/tata-cara-wudhu-bagian-3/
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi