Tawassul, Syubhat dan Bantahannya

Tawassul, Syubhat dan Bantahannya


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi)

Bagi kaum muslimin yang “hobi” melakukan ziarah kubur, hampir dipastikan mereka juga memiliki agenda untuk melakukan tawassul. Ritual doa melalui perantara ini sepertinya telah menjadi menu wajib dari rangkaian kegiatan ziarah kubur. Sayang, perbuatan tawassul itu mayoritas menjurus kepada amalan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketika diingatkan, mereka menolak dengan keras karena mereka ternyata juga punya “dalil”. Apa saja “dalil” mereka itu dan bagaimana bantahannya?

Sebagai lanjutan dari pembahasan tawassul yang disyariatkan pada edisi lalu, kali ini akan dibahas tentang tawassul yang dilarang.

Kedua, tawassul yang diharamkan dan tidak disyariatkan oleh Allah.

Yaitu bertawassul kepada Allah dengan sesuatu yang bukan sebagai wasilah atau dengan sesutu yang tidak ditetapkan oleh syariat sebagai wasilah dan bentuk tawassul ini ada dua:

1.    Tawassul kepada Allah dengan sesuatu yang tidak ada syariatnya. Tawassul semacam ini diharamkan. Contohnya, bertawassul dengan jah (kedudukan) seseorang yang memiliki kedudukan di sisi Allah atau tawassul dengan dzat seseorang. Perbuatan ini menjadi bid’ah dari satu sisi dan syirik (kecil-red) dari sisi yang lain:

–    Bid’ah karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah n kepada diri Rasul baik di saat beliau masih hidup, terlebih setelah beliau meninggal.

–    Syirik (kecil, red) dari sisi menjadikan sesuatu perantara atau sebab yang tidak pernah ditentukan oleh Allah, maka hal ini termasuk dari kesyirikan kepada Allah.

2.    Tawassul kaum musyrikin dengan berhala dan patung-patung, dan juga seperti tawassul para pengagung kuburan dengan wali-wali mereka yakni sesungguhnya mereka meminta-minta langsung kepada ahli kubur atau berhala dengan dalih bertawassul dan ini adalah tawassul syirik akbar.

Pertanyaan

1. Bagaimana hukum bertawassul dengan seseorang yang shalih?

Jawaban terhadap pertanyaan ini ada rinciannya yaitu:

a.    Bila bertawassul dengan doa mereka kepada Allah dengan cara meminta agar dia mendoakan dirimu kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan di dalan syariat dan telah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah kepada beliau dan telah dilakukan pula oleh Umar bin Al-Khaththab kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib.

b.    Bila bertawassul dengan kedudukan mereka dan dzat mereka maka ini termasuk dari kesyirikan (kecil, red) dari satu sisi dan kebidahan dari sisi yang lain, sebagaimana di atas.

2. Bagaimana hukum bertawassul kepada Rasulullah?

Bertawassul dengan Rasulullah termasuk dari sederetan fitnah yang besar, dan jawaban terhadap pertanyaan ini adalah:

a.    Bila bertawassul dengan keimanannya kepada beliau maka hal ini termasuk dari ibadah kepada Allah dan disyariatkan oleh-Nya. Contohnya dengan mengatakan: “Ya Allah dengan imanku kepada Nabi-Mu aku memohon-Mu…

b.    Bila tawassul dengan doa beliau artinya datang kepada beliau semasa masih hidup lalu meminta agar didoakan kepada Allah, maka hal ini adalah diperbolehkan sebagaimana di atas adapun setelah wafatnya maka tidak boleh bertawassul melainkan dengan mengikuti dan mengimani beliau.

c.    Bila tawassul dengan kedudukan dan dzat beliau baik disaat beliau hidup atau setelah wafatnya maka hal ini termasuk dari kebid’ahan.

Beberapa Permasalahan Penting

Setelah mengetahui jenis-jenis tawassul baik yang disyariatkan ataupun yang mengundang murka Allah, ada beberapa permasalahan penting yang harus dipahami:

1.    Bahwa ahli kebatilan tidak akan berdiam diri dan ridha, membiarkan kaum muslimin kembali kepada ajaran Rasulullah n dan mengamalkannya di tengah masyarakat yang menjadi mangsa mereka. Sehingga mereka berusaha dengan segala cara untuk menghadapi segala kemungkinan pembaharuan akidah dengan cara apapun juga, walaupun dalam waktu yang cukup lama. Mereka akan memakai senjata-senjata kebatilan untuk membendung kebenaran dan pengikutnya, seperti dusta, tuduhan keji, menipu, janji-janji palsu, mencaci-maki, dan sebagainya.

2.    Para penyesat selalu mengintai mangsanya, yang bila ada kesempatan mereka akan mengeluarkan manuver-manuver penyesatan dengan jembatan syubhat.

3.    Betapa banyak dari kaum muslimin termakan manuver-manuver mereka, sadar atau tidak sadar. Sehingga bukan suatu keanehan lagi bila muncul dari kaum muslimin pembela-pembela kebatilan, penebar kesesatan. Allah berfirman (artinya):
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba`: 13)

4.    Allah akan selalu menjaga agamanya dari rongrongan para penyesat dengan menampilkan para ulama Ahlus Sunnah untuk membendung kejahatan mereka. Bagaimanapun dan di manapun mereka bersembunyi dengan kebatilan mereka, niscaya Allah akan menampilkan sosok ulama yang akan menyeret mereka agar nampak di hadapan kaum muslimin bahwa ini adalah ahli kebatilan, berikut kebatilan yang mereka lakukan. Hal ini sebagai kebenaran janji Allah di dalam Al Qur`an (artinya) :
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Ad-Dzikr (Al-Qur`an) dan Kami yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)

Tidak ada sekecil apapun kejahatan yang diperbuat di dalam agama-Nya atau mengatasnamakan agama-Nya, melainkan Allah akan membongkar kedoknya. Dan tidak ada sekecil apapun makar yang dilakukan oleh ahli kebatilan secara sembunyi melainkan Allah akan membongkarnya walaupun mereka akan bersembunyi di lobang-lobang biawak sekalipun. Tidak ada sesulit apapun syubhat yang mereka lontarkan melainkan Allah akan menampakkan kebatilannya. Itulah bentuk rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya yang beriman. Itulah apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sebuah sabdanya :
“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya Allah akan memberikan kefaqihan di dalam agama, dan sesungguhnya aku adalah sebagai pembagi (harta shadaqah) dan yang memberi adalah Allah. Terus menerus (sebagian) dari umat ini (Islam) tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka siapapun yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah.”

Hadits ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat Rasulullah n seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 71, Muslim no. 1037, dan Ahmad no. 16246, Tsauban, Al-Mughirah bin Syu’bah, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Qurrah, Zaid bin Arqam, ‘Imran bin Hushain, Uqbah bin ‘Amir, Abu Umamah g dan selain mereka. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud di dalam Sunan beliau, juga At-Tirmidzi, Ibnu Majah.

Dalam lafadz yang lain, Rasulullah n menjelaskan: “Mereka adalah golongan yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu tertolong di atasnya sampai datang keputusan Allah.” Lalu siapakah yang dimaksud dengan sekelompok kecil tersebut?

Ibnu Hajar Al-’Asqalani t mengatakan: “Al-Imam Al-Bukhari telah memastikan bahwa yang dimaksud adalah ulama dan ahli hadits.” Dan Al-Imam Ahmad mengatakan: “Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka saya tidak mengetahui siapa mereka.” Al-Qadhi ‘Iyadh t mengatakan: “Yang dimaksud oleh Ahmad adalah Ahlus Sunnah dan orang-orang yang mengikuti madzhab mereka.” (Lihat Fathul Bari, 1/200, cet. Darul Hadits, Mesir)

Di antara syubhat yang dilontarkan oleh ahli kebatilan dalam masalah tawassul adalah sebagai berikut:

Syubhat pertama: “Orang-orang yang membolehkan tawassul dengan jah (kedudukan) seseorang, kehormatan, dzat dan haknya, berdalil dengan hadits Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam dua tempat. Pertama, dalam kitab Al-Istisqa` bab 3 no. 1010 dan di dalam kitab Fadha`ilush Shahabah bab 11 no. 3710.

“Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab beristisqa` (minta turun hujan) melalui ‘Abbas bin Abdul Muththalib bila ditimpa musim kering (yang berakibat terjadinya paceklik). Beliau (‘Umar) berkata: “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawassul dengan Nabi Engkau dan Engkau menurunkan air hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi Engkau, maka turunkanlah atas kami hujan, beliau berkata: ‘Lalu turun hujan buat mereka’.”

Mereka (ahli kebatilan) mengatakan: “Dari hadits ini, ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan), dan dia memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Dan tawassul ‘Umar hanya sebatas menyebut nama Al-‘Abbas di dalam doa beliau dan meminta kepada Allah untuk menurunkan hujan. Ditambah lagi, para shahabat menyetujui hal itu. Adapun sebab ‘Umar berpaling dari bertawassul dengan Rasulullah hanyalah sebatas ingin menjelaskan bolehnya bertawassul dengan “mafdhul” (orang yang lebih rendah kedudukannya) bersamaan dengan adanya yang lebih afdhal.”

Bantahannya: Pemahaman mereka tentang hadits di atas dengan maksud demikian sangatlah keliru dari banyak sisi:

1.    Kaidah di dalam syariat mengatakan bahwa nash-nash itu saling menjelaskan sebagiannya atas sebagian yang lain. Tidak boleh memahami sebuah nash dengan melepaskan keterkaitannya dengan nash yang lain. Berdasarkan hal ini, hadits ‘Umar harus dipahami dengan riwayat-riwayat yang lain yang menjelaskan tentang tawassul. Dan keterangan riwayat-riwayat yang banyak tersebut menjelaskan, bahwa para shahabat Rasulullah ketika ditimpa oleh paceklik, mereka bertawassul dengan doa Rasulullah dengan cara mendatangi beliau ketika masih hidup dan meminta agar beliau berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan, dan bukan dengan kepribadian (zat) dan kedudukan beliau yang tinggi di sisi Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik yang shahih:
“Ketika Rasulullah berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seseorang datang lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, hujan tertahan (menyebabkan paceklik). Berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan untuk kami.’ Lalu Rasulullah berdoa dan hujan turun atas kami, hampir-hampir kami tidak bisa pulang ke rumah-rumah kami, dan hujan tersebut berlangsung sampai Jum’at berikutnya. (Anas) berkata: “Orang tersebut atau –yang selain dia– bangkit dan berkata: ‘Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Allah memalingkan hujan dari kami.’ Lalu Rasululah berdoa: ‘Ya Allah, palingkan hujan itu dari kami dan jangan dijadikan sebagai bahaya bagi kami.’ Anas berkata: “Sungguh aku menyaksikan gumpalan awan terpisah-pisah ke arah kanan dan kiri lalu turun hujan untuk mereka (selain penduduk Madinah), dan hujan tidak turun bagi penduduk Madinah.”

Berarti ucapan ‘Umar:

“Sesungguhnya kami dulu bertawassul dengan Nabi Engkau dan Engkau menurunkan air hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi Engkau…”

Dalam ucapan tersebut ada sebuah kata yang terbuang yang dengannya akan sempurna dan sesuai dengan nash-nash lain yang shahih dan kata yang terbuang itu harus didatangkan. Dan kata yang terbuang itu ada dua kemungkinan, pertama: “Kami bertawassul kepada-Mu dengan jah[1] (kedudukan) Nabi-Mu dan jah (kedudukan) paman Nabi-Mu”, atau kedua: “Kami bertawassul kepada-Mu dengan doa[2] Nabi-Mu dan dengan doa paman Nabi-Mu”. Untuk menghukumi mana yang benar dari dua kemungkinan ini, kita harus kembali kepada As Sunnah dan yang sesuai dengan riwayat-riwayat yang shahih. Dan yang benar dan sesuai dengan riwayat yang shahih adalah kemungkinan yang kedua.

2.    Tawassul secara bahasa dan yang difahami oleh ‘urf (kebiasaan yang sudah berlangsung) melalui lisan-lisan orang Arab adalah seperti apa yang telah dipahami dan yang dilakukan oleh para shahabat kepada Rasulullah. Bentuknya adalah bila engkau memiliki hajat kepada seseorang dan orang ini memiliki kedudukan (misalnya) sebagai pimpinan, lalu engkau mendatangi seseorang yang lebih didengar suaranya oleh pimpinan tersebut, maka engkau mengutarakan hajatmu kepadanya untuk disampaikan kepada pimpinan. Demikianlah definisi tawassul di kalangan orang Arab sejak dahulu. Dan bukan makna tawassul adalah bila kamu datang kepada pimpinan itu lalu mengatakan: ‘Hai pimpinan, karena jah (kedudukan) orang tersebut dan dekatnya posisinya di sisimu, maka tunaikanlah hajatku.’

3.    Ucapan mereka (ahli kebatilan): “Bahwa para shahabat merestui perbuatan ‘Umar”

Mereka merestuinya karena memang perbuatan ‘Umar tidak menyelisihi Sunnah Rasulullah. Dan jika perbuatan ‘Umar menyelisihi Sunnah Rasulullah, niscaya mereka (para shahabat) akan menentang perbuatan ‘Umar. Dan mustahil mereka akan sepakat di dalam kebatilan sedangkan mereka adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi manusia, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dan perbuatan ‘Umar sesuai dengan riwayat-riwayat yang shahih di atas dimana beliau datang kepada Al-‘Abbas dan meminta agar beliau (Al-‘Abbas) berdoa kepada Allah agar Dia menurunkan hujan, sebagaimana permintaan yang terjadi di masa Rasulullah masih hidup.

Makna hadits ‘Umar di atas telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t di dalam kitab beliau Fathul Bari (2/571, cet. Darul Hadits, Mesir): “Telah dijelaskan oleh Az-Zubair bin Bakkar di dalam kitab Al-Ansab, tentang sifat doa Al-‘Abbas dalam peristiwa ini dan waktu terjadi hal itu. Beliau meriwayatkan dengan sanad beliau, di saat ‘Umar bertawassul dengan Al-’Abbas dalam istisqa`, Al-’Abbas berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun bala` melainkan karena sebuah dosa dan tidak akan dihilangkan melainkan dengan bertaubat. Dan kaum itu telah mendatangiku untuk menyampaikan hajat mereka kepada-Mu karena kedudukan diriku di hadapan Nabi-Mu, dan ini tangan-tangan kami berlumuran dengan dosa dan ubun-ubun kami (mengiqrarkan) taubat. Turunkanlah kepada kami hujan. Kemudian turun hujan dari langit sehingga bumi menjadi subur dan manusia bisa hidup.”

4.    Ucapan ahli kebatilan: “Ini bukti bahwa ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) Al-‘Abbas.”
Kalau benar ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) Al-‘Abbas niscaya beliau tidak akan meninggalkan bertawassul dengan jah Rasulullah walaupun beliau telah wafat. Karena bertawassul dengan jah beliau bisa dilakukan sekalipun beliau telah wafat. Dan tentu para shahabat yang lain akan menegur ‘Umar, kenapa meninggalkan bertawassul dengan jah Rasulullah lalu berpaling kepada Al-‘Abbas. Dan sungguh kita mengetahui semangat para shahabat untuk melakukan sesuatu yang lebih utama.

5.    Mereka mengatakan: “Umar berpaling dari Rasulullah dalam bertawassul kemudian menuju Al-‘Abbas, untuk menjelaskan tentang kebolehan bertawassul dengan yang mafdhul (kurang utama) bersamaan dengan adanya yang afdhal (lebih utama).”

Alasan ini adalah batil dari banyak sisi:

1.    Tawassul yang benar/ syar’i kepada Rasulullah setelah wafat beliau merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Dan bagaimana mereka akan pergi ke makam Rasulullah lalu menjelaskan keadaan mereka dan meminta kepada beliau, agar beliau berdoa kepada Allah supaya dibebaskan dari bala` yang menimpa, sementara Rasulullah telah menghadap Allah? Karena memang tidak diperbolehkan itulah, sehingga ‘Umar bertawassul dengan doa paman Rasulullah, Al-‘Abbas. Bila hal itu diperbolehkan setelah wafat beliau dan ‘Umar meninggalkan hal demikian, berarti ‘Umar meninggalkan Sunnah Rasulullah. Dan tidak mungkin hal itu terjadi pada diri orang terbaik umat Rasulullah setelah Abu Bakr.

2.    Manusia dengan fitrah yang ada pada diri mereka, ketika ditimpa oleh malapetaka yang dahsyat, tentu akan mencari sebab yang lebih kuat untuk segera terselesaikan darinya, dan akan mencari wasilah yang lebih besar dan afdhal agar segera terbebaskan dari malapetaka tersebut. Dan jika tawassul dengan jah Nabi diperbolehkan, kenapa ‘Umar harus mencari yang mafdhul (kurang afdhal) dan meninggalkan yang afdhal?

3.    Taruhlah bahwa terbetik pada diri ‘Umar untuk bertawassul kepada Allah melalui Al-‘Abbas dengan tujuan untuk menjelaskan hukum fiqih yang mereka duga yaitu: “Menjelaskan tentang kebolehan bertawassul dengan yang mafdhul bersamaan dengan adanya yang afdhal,” apakah hal itu juga akan terbetik pada diri Mu’awiyah dan Ad-Dhahhak bin Qais di saat keduanya bertawassul dengan doa seorang tabi’in yang memiliki kemuliaan, Yazid bin Al-Aswad Al-Jurasyi, dan tidak mencukupkan dengan apa yang dilakukan oleh ‘Umar? Tentu ini adalah alasan yang berlebihan.

4.    Di dalam kisah ‘Umar tersebut ada sebuah rahasia yang mungkin perlu diperhatikan yaitu:
“Sesungguhnya ‘Umar bila terjadi musim kemarau, beliau melakukan istisqa’ dengan meminta Al-‘Abbas untuk berdoa.”

Ucapan ini menjelaskan bahwa ‘Umar sering melakukan yang serupa setiap kali terjadi musim kemarau yang panjang. Dan kalau untuk menjelaskan hukum fiqih di atas, niscaya ‘Umar tidak akan melakukannya berulang-ulang dan cukup melakukannya satu kali.

Syubhat kedua: Mereka berdalil dengan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan selain beliau dengan sanad yang shahih dari ‘Utsman bin Hunaif bahwa seseorang buta mendatangi Rasulullah dan berkata:
“Seorang buta mendatangi Rasulullah lalu berkata: ‘Doakanlah buatku agar Allah menyembuhkanku.’ Rasulullah bersabda: “Kalau kamu menghendaki, aku akan mendoakan buatmu dan bila kamu menghendaki aku akan menahan doa tersebut dan itu lebih baik buatmu.’ Di dalam sebuah riwayat: ‘Kalau kamu mau, kamu bersabar maka itu lebih baik buatmu.’ Dia berkata: ‘Berdoalah.’ Lalu Rasulullah menyuruhnya untuk mengambil air wudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat dan dia berdoa dengan doa ini: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku menghadap-Mu dengan (doa) Nabi-Mu Muhammad Nabi rahmah. Hai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Allah dengan (doa) mu dalam semua hajatku lalu tertunaikan buatku. Ya Allah, terimalah syafaatnya (Nabi-Mu) bagiku. Ya Allah terimalah doaku agar Engkau mengabulkan syafaatnya buatku’. Maka orang tersebut melakukannya dan dia sembuh.”[3]

Mereka mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bolehnya seseorang bertawassul di dalam doanya dengan jah (kedudukan) Rasulullah atau selain beliau dari orang-orang yang shalih, karena di dalamnya beliau mengajarkan kepada orang buta tersebut agar bertawassul dengan beliau di dalam doanya dan dia melakukannya, kemudian dia sembuh.”

Bantahannya: Sesungguhnya dalil ini menjelaskan jenis tawassul yang disyariatkan sebagaimana dalam keterangan di atas ,yaitu tawassul dengan doa beliau. Dan bukti yang menjelaskan demikian di dalam hadits tersebut banyak sekali dan yang paling penting adalah:

1.    Bahwa orang buta itu datang kepada Rasulullah meminta untuk didoakan kepada Allah agar disembuhkan dari penyakit yang dideritanya. Hal ini jelas di dalam ucapannya:  , dan bila memaksudkan bertawassul dengan jah dan dzat Rasulullah maka dia tidak perlu mendatangi Rasulullah.

2.    Rasulullah berjanji untuk mendoakannya. Bersamaan dengan itu, beliau menasehatinya menuju sesuatu yang lebih utama yaitu bersabar. Dan inilah makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah di dalam sebuah sabda beliau : “Bila aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya lalu dia bersabar, niscaya Aku akan menggantikan keduanya dengan surga.”[4]

3.    Terus menerusnya orang buta tersebut meminta kepada Rasulullah untuk didoakan, menunjukkan bahwa Rasulullah mendoakannya dan beliau adalah sebaik-baik orang di dalam memenuhi janjinya.

4.    Di antara doa yang diajarkan kepadanya adalah , dan ucapan ini mustahil mengandung makna bahwa dia bertawassul di dalam doanya dengan jah (kedudukan) atau dzat Rasulullah. Karena makna dari ucapan tersebut adalah: “Ya Allah, terima syafaatnya buatku”, artinya terimalah doanya agar aku mendapatkan kesembuhan dan agar  penglihatanku kembali.

5.    Di antara doa yang diajarkan Rasulullah kepadanya adalah , maksudnya terimalah doaku agar Engkau menerima syafaat Rasulullah untukku, artinya terimalah doanya (Rasulullah) agar penglihatanku kembali.

6.    Hadits ini diletakkan oleh para ulama dalam bab membicarakan mu’jizat Rasulullah dan doa beliau yang mustajab, dan sebagai bukti kebesaran Allah dengan memperlihatkan keajaiban-keajaiban berkat doa Rasulullah, seperti menyembuhkan orang yang sakit. Dan dengan doa beliau juga, orang yang buta tersebut dikembalikan penglihatannya oleh Allah. Oleh karena itu, para ulama meletakkan hadits ini dan yang sepertinya dalam karya tulis mereka pada sebuah bab “Bukti-bukti kenabian”, sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan selain beliau. Dari semuanya ini sangat jelas bahwa rahasia kesembuhan orang tersebut datang dari Allah, kemudian berkat doa Rasulullah yang mustajab.

Bila hal ini telah jelas bagi pembaca yang budiman maka sampailah kita kepada sebuah pengertian, yaitu maksud dari ucapan orang yang buta tersebut: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad…” adalah dengan doa Nabi-Mu Muhammad.

--- 000 ---

Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh orang-orang yang membolehkan tawassul adalah dengan menyerupakan Allah seperti Raja atau pejabat tinggi, yang tidak membolehkan sembarang orang menemui atau meminta sesuatu secara langsung kepadanya. Ada ajudan-ajudan atau perantara yang akan menyampaikan permintaan orang-orang kepada raja atau pejabat tinggi tersebut. Demikian pula ketika meminta sesuatu kepada Allah, maka harus melalui perantara agar lebih mudah dikabulkan. Benarkah alasan yang dikemukakan mereka ini?

Demikianlah, ahli kebatilan tidak akan henti-hentinya menjadi pemangsa para pengikut kebenaran, yang ujung-ujungnya adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah di dalam firman-Nya (artinya):
“Sesungguhnya setan bagi kalian adalah musuh, maka jadikanlah mereka sebagai musuh, dan sesungguhnya setan menyeru para pengikutnya untuk menjadi penghuni neraka Sa’ir.” (Fathir: 6)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Kemudian Allah menjelaskan tentang permusuhan iblis kepada Bani Adam, Allah mengatakan: “Sesungguhnya setan itu bagi kalian adalah musuh maka jadikanlah mereka sebagai musuhmu.” Maknanya adalah Iblis dengan terang-terangan memusuhi kalian (manusia), maka musuhilah mereka dengan permusuhan yang keras. Selisihilah dan dustakanlah segala yang menjadi tipu muslihatnya, karena dia menyeru para pengikutnya ke dalam Neraka Sa’ir.” Artinya bahwa dia (Iblis) bermaksud menyesatkan kalian sehingga kalian masuk bersamanya ke dalan adzab yang pedih. Demikianlah permusuhannya yang nyata.

Kita meminta kepada Allah Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa agar menjadikan kita sebagai musuh-musuh para setan dan memberikan kita rizki untuk mengikuti kitab-Nya dan mengikuti jalan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berkuasa terhadap apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang pantas untuk menerima doa.” (Tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir surat di atas)

Bila seorang muslim mengetahui tujuan penyesatan iblis dan bala tentaranya dari kalangan manusia dan jin, maka sepantasnya  ia mempersiapkan senjata untuk memerangi mereka. Juga membentengi diri dengan membuat tameng yang kokoh dari serangan mereka. Tidak ada senjata serta tameng yang paling ampuh dan kokoh melainkan ilmu syariat. Sekuat apapun pertahananmu bila tidak bersenjata-kan ilmu syariat mesti akan lumpuh di hadapan kebatilan dan terjerat dengan syhubhat-syubhatnya. Inilah kandungan isyarat Rasulullah n ketika melepaskan Mu’adz ke Negeri Yaman:
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi ahli kitab maka hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah syahadat Lailahaillallah.”

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin v mengatakan: “Oleh karena itu ketika Rasulullah mengutus Mu’adz ke negeri Yaman, beliau berkata: ‘Sesungguhnya engkau akan mendatangi ahli kitab.’ (Rasulullah mengatakan) demikian agar Mu’adz bersiap-siap menghadapi mereka dan mengilmui hujjah yang dimiliki mereka sehingga beliau bisa membantah kebatilan yang ada pada mereka.” (Syarah Kasyfus Syubuhat hal. 24)

Kita berlindung kepada Allah agar tidak menyesatkan kita setelah Dia memberikan hidayah-Nya dan mengajarkan ilmu. Di antara syubhat-syubhat ahli kebatilan dalam masalah tawassul adalah:

Syubhat Ketiga: Mengkiaskan antara Khaliq yaitu Allah dengan Makhluk

Mereka mengatakan: “Bertawassul dengan dzat atau kedudukan orang shalih merupakan satu perkara yang dituntut (diperlukan) dan diperbolehkan, karena perkaranya sesuai dengan praktek dan realita hidup. Contohnya, bila seseorang memiliki keperluan dan hajat pada seorang raja atau menteri atau pembesar, dia tidak bisa langsung mengha-dapnya. Dia harus melalui para ajudan-ajudan jika urusannya ingin segera bisa terselesaikan. Begitu juga kaitannya dengan Allah. Kami ini adalah orang yang berdosa dan tidak pantas bagi kami untuk meminta kepada-Nya dengan langsung, melainkan harus dengan orang-orang shalih dan orang-orang yang dekat di sisi-Nya seperti para Malaikat, para nabi, orang-orang shalih dan selain mereka. Bila mereka berdoa akan cepat terkabulkan, dan bila meminta syafaat akan cepat diterima. Bukankah suatu hal yang sangat pantas bila kita meminta melalui mereka dengan menyebut kedudukan mereka ketika kita berdoa dan semoga Allah I menyegerakan pengabulannya sebagai bentuk pemuliaan Allah kepada orang-orang yang shalih tersebut?”

Bantahan:

Sungguh sebuah syubhat yang sangat mudah untuk dibantah dan dihancurkan, tak ubahnya seperti sarang laba-laba yang ditiup angin. Bantahannya bisa dari beberapa sisi:

Pertama, pengkiasan antara Allah dengan makhluk adalah qiyas batil, dan qiyas batil adalah batil (tidak bisa dipakai).

Kedua, menyamakan antara Allah dengan makhluk termasuk dari pengingkaran terhadap firman-firman Allah di dalam Al-Qur`an (artinya) :
“Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Allah Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

Al-Imam Al-Qurthubi v di dalam Tafsir-nya menjelaskan: “Yang diyakini dalam bab ini adalah bahwa Allah I dengan ketinggian nama-Nya dalam Kemahabesaran, Keagungan-Nya, Maha Bagus nama-Nya dan Maha Tinggi sifat-sifat-Nya, tidak menyerupai makhluknya sedikitpun dan makhluk-Nya tidak menyerupai-Nya sedikitpun.” (Tafsir Al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat ini)

“Dan janganlah kalian menjadikan bagi Allah permisalan-permisalan (tandingan-tandingan).” (An-Nahl: 74)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan, penyerupa-penyerupa, atau permisalan-permisalan.”

Ketiga, bila menyerupakan antara Allah dengan malaikat, para nabi dan rasul, atau menyerupakan dengan para pemimpin yang adil seperti Abu Bakar dan ‘Umar, termasuk perbuatan kesyirikan. Bagaimana jika menyerupakan Allah dengan raja-raja yang dzalim di muka bumi ini? Bagaimana hal ini akan masuk akal dan diterima oleh fitrah, sementara kalian mengakui keagungan Allah? Sungguh sangat bertentangan dengan pengakuan kalian bahwa kalian memuliakan dan mengagungkan Allah.

Keempat, Al-‘Iz bin Abdus Salam[4] mengatakan di dalam kitab Al-Wasithah (hal. 5): “Barangsiapa yang menetapkan para nabi atau para ulama sebagai perantara antara Allah dengan makhluk-Nya, sebagaimana seorang ajudan antara raja dan rakyatnya, dengan keyakinan bahwa mereka (para nabi dan ulama tersebut) akan bisa mengangkat segala hajatnya kepada Allah, dan bahwa Allah memberikan rizki kepada setiap hamba-Nya dan membela mereka dengan melalui perantara tersebut, maknanya adalah bahwa makhluk meminta kepada mereka (para perantara tersebut) dan para perantara tersebut meminta kepada Allah sebagaimana halnya seorang ajudan kepada seorang raja, dikarenakan mereka lebih dekat kemungkinannya untuk di kabulkan. Maka barangsiapa menetapkan perantara dalam bentuk ini, dia adalah seorang yang musyrik dan wajib baginya untuk dimintai taubat. Dan jika dia bertaubat (maka diterima) dan jika dia tidak mau bertaubat maka harus dibunuh. Mereka adalah orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk, dan menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah.”

Syubhat Keempat: Mengkiaskan “Tawassul dengan Dzat” dengan “Tawassul dengan Amal Shalih”

Mereka (ahli kebatilan) mengatakan: “Kalian wahai Ahlus Sunnah, telah menjelaskan tentang disyariatkannya tawassul dengan amal shalih. Jika tawassul dengan amal shalih diperbolehkan, maka bertawassul dengan orang shalih -yang darinya muncul amal shalih- akan lebih boleh lagi, dan bahkan lebih disyariatkan dan tidak boleh untuk diingkari.”

Bantahan:

Bantahan syubhat ini dari dua sisi:

Pertama, qiyas seperti ini dalam permasalahan ibadah adalah batil.[5] Perumpamaan pengkiasan batil ini sama de-ngan orang yang mengatakan: “Apabila seseorang boleh bertawassul dengan amal shalihnya, maka bertawassul dengan amal para nabi dan para wali tentu lebih boleh lagi.” Tentu hal ini adalah batil dan tidak ada hasil dari sebuah kebatilan melainkan kebatilan pula.

Kedua, di samping pengkiasan ini adalah batil, Ahlus Sunnah dahulu maupun sekarang berkeyakinan bahwa seseorang boleh bertawassul dengan amal shalihnya, namun tidak boleh bertawassul dengan amal shalih orang lain. Kalau saja dengan amal shalih orang lain tidak diperbolehkan, apalagi bertawassul dengan kedudukan dan dzat orang lain.

Hadits-hadits Maudhu’ (Palsu) dalam Masalah Tawassul

Salah satu di antara penyebab kekufuran, kesyirikan dan kebid’ahan serta segala bentuk kesesatan kaum muslimin di dalam agama adalah tersebarnya hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Dari sini kita mengetahui betapa besar amalan ulama ahli hadits, yang dahulu maupun sekarang, dalam menjaga kemurnian Islam dan menyelamatkan kaum muslimin dari kesesatan. Demikianlah bukti janji Allah di dalam Al-Qur`an (artinya):
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Ad-Dzikr (Al-Qur’an) dan Kami Yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)

Juga bukti kebenaran sabda Rasulullah:
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya Allah akan memberikan kefaqihan di dalam agama. Dan sesungguhnya aku adalah sebagai pembagi (harta shadaqah) dan yang memberi adalah Allah. Terus menerus (sebagian) dari umat ini (Islam) tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka siapapun yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah.”

Oleh karena itu tidak ada seorangpun yang mencaci-maki ahli hadits dan merendahkan kedudukan mereka kecuali dia memang seorang ahli kebatilan. Al-Imam Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash-Shabuni yang meninggal pada tahun 449 H mengatakan: “Tanda-tanda kebid’ahan atas para pelakunya nampak jelas. Dan tanda-tanda ahli bid’ah yang paling kentara adalah sangat keras permusuhan mereka terhadap para pembawa bendera As-Sunnah. Sangat keras penghinaan dan pelecehan mereka, dan mereka memberikan gelar-gelar (yang buruk) seperti kaku, jahil, dzahiriyyah (hanya beragama dengan konteks nash saja), dan musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah I dengan makhluk).” Beliau membawakan sanadnya sampai kepada Ahmad bin Sinan Al-Qaththan, ia berkata: “Tidak ada seorangpun dari ahli bid’ah di dunia ini, kecuali dia membenci ahli hadits.”[6]

Di antara hadits-hadits maudhu’ tersebut adalah:

Pertama:

“Bertawassullah kalian dengan jah-ku (kedudukanku), karena kedudukanku di sisi Allah adalah besar.” Atau “Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah dengan jahku karena sesungguhnya jahku di sisi Allah adalah besar.”

Kedudukan Hadits:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits ini memiliki kedustaan, dan tidak terdapat dalam kitab ulama Islam yang bisa dijadikan sandaran di dalam menghukumi hadits ini oleh para ulama ahli hadits. (Hadits ini juga) tidak disebutkan oleh seorangpun dari ahli hadits. Meskipun demikian, kedudukan beliau di sisi Allah memang sangat besar dibandingkan para nabi yang lain.” (Qa’idah Jalilah Fi Tawassul wal Wasilah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal. 168)

Di dalam kitab Iqtidha’ Shirathil Mustaqim hal. 415, Syaikhul Islam berkata tentang hadits ini: “Mereka (ahli bid’ah) mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bertawassul kepada Allah dengan (jah) para nabi dan wali’, dan mereka meriwayatkan hadits maudhu’ (palsu): ‘Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kalian dengan jah-ku karena sesungguhnya jah-ku di sisi Allah adalah luas (besar)’.”

Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Hadits ini batil dan tidak memiliki asal-usul sanad sedikitpun di dalam kitab-kitab hadits. Namun diriwayatkan oleh sebagian orang yang jahil tentang As-Sunnah.” (Kitab At-Tawassul karya beliau hal. 127)

Beliau juga mengatakan: “Hadits ini tidak memiliki asal-usul sanad.” (Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, 1/76 no. 22)

Kedua:

“Apabila kalian mendapatkan kesulitan dalam urusan kalian maka hendaklah kalian (meminta kepada) Allah melalui penghuni kuburan.” Atau “Mintalah kalian kepada penghuni kuburan agar terbebaskan dari malapetaka.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits ini termasuk hadits yang diada-adakan atas nama Rasulullah menurut ijma’ (kesepakatan) ulama ahli hadits. Tidak pernah diriwayatkan oleh seorangpun dari ulama ahli hadits, dan tidak didapatkan di dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan.” (Majmu’ Fatawa Syakhul Islam Ibnu Taimiyah, 11/293)

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata (ketika beliau menjelaskan perkara-perkara yang menyebabkan terjatuhnya para penyembah kuburan ke dalam fitnah): “Di antaranya hadits Rasulullah yang dibuat di atas kepalsuan, yang telah dibuat oleh para penyembah kuburan dari para pengagung kuburan Rasulullah yang menyelisihi agama beliau dan apa yang beliau bawa. Juga seperti hadits: “Apabila kalian menemukan kesulitan di dalam urusan kalian maka hendaklah kalian menghadap ahli kubur.” Juga seperti hadits: “Kalau seseorang bersangka baik terhadap sebuah batu maka batu itu akan memberinya manfaat.” (Ighatsatul Lahafan, Ibnul Qayyim, 1/243)

Ketiga:

Hadits dari Anas bin Malik ketika Fathimah bintu Asad bin Hasyim -ibu Ali bin Abi Thalib- meninggal, beliau (Rasulullah n) memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub Al-Anshari, ‘Umar bin Al-Khaththab dan budak berkulit hitam untuk menggali lubang. Ketika selesai, Rasulullah masuk ke dalamnya dan tidur terlentang lalu bersabda:

“Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan dan Dzat yang Maha hidup dan tidak akan mati, ampunilah ibuku Fathimah bintu Asad dan talqinkan hujahnya dan luaskan kuburannya karena hak nabi Engkau dan hak para nabi sebelumku karena sesungguhnya engkau dzat Yang Maha Penyayang.”

Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Hadits ini dha’if, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir, 24/351-352 dan di dalam Al-Ausath, 1/152-153.” (Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah 1/79 no. 23)

Keempat: Dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri :

“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk menunaikan shalat lalu berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada Engkau dan dengan hak para peminta dan aku meminta dengan hak langkahku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat jahat, sombong, riya’ (melakukan sesuatu karena ingin dilihat) dan tidak pula karena sum’ah (melakukan sesuatu karena ingin didengar). Aku keluar karena takut murka-Mu dan mengharap ridha-Mu dan aku meminta kepada-Mu agar melindungiku dari adzab Neraka dan agar engkau mengampuni dosa-dosaku, sesungguhnya karena tidak ada yang akan mengampuni dosa melainkan Engkau (ganjarannya) Allah akan mengahadap orang tersebut dengan Wajah-Nya dan akan dimintakan ampun oleh tujuh puluh ribu malaikat.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Nabi dikeluarkan oleh Ibnu Majah, namun sanadnya tidak bisa dipakai sebagai hujjah.” (Majmu’ Fatawa, 1/255)

Hadits ini juga dilemahkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan mengatakan: “Secara global, hadits ini lemah dari jalannya. Dan salah satu darinya lebih lemah dari yang lain dan telah dilemahkan oleh Al-Bushiri, Al-Mundziri dan para imam selain beliau. Dan barangsiapa yang menghasankannya maka sungguh dia telah wahm (salah, lalai) atau dia bermudah-mudah.” (Silsilah Adh-Dha’ifah, 1/88 no. 24).

Kelima: Dari ‘Umar bin Al-Khaththab:

Ketika Nabi Adam berbuat kesalahan, dia berkata: “ Wahai Rabbku, aku meminta dengan hak Muhammad agar engkau mengampuni dosaku.” Lalu Allah berfirman: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad sedangkan Aku belum menciptakan dia?” Adam berkata: “Wahai Rabbku, ketika engkau menciptakanku dan Engkau tiupkan ruh dari-Mu, Engkau mengangkat kepalaku dan aku melihat di tiang-tiang ‘Arsy tertulis ‘Laa ilaha illallah Muhammadun Rasulullah’ maka aku mengetahui bahwa tidaklah Engkau menggandengkan nama dengan nama-Mu melainkan orang tersebut yang paling Engkau cintai.” Lalu Allah berfirman: “Aku telah mengampunimu. Kalau bukan karena Muhammad, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Periwayatan Al-Hakim terhadap hadits ini merupakan perkara yang diingkari oleh para ulama terhadap beliau. Beliau sendiri mengatakan di dalam kitab Al-Madkhal Ila Ma’rifati Ash-Shahih min As-Saqim: “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ dari bapaknya. Dan tidak tersembunyi lagi bagi orang-orang yang ahli dalam bidang ini, bila dia mendalaminya akan memahami demikian.” Aku berkata: “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam lemah dengan kesepakatan ahli hadits.” (Qa’idah Jalilah Fi Tawassul wal Wasilah hal. 69)

Hadits ini telah dihukumi maudhu’ (palsu) oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Silsilah Adh-Dha’ifah (1/91 no. 25). Beliau mengatakan: “Kesimpulannya, hadits ini tidak memiliki asal dari Rasulullah. Tidak salah bila dua imam yang mulia yaitu Adz-Dzahabi dan Al-Asqalani menghu-kuminya batil.”

Keenam:

Dari Umayyah bin Abdullah bin Khalid bin Usaid ia berkata:

“Adalah Rasulullah n membuka peperangan beliau dengan doa para fuqara dari kalangan Muhajirin.”

Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dengan demikian jelaslah bahwa hadits tersebut lemah dan tidak bisa dipakai berhujjah. Kalaupun hadits ini shahih, tidaklah menunjukkan seperti apa yang terkandung makna dalam hadits Umar dan hadits Al-‘Ama (orang yang buta) tentang tawassul dengan doa orang shalih.” (At-Tawassul karya beliau hal. 112)

Masih banyak lagi hadits maudhu’ dan lemah yang dijadikan sebagai hujjah oleh para pengikut kebatilan untuk menguatkan perbuatan batil mereka. Namun kita tetap menyakini bahwa tidak ada satupun dalil yang mendukung sebuah kebatilan. Bahkan yang ada adalah dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih memerangi kebatilan dan pelakunya, dan Allah U telah membongkar jalan-jalan dan niat mereka agar nampak jelas di hadapan wali-wali Allah.

Semoga Allah tetap memberikan kita keistiqamahan di jalan As-Sunnah dan menyelamatkan kaum muslimin dari segala kebatilan dan seruan ahli batil.

Wallahu a’lam.


1 Taqdiran (kemungkinan kata yang terbuang) yang pertama

2 Taqdiran kedua

3 Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad di dalam Musnad 4/138, At-Tirmidzi no. 3831, Ibnu Majah di dalam Sunan beliau no.1385, Ath-Thabrani 3/2/2 dan Al-Hakim 1/313. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/183 no. 2832 dan di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 1/232 no. 1138, dan beliau mengisyaratkan ke dalam kitab beliau At-Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu hal. 76, Ar-Raudh hal. 661, At-Ta’liq Ar-Raghif 1/142-242, dan At-Ta’liq ‘Ala Shahih Ibnu Huzaimah 1219. dan Ad-Darimi no. 2325 dari shahabat Abu Hurairah, dan At-Tirmidzi mengatakan juga datang dari shahabat ‘Irbadh bin Sariyah.”

4 Begitu yang dinukil penulis, sebagai bentuk amanah ilmiah kami nukilkan apa adanya. Namun wallahu a’lam, yang benar adalah Al-Wasithah salah satu karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. (pen)

5 Lihat kitab At-Tawassul karya Asy-Syaikh Al-Albani t, hal. 145

6 Lihat kitab ‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits, hal. 116.

Sumber : Asy Syariah Edisi 018, Asy Syariah Edisi 019

15 November 2011

http://asysyariah.com/tawassul-syubhat-dan-bantahannya/
http://asysyariah.com/tawassul-syubhat-dan-bantahannya-bagian-3/

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi