Titian Tuk Menundukkan Wajahku Dihadapan-Mu

Titian Tuk Menundukkan Wajahku Dihadapan-Mu (bagian 1)

Wudhu Sebuah Titian

Shalat merupakan ibadah rutin yang kita kerjakan setiap hari, minimal lima kali sehari berupa shalat fardhu. Namun ibadah shalat ini tidaklah sah dan tidak akan bisa diterima di sisi Allah ‘azza wa jalla bila tidak dimulai dengan wudhu bagi orang yang sebelumnya berhadats, baik hadats kecil (semisal buang air kecil ataupun besar) maupun hadats besar (junub, haid, dan nifas). Sehingga sangat tepat sekali bila dikatakan wudhu merupakan sebuah titian untuk melaksanakan ibadah yang agung ini.

Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya shalat, bahkan wudhu merupakan syarat yang paling besar dan agung. (Subulus Salam, 1/61)

Ulama telah bersepakat bahwa shalat itu tidak boleh ditegakkan oleh seseorang kecuali dengan berwudhu terlebih dahulu selama tidak ada udzur baginya untuk meninggalkannya. Namun bila memiliki udzur, ia bisa meninggalkannya.[1] (al-Ausath, 1/107)

Demikian pula pernyataan ijma’ oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya al-Muhalla (1/71).

Pengertian Wudhu

Definisi wudhu bila ditinjau dari sisi syariat adalah suatu bentuk peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mencuci anggota tubuh tertentu dengan tata cara yang khusus. (asy-Syarhul Mumti’, 1/148)

Pensyariatan Wudhu

Wudhu adalah suatu ibadah wajib yang ditetapkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam Al-Qur’an dan ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam hadits beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah ‘azza wa jallaberfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku. Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata kaki….” (al-Maidah: 6)

Ayat yang mulia di atas menetapkan adanya kewajiban wudhu di dalam agama ini bagi seseorang yang hendak mengerjakan shalat. (al-Muhalla, 1/71)

Selain ayat di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang mengandung pensyariatan wudhu bagi umat beliau:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّئَا

“Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kalian, jika ia berhadats hingga ia berwudhu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 135, 6954 dan Muslim no. 225)

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ

“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan Dia tidak menerima sedekah dari hasil ghulul (mencuri harta rampasan perang sebelum dibagi).” (Sahih, HR. Muslim no. 224)

Keutamaan Wudhu

Banyak sekali hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan tentang keutamaan wudhu, di antaranya beliau bersabda,“Apabila seorang hamba yang muslim atau mukmin berwudhu, lalu ia mencuci wajahnya maka akan keluar dari wajahnya itu seluruh kesalahan yang dilihat oleh kedua matanya bersama air wudhu atau bersama akhir tetesan air wudhu. Apabila ia mencuci kedua tangannya maka akan keluar dari keduanya setiap kesalahan yang diperbuat oleh kedua tangannya bersama air atau bersama akhir tetesan air. Apabila ia mencuci kedua kakinya akan keluar setiap kesalahan yang dilangkahkan oleh kedua kakinya bersama air atau bersama akhir tetesan air. Hingga ia keluar/selesai dari wudhunya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosanya.” (Sahih, HR. Muslim no. 244)

مَنْ تَوَضَّئَا نَحْوَ وُضُوئِي هَذا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَينِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian ia shalat dua rakaat dan tidak terbetik di dalam hatinya selain dari perkara shalatnya, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu[2].” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)

مَنْ تَوَضَّئَا فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ

“Siapa yang berwudhu dan ia membaguskan wudhunya, akan keluar kesalahan-kesalahannya dari tubuhnya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya.” (Sahih, HR. Muslim no. 245)

إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِيْنَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوْءِ

“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan ghurran muhajjalin[3] dari bekas wudhu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)

Mengusap Sorban/Imamah

Saat berwudhu, seseorang yang memakai imamah atau sorban tidak perlu melepas imamahnya, namun cukup mengusapnya (al-Majmu’, 1/438). Ini sebagaimana ditunjukkan hadits ‘Amr bin Umayyah radhiallahu ‘anhu:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ

“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap di atas imamahnya dan dua khuf-nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 205)

Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengusap imamah ini (Nailul Authar, 1/237). Namun yang rajih (kuat), mengusap imamah ini dibolehkan sebagaimana ditunjukkan hadits di atas.

Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits di atas, “(Bolehnya mengusap imamah) ini merupakan pendapat lebih dari seorang ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan Anas radhiallahu ‘anhum. Juga pendapat al-Auza’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/69)

Demikian pula pendapat ats-Tsauri dalam satu riwayat darinya, Abu Tsaur, ath-Thabari, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, dan selain mereka. (Fathul Bari,1/378)

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “(Masalah mengusap sorban ini) telah diriwayatkan dari enam sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: al-Mughirah bin Syu’bah, Bilal, Salman, ‘Amr bin Umayyah, Ka’b bin Ujrah, dan Abu Dzar radhiallahu ‘anhum. Mereka semua meriwayatkan dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad-sanad yang tidak saling bertentangan dan tidak ada celaan di dalamnya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi’in.” (al-Muhalla, 2/60)

Bila sebagian rambut tidak tertutup oleh sorban, maka disukai untuk mengusap rambut yang terbuka tersebut. Ibnu Qudamah rahimahullahberkata, “Apabila sebagian rambut terbuka—yang menurut kebiasaan, bagian tersebut memang biasa terbuka—maka disukai untuk mengusapnya bersamaan dengan mengusap imamah. Demikian pendapat al-Imam Ahmad, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah mengusap imamah dan jambulnya (rambut yang ada di depan kepala) sebagaimana dalam hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu.” (al-Mughni, 1/182)

Al-Mughirah radhiallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, kemudian beliau mengusap jambulnya, mengusap di atas imamahnya, dan dua khufnya.”(Sahih, HR. Muslim no. 274)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, tidaklah mencukupkan dengan hanya mengusap jambulnya. Tapi beliau teruskan dengan mengusap imamahnya. (Majmu’ Fatawa, 21/125,asy-Syarhul Mumti’, 1/152)

Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesekali mengusap kepalanya, sekali waktu mengusap di atas imamahnya, serta di waktu lain mengusap jambul dan imamahnya. (Zadul Ma’ad, 1/49)

Sebelum mengenakan imamah, tidak disyaratkan harus bersuci terlebih dahulu sebagaimana persyaratan ini diberlakukan dalam masalah pengusapan khuf (yang akan datang penjelasannya nanti, insya Allah). Demikian pula tidak ada batasan waktu pengusapannya.

Ibnu Hazm berkata, “Mengusap imamah itu boleh dilakukan selamanya tanpa ada batas waktunya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengusap imamah dan khimar-nya (penutup kepala) tanpa menentukan batas waktunya. Adapun beliau biasa mengusap khufnya dengan disertai penentuan batas waktunya.” (al-Muhalla, 2/58—60)

Adapun dalam permasalahan kerudung yang dikenakan oleh wanita, terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada yang tidak.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Apabila si wanita khawatir kedinginan dan semisalnya, maka ia boleh mengusap kerudungnya karena Ummu Salamah radhiallahu ‘anha pernah melakukannya. Sepantasnya bersamaan dengan mengusap kerudung ini, ia mengusap pula sebagian rambutnya. Namun bila tidak ada keperluan, maka ada perselisihan di kalangan ulama tentang kebolehannya.” (Majmu’ Fatawa, 21/218)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang permasalahan ini, “Bolehkah wanita mengusap di atas kerudungnya?” Beliau menjawab, “Pendapat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmadrahimahullah adalah wanita dibolehkan mengusap di atas kerudungnya apabila kerudung tersebut menutupi seluruh kepala, dada, dan lengan atasnya. Karena hal yang demikian disebutkan riwayatnya dari sebagian wanita dari kalangan sahabat radhiallahu ‘anhunna. Kesimpulannya, bila memang hal ini menyulitkan, baik karena udara dingin maupun sulit untuk melepaskan dan melilitkannya, maka tidak mengapa diringankan bagi wanita tersebut untuk mengusap kerudungnya. Namun bila tidak ada keperluan (udzur), maka yang lebih utama ia tidak mengusap kerudungnya (akan tetapi ia mengusap kepalanya).” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/171)

Walaupun dalam permasalahan mengusap kerudung ini memang tidak ada nash yang sahih. (asy-Syarhul Mumti’, 1/196)

Mencuci Kedua Kaki

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat wudhu:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku. Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata kaki….” (al-Maidah: 6)

Adapun dalil dari As-Sunnah antara lain dalam hadits Humran, maula (bekas budak) ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu yang melihat bagaimana cara ‘Utsman mencontohkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلىَ الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ

“Kemudian ia (‘Utsman) mencuci kakinya yang kanan beserta mata kaki sebanyak tiga kali, lalu mencuci yang kiri dengan cara yang semisalnya.”(Sahih, HR. al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226. Lafadz hadits ini menurut lafadz Muslim rahimahullah)

Hukum mencuci kaki ini wajib bahkan termasuk rukun dalam berwudhu. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Ulama bersepakat tentang wajibnya mencuci wajah, kedua lengan, dan kedua kaki (di dalam berwudhu).” (Syarah Shahih Muslim, 3/107)

Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata, “Tumit termasuk bagian yang dicuci, sehingga batillah pendapat orang yang mengatakan cukup mencuci bagian bawah tumit.” (Ihkamul Ahkam bi Syarhil ‘Umdatil Ahkam, 1/67)

Ketika mencuci kaki ini, kedua mata kaki ikut disertakan dalam pencucian karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

“Dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata kaki.”

Yakni beserta mata kaki. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 6/61, al-Majmu’, 1/472)

Penjelasan tentang mencuci mata kaki ini sama dengan penjelasan mencuci lengan sampai ke siku (Fathul Bari, 1/367). Demikian pula disebutkan dalam Subulus Salam (1/66), Sailul Jarrar (1/136), dan kitab-kitab lainnya.

Kedua Kaki Dicuci, Bukan Diusap

Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertinggal dari kami dalam sebuah safar (perjalanan). Kemudian beliau dapat menyusul kami dan ketika itu kami berada di akhir waktu shalat Ashar. Maka kami pun bersegera untuk berwudhu dan mengusap kaki-kaki kami. Melihat hal tersebut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda dengan suara yang keras:

وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

“Celakalah tumit-tumit itu dari api neraka.” Beliau mengulangi ucapan ini dua atau tiga kali. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 60, 96, 163, danMuslim no. 241)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam bab “Wajibnya Mencuci Kedua Kaki Secara Keseluruhan”[4]: “Keinginan Al-Imam Muslimrahimahullah membawakan hadits ini di sini sebagai pendalilan wajibnya mencuci kedua kaki dan tidak cukup hanya dengan mengusapnya.” (Syarah Shahih Muslim, 3/129)

Ibnu Khuzaimah mengatakan tentang hadits ini, “Seandainya orang yang mengusap kakinya itu telah menunaikan apa yang diwajibkan, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengancamnya dengan api neraka.” (Fathul Bari, 1/334). Demikian pula yang ditunjukkan dalam hadits Humran yang telah lewat penyebutannya ketika ia melihat ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu berwudhu.

Pentingnya permasalahan mengusap dan mencuci ini disebabkan adanya kelompok yang berpendapat bahwa kaki tidak dibasuh, namun cukup diusap. Hal ini seperti dinukilkan dari pendapat orang-orang Syi’ah (Syarah Shahih Muslim, 3/107). Namun pendapat ini tidak memiliki sandaran dalil, bahkan dalil yang mereka bawakan dapat dipatahkan (Ihkamul Ahkam, 1/84). Jumhur ulama telah sepakat wajibnya mencuci kaki ini (Nailul Authar, 1/141), bahkan ini merupakan pendapat semua ahli fiqih dari kalangan ahli fatwa di seluruh dunia dan setiap zaman. (Syarah Shahih Muslim, 3/129)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tidaklah didapatkan periwayatan yang kokoh dari seorang sahabat pun yang menyelisihi hal ini terkecuali dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, dan Anas radhiallahu ‘anhum, namun semuanya telah ruju’ (kembali) dari pendapat mereka (kepada pendapat bahwasanya kaki dicuci bukan diusap).” (Fathul Bari, 1/334)

Ada baiknya kita singgung di sini lafadz dalam ayat wudhu. Lafadz ini ada tiga bacaan yang datang penyebutannya:
  1. dengan dhammah (rafa’) pada huruf lam, ini adalah bacaan al-Hasan al-Bashri dan al-A’masy rahimahumallah, namun bacaan ini syadz (ganjil).
  2. dengan fathah (nashab) pada huruf lam, ini adalah bacaan Nafi’, Ibnu ‘Amir, dan al-Kisa’i rahimahumullah. Berdasarkan bacaan ini maka ‘amil (yang menjadikan lafaz ini nashab) darinya adalah kata ﭘ (cucilah) yakni kembalinya pada mencuci wajah dan kedua lengan sehingga kedua kaki juga dicuci tidak boleh sekadar diusap. Demikian mazhab jumhur dan juga ditunjukkan dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. dengan kasrah (khafdh atau jarr) pada huruf lam, demikian bacaannya Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, dan Hamzah rahimahumullah. Bacaan inilah yang dijadikan dalil oleh Syi’ah untuk menyatakan kaki itu diusap sebagaimana kepala karena ‘amil dari kedua kaki adalah huruf ba (yang terletak sebelum lafadz رُؤُوسِكُمْ) sementara kepala disebutkan denganﭝ (usaplah).
Namun yang kuat dalam hal ini, sebagaimana yang telah disinggung di atas, kedua kaki dicuci dan bukan diusap. Adapun bacaan dengan khafdh atau jarr bila memang mau diamalkan maka tetap menunjukkan kedua kaki itu dicuci dengan beberapa keterangan. Di antaranya:
  • Bila memang kembalinya lafadz ﭟ (kaki-kaki kalian) kepada fi’il (kata kerja) ﭘ (usaplah), maka dalam bahasa Arab lafadz ﭘ memiliki dua makna, terkadang bermakna mengusap dan terkadang bermakna mencuci. Sementara As-Sunnah menunjukkan kaki itu dicuci. Dengan demikian yang terambil dari makna dalam hal ini adalah mencuci kaki, bukan mengusapnya.
  • Bila diambil makna mengusap untuk lafadz ﭟ maka yang diusap bukanlah kaki tapi khuf (semacam sepatu dari kulit) yang dikenakan pada kaki, sehingga yang diusap adalah khufnya bukan kakinya.Wallahu ta’ala a’lam. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 6/61—64, Tafsir Ibnu Katsir, 2/26, Subulus Salam, 1/89, Sailul Jarrar, 1/232—235)

Mengusap Khuf

Khuf adalah alas kaki yang terbuat dari kulit untuk membungkus kedua kaki (termasuk di dalamnya sepatu dan kaos kaki). Bila seseorang yang berwudhu dalam keadaan mengenakan khuf, maka ia tidak perlu membuka khufnya untuk mencuci kakinya. Sebagai gantinya, ia cukup mengusap bagian atas khufnya.

Demikian sunnah yang datang dalam permasalahan ini. Adapun hadits yang menerangkan masalah ini mencapai derajat mutawatir. Lebih rincinya masalah mengusap khuf ini akan kita bawakan dalam pembahasan yang khusus, insya Allah Ta’ala.

Zikir/Doa Setelah Wudhu

Selesai berwudhu disunnahkan bagi kita untuk membaca zikir setelah wudhu (Syarah Shahih Muslim, 3/121) seperti zikir yang disebutkan ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pernah bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ، يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ

“Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudhu lalu ia baguskan wudhunya kemudian ia berkata, ‘Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya’, melainkan akan dibukakan untuknya pintu-pintu langit yang delapan, ia dapat masuk dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (Sahih,HR. Muslim no. 234)

Dalam lafadz lain ada tambahan:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah satu-satu-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” (Sahih, HR. Muslim no. 234)[5]

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Jumlah Pencucian (Pengusapan) Anggota Wudhu

Dalam permasalahan ini, kami tidak akan membahas berapa kali mencuci kepala karena masalah ini telah dibahas dalam edisi yang telah lalu. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahihnya, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa yang wajib adalah anggota wudhu masing-masing dicuci sebanyak satu kali,[6] dan beliau sendiri pernah berwudhu dengan mencuci anggota wudhunya masing-masing dua kali,[7] pernah pula tiga kali-tiga kali[8] dan tidak lebih dari itu.” (Shahih al-Bukhari bersama Fathul Bari, 1/293)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dikecualikan dalam hal ini apabila ia mengetahui ada bagian dari anggota wudhunya yang tidak terkena air setelah pencucian beberapa kali, maka boleh baginya mencuci sebatas bagian yang tidak terkena air tersebut. Adapun orang yang ragu setelah selesai berwudhu maka tidak boleh ia mencucinya agar tidak mengantarkan dia kepada sifat waswas yang tercela.” (Fathul Bari, 1/295)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa yang wajib dalam mencuci anggota wudhu adalah masing-masingsatu kali, sedangkan mencuci sebanyak tiga kali hukumnya sunnah.”

Beliau juga menyatakan dibolehkan berbeda-beda jumlah pencucian anggota wudhu, mungkin ada yang sekali, ada yang dua kali, dan ada pula yang tiga kali, karena demikianlah yang ditunjukkan dalam hadits-hadits sahih yang berbicara tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarah Shahih Muslim, 3/106, 123). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuci anggota wudhunya tidak lebih dari tiga kali. (al-Majmu’, 1/490, Zadul Ma’ad, 1/48,49, Subulus Salam, 1/73)


Bersiwak

Siwak secara bahasa mengandung dua makna, bisa yang dimaksud adalah perbuatan (fi’il) bersiwak dan bisa pula yang dimaksud adalah alat berupa kayu (miswak) yang digunakan untuk membersihkan gigi. (Fathul Bari, 1/443, Subulus Salam, 1/63)

Dalam pandangan syariat, siwak berarti menggunakan kayu dan semisalnya untuk menghilangkan bau mulut, warna kuning (kotoran), dan semisalnya, dari gigi. (al-Majmu’, Nailul Authar, 1/152)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Siwak disunnahkan dalam seluruh waktu dan lebih ditekankan lagi pada lima waktu:

Pertama, ketika hendak shalat, sama saja baik dia bersuci dengan air (wudhu) atau dengan debu (tayammum), ataupun tidak bersuci sama sekali karena tidak mendapatkan air dan debu.

Kedua, ketika berwudhu.

Ketiga, ketika hendak membaca al-Qur’an.

Keempat, ketika bangun tidur.

Kelima, ketika bau mulut berubah, bisa karena tidak makan dan minum, mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap, diam dalam waktu lama, ataupun karena banyak berbicara. (Syarah Shahih Muslim, 3/142—143)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ الصَّلاَةِ

“Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak shalat.” (HR . al-Bukhari no. 887 dan Muslim no. 252) Dalam riwayat Malik (no. 22),Ahmad (6/50), an-Nasai (no. 7), dan al-Bukhari secara mu‘allaqdisebutkan dengan lafadz,

عِنْدَ كُلِّ الوُضُوْءِ

“Setiap kali wudhu.”

Dari hadits di atas, semakin jelas bagi kita sunnahnya bersiwak ketika berwudhu.

Kebanyakan hadits yang menyebutkan masalah siwak menyebutkan bahwa bersiwak itu dengan menggunakan alat (kayu) yang khusus. Seperti dalam hadits Abu Musa al-Asy‘ari radhiallahu ‘anhu, ia berkata,“Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu beliau sedang bersiwak dengan kayu siwak yang masih basah sementara ujung siwak berada di atas lidah beliau, terdengar beliau bersuara seperti suara orang yang akan muntah (karena sungguh-sungguhnya beliau dalam bersiwak).”(HR . al-Bukhari no. 244 dan Muslim no. 254)

Namun bila kita kembali kepada pengertian yang ada, maka bisa digunakan segala alat (sarana) yang bisa menghilangkan bau mulut seperti kain perca yang kasar, jari yang kasar dan sikat gigi. Namun tentunya yang paling bagus adalah menggunakan kayu arak yang tidak terlalu kering yang bisa melukai gusi, dan tidak pula terlalu basah sehingga tidak bisa menghilangkan kotoran dan semisalnya. (Subulus Salam, 1/64)


Menggerak-gerakkan Cincin

Ulama berbeda pendapat tentang menggerak-gerakkan cincin ketika berwudhu. Di antara yang berpendapat menggerakkannya adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘Amr, Muhammad bin Sirin, ‘Amr bin Dinar, ‘Urwah bin Zubair, ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, al-Hasan, Ibnu ‘Uyainah, dan Abu Tsaur. Sementara al-Imam Malik dan al-Auza’i berpendapat tidak disyariatkan menggerak-gerakkan cincin ini, dan diriwayatkan bahwa Salim bin Abdullah pernah berwudhu tanpa menggerakkan cincinnya. Ada juga di kalangan ahli ilmu yang berpendapat dengan merinci, apabila cincin itu sempit, maka digerak-gerakkan. Namun bila longgar, maka tidak perlu digerakkan. Pendapat ini dipegangi Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Abi Salamah, al-Imam Ahmad bin Hambal, dan Ibnul Mundzir. (al-Ausath, 1/388—389)

Tentang menggerakkan cincin ini disebutkan dari jalan Ma’mar bin Muhammad bin ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari ayahnya dari kakeknya dari buyutnya (Abu Rafi’),

أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ حَرَّكَ خَاتَمَهُ

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau menggerak-gerakkan cincinnya.” (HR . Ibnu Majah no. 449)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits ini dha’if (lemah) karena Ma’mar dan bapaknya adalah dua perawi yang lemah. Demikian juga disebutkan oleh al-Imam ad-Daraquthni rahimahullah.” (Zadul Ma’ad, 1/50)

Dengan demikian, tidak disunnahkan menggerakkan cincin ketika berwudhu kecuali bila cincin itu sangat sempit sehingga menghalangi sampainya air ke jari tangan tersebut, maka disenangi untuk menggerak-gerakkannya sebagaimana pendapat yang merinci yang telah disebutkan di atas. Inilah pendapat yang dipegangi oleh penulis, wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.


Mengusap Leher

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada satu pun hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah pengusapan leher (tengkuk).” (Zadul Ma’ad, 1/49)

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Dalam masalah mengusap leher tidak ada satu hadits pun yang kokoh yang bisa disifati dengan shahih ataupun hasan.” (Sailul Jarrar, 1/242)


Berurutan

Permasalahan ini diperselisihkan oleh ulama, sebagian ulama mewajibkan[9] dan sebagiannya lagi tidak mewajibkan.[10] Mereka yang berpendapat wajib berdalil firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku. Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata kaki….” (al-Maidah: 6)

Sisi pendalilan ayat ini adalah diselipkannya penyebutan anggota wudhu yang diusap (kepala) di antara anggota-anggota wudhu yang dicuci (tangan, wajah, dan kaki). Hal ini bila ditinjau dari ilmu balaghah, maka keluar dari kaidah yang ada. Sementara itu, al-Qur’an adalah ucapan yang paling mendalam (dari perkataan-perkataan yang ada). Kita tidak mengetahui satu faedah pun keluarnya ayat ini dari kaidah balaghahkecuali karena ingin menunjukkan wajibnya masalah berurutan ini. (asy-Syarhul Mumti’, 1/154)

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah ketika menjelaskan hadits Humran maula ‘Utsman yang mencontohkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Ketahuilah, hadits ini memberi faedah adanya ketentuan (kewajiban) berurutan ketika mencuci anggota wudhu yang disebutkan dengan kata penghubung ( ثُمَّ ‘kemudian’).” (Subulus Salam, 1/66)

Adapun dalil yang dipakai oleh mereka yang tidak mewajibkan adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah berwudhu maka beliau mencuci wajahnya dan kedua tangannya, kemudian mencuci kedua kakinya, lalu mengusap kepalanya dengan sisa air wudhunya.” Al-Imam ash-Shan’ani berkata tentangnya, “Hadits ini tidak diketahui dari jalan yang sahih sekalipun yang suatu pendalilan bisa menjadi sempurna dengannya.” (Subulus Salam, 1/80)


Hemat dalam Memakai Air

Disunnahkan ketika berwudhu untuk hemat dalam menggunakan dan menuangkan air (al-Majmu’, 1/490, Fathul Bari, 1/382), karena demikian yang dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malikradhiallahu ‘anhu mengabarkan,

        كاَنَ رَسُولُ الله صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلََّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ وَيَغْتَسِلُ باِلصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud[11] dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud.” ( HR . al-Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325)

Hadits ini memberi bimbingan untuk sederhana dalam menggunakan air dan mencukupkan diri dengan air yang sedikit. (Subulus Salam, 1/85)

Sebaliknya, dimakruhkan berlebih-lebihan dalam menggunakan air. (al-Muhalla, 2/72)

Menyeka Anggota Wudhu Setelah Berwudhu

Ummul Mukminin Maimunah bintu al-Harits radhiallahu ‘anha ketika menceritakan tata cara mandi janabah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyebutkan,

فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا, فَجَعَلَ يَنْقُضُ الْمَاءَ يِبَدَيْهِ

“Aku mendatangkan untuk beliau secarik kain (guna menyeka tubuhnya) namun beliau tidak menginginkannya. Beliau mencukupkan dengan menghilangkan air dengan kedua tangannya.” (HR . al-Bukhari no. 274 dan Muslim no. 317)

Dalam masalah menyeka anggota wudhu ini (baik dengan handuk, kain ataupun sapu tangan), ulama berbeda pendapat tentang boleh ataukah dibenci. Para sahabat dan selain mereka dalam permasalahan ini terbagi dalam tiga pendapat:

Pertama, tidak apa-apa melakukannya baik setelah wudhu ataupun mandi dan ini merupakan pendapat Anas bin Malik dan ats-Tsauri.

Kedua, makruh setelah wudhu dan mandi, demikian pendapat Ibnu ‘Umar dan Ibnu Abi Laila.

Ketiga, makruh dalam wudhu saja sementara setelah mandi dibolehkan, sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas. (Syarah Shahih Muslim, 3/231)

Sementara itu, al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalamSyarah Shahih Muslim tentang perselisihan ulama mazhab asy-Syafi’iyyah dalam masalah ini menjadi lima pendapat:
  1. Disenangi meninggalkannya namun tidak dikatakan makruh bila melakukannya, dan pendapat ini yang paling masyhur.
  2. Perbuatan ini makruh.
  3. Mubah (boleh) sama saja antara dikerjakan atau ditinggalkan
  4. Disenangi melakukannya karena ada kehati-hatian dari kotoran.
  5. Makruh di musim panas dan tidak makruh di musim dingin.
Yang rajih dalam masalah ini adalah hukumnya mubah. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Apa yang disebutkan dalam hadits ini (hadits Maimunah) tidaklah menunjukkan larangan dari perkara tersebut. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarangnya, karena beliau sendiri terkadang meninggalkan sesuatu yang sebenarnya mubah bagi umat beliau.” (al-Ausath, 1/419)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat mubah inilah yang kami pilih karena untuk menetapkan dilarang dan disunnahkan butuh dalil yang jelas.” (Syarah Shahih Muslim, 3/231)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.



Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari

[1] Contoh udzur yang dimaksud seperti tidak ada air yang bisa digunakan untuk wudhu sehingga di saat seperti ini, boleh seseorang meninggalkan wudhu dan menggantinya dengan tayammum.

[2] Al-Hafizh rahimahullah mengatakan, “Zhahir (tekstual) hadits ini menunjukkan pengampunan dosa tersebut umum, baik dosa besar maupun dosa kecil. Akan tetapi ulama mengkhususkan bahwa yang diampuni hanyalah dosa kecil karena adanya riwayat yang mengecualikan dosa besar.” (Fathul Bari, 1/327)

[3] Yakni bercahaya anggota-anggota wudhunya. (Fathul Bari, 1/297)

[4] Faedah: al-Imam an-Nawawi rahimahullah lah yang menyusun bab-bab dalam Shahih Muslim karena al-Imam Muslim rahimahullah hanya menyebutkan kitab per kitab tanpa membaginya dalam bab-bab.

[5] Dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah ada tambahan:

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang membersihkan/ menyucikan dirinya.” (Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 48 dan Shahih Sunan Ibnu Majah no. 267)

[6] Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. (HR. al-Bukhari no. 157)

[7] Hadits Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu (HR. al-Bukhari no. 158)

[8] Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu (HR. al-Bukhari no. 159 dan Muslim no. 230)

[9] Seperti asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Qatadah, dan mazhab azh-Zhahiriyah.

[10] Seperti Malik, ats-Tsauri, diriwayatkan pula hal ini dari ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Atha bin Rabah, an-Nakha’i, al-Hasan, Makhul, az-Zuhri, dan al-Auza’i (al-Ausath, 1/422—423).

[11] Satu mud adalah ukuran yang memenuhi dua telapak tangan orang dewasa yang didekatkan/dirapatkan, tidak terlalu dibentangkan dan tidak pula digenggam, sementara itu 1 sha’ = 4 mud.

Sumber : Asy Syariah Edisi 004, Seputar Hukum Islam, Asy Syariah Edisi 008, Seputar Hukum Islam, Asy Syariah Edisi 006, Seputar Hukum Islam

14 November 2011

http://asysyariah.com/titian-tuk-menundukkan-wajahku-dihadapan-mu-bagian-1/
http://asysyariah.com/titian-tuk-menundukkan-wajahku-dihadapan-mu-bagian-3/
http://asysyariah.com/titian-tuk-menundukkan-wajahku-didepanmu/

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi