Oleh : al Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Berikut ini beberapa keyakinan dan tindakan yang keliru terkait hubungan seorang muslim dengan pemerintahnya.
1. Sebagian orang mengatakan bahwa tidak ada ketaatan dan keharusan taat kepada pemerintah, dengan alasan hadits-hadits yang memuat tentang perintah mendengar dan taat hanyalah ditujukan kepada imam yang global dan kekuasaannya meliputi seluruh dunia atau yang biasa diistilahkan dengan khalifah yang satu.
Tidak diragukan, pernyataan ini adalah
pernyataan yang batil menyelisihi kesepakatan ahlul ilmi. Karena itu,
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah telah menukil kesepakatan dari Ibnu Baththal rahimahullah,
yang mengatakan, “Para fuqaha telah sepakat akan wajibnya taat kepada
pemerintah yang berkuasa dan berperang bersamanya. Bahkan, ketaatan
kepadanya jauh lebih baik daripada memberontak terhadapnya.” (Fathul
Bari)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
berkata, “Para ulama dari seluruh mazhab telah sepakat bahwa siapa saja
yang berkuasa di sebuah negeri, maka statusnya dianggap sebagai imam
dalam seluruh perkara. Jika tidak seperti ini, maka dunia tidak akan
tegak karena manusia sejak zaman dahulu sebelum al-Imam Ahmad rahimahullah
hingga hari ini, mereka tidak berkumpul di bawah satu imam. Tidak
pernah diketahui ada seorang ulama yang menyebutkan sesuatu dari hukum
yang menyatakan bahwa tidak sah kecuali dengan adanya imamterbesar.”(ad-Duraras-Sunniyyah fi Ajwibati an-Najdiyyah)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah
juga mengemukakan, “Seperti telah diketahui bahwa di setiap satu
daerah/wilayah ada pemerintahnya. Demikian pula di daerah atau
wilayah-wilayah lainnya. Tidak mengapa dengan berbilangnya pemerintahan,
wajib bagi penduduk setiap daerah dan wilayah itu untuk memberikan
ketaatan kepada pemerintahnya masing-masing setelah berbaiat kepadanya.
Siapa yang mengingkari hal ini, dia pembohong. Dia tidak pantas diajak
bicara dengan dalil, karena dia tidak dapatmemahaminya.”(as-Sailal-Jarrar)
Adapun asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Umat Islam telah terpisah-pisah sejak zaman sahabat.
Seperti yang telah diketahui, sahabat Abdullah bin Zubair di Makkah,
yang lainnya ada di Syam, di Mesir, bahkan di Yaman, dan seterusnya.
Kaum muslimin meyakini bahwa baiat diberikan kepada penguasa tempat
mereka tinggal. Kemudian penguasa itu disebut amirul mukminin. Tak ada
seorang pun yang mengingkari hal ini. Siapa yang mengingkarinya berarti
hendak memecah belah kesatuan kaum muslimin dari sisi tidak komitmennya
dengan baiat dan penyelisihannya dengan kesepakatan kaum muslimin sejak
dahulu.” (al-Fatawaas-Syar’iyyah fial-Qadhaya al-’Ashriyyah)
Pada kesempatan lain, beliau kembali
mengatakan, “Sejak zaman dahulu, zaman para ulama, manusia sudah
terpisah-pisah tempat tinggalnya menjadi beberapa bagian
(wilayah/negara). Tiap-tiap bagian (wilayah/negara tersebut) ada
pemerintahannya yang didengar dan ditaati dengan kesepakatan kaum
muslimin. Tidak ada seorang pun yang mengatakan, ‘Tidak wajib taat,
kecuali kepada pemimpin yang menyeluruh meliputi seluruh negeri kaum
muslimin (satu khalifah).’
Tidak mungkin bagi siapa pun untuk
mengatakan hal itu. Kalau sampai ada yang mengatakan demikian, berarti
tidak akan ada pemimpin bagi kaum muslimin sekarang ini, dan semua
manusia akan mati dalam keadaan mati jahiliah. Karena itu, pemimpin
(pemerintah) ada di setiap tempat dan daerah sesuai dengan keadaan
masing-masing.” (Syarh Riyadhus Shalihin)
Kemudian beliau menegaskan kembali,
“Imam adalah pemimpin tertinggi di sebuah negara, tidak disyaratkan dia
menjadi pemimpin bagi seluruh kaum muslimin. Sebab, imam yang menyeluruh
yang meliputi seluruh negeri kaum muslimin sudah tidak ada sejak
dahulu. Para tokoh Islam tetap meyakini untuk memberikan loyalitas dan
ketaatan kepada pihak yang menjadi pemimpin di wilayahnya, meskipun
tidak memiliki pemerintahan yang umum (meliputi seluruh wilayah
muslimin).” (asy-Syarhul Mumti’)
2. Ada sekelompok orang yang membuat sebuah komunitas (jamaah) kemudian setiap anggota jamaah tersebut dituntut untuk mendengar dan taat kepadanya (sebagai pimpinannya) atau setiap anggota jamaah memberikan baiat kepadanya untuk senantiasa taat dan mendengar.
Sementara itu, pemerintah yang sah ada di tengah-tengah
mereka. Dengan tindakannya tersebut, mereka memosisikan diri sebagai
waliyyul amri yang memiliki kekuasaan dan pemerintahan.
Ini adalah sebuah kesalahan besar dan dosa yang besar pula. Siapa yang melakukan ini berarti telah menentang Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya serta menyelisihi nash-nash yang syar’i. Karena itu,
tidak wajib menaatinya, bahkan haram, sebab pada dasarnya yang
bersangkutan tidak memiliki kekuasaan. Tidak pula pemerintahan sama
sekali. Jadi atas dasar apa harus didengar dan ditaati layaknya
pemerintahan yang telah tegak dan jelas?!
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Siapa yang datang kepada kalian, sedangkan pengaturan urusan
kalian ada di bawah seseorang yang menjadi pemimpin kalian, dan dia
datang hendak memecah belah kesatuan kalian, penggallah lehernya.” (HR.
Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan agar taat kepada pemimpin-pemimpin yang sudah ada dan
diketahui, yang mereka itu memiliki pemerintahan dan kekuasaan untuk
mengatur urusan manusia. Bukan taat kepada yang tidak ada dan tidak
diketahui. Bukan pula kepada yang tidak memiliki pemerintahan dan
kekuasaan sama sekali.” (Majmu’ul Fatawa)
3. Adapula orang yang mengatakan tidak harus taat kepada peraturan-peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah, seperti peraturan lalu lintas, keimigrasian, dan lain-lain.
Alasannya,
menurut mereka, peraturan-peraturan tersebut tidak ada landasan
syar’inya sedangkan ketaatan kepada pemerintah hanyalah terkait dengan
perkara-perkara yang syar’i saja, dalam hal yang mubah dan bersifat
anjuran tidaklah wajib!
Perkataan seperti ini sesungguhnya lebih
disebabkan oleh sedikitnya ilmu. Al-Allamah al-Mubarakfuri mengatakan,
“Pemimpin, apabila memerintahkan kepada sesuatu yang mubah dan bersifat
anjuran, wajib ditaati.”(Tuhfatul Ahwadzi)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah
berkata, “Ini adalah kebatilan dan kemungkaran. Yang benar adalah wajib
mendengar dan taat dalam perkaraperkara yang tidak mengandung
kemungkaran di dalamnya. Peraturan-peraturan itu ditetapkan pemerintah
untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk itu, wajib tunduk, mendengar dan
taat, karena termasuk dari perkara yang ma’ruf yang bermanfaat untuk
kaum muslimin.”(Nashihah Muhimmah)
4. Anggapan bolehnya memberikan baiat kepada pemimpin organisasi di samping kepada pemerintah.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
menegaskan, “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk memberikan dua
baiat, yaitu baiat kepada pemerintah setempat dan baiat kepada pemimpin
organisasi yang diikutinya. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
terkait dengan perintah mengangkat pemimpin kepada tiga orang yang
melakukan safar, tidaklah berarti bahwa mereka harus memberikan baiat
kepada yang diangkat jadi pemimpinnya. Namun, maksudnya adalah hendaknya
ada satu orang di antara mereka yang dapat menyatukan kalimat-kalimat
mereka (membuat keputusan), sehingga mereka tidak berselisih. Ini
sekaligus menunjukkan bahwa pintu menuju perselisihan harus senantiasa
ditutup dari segala arah.” (Transkrip ceramah berjudul Tha’atu Wulatil Umur)
5. Tidak berbaiat kepada pemerintah menjadi alasan untuk tidak mendengar dan taat.
Inilah sikap tidak terpuji yang
diperlihatkan oleh sebagian orang kepada pemerintah. Akibatnya, mereka
tidak merasa bersalah ketika harus berseberangan dan menyelisihi
aturanaturan yang telah ditetapkan, sekalipun aturan-aturan tersebut
menyangkut keagamaan. Sebaliknya, mereka lebih manut dan taat kepada
pimpinan organisasinya atau “jamaah”-nya, karena merasa telah memberikan
baiat kepadanya. Padahal semua itu hanyalah gambaran dari kebodohan dan
omong kosong belaka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya perintahkan berupa taat kepada pemerintah dan
menyampaikan nasihat kepadanya adalah wajib bagi setiap orang, meski
tidak memberikan janji kepadanya dan memberikan sumpah setia (baiat)
kepadanya.” (Majmu’ul Fatawa)
Adapun asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
mengatakan, “Apabila kaum muslimin bersatu di bawah seorang pemimpin,
maka wajib bagi semuanya untuk taat, walaupun secara individu tidak
berbaiat kepadanya. Para sahabat dan kaum muslimin tidak semuanya
berbaiat kepada sahabat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Hanya yang berada di Madinah yang berbaiat dan tuntutan dari baiat tersebut berlaku untuksemua.”(Tha’atu Wulatil Umur)
6. Berdemonstrasi adalah termasuk wasilah dakwah dan upaya untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.
Tidak samar bagi siapa pun, demonstrasi
di negeri ini menjadi budaya yang terus dihidupkan dan dikembangkan,
seolah-olah ia menjadi senjata ampuh untuk keluar dari sebuah
permasalahan. Siapa yang tidak ada keinginan untuk itu dicap sebagai
pengecut dan tidak ada kemauan untuk memperbaiki keadaan. Lalu, benarkah
demo menjadi solusi untuk bisa keluar dari kesulitan dan masalah?
Kalau mau jujur, akibat yang ditimbulkan
dari berdemonstrasi jauh lebih rusak dan mengerikan dibandingkan
problem yang terjadi. Anda lihat, bagaimana aksi-aksi yang dilakukan
para demonstran akhir-akhir ini, sungguh di luar kewajaran dan melampaui
batasan, seperti aksi jahit mulut hingga aksi bunuh diri. Aksi-aksi ini
akan terus berlangsung, bahkan bisa jadi semakin mengerikan. Nas’alullah as-salamah.
Siapa yang rugi? Apakah masalah selesai
setelah itu? Justru masalah kian membesar dan akan bertambah. Kondisi
seperti ini diperparah dengan adanya fatwa-fatwa dari pihak yang tidak
bertanggung jawab dengan menyatakan bahwa demonstrasi adalah wasilah
dakwah, bagian dari bentuk amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jihad di
jalan Allah Subhanahu wata’ala.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Saya tidak melihat aksi demonstrasi dengan berjalan kaki atau longmarch
sebagai solusi. Justru, saya melihatnya hanya sebagai sebab timbulnya
fitnah dan kejelekan serta sebab tindakan zalim dan aniaya kepada
sebagian pihak. Cara yang disyariatkan adalah mengirim surat,
menyampaikan nasihat dan berdakwah kepada kebaikan dengan metode yang
syar’i yang telah diuraikan oleh para ulama. Jadi, dengan mengirim
tulisan (surat), berbicara langsung kepada pemimpin/pemerintah, atau
melalui telepon, dan menyampaikan nasihat. Tidak mengumbar
kejelekan-kejelekan pemerintah di atas mimbar-mimbar.
Wallahulmusta’an.”(Fatawa al-’Ulama al-Akabir)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “Yang wajib bagi kita adalah menasihati pemerintah sesuai
kemampuan. Adapun aksi turun ke jalan dan melakukan protes secara
terang-terangan, maka ini menyelisihi petunjuk para salaf, dan aksi-aksi
tadi sama sekali tidak nyambung dengan syariat. Tidak pula dengan upaya
perbaikan. Semua itu hanyalah kemudaratan. Tidak boleh mendukung aksi
demonstrasi dan semisalnya, karena upaya perbaikan dapat dilakukan
dengan selainitu.”(Fatawa al-Ulama al-Akabir)
Di lain kesempatan, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
menegaskan, “Penting kiranya untuk memahami manhaj salaf dalam
bermuamalah dengan pemerintah, jangan sampai kesalahan pemerintah
dijadikan celah untuk memprovokasi manusia dan menjauhkannya dari
pemerintah karena ini adalah kerusakan dan satu penyebab utama munculnya
fitnah.
Berpalingnya hati dari pemerintah akan
mendatangkan fitnah, kejelekan, dan kekacauan. Begitu pun berpalingnya
hati dari para ulama akan mendatangkan sikap meremehkan para ulama dan
lebih jauhnya lagi meremehkan syariat. Maka, yang wajib adalah melihat
apa yang telah ditempuh oleh para salaf dalam menghadapi pemerintahnya.
Seseorang harus berhati-hati dan selalu melihat apa akibat yang akan
timbul. Penting diketahui bahwa orang yang gemar melakukan provokasi
pada hakikatnya sedang membantu musuh-musuh Islam.
Yang jadi patokan bukanlah dengan
provokasi, bukan pula dengan menampakkan emosi yang meluap-luap. Akan
tetapi, patokannya adalah adanya hikmah, dan saya tidak memaksudkan kata
hikmah berarti mendiamkan kesalahan, namun memperbaiki kesalahan agar
hukum/keadaan menjadi lebih baik.” (Mu’amalatul Hukkam)
[ 09/02/2013 ]
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi