Lengkap menjawab syubhat tentang hukum mengambil gambar dengan alat maupun membuat gambar dengan melukis..
Oleh: Asy-Syaikh Mahir Al-Qahthany ~hafizhahullah~
dan tanya jawab beliau bersama gurunya Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan~hafidzahullah~
dan tanya jawab beliau bersama gurunya Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan~hafidzahullah~
Asy-Syaikh Mahir Al-Qahthany hafizhahullah memulai tulisannya…
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته، أما بعد:
Janganlah
engkau melakukan penakwilan-penakwilan yang rusak wahai Ahlus Sunnah,
karena tidaklah dibinasakan Khawarij, Jahmiyah, Jabriyah, Qadariyah,
Quburiyah dan selain mereka kecuali dengan penakwilan-penakwilan yang
rusak tersebut. Hal itu dengan akalmu atau hawa nafsumu menganggap baik
amal yang tidak saleh.
Engkau mengetahuinya lalu mencari-carikan dalil untuk membelanya dengan penakwilan-penakwilan yang rusak menurut syariat, maka sesungguhnya akibat perbuatan tersebut adalah sangat buruk. Jadi hawa nafsu akan menghalangi seseorang dari kebenaran. Dan cukuplah untuk menunjukkan keburukannya dengan mengetahui bahwa itu termasuk sifat-sifat orang-orang musyrik.
—» Allah Ta’ala berfirman:
إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى. [النجم:[23
“Mereka
tidaklah mengikuti kecuali dugaan dan apa yang disukai oleh hawa nafsu,
padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.” [An-Najm: 23]
Maka,
merupakan aib dan kehinaan jika telah jelas petunjuk bagimu, namun
engkau menolaknya dengan dalih-dalih yang rusak atau taklid buta yang
tidak ada manfaatnya. Jadi, engkau adalah hamba Allah yang Dia
menciptakanmu lalu membaguskan rupamu kemudian menyempurnakannya, engkau
bukan budak hawa nafsumu.
—» Allah Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا زَاغُوْا أَزَاغَ اللهُ قُلُوْبَهُمْ. [الصف: 5]
“Tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), maka Allah palingkan hati-hatimereka.”[Ash-Shaff: 5]
—» Juga sebagaimana perkataan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu:
لَسْتُ
تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ r يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ
بِهِ فَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ.
“Aku
tidak akan meninggalkan sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi was salam kecuali aku kerjakan, karena aku takut
akan menyimpang jika aku meninggalkan sedikit saja dari perintah
beliau.”[Shahih Al-Bukhary no. 3099, bab Fardhul Khumus]
Maka, jika seorang yang merupakan shiddiq (tingkatan di bawah para nabi -pent) dari umat ini merasa takut hatinya akan menyimpang jika menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dalam satu perkara saja, padahal dia adalah khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dan sebagian shahabat telah mengatakan: “Abu Bakr adalah orang yang berilmu di antara kami.” Lalu bagaimana dengan orang yang menyelisihi beliau karena menganggap halal sesuatu dengan dalih-dalih yang rusak atau dengan dalil-dalil yang lemah karena sikap taklid tanpa ilmu atau mencari-cari pembenaran tanpa fikih?!
Setiap orang yang sesat dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi was salam setelah dia mengetahui ilmunya dan mencari-cari pembenaran yang diada-adakan, maka pada dirinya terdapat keserupaan dengan orang-orang Yahudi yang telah menghalalkan hal-hal yang telah Allah haramkan dengan akal-akalan.
—» Al-Bukhary rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahih-nya:
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ
رَسُوْلَ اللهِ r يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اللهَ
وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ
وَالْأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُوْمَ
الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا
الْجُلُوْدُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: لَا هُوَ حَرَامٌ.
ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r عِنْدَ ذَلِكَ: قَاتَلَ اللهُ الْيَهُوْدَ
إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوْهُ ثُمَّ بَاعُوهُ
فَأَكَلُوْا ثَمَنَهُ.
Dari Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhuma dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi was
salam bersabda pada tahun penaklukan Mekah: “Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan
patung.” Beliau ditanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda
dengan lemak bangkai, karena bisa digunakan untuk menambal perahu yang
bocor, untuk meminyaki kulit dan manusia menggunakan untuk bahan bakar
lampu? Beliau menjawab: “Tidak boleh, tetap haram hukumnya.” Lalu
Rasulullah shallallahu alaihi was salam ketika itu bersabda: “Semoga
Allah membinasakan Yahudi, sesungguhnya ketika Allah mengharamkan
lemak-lemak bangkai, mereka menjadikannya sebagai minyak lalu mereka
jual kemudian mereka makan hasil penjualannya.”[HR. Al-Bukhary no. 2236 dan Muslim 1581]
Dan jika engkau selamat dari makhluk yang menyampaikan nasehat yang dia mendapatkan udzur karena ada perkara yang tidak dia ketahui, padahal dia telah mengatakan kepadamu: “Wahai Ahlus Sunnah, kenapa engkau melakukan kemaksiatan kepada Allah?!
—» Maka, engkau tidak akan selamat dari Pencipta-mu yang Dia telah berfirman tentang diri-Nya:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ. [غافر: [19
“Dia mengetahui mata-mata yang berkhianat dan apa-apa yang disembunyikan di dalam hati.”[Ghafir: 19]
Maka,
berhati-hatilah wahai Ahlus Sunnah, jangan sampai engkau melakukan
keharaman dengan berdalih menggunakan hal-hal yang tidak engkau ketahui
kesahihannya di dalam syariat. Allah Ta’ala berfirman:
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى. [النجم: [23
“Mereka
tidaklah mengikuti kecuali dugaan dan apa yang disukai oleh hawa nafsu,
padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.”[An-Najm: 23]
Dan
termasuk perkara yang diharamkan yang mungkin syetan telah
menggelincirkan kedua kakimu dengannya sehingga engkau menyangkanya
termasuk perkara yang benar, yaitu dakwahmu kepada jalan Allah dengan
cara yang haram. Seperti ucapan sebagian orang: “Dusta diperbolehkan
untuk maslahat dakwah agama Allah. Mengambil gambar dan tampil di
channel dan televisi boleh untuk merealisasikan dakwah agama Allah.” Ini
seperti ucapan Amr Khalid Al-Mishry yang menyerupai orang-orang fasik
yang bergelut dalam bidang sinema dan sandiwara: “Saya mencukur jenggot
saya agar para pemuda tidak lari dariku.” Ini menurutnya merupakan
maslahat dakwah.
Maka saya katakan:
“Tidak
boleh bagi seorang muslim atau muslimah yang beriman kepada Allah dan
hari kiamat untuk membantu kemaksiatan mengambil gambar yang diharamkan
yaitu gambar-gambar makhluk yang bernyawa, dan tidak boleh pula untuk
memberikan kesempatan dengan cara mendatanginya, walaupun dengan dalih
untuk maslahat dakwah. Hal ini berdasarkan beberapa sisi, maka pahamilah
dengan baik wahai Ahlus Sunnah, dan tinggalkan hawa nafsu agar tidak
menyeretmu ke neraka!”
=================
———-
[Pertama]
[Pertama]
Sesungguhnya
dengan pergi untuk pengambilan gambar guna tampil di televisi -walaupun
dengan dalih untuk maslahat dakwah – merupakan perbuatan saling
membantu melakukan dosa.
— » Padahal Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإثْمِ وَالْعُدْوَانِ. [المائدة: 2
“Dan hendaklah kalian tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
——–
[Kedua]
Sesungguhnya tidak ada perbedaan tentang keharaman -berdasarkan apa yang dirajihkan oleh Al-Allamah Al-Imam Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Al-Allamah Nashiruddin Al-Albany, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan banyak lagi selain mereka-[1] antara menggambar dengan tangan dan menggambar dengan alat, sama saja apakah gambarnya diam dengan alat gambar diam yaitu kamera, atau gambarnya bergerak dengan alat pengambil gambar bergerak yaitu video atau televisi. Hal ini karena cara modern ini termasuk pada keumuman larangan mengambil gambar.
[Kedua]
Sesungguhnya tidak ada perbedaan tentang keharaman -berdasarkan apa yang dirajihkan oleh Al-Allamah Al-Imam Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Al-Allamah Nashiruddin Al-Albany, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan banyak lagi selain mereka-[1] antara menggambar dengan tangan dan menggambar dengan alat, sama saja apakah gambarnya diam dengan alat gambar diam yaitu kamera, atau gambarnya bergerak dengan alat pengambil gambar bergerak yaitu video atau televisi. Hal ini karena cara modern ini termasuk pada keumuman larangan mengambil gambar.
—» Ini sebagaimana yang terdapat di dalam Shahih Al-Bukhary dari jalan Aun bin Abi Juhaifah dari ayahnya dia berkata:
لَعَنَ
النَّبِيُّ r الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَآكِلَ الرِّبَا
وَمُوكِلَهُ وَنَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْبَغِيِّ وَلَعَنَ
الْمُصَوِّرِينَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi was salam
melaknat wanita yang mentato, wanita yang meminta tato, pemakan riba dan
yang mewakilkannya, dan beliau melarang jual beli anjing dan hasil
melacur, serta melaknat para pembuat gambar.”[HR. Al-Bukhary no. 4357]
—»
Juga berdasarkan riwayat Al-Bukhary dari jalan Ibrahim bin Sa’ad
Al-Qurasy dari Az-Zuhry dari Al-Qasim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia
berkata:
“Nabi masuk menemuiku ketika di rumah ada bergambar, maka wajah beliau berubah lalu beliau mengambil tirai kemudian merusaknya.
—» Kemudian beliau bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُصَوِّرُوْنَ هَذِهِ الصُّوَرَ.
“Sesungguhnya
termasuk manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat nanti
adalah orang-orang yang suka menggambar gambar-gambar ini.”[HR. Al-Bukhary no. 6109]
Jadi,
Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi was salam memutlakkan pengharaman atas
perbuatan semua orang yang menggambar, sehingga menggambar dengan tangan
dan alat termasuk yang diharamkan tanpa ada perbedaan.
—» Al-Allamah Al-Albany rahimahullah berkata:
“Gambar
bergerak (dengan televisi atau video) lebih besar dosanya dibandingkan
yang diam, karena penyerupaan terhadap penciptaan Allah padanya lebih
besar.[2]
——–
[Ketiga]
[Ketiga]
Sebagian
masayikh yang mulia ketika muncul di televisi untuk tujuan forum ilmiah,
saya sebutkan kepadanya keharaman perbuatan ini, maka beliau berkata
kepada saya: “Apakah cermin diharamkan?”[3] Saya katakan kepada syaikh
yang mulia tersebut: “Ini merupakan qiyas (menyamakan) pada kasus yang
ada perbedaan, hal itu karena gambar yang nampak pada cermin adalah
gambar pantulan, dia tidak bisa tetap di cermin dengan peran tangan
seperti dengan memberi warna dan membentuk. Adapun gambar lain yaitu
film atau fotografi ~seperti yang disebut orang~ sifatnya membuat
permanen gambar makhluk yang bernyawa di atas kertas atau ditampilkan
dengan menetapkannya dulu, bukan bersifat pantulan seperti cermin. Jadi
padanya terjadi perbuatan menggambar seperti mencuci film, mewarnai dan
membentuk. Inilah menggambar yang diharamkan itu tanpa ada perbedaan
antara yang menggunakan tangan dan yang menggunakan alat.” Maka syaikh
yang mulia tersebut diam tanpa mendebat.
———-
[Keempat]
[Keempat]
Ucapan
mereka bahwa gambar televisi atau fotografi adalah ciptaan Allah
sendiri, ini merupakan kesalahan. Karena tanpa diragukan lagi itu
merupakan perbuatan menggambar dan menyaingi ciptaan Allah dan tidak
bisa diqiyaskan dengan gambar cermin, sebagaimana dijelaskan pada
bantahan ketiga. Tidakkah engkau melihat bahwa gambar-gambar tersebut
tidak bisa berbicara, tidak makan dan tidak minum.
—» Sebagaimana Ibrahim ‘alahis salam berkata:
يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئاً[مريم: 42]
“Wahai
ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar,
tidak bisa melihat, dan tidak berguna bagimu sedikitpun.”[Maryam: 42]
Jadi,
gambar-gambar tersebut tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan
tidak bisa berbicara, lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa itu adalah
dzat ciptaan Allah?!
Maka tunjukkan
sebuah gambar yang dibuat dengan alat kepada orang yang bisa bersikap
adil dari mereka, dan katakan kepadanya: “Apakah ini gambar atau dzat
ciptaan Allah?” Jika dia menjawab bahwa itu adalah gambar, maka tanyalah
dia: “Haram atau boleh?” Jika dia menjawab boleh seperti gambar cermin,
maka sampaikan hujjah kepadanya sebagaimana pada bantahan ketiga yang
telah lalu.
———
[Kelima]
Ucapan mereka:
“Gambar dengan alat tidak boleh dikatakan haram karena alat yang membuatnya.”
[Kelima]
Ucapan mereka:
“Gambar dengan alat tidak boleh dikatakan haram karena alat yang membuatnya.”
Ini
adalah ucapan yang salah, karena sesungguhnya alat di sini merupakan
sarana untuk melakukan sesuatu yang diharamkan, dia tidak berfungsi
kecuali dijalankan oleh orang, misalnya pena dan pewarna. Jadi,
sebagaimana tidak boleh seseorang mengatakan bahwa yang melukis
gambar-gambar makhluk yang bernyawa adalah pensil lukis, karena yang
memegang adalah pelukis, demikian juga alat yang dipegang oleh orang
yang mengambil gambar. Siapakah yang memfungsikannya hingga bisa
mengambil gambar? Dan siapakah yang menjadikannya bekerja mengarah
kepada manusia untuk mengambil gambar mereka, lalu bekerja dengan
memasukkan dan mengeluarkannya hingga menjadi gambar?
Al-Allamah
Al-Albany telah membuat permisalan bagi mereka dengan pabrik boneka
yang membuat patung. Maka, apakah seseorang akan ada yang mengatakan:
“Alatlah yang memahat lalu membentuk gambar?!” Tidaklah ucapan ini
kecuali seperti akal-akalan orang-orang Yahudi.
———-
[Keenam]
[Keenam]
Sesungguhnya
mengambil gambar dengan alat adalah termasuk akal-akalan yang
diharamkan untuk membolehkan membuat gambar. Jadi, mereka mengambil
gambar dan mengatakan: “Alatlah yang menggambar.” Mereka juga
mengatakan: “Ini tidak lain kecuali seperti cermin, ini bukan zat
ciptaan Allah…” dan seterusnya. Adapun seorang ulama yang mencapai
tingkatan mujtahid maka dia mendapatkan udzur.
—»
An-Nasa’iy telah meriwayatkan di dalam Sunan-nya dengan sanad shahih
dari jalan Ibnu Muhariz,[4] dia meriwayatkan hadits dari salah seorang
shahabat Nabishallallahu ‘alaihi was salam dari Nabi shallallahu ‘alaihi
was salam beliau bersabda:
يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا.
“Akan ada manusia dari umatku yang meminum khamer dan mereka menamakannya bukan dengan namanya.”[HR. An-Nasa’iy no. 5676]
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata di dalam catatan kaki Sunan Abu Dawud pada
masalah hilah: “Juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dan yang
lainnya dengan sanad hasan dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi was salambersabda:
لَا تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُوْدُ فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ.
“Janganlah
kalian melakukan apa yang dilakukan oleh Yahudi sehingga kalian
berusaha menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan dengan akal-akalan
yang rendah.”
لَا تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُوْدُ فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ.
Dan sanadnya termasuk yang dinilai shahih oleh At-Tirmidzy. Juga Nabi shallallahu ‘alaihi was salam telah bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمْ الشُّحُوْمُ فَجَمَّلُوْهَا وَبَاعُوْهَا وَأَكَلُوْا أَثْمَانهَا.
“Allah
telah melaknat Yahudi, ketika lemak diharamkan atas mereka, maka mereka
menjadikannya sebagai minyak lalu mereka jual kemudian mereka makan
hasil penjualannya.”
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمْ الشُّحُوْمُ فَجَمَّلُوْهَا وَبَاعُوْهَا وَأَكَلُوْا أَثْمَانهَا.
Maksud mereka menjadikannya minyak
yaitu mencairkannya dan mencampurnya, mereka lakukan hal itu agar nama
lemak hilang darinya dan muncul nama baru untuknya yaitu wadak. Dan hal
itu tidak berguna untuk dijadikan akal-akalan, karena pengharaman
mengikuti hakekat dan hakekat tidak akan berubah dengan berubahnya nama.
Seperti riba, pengharamannya mengikuti makna dan hakekatnya, jadi tidak
akan hilang keharamannya dengan perubahan nama dengan bentuk jual beli,
sebagaimana pengharaman lemak tetap berlaku walaupun namanya diubah
dengan bentuk pencairan, dan alhamdulillah ini adalah perkara yang
jelas.
Alasan lain, sesungguhnya Yahudi tidak
memanfaatkan lemak itu sendiri, mereka hanya memanfaatkan harga
penjualannya. Maka siapapun yang hanya memperhatikan bentuk-bentuk akad
dan lafazh-lafazhnya tanpa mengetahui tujuan dan hakekatnya, hendaknya
dia tetap komitmen untuk meyakini keharamannya, karena Allah Ta’ala
tidak menyebutkan nash yang menunjukkan keharaman hasil penjualan,
tetapi hanya menyebutkan haramnya lemak dan ketika melaknat mereka itu
karena mereka menganggap halal hasil penjualannya. Walaupun Allah tidak
menyebutkan nash yang menunjukkan keharamannya, hal itu telah
menunjukkan bahwa yang wajib adalah memperhatikan tujuan, walaupun
sarana-sarana yang mengantarkannya berbeda-beda, dan hal itu juga
menunjukkan konsekwensi jangan sampai yang menjadi tujuan adalah sesuatu
itu sendiri dan tidak pula sesuatu itu namun telah dirubah bentuknya.
Yang
semisal dengan ini seperti dengan mengatakan: Jangan mendekati harta
anak yatim, lalu engkau jual harta itu dan engkau makan sebagai
penggantinya! Atau dengan mengatakan: Jangan minum khamer, lalu engkau
ganti namanya dan engkau meminumnya! Atau dengan mengatakan: Jangan
berzina dengan wanita ini, lalu engkau melakukan akad sewa (atau seperti
dengan nikah mut’ah -pent) dan engkau katakan, “Saya hanya bermaksud
mencukupi kebutuhannya!” Dan yang semisalnya.
Para ulama
mengatakan: Prinsip ini – yaitu haramnya upaya mengakali yang
mengandung pembolehan hal-hal yang diharamkan oleh Allah atau
menggugurkan sesuatu yang Allah wajibkan – memiliki lebih dari seratus
dalil
Dan telah pasti shahihnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was salam:
لَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
“Melaknat
orang yang berusaha menghalalkan (agar seorang wanita bisa menikah
kembali dengan suami sebelumnya setelah thalaq ketiga) dan juga pihak
yang diusahakan.”
Padahal orang yang melakukannya dengan
akad nikah yang sah, tetapi dilaknat karena tujuannya adalah
menghalalkan (agar wanita yang dinikahinya bisa menikah lagi dengan
suaminya yang sebelumnya), bukan karena ingin benar-benar menikah. Dan
telah shahih riwayat dari para shahabat bahwa mereka menyebutnya sebagai
pezina, dan mereka tidak melihat kepada bentuk akad nikahnya.”
~selesai perkataan Ibnul Qayyim~
~selesai perkataan Ibnul Qayyim~
————
[Ketujuh]
[Ketujuh]
Ucapan mereka bahwa mengambil gambar di televisi untuk ceramah terdapat maslahat dakwah padanya.
—» Ini bertentangan dengan perkataan sebagian ulama ushul yang menyatakan:
أَيُّ مَصْلَحَةٍ تُخَالِفُ الشَّرِيْعَةَ فَهِيَ مَصْلَحَةٌ مُلْغَاةٌ.
“Maslahat apapun, jika itu menyelisihi syariat, maka itu merupakan maslahat yang dibatalkan.”
أَيُّ مَصْلَحَةٍ تُخَالِفُ الشَّرِيْعَةَ فَهِيَ مَصْلَحَةٌ مُلْغَاةٌ.
“Maslahat apapun, jika itu menyelisihi syariat, maka itu merupakan maslahat yang dibatalkan.”
Misalnya
berobat dengan sesuatu yang diharamkan, berobat merupakan maslahat,
hanya saja tatkala berobatnya dengan sesuatu yang diharamkan, maka
maslahat tersebut dibatalkan.
—» Hal ini berdasarkan riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu secara mauquf:
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ.
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.”
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ.
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.”
—» Dan di dalam hadits disebutkan:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوُوْا وَلَا تَتَدَاوُوْا بِحَرَامٍ.
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang diharamkan!” إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوُوْا وَلَا تَتَدَاوُوْا بِحَرَامٍ.
[Ash-Shahihah no. 1633. Sanad yang pertama shahih dan yang kedua hasan, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Albany]
————-
[Kedelapan]
Ucapan
mereka bahwa mengambil gambar masayikh dengan tujuan dakwah mereka
sesuatu yang sifatnya darurat adalah salah, bahkan paling puncaknya
hanya dikatakan sebagai maslahat, sedangkan maslahat yang menyelisihi
syariat maka dibatalkan sebagaimana baru saja dijelaskan.
————–
[Kesembilan]
[Kesembilan]
Tidak
bisa dikatakan: Ketika bangkai dibolehkan karena darurat agar bisa
tetap hidup, demikian pula mengambil gambar dibolehkan untuk dakwah.
—» Syaikhul Islam berkata sebagaimana disebutkan di dalam Al-Fatawa yang maknanya:
“Jika berobat dengan sesuatu yang diharamkan yang ada kemungkinan bisa mendapatkan kesembuhan tetap tidak boleh dilakukan, karena itu berarti mendahulukan sesuatu yang sifatnya masih mungkin atas sesuatu yang pasti keharamannya. Adapun makan bagi orang yang lapar yang terpaksa karena takut mati maka yakin itu sebagai sebab bertahan hidup, jadi antara keduanya jelas berbeda.”[5]
“Jika berobat dengan sesuatu yang diharamkan yang ada kemungkinan bisa mendapatkan kesembuhan tetap tidak boleh dilakukan, karena itu berarti mendahulukan sesuatu yang sifatnya masih mungkin atas sesuatu yang pasti keharamannya. Adapun makan bagi orang yang lapar yang terpaksa karena takut mati maka yakin itu sebagai sebab bertahan hidup, jadi antara keduanya jelas berbeda.”[5]
Demikian juga mengambil
gambar masayikh adalah perkara yang haram dengan meyakinkan
pengharamannya. Adapun dakwah mereka kepada manusia mengandung
kemungkinan diterima seperti sifat obat, sehingga tidak boleh mengambil
gambar mereka karena hal itu berarti mendahulukan sesuatu yang sifatnya
masih mungkin atas sesuatu yang pasti keharamannya.
Seandainya
kita katakan bahwa orang-orang yang didakwahi dari para pemirsa adalah
orang-orang yang sakit, tentu kita akan katakan pada pengambilan gambar
para dai seperti yang kita katakan pada obat.
—» Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud:
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.”
————
[Kesepuluh]
[Kesepuluh]
Sesungguhnya
banyak dijumpai sarana pengganti untuk menyebarkan dakwah, seperti
majalah ilmiyah tanpa gambar, internet, surat-surat pribadi yang
tertulis maupun lewat HP (sms/mms/email -pent), radio Al-Qur’an,
buku-buku saku maupun kitab-kitab, buletin, khutbah-khutbah Jum’at,
ceramah di masjid-masjid, berkunjung dan selainnya. Maka, kenapa hal-hal
yang mubah ini ditinggalkan padahal sangat banyak hanya karena sesuatu
yang haram?! Yaitu mengambil gambar yang pelakunya terlaknat.
————
[Kesebelas]
[Kesebelas]
—» Saya pernah mengatakan kepada guru saya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan:
“Mengapa
sebagian ulama membolehkan tampilnya masayikh di televisi?” Maka beliau
menjawab yang maknanya kurang lebih: “Karena maslahat.”[6] Maka saya
katakan kepada beliau: “Sesungguhnya awal syirik yang muncul di muka
bumi adalah karena alasan maslahat. Yaitu waswas syetan terhadap kaum
Nuh yang kurang lebih maknanya, ‘Buatlah patung-patung bagi orang-orang
saleh kalian setelah kematian mereka agar kalian bisa mengingat ibadah
mereka dan meneladani mereka.’ Ini merupakan maslahat, tetapi dibatalkan
dan hakekatnya adalah bid’ah. Namun mereka melakukannya hingga
patung-patung itu disembah.”
—» Hal itu berdasarkan apa
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary di dalam Shahih-nya dari jalan Ibnu
Juraij dari Atha’ dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma:
صَارَتْ
الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِيْ قَوْمِ نُوْحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ.
أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ، وَأَمَّا سُوَاعٌ
كَانَتْ لِهُذَيْلٍ، وَأَمَّا يَغُوْثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِيْ
غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ، وَأَمَّا يَعُوْقُ فَكَانَتْ
لِهَمْدَانَ، وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِيْ الْكَلَاعِ.
أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِيْنَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ. فَلَمَّا هَلَكُوْا
أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوْا إِلَى
مَجَالِسِهِمْ الَّتِيْ كَانُوا يَجْلِسُوْنَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا
بِأَسْمَائِهِمْ. فَفَعَلُوْا فَلَمْ تُعْبَدْ، حَتَّى إِذَا هَلَكَ
أُوْلَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ.
“Berhala-berhala
yang dahulu ada di kaum Nuh jatuh ke tangan orang-orang Arab. Adapun
Wadd adalah milik kabilah Kalb di daerah Daumatul Jandal, semetara Suwa’
adalah milik kabilah Hudzail, sementara Yaghuts milik kabilah Murad
yang kemudian menjadi milik bani Ghuthaif di daerah Jauf di wilayah
Saba’, sedangkan Ya’uq milik kabilah Hamdan dan berhala Nasr milik
kabilah Himyar dari keluarga Dzul Kala’. Itu adalah nama-nama
orang-orang shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka mati, syetan membisikkan
kepada kaum mereka agar membuat patung di majelis yang biasa mereka
adakan dan agar menamakannya dengan nama-nama mereka. Mereka pun
melakukannya dan ketika itu patung-patung itu belum di sembah. Ketika
generasi mereka berahir dan ilmu telah dilupakan ahirnya patung-patung
itu di sembah.”
MAKA ASY-SYAIKH SHALIH AL-FAUZAN HAFIZHAHULLAH SEPAKAT SERAYA BERKATA: “ALLAHUL MUSTA’AN, ALLAHUL MUSTA’AN.”
SAYA
SEBUTKAN JUGA SYUBHAT-SYUBHAT MEREKA KEPADA BELIAU, MAKA BELIAU
MENJAWAB: “ITU SEMUA SALAH.” DAN BELIAU -SEMOGA ALLAH MENINGGIKAN
DERAJAT BELIAU- KOMITMEN UNTUK TIDAK TAMPIL LAGI LAYAR TELEVISI, KECUALI
YANG DILAKUKAN OLEH SEBAGIAN STASIUN TELEVISI TANPA SEIZIN BELIAU.
————-
[Kedua belas]
[Kedua belas]
Asy-Syaikh
Al-Allamah Al-Albany rahimahullah menyebutkan bahwa mengambil gambar
masayikh di televisi dan tampilnya mereka merupakan sarana yang bisa
menyebabkan riya’.
—» Beliau mengatakan:
“Dengan tampilnya seakan-akan dia mengatakan, ‘Lihatlah, ini lho saya!”[7]
“Dengan tampilnya seakan-akan dia mengatakan, ‘Lihatlah, ini lho saya!”[7]
Mungkin
Asy-Syaikh mengkhususkan televisi sebagai sarana riya -dimana beliau
sendiri melarang tampil di televisi walaupun untuk ceramah dan
semisalnya- karena jiwa orang-orang awam sebagaimana telah diketahui
akan memperhatikan siapa yang akan tampil di televisi dan akan
memandangnya dengan pandangan khusus yang menunjukkan pemuliaan, wallahu
a’lam.
Dan termasuk yang melarang sarana-sarana yang
bisa mengantarkan kepada riya’ adalah imam dunia di masanya, yaitu Ahmad
bin Hanbal. Beliau berpendapat bahwa memegang tempat tinta bagi seorang
penuntut ilmu di hadapan manusia merupakan riya’, maksud beliau sarana
yang bisa menyeret kepadanya.
————–
[Ketigabelas]
[Ketigabelas]
Sesungguhnya
Allah tidak ditaati dengan cara didurhakai. Jadi, menggambar merupakan
maksiat, maka bagaimana mungkin tergambar ketaatan kepada Allah dengan
cara melakukan kemaksiatan tersebut?!
—» Syaikhul Islam berkata sebagaimana disebutkan di dalam Majmu’ Al-Fatawa:
“Sesungguhnya
Allah tidaklah mengharamkan sesuatu kecuali padanya terdapat kerusakan
yang lebih dominan dibandingkan maslahatnya, sebagaimana Allah
mengharamkan khamer karena dosanya lebih besar dibandingkan manfaatnya,
dan diharamkan berobat dengan khamer walaupun padanya terdapat maslahat,
tetapi dibatalkan sebagaimana telah lalu penjelasannya.”
—————–
[Keempatbelas]
[Keempatbelas]
—»
Ketika seorang penanya diutus kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah dengan mengatakan yang kurang lebih maknanya[8] sebagai
berikut:
“Kami bersama-sama menggunakan sorbus[9] maka
jika bagiannya yang memabukkan diletakkan di kepala kami maka kami jadi
teringat untuk berdzikir dan hal itu menjadi mudah bagi kami,[10] maka
orang yang menggunakannya akan dikenai hukuman hadd terhadap peminum
khamer?” Beliau menjawab: “Ya, dikenai hukuman hadd peminum khamer…”
hingga perkataan beliau: “Dan celaka bagi penanya, apakah dia menyangka
bahwa Allah mengharamkan sesuatu padahal padanya ada manfaatnya?!”[11]
—» Maka kita katakan kepada para masayikh yang diambil gambarnya:
“Semoga
Allah memberi hidayah kepada kami dan kalian, apakah kalian menyangka
bahwa Allah mengharamkan menggambar dengan sekeras-kerasnya
sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ.
“Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang suka menandingi ciptaan Allah.”[HR. Bukhari no. 5954 -pent]
Lalu
Dia menjadikan manfaat yang rajih pada sesuatu yang Dia haramkan
kemudian digunakan untuk mendakwahkan agama Allah, padahal diterimanya
dakwah sifatnya hanya mungkin, sedangkan pengharaman menggambar sifatnya
meyakinkan, dan tidak bisa disamakan dengan memakan bangkai (ketika
terpaksa) yang biasanya bisa untuk bertahan hidup.
Bagaimana
cara kalian memutuskan masalah, padahal berobat dengan sesuatu yang
diharamkan hukumnya haram dan maslahatnya dibatalkan.
—»
Dan sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyyah, syariat ini datang membawa
hal-hal yang semisal,[12] sehingga tidak boleh membedakan dua hal yang
semisal sebagimana tidak boleh menyatukan dua hal yang berlawanan.
—————
[Kelima belas]
[Kelima belas]
—» Jika ada seseorang mengatakan:
“Tapi
kan sebagian ulama ada yang membolehkannya!” Kita katakan kepada
mereka: Di sana ada juga para ulama yang mengharamkannya, maka kenapa
kalian menjadikan ulama kalian sebagai hujjah untuk membantah ulama
kami?!
—» Padahal Rabb kita telah berfirman:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ. [الشورى: 10]
“Dan apapun yang kalian perselisihkan maka hukumnya dikembalikan kepada Allah.”وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ. [الشورى: 10]
[Asy-Syura: 10]
—» Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Jika para ulama berbeda pendapat, jangan menjadikan pendapat sebagian mereka sebagai hujjah untuk membantah ulama yang lain kecuali dengan dalil-dalil syariat.”
“Jika para ulama berbeda pendapat, jangan menjadikan pendapat sebagian mereka sebagai hujjah untuk membantah ulama yang lain kecuali dengan dalil-dalil syariat.”
—————
[Keenam belas]
[Keenam belas]
Alasan
yang mereka sebutkan untuk membolehkan mengambil gambar ceramah ilmiyah
para masayikh, seandainya alasan ini diterima maka akan membuka pintu
perkara-perkara yang diharamkan dan bid’ah-bid’ah dengan
selebar-lebarnya. Maka, wajib atas mereka untuk melarang menggunakannya
sebagai alasan, walaupun sebagai tindakan preventif (pencegahan). Karena
muncul orang suka berdusta dengan dalih untuk maslahat dakwah, juga ada
yang mencukur jenggotnya dengan dalih untuk maslahat dakwah seperti
yang dilakukan oleh Amr Khalid Al-Mishry, bahkan ada yang membuat
sandiwara dengan dalih untuk maslahat dakwah.
—» Dan ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama:
“Janganlah engkau melakukan penakwilan-penakwilan yang rusak!”
—————
[Ketujuh belas]
[Ketujuh belas]
Apa
bedanya orang yang berdusta untuk maslahat dakwah dengan dalih bahwa
dusta diperbolehkan pada tiga keadaan, diantaranya untuk memperbaiki
hubungan, dengan orang yang mengambil gambar untuk tujuan dakwah dengan
dalih boneka Aisyah?![13]
Maka jika hal itu telah jelas,
hendaklah para dai berpaling (berpindah) kepada sarana-sarana yang
Allah benarkan, seperti radio, majalah ilmiah, kaset, risalah dan yang
lainnya, karena banyak jenisnya walhamdulillah. Dan hendaklah mereka
meninggalkan perlombaan dengan orang-orang jahat dalam bermaksiat
terhadap Rabb mereka dengan cara mengambil gambar yang menjadi sebab
munculnya kesyirikan di muka bumi dengan dalih untuk maslahat.
Kemudian,
sesungguhnya pembicaraan kami ini ditujukan kepada siapa saja yang
mengetahui al-Haq, namun nekat melakukan penakwilan-penakwilan yang dia
ketahui itu bathil. Adapun para ulama, maka cukup bagi kita untuk
memberikan udzur bagi mereka dengan risalah Syaikhul Islam “Raf’ul Malam
anil Aimmatil A’lam”.
Wallahul musta’an
Wallahul musta’an
Catatan:
——-
——-
[1] Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.
[2] Demikian juga pendapat Asy-Syaikh Al-Fauzan.
[3]
Beliau ingin mengqiyaskan gambar televisi dengan gambar cermin, dan
inilah yang dinamakan oleh manusia -semoga Allah mengampuni mereka-
dengan “menahan bayangan” dengan berdalih bahwa ini bukan membuat
gambar. Ini bukan gambar, hanya menahan bayangan. Jadi, mereka tidak
membedakan antara gambar tersebut dengan gambar cermin.
[4]
Saya (Asy-Syaikh Mahir Al-Qahthany) katakan: Ibnu Muhairiz tidak
disebutkan oleh Al-Hafizh (Ibnu Hajar) sebagai seorang mudallis.
Al-Albany berkata: “Shahih.”
[5] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya: Bolehkah berobat dengan khamer?
Beliau menjawab:
Berobat dengan khamer haram hukumnya berdasarkan nash Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dan jumhur ulama berpendapat demikian. Telah tetap dari beliau di dalam kitab Ash-Shahih bahwa beliau ditanya tentang khamer yang digunakan untuk obat, maka beliau menjawab:
إِنَّهَا دَاءٌ وَلَيْسَتْ بِدَوَاءِ.
“Sesungguhnya itu adalah penyakit dan bukan obat.”
[HR. Muslim no. 1984 dengan lafazh mudzakkar -pent]
Berobat dengan khamer haram hukumnya berdasarkan nash Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dan jumhur ulama berpendapat demikian. Telah tetap dari beliau di dalam kitab Ash-Shahih bahwa beliau ditanya tentang khamer yang digunakan untuk obat, maka beliau menjawab:
إِنَّهَا دَاءٌ وَلَيْسَتْ بِدَوَاءِ.
“Sesungguhnya itu adalah penyakit dan bukan obat.”
[HR. Muslim no. 1984 dengan lafazh mudzakkar -pent]
Dan
di dalam kitab As-Sunan disebutkan dari beliau bahwa beliau melarang
berobat dengan sesuatu yang buruk (Abu Dawud no. 3870 dan Al-Albany
menilainya shahih, juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan Ibnu Majah
-pent).
Dan Ibnu Mas’ud berkata:
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.”
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.”
Dan Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Nabi shallallahu alaihi was salam beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ أُمَّتِّي فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا.
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan umatku pada apa-apa yang Dia haramkan atas mereka.”
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ أُمَّتِّي فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا.
Dan
di dalam As-Sunan disebutkan bahwa beliau ditanya tentang katak yang
digunakan untuk obat, maka beliau melarangnya (Abu Dawud no. 3871 dan
Al-Albany menilainya shahih) dan beliau bersabda:
إَنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ.
“Sesungguhnya suaranya adalah tasbih.”
إَنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ.
Dan
hukumnya tidaklah sama seperti orang yang terpaksa makan bangkai,
karena dengannya tujuan pasti tercapai. Sementara dia tidak mendapatkan
ganti selainnya, dan memakan bangkai dalam kondisi seperti ini hukumnya
wajib. Barangsiapa yang terpaksa harus memakan bangkai namun dia tidak
mau memakannya hingga menyebabkan dia mati, maka dia masuk neraka.
Sedangkan berobat di sini tidak diketahui kesembuhannya secara pasti dan
dia tidak harus berobat dengan obat ini, bahkan Allah Ta’ala
menyembuhkan seorang hamba dengan sebab yang banyak. Berobat sendiri
hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, sehingga tidak bisa ini
diqiyaskan dengan itu, wallahu a’lam. -selesai perkataan Ibnu Taimiyyah
dari kitab Al-Janaiz dalam Majmu’ Al-Fatawa- (Juz 24/147-148 – pent)
[6] Bukan berati saya sepakat dengan jawaban beliau tersebut, jadi mohon diperhatikan.
[7] Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 619 menit ke 55.
[8] Majmu Al-Fatawa, kitab Al-Hudud.
[9] Sejenis ganja.
[10] Dan ini merupakan maslahat yang sebatas dugaan saja dan belum pasti terwujud, jadi tolong diperhatikan baik-baik.
[11] Maksudnya adalah manfaatnya yang dominan.
[12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa 34/129 (- pent)
[13]
Padahal Al-Halimy sendiri berpendapat bahwa tidak ada keharusan kepala
yang ada pada boneka Aisyah dibentuk persis seperti kepala manusia.
(Sunan Al-Baihaqy 10/220 sebagaimana disebutkan oleh Dr. Muna Al-Qasim
di:http://islamtoday.net/nawafeth/artshow-86-13127.htm – pent)
(Al-Halimy
adalah Abu Abdillah Al-Husain bin Al-Hasan bin Muhammad bin Halim
Al-Bukhary Asy-Syafi’iy. Lahir tahun 338 H, ada yang mengatakan di
Jurjan dan ada juga yang mengatakan di Bukhara. Beliau wafat pada tahun
403 H. Lihat di: Siyar A’lamin Nubala’ 17/232 – pent)
Ditulis oleh:
| Abu Abdillah Mahir bin Zhafir bin Abdillah Al-Qahthany
| Abu Abdillah Mahir bin Zhafir bin Abdillah Al-Qahthany
Semoga Allah mengampuninya dan kedua orang tuanya
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi