Mandi Janabah Bagi Wanita Haid

MANDI JANABAH BAGI WANITA HAID

Apa hukum mandi janabah bagi wanita yang sedang haid?


Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini

Masalah ini mungkin terjadi dalam dua bentuk:

• Seorang wanita sedang haid, kemudian ia junub di tengah berlangsungnya haid karena bercumbu dengan suaminya atau mimpi basah. Adapun senggama saat haid diharamkan.

• Seorang wanita sedang junub, kemudian keluar darah haid sebelum sempat mandi junub.

Adapun masalah mandinya meliputi dua pembahasan:

1. Ia tidak berkewajiban mandi dari junubnya hingga haidnya berhenti.

Kata al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab al-Mughni (1/278, terbitan Darul ‘Alam al-Kutub), “Pasal, jika ada seorang wanita haid berjunub, ia tidak diwajibkan mandi hingga haidnya berhenti.

Hal ini telah ditegaskan langsung oleh Ahmad rahimahullah, dan merupakan pendapat Ishaq bin Rahawaih rahimahullah. Sebab, mandi yang dilakukan pada saat haid berlangsung tidak memberi manfaat hukum apa pun

(karena ia masih berhadats besar dengan haidnya, -pen.).” Hal ini juga telah ditegaskan oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam al- Umm (Kitab ath-Thaharah, pada Bab “’Illah Man Yajibu ‘alaihi al-Ghuslu walWudhu”) (2/95) terbitan Dar al-Wafa’.

2. Terdapat silang pendapat apakah sah jika ia mandi junub saat haidnyamasih berlangsung.

Pendapat pertama, sah dengan alasan haid yang berlangsung tidak menghalangi terangkatnya janabah yang dialami. Hal itu berfaedah meringankan hadats besar yang dialaminya. Ini mazhab Ahmad. Apakah disukai baginya agar melakukannya? Terdapat dua riwayat yang berbeda dari al-Imam Ahmad rahimahullah. Yang menjadi mazhab bagi fuqaha Hanabilah, hal itu disukai (mustahab). Kata Ibnu Qudamah t selanjutnya dalam al-Mughni (1/278), “Jika ia mandi junub pada masa berlangsungnya haid, mandinya sah dan hukum junub hilang darinya (ia suci dari janabahnya). Hal ini telah ditegaskan langsung oleh Ahmad. Kata al-Imam Ahmad rahimahullah, ‘Janabahnya hilang, sedangkan haidnya tetap ada sampai darahnya berhenti.’ Al-Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, ‘Aku tidak mengetahui ada yang berpendapat mandi junubnya tidak sah selain ‘Atha’ rahimahullah. Ia mengatakan bahwa haid yang sedang dialaminya lebih besar daripada hadatsnya, kemudian ia meralat ucapannya lantas berpendapat boleh mandi.’ Sebab, keberadaan salah satu dari dua hadats yang sedang dialami tidak menghalangi terangkatnya hadats yang lain, sebagaimana halnya jika orang yang juga berhadats kecil melakukan mandi (untuk mengangkat hadats besarnya).” Kata Ibnu Muflih rahimahullahdalam kitab al-Furu’ (1/260, terbitan Muassasah ar- Risalah),

“Mengenai masalah disukainya wanita yang sedang haid agar mandi janabah sebelum haidnya berhenti terdapat dua riwayat dari al-Imam Ahmad, dan hal itu sah.” Kata al-Mardawi rahimahullah dalam kitab al-Inshaf (1/240, tahqiq Muhammad Hamid al-Faqi), “Mandi junubnya sah menurut pendapat yang benar dalam mazhab Hanbali. Al-Imam Ahmad telah menegaskan langsung hal ini.

Ditegaskan kebenarannya oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni dan asy-Syarh al-Kabir serta Ibnu Tamim.” Al-Mardawi juga menyebutkan bahwa Ibnu Muflih mendahulukannya dalam al- Furu’. Kemudian al-Mardawi berkata, “Demikian juga, disukai (mustahab) baginya agar mandi untuk mengangkat janabahnya menurut mazhab Hanbali. Ini didahulukan oleh Ibnu Tamim. Kata penulis kitab Majma’ al-Bahrain, ‘Disukai baginya agar mandi junub menurut jumhur (fuqaha Hanabilah, pen) dan dipilih oleh Majduddin’.”

Pendapat kedua, tidak sah karena terhalangi oleh haid yang sedang berlangsung. Ini adalah mazhab Syafi’I dan Maliki. Al-Imam an-Nawawirahimahullah telah menukil mazhab Syafi’i dalam al-Majmu’ bahwa hal itu tidak sah. An-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ (2/171), “Jika seorang wanita haid kemudian mengalami junub atau ia junub kemudian datang haid, tidak sah mandi junub saat haidnya masih berlangsung lantaran hal itu tidak ada gunanya.” Mazhab Maliki telah dinukil oleh ad-Dasuqi dalam kitab Hasyiah ad- Dasuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir (pada “Mawani’ al-Haidh”, 2/147, program al-Maktabah asy-Syamilah).

Ini juga adalah pendapat lain pada mazhab Hanbali yang dinukil sebagai riwayat lain dari al-Imam Ahmad. Alhasil, tampaknya pendapat yang mengatakan sah lebih kuat. Hal itu berfaedah meringankan hadats besarnya lantaran yang tersisa setelah itu hanya hadats besar dari haidnya yang wajib ia angkat sesucinya dari haid. Yang jelas, sebenarnya ia tidak diwajibkan mandi dari janabah yang dialaminya hingga haidnya berhenti lantas ia berkewajiban mandi suci dari hadats besar yang dialaminya karena junub dan haid. Wallahu a’lam.

Masalah ini telah dibahas oleh alim ulama dalam kitab-kitab fikih pada masalah “Jika terkumpul beberapa hadats yang mewajibkan wudhu atau mandi”. Ketentuan hukumnya sama antara wudhu dari beberapa faktor penyebab hadats kecil dan mandi dari beberapa faktor penyebab hadats besar. Masalah ini meliputi dua pembahasan.

Sumber : Asy Syariah Edisi 090, Problema Anda
18 Juli 2013
dari http://asysyariah.com/problema-anda-3/

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi