Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Masih ingatkah Anda akan kisah tentang seorang petani dermawan? Seorang hamba yang saleh dan memahami arti syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala. Di saat yang lain sedang kekeringan, sawah ladangnya diairi oleh air hujan yang khusus turun untuknya. Amalan apa yang dilakukannya? Bayangkan, sepertiga hasil panen, dia gunakan untuk modal menanam kembali, sepertiga lagi untuk dia dan keluarga yang ditanggungnya, serta sepertiga sisanya adalah untuk sedekah? Andaikata hasil panennya tiga ton, berarti satu ton diserahkannya untuk sedekah, kalikan dengan kelipatannya. Tentu, jumlah yang cukup besar, di saat tabiat manusia itu sangat kikir dan suka menahan harta. Tetapi, karena keikhlasannya, dia keluarkan sebesar itu demi mengharap ridha Allah Subhanahu wata’ala.
Ketulusan yang murni, sehingga karena itulah Allah Subhanahu wata’alamemberi balasan yang berlipat ganda. Namanya harum, menjadi sebutan di bumi dan di langit. Dia tidak perlu bersusah payah mencari air untuk menyirami tanamannya. Nun, di belahan bumi yang lain, masih sebuah kisah nyata yang dialami oleh sebagian anak Adam dan diabadikan— secara global—di dalam kitab suci paling mulia, ada kejadian yang sangat bertolak belakang dengan kisah petani yang tanahnya diberi hujan secara khusus dari langit. Kisah tentang beberapa tuan tanah dan kebun yang sangat kikir. Kisah ini sudah dikenal oleh masyarakat Arab (Quraisy) ketika itu. Menurut berita yang dinukil dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, mereka adalah sebagian dari orang-orang ahli kitab. Namun, itu bukan hal yang penting, karena yang jelas, kisah ini sudah pernah didengar oleh orang-orang Quraisy. Inilah kisah selengkapnya, wallahul muwaffiq.
Pemilik Kebun yang Saleh Dharwan, sebuah desa di belahan Yaman, ada yang mengatakan dekat kota Shan’a. Hiduplah di desa itu seorang lelaki tua yang saleh bersama tiga orang putranya. Dia bekerja sebagai petani, mengelola kebun kurma dan anggur yang cukup berhasil. Setiap musim panen, anggur dan kurma yang diperolehnya berlimpah. Tetapi, hasil tersebut bukan sematamata karena kepandaiannya mengelola kebun tersebut, melainkan murni karena karunia dan pertolongan Allah Subhanahu wata’ala. Lelaki tua itu sangat memahami bahwa di dalam kebun itu ada hak-hak lain yang harus ditunaikannya. Hak Allah Subhanahu wata’ala dan hak sesama manusia yang ada di sekelilingnya. Seperti biasa, di pagi yang cerah itu, lelaki tua itu berangkat ke kebunnya. Angin bertiup lembut, membelai wajahnya yang keriput. Dengan perlahan dia berjalan memasuki kebunnya dan berkeliling. Dia mulai memeriksa isi kebunnya, dari satu sudut ke sudut lainnya. Dia membayangkan alangkah senangnya orang-orang yang fakir dan miskin menikmati rezeki Allah Subhanahu wata’ala ini.
Itulah yang mungkin dipikirkannya. Hasil panen kebunnya memang selalu disiapkannya untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Setelah puas berkeliling, sambil bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala, dia bersiap untuk kembali ke rumahnya. Tidak lama kemudian, musim panen pun tiba. Dengan penuh semangat, orang tua itu berangkat ke kebunnya. Setibanya di kebun yang rindang dan berbuah lebat itu, dia mulai memetik kurma dan anggur untuk kebutuhan keluarganya. Adapun sisanya, dia biarkan agar dapat diambil oleh mereka yang membutuhkan. Tentu saja masih cukup banyak. Keadaan ini berlanjut sejak dia masih muda hingga dia memasuki usia renta. Melihat tindakan sang ayah yang selalu menyisakan hasil panennya untuk orang-orang yang fakir dan miskin dalam jumlah cukup besar, sebagian putranya menegur, “Ayah, kalau begini terus, kita bisa bangkrut. Kebutuhan kita semakin bertambah, tetapi ayah biarkan orangorang yang fakir dan miskin menikmati hasil panen yang kita usahakan dengan susah payah.” Ayah yang saleh itu menasihati dan mengingatkan mereka bahwa harta yang ada di tangan mereka saat ini bukan milik mereka, melainkan titipan Allah Subhanahu wata’ala agar Dia melihat bagaimana kita berbuat terhadap harta tersebut.
Dua di antara putranya ingin membantah dan menentang tetapi tidak berani. Ayah yang baik itu mengingatkan pula bahwa usianya sudah lanjut, merekalah yang akan meneruskan pengelolaan tanaman anggur tersebut. Dia menceritakan pula bahwa itu semua telah dilakukannya sejak masih muda. Allah Subhanahu wata’ala melipatgandakan hasilnya karena dia selalu berbagi dengan sesama. Dengan cara itulah panennya semakin bertambah. Sebagian putranya masih tetap tidak menerima uraian sang ayah. Hari-hari berlalu, sang ayah semakin tua dan mulai berkurang kekuatannya. Di masa-masa ‘pensiun’ itu, dia selalu menasihati anak-anaknya agar jangan lupa berbagi dengan sesama. Sebab, apa yang ada di tangan kita, tidak murni milik kita atau hak kita. Di situ masih ada hak yang lain yang wajib kita tunaikan. Ada hak AllahSubhanahu wata’ala, dengan menzakatkan atau menyedekahkannya, dan ada hak sesama manusia yang tidak mampu. Allah Subhanahu wata’alatidak memerlukan harta yang dititipkan-Nya kepada kita. Berapa pun yang kita zakatkan atau sedekahkan, itu tidak memberi keuntungan atau manfaat apa pun kepada Allah l. Akan tetapi keuntungan dan manfaat itu justru kembali kepada kita yang dititipi harta tersebut. Beberapa waktu kemudian, lelaki tua yang saleh itu meninggal dunia. Ketiga anak laki-lakinya sama-sama merasakan kesedihan ditinggal oleh ayah yang mereka hormati dan mereka cintai. Tetapi, itu tidak lama. Kini, mereka mulai berusaha menghidupi diri dan keluarga mereka.
Masing-masing telah mengambil bagian dari kebun anggur yang diwariskan oleh ayah mereka. Suatu kali, mereka berkumpul dan bermusyawarah bagaimana tindakan selanjutnya mengatur kebun tersebut. Setelah berbincang lama, mereka mulai membahas sikap ayah mereka yang menurut—sebagian—mereka salah. “Mulai musim panen ini, kita harus menghalangi orang-orang yang miskin itu ikut mengambil bagian. Keberadaan dan keikutsertaan mereka hanya mengurangi perolehan kita. Padahal kebutuhan kita semakin meningkat,” itulah usulan salah satu di antara mereka dan disepakati oleh salah seorang di antara mereka. Adapun yang ketiga, sejak tadi mendengarkan. Melihat kebulatan tekad mereka, dia mulai angkat bicara. “Lupakah kalian, apa yang dikatakan ayah kita sebelum beliau wafat? Kebun ini beliau kelola dengan cara seperti ini sejak beliau masih muda seperti kita. Allah Subhanahu wata’ala lah yang menyuburkannya, sebagai karunia dan ujian, apakah disyukuri atau dikufuri nikmat tersebut. Janganlah kita melanggar nasihat ayah, meskipun beliau sudah meninggal dunia.” “Sudah. Kau diam saja. Kalau kau mau rugi, rugilah sendiri. Kami tetap tidak akan mengizinkan orang-orang yang miskin itu ikut menikmati hasil keringat kami,” kata yang satunya. Yang lain menyambung, “Kami akan berangkat ke kebun sejak dini hari, sebelum orang-orang yang miskin itu ikut bangun dan menyusul ke kebun kami.” Itulah rencana mereka.
Musim panen mulai tiba. Dua orang anak lelaki tua yang saleh itu sudah bersiap sejak dini hari, sebelum fajar menyingsing mereka harus sudah tiba di kebun dan segera memetik hasil kebun mereka. Sambil bersiap, mereka saling mengingatkan agar jangan sampai ada orang-orang yang miskin yang masuk ke kebun mereka. “Kita akan ke kebun dan memanen hasilnya,” kata mereka. Saudara mereka mengingatkan, ”Ucapkanlahinsya Allah.” Tetapi , mereka tidak mengacuhkannya. Mereka berjalan dengan terburuburu dan melihat-lihat apakah ada yang mengetahui keadaan mereka? Tiba-tiba. Mereka terperanjat luar biasa. “Jangan-jangan kita salah jalan. Ini bukan kebun kita. Bukankah kemarin masih kita lihat hijau dan rimbun, serta siap dipanen?” kata salah seorang dari mereka. Saudara mereka yang bijak, yang selalu menasihati mereka berkata, “Itu memang kebun warisan ayah kita. Tetapi, kalian dihalangi memperoleh hasilnya. Bukankah aku sudah mengingatkan agar kalian bertasbih kepada Allah Subhanahu wata’ala?” Mereka memeriksanya, dan sadarlah mereka bahwa itu memang kebun mereka. Ternyata Allah Subhanahu wata’ala telah memberi balasan atas niat buruk mereka, yaitu ingin menghalangi orang-orang yang miskin memperoleh jatah mereka yang ada di dalam hasil kebun tersebut.
Mereka segera sadar dan menyesali sikap mereka, tetapi semua telah terjadi. Kebun mereka telah hancur luluh, tidak ada yang tersisa. Mereka gagal menikmati apa yang ingin mereka nikmati. Itu baru di dunia, bagaimana pula azab di akhirat yang lebih dahsyat? “Mahasuci Allah, sungguh kami telah menzalimi diri kami sendiri. Alangkah celakanya kami. Sungguh, kami telah melampaui batas. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala memberi kami ganti yang lebih baik. Sungguh, kami benar-benar berharap kepada Allah l.” Demikianlah sepenggal kisah mereka. Penyesalan memang datang terlambat, tetapi masih terasa manfaatnya jika hal ini terjadi di dunia dan bisa diperbaiki. Seperti yang mereka alami. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, kisah ini diabadikan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam Kitab-Nya yang mulia, yang tidak dihinggapi kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang. Turun dari Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ {} وَلَا يَسْتَثْنُونَ {} فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ {} فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ {} فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ {} أَنِ اغْدُوا عَلَىٰ حَرْثِكُمْ إِن كُنتُمْ صَارِمِينَ {} فَانطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ {} أَن لَّا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُم مِّسْكِينٌ {} وَغَدَوْا عَلَىٰ حَرْدٍ قَادِرِينَ {} فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ {} بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ {} قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ {} قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ {}فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ {} قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ {} عَسَىٰ رَبُّنَا أَن يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِّنْهَا إِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا رَاغِبُونَ {} كَذَٰلِكَ الْعَذَابُ ۖ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, Dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur, Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Pergilah mereka saling berbisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu”. Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orangorang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).” Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Rabbmu)?” Mereka mengucapkan, “Mahasuci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela. Mereka berkata, “Aduhai celakalah kita, sesungguhnya kita ini adalah orangorang yang melampaui batas.” Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita.” Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.” (al-Qalam: 17—33)
Mahabenarlah Allah Subhanahu wata’ala dengan segala firman-Nya, dan tidak ada yang lebih benar perkataannya selain Allah Subhanahu wata’ala. Di dalam kisah ini terdapat pelajaran berharga sebagai bekal untuk menghadapi kedahsyatan suasana di seberang kematian. Keadaan yang saat itu tidak ada lagi gunanya harta dan anak, kecuali mereka yang datang membawa hati yang selamat.
Demikianlah
keadaan mereka. Di malam hari mereka sudah berencana untuk tidak
memberi bagian sedikit pun kepada orang-orang yang miskin. Esok paginya,
justru mereka sendiri yang menuai kerugian dan penyesalan. Tidak ada
sisa yang dapat diharapkan dari kebun yang mereka rawat selama ini.
Renungkanlah, bagaimana Allah Subhanahu wata’ala membalas rencana dan niat buruk mereka.
Kandungan Kisah
Kisah ini adalah sebuah perumpamaan yang dibuat oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk orangorang kafir Quraisy. Allah Subhanahu wata’ala telah memberi mereka nikmat yang sangat besar dengan mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Tetapi, mereka menerimanya dengan sikap mendustakan, menolak, bahkan memerangi beliau. Itulah sebabnya Allah Subhanahu wata’ala mengatakan,
“Sesungguhnya Kami menguji mereka sebagaimana Kami telah menguji para
pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka pasti akan memetik
(hasil) nya di pagi hari.”Allah Subhanahu wata’ala berfirman bahwa sesungguhnya Dia telah menguji orangorang yang mendustakan kebaikan ini. Allah Subhanahu wata’ala memberi
tempo kepada mereka dan memperbanyak mereka apa saja yang Dia
kehendaki, berupa harta, anak, usia, dan lain-lain yang sesuai dengan
hawa nafsu mereka. Tetapi itu bukan karena kemuliaan mereka di sisi
Allah Subhanahu wata’ala, melainkan sebagai istidraj buat mereka dari arah yang tidak mereka sadari.
Jadi,
tertipunya mereka dengan hal-hal tersebut sama seperti tertipunya para
pemilik kebun tersebut, yaitu orangorang yang memiliki usaha bersama
dalam kebun itu. Di saat kebun itu mulai ranum buahnya dan tumbuh
pohonpohonnya serta tiba waktu panennya; dan mereka merasa yakin bahwa
kebun itu di bawah kekuasaan serta sesuai dengan aturan mereka. Tidak
pula ada yang menghalangi mereka memetik (hasil) kebun itu. Mereka pun
bersumpah tanpa istitsna (mengucapkan
Insya Allah, -red.) bahwa mereka pasti benar-benar akan memetik
hasilnya di pagi hari. Mereka tidak sadar bahwa Allah Subhanahu wata’ala senantiasa mengawasi mereka. Bahkan, azab Allah Subhanahu wata’ala akan menggantikan mereka pada kebun itu dan mendahului mereka menuju kebun tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat al-Qalam ayat 19—33,
فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ
“Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu.”
Maksudnya, azab yang menimpa kebun itu datang pada malam hari;
وَهُمْ نَائِمُونَ
“Ketika mereka sedang tidur,”
lalu menghancurkan dan merusaknya. Firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ
“Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita,”
pohon-pohon dan buah-buahannya musnah serta kering, dalam keadaan mereka tidak mengetahui kejadian yang menyakitkan ini. Pagi harinya, mereka saling memanggil untuk berangkat memetik hasil kebun mereka. Sebagian dari mereka berkata kepada yang lain (sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wata’ala),
أَنِ اغْدُوا عَلَىٰ حَرْثِكُمْ إِن كُنتُمْ صَارِمِينَ () فَانطَلَقُوا
“Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetikbuahnya.”
Maka pergilah mereka, menuju kebun itu,
وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ
“Dalam keadaan saling berbisikbisik,”
sesama mereka, tanpa didengar oleh orang lain. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala menerangkan apa yang dibisikkan oleh mereka dengan sesama mereka,
أَن لَّا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُم مِّسْكِينٌ
“Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.”
Artinya,
berangkatlah lebih pagi sebelum orang-orang bertebaran. Janganlah kamu
memberi kesempatan orang-orang fakir dan miskin ikut masuk ke kebun itu
bersama kamu. Karena besarnya ketamakan dan kekikiran mereka, mereka
saling berbisik dan mengucapkan kalimat seperti ini, khawatir kalau ada
orang yang mendengarnya lalu menyampaikannya kepada orang-orang miskin.
Firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَغَدَوْا
“Dan berangkatlah mereka di pagi hari,”
dalam keadaan yang sangat buruk ini, yaitu kaku, kasar, dan tidakmempunyai belas kasih sayang.
عَلَىٰ حَرْدٍ قَادِرِينَ
“Dengan niat menghalangi (orangorang miskin) padahal mereka mampu(menolongnya),”
yaitu untuk menahan dan menghalangi hak Allah Subhanahu wata’ala, sambil merasa yakin akan kemampuan mereka bahwa mereka pasti akan memetik hasil kebun mereka. Firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَلَمَّا رَأَوْهَا
“Tatkala mereka melihat kebun itu,”
sebagaimana keadaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, yaitu bagai malam yang gelap gulita;
قَالُوا
“Mereka berkata,”
dengan penuh rasa heran dan goncang;
إِنَّا لَضَالُّونَ
“Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan)”;
yakni tersesat dari kebun itu, mungkin itu kebun lain (bukan milik mereka). Tetapi, setelah mereka memastikan itulah kebun yang mereka tuju, muncullah kesadaran (akal) mereka, lalu mereka berkata(sebagaimana dalam ayat),
بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ
“Bahkan kita dihalangi,”
dari kebun ini (untuk memetik hasilnya). Akhirnya, mereka menyadari bahwa itu adalah sebuah hukuman, maka,
قَالَ أَوْسَطُهُمْ
“Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka,”
yakni paling adil (lurus) dan paling baik jalan (hidupnya),
أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ
“Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih(kepada Rabbmu)?”
Artinya, mengapa kalian tidak bertasbih menyucikan Allah Subhanahu wata’ala dari
segala sesuatu yang tidak layak bagi- Nya, bersyukur kepada-Nya atas
kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya kepada kalian? Termasuk di sini
ialah menyucikan Allah Subhanahu wata’ala dari
anggapan bahwa kemampuan yang ada pada diri kamu itu adalah sesuatu
yang bebas berdiri sendiri (lepas dari kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala). Mengapakah kamu tidak mengucapkan;
إِنْ شَاءَ اللهُ
“Jika Allah menghendaki,” dan menjadikan kehendakmu mengikuti (kehendak) Allah Subhanahu wata’ala? (Kalau kamu berbuat demikian), tentu tidak akan terjadi apa yang telah menimpamu. Mereka pun berkata (dalam ayat),
سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ
“Mahasuci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.”
Artinya,
mereka memperbaiki (sikap mereka) sesudah itu, tetapi setelah kebun
mereka hancur ditimpa oleh azab yang tidak akan terangkat lagi. Itulah
sebuah ketaatan yang tidak ada gunanya setelah turunnya azab. Namun,
mudah-mudahan tasbih dan pengakuan mereka bahwa mereka telah berbuat
zalim, berguna bagi mereka untuk meringankan dosa serta menjadi tobat
bagi mereka. Sebab itulah, mereka menyesal dengan penyesalan yang sangat
dalam. Firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ
“Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela,”
karena rencana yang mereka buat, yaitu menahan hak orang-orang fakir dan miskin. Tidak ada jawaban dari yang lain kecuali mengakui bahwa mereka bersalah dan berdosa. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ
Mereka berkata, “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orangorang yang melampaui batas,”
baik terhadap hak Allah Subhanahu wata’ala maupun hak para hamba-Nya. Firman Allah Subhanahu wata’ala,
عَسَىٰ رَبُّنَا أَن يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِّنْهَا إِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا رَاغِبُونَ
“Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita.”
Ayat ini menerangkan bahwa mereka berharap kepada Allah Subhanahu wata’ala agar memberi mereka ganti yang lebih baik dari kebun itu bahkan berjanji bahwa mereka akan berharap hanya kepada AllahSubhanahu wata’ala. Mereka mendesak meminta kepada-Nya di dunia. Ada pula yang berpendapat bahwa mereka mengharapkan pahalanya di akhirat. Wallahu a’lam.
Bagaimanapun, seandainya mereka memang seperti yang mereka katakan, maka secara zahir—ayat ini menunjukkan bahwa—AllahSubhanahu wata’ala menggantikan
untuk mereka di dunia sesuatu yang lebih baik dari kebun yang hancur
itu. Sebab, siapa saja yang berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan jujur, bersandar, dan berharap kepada-Nya, pasti Allah Subhanahu wata’ala memberikan apa yang dimintanya. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala berfirman, menjelaskan apa yang terjadi,
كَذَٰلِكَ الْعَذَابُ
“Seperti itulah azab.”
Artinya, itulah azab duniawi bagi mereka yang menjalankan sebab-sebab yang mengundangnya. Azab itu ialah Allah Subhanahu wata’ala mencabut
dari hamba itu sesuatu yang dijadikannya sarana untuk berbuat dosa dan
melampaui batas, serta lebih mengutamakan kehidupan dunia. AllahSubhanahu wata’ala akan melenyapkan sarana tersebut darinya di saat dia sangat membutuhkannya. Firman Allah Subhanahu wata’alal,
وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ ۚ
“Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar,” daripada azab dunia;
لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Jika mereka mengetahui.”
Sebab,
apabila mereka mengetahuinya, hal itu akan mendorong mereka berhenti
dari semua sebab yang akan mendatangkan azab dan siksa serta menghalangi
pahala.1 Wallahul muwaffiq.
Beberapa Pelajaran dan Hikmah
1.
Penyesalan selalu datang terlambat, tetapi kadang berguna bagi mereka
yang diberi taufik untuk bertobat dan memperbaiki keadaan dirinya.
2. Di antara keistimewaan kisah Qur’ani sebagaimana pernah diuraikan adalah patut dijadikan pelajaran sepanjang masa.
3. Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa tujuan pemaparan kisah ini ialah pertama karena di awal surat, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَن كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ () إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ
Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakankepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “(Ini adalah) dongeng-dongenganorang-orang dahulu kala.” (al-Qalam: 14—15)
Maksudnya, karena Allah Subhanahu wata’ala memberinya harta, dia kufur kepada Allah Subhanahu wata’ala, padahal Allah Subhanahu wata’alamemberinya semua itu sebagai ujian, kalau dia memilih kekafiran niscaya Allah Subhanahu wata’ala menghancurkan
hartanya, sebagaimana Dia menghancurkan tanaman tuan-tuan kebun itu
ketika mereka melakukan ‘sedikit’ kemaksiatan. Dengan demikian, maka
bagaimana pula mereka yang mengerjakan maksiat lebih besar? Seperti
menentang RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam, tetap dalam kekafiran dan kedurhakaan?
4. Kisah ini menampakkan kepada kita bahwa Allah Subhanahu wata’alamenguji
hamba- Nya tidak hanya dengan kesulitan, tetapi juga kesenangan. Ada
yang lulus ketika menghadapi ujian berupa kesulitan, tetapi banyak juga
yang gagal. Begitu pula kesenangan, ada yang berhasil menghadapinya,
tetapi banyak juga yang gagal. Sebagian salaf mengatakan, “Ketika kami
diuji dengan kesusahan, kami bisa bersabar. Tetapi, (ketika) diuji
dengan kesenangan, kami tidak bisa bersabar.”
5. Kisah ini mengingatkan kita agar mau menerima nasihat, mengakui kesalahan, dan menyesali sikap meremehkannya.
6.
Dalam kisah ini, ditampakkan bahwa tipu daya yang buruk itu justru
menimpa pelakunya sendiri. Diperlihatkan pula bahwa teman sangat
berpengaruh terhadap perilaku, baik ataupun buruk.
7. Menahan-nahan sedekah adalah sebab hilangnya kesenangan dan terjadinya kehancuran. Wallahu a’lam.
6 Juli 2013
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi