Takbiratul Ihram (Memahami Makna Bacaan Shalat)

artikel, fatwa, faidah, dan tanya jawab kajian islam Takbiratul Ihram

Membaca kalimat : اللهُ أَكْبَرُ

Rangkaian ibadah sholat dimulai dengan takbir[1] dan diakhiri dengan salam. Pada setiap
pergantian gerakan sholat juga dipisahkan dengan bacaan takbir. 
Hendaknya kita berupaya melafadzkan bacaan takbir itu secara benar dan tidak melakukan kesalahan. Ada beberapa kesalahan pengucapan lafadz takbir yang bisa merubah makna dan terhitung sebagai kesalahan fatal.
Di antaranya adalah menambahkan huruf hamzah al-istifhaam di awal lafdzhul jalaalah :  : اللهُ sehingga dibaca panjang di awal, menjadi : آللهُ. Atau, memasukkan hamzah al-istifham itu di awal lafadz : ‘akbar’, sehingga dibaca : اللهُ آكْبَر (Allaahu Aakbar). Kalau ini diucapkan, yang seharusnya berarti : “ Allah Yang Terbesar” (sebuah pernyataan secara yakin) menjadi sebuah pertanyaan : “Apakah Allah besar ? ”. Ini menunjukkan keraguan dan merupakan kekufuran dalam bentuk ucapan.

Demikian juga kesalahan dalam memanjangkan bacaan huruf ba’ pada : أَكْبَرُ menjadi أَكْبَارُ mengakibatkan perubahan makna dari “ Yang Terbesar” menjadi “Gendang / bedug ”

Kesalahan yang lain adalah ketika seseorang membaca huruf laam (ل ) pada lafadz اللهُ dengan tipis (tarqiiq) (lihat Qowaaid Tajwid karya AlQoori hal 82). Bacaan semacam ini mirip dengan yang diucapkan orang nashrani dengan menyebut tuhan A-lah.

Makna takbir tersebut adalah “ Allah adalah yang ter-Besar, ter-Agung di atas segala sesuatu ”. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Utsaimin dalam kitab beliau Syarhul Mumti’ : “ Maknanya adalah : bahwasanya Allah Ta’ala ter-Besar dari segala sesuatu dalam hal DzatNya, Nama-namaNya, dan Sifat-sifatNya. Sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :

وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتِ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِيْنِهِ (الزمر : 67)
Dan tidaklah mereka (orang-orang musyrik) mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari kiamat dan langit-langit dilipat dengan Tangan KananNya[2] “ (Q.S. AzZumar : 67)

يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُّعِيْدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِيْنَ ( الأنبياء : 104)
Pada hari dimana Kami lipat langit sebagaimana terlipatnya lembaran kitab, sebagaimana Kami mulai awal mula penciptaan, seperti itulah Kami akan mengembalikan. Suatu janji dari Kami, pasti akan Kami laksanakan “(Q.S AlAnbiyaa’:104)

وَلَهُ الْكِبْرِيَاءُ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَهُوَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ(الجاثية : 37 )
Dan Dialah Yang memiliki Kebesaran (kekuasaan) di langit dan bumi dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “(Q.S AlJaatsiyah :37 ) [3]

Dari makna tersebut jika kita terjemahkan lafadz takbir menjadi : “ Allah Maha Besar ”, kata “Maha” tersebut harus diartikan sebagai Yang ter- atau Paling, bukan diartikan sebagai ‘sangat’ atau ‘amat’. Ketika kita kumandangkan lafadz tersebut dengan lisan kita, hendaknya kita kumandangkan pula dalam hati kita bahwa Allahlah yang terBesar di atas segala-galanya dalam DzatNya, Nama-namaNya (seluruh Nama-namaNya adalah yang terbaik dan termulya), serta Sifat-sifatNya (memiliki kesempurnaan yang tertinggi dan tidak ada kekurangan sedikitpun). Kita hayati ucapan tersebut dalam takbiratul ihraam (di permulaan) maupun takbir-takbir lainnya ketika berpindah dari satu gerakan sholat ke gerakan berikutnya.

Catatan kaki : 
[1] Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
dalam Shohihnya: 
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“ Jika engkau akan melakukan sholat maka sempurnakanlah berwudlu’ kemudian menghadaplah kiblat kemudian bertakbirlah”. Dalam lafadz yang lain beliau bersabda:…
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ
”Jika engkau berdiri untuk melakukan sholat maka bertakbirlah…”(H.R Bukhari-Muslim)
 Dari hadits tersebut jelaslah bahwa rangkaian sholat dimulai dengan bacaan takbir dan tidak ada satupun hadits shohih yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memulainya dengan bacaan apapun sebelumnya. Niat adalah di hati, tidak diucapkan dengan lisan. Sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan junjungan kita Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wasallam.   

[2] Merupakan salah satu aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah ketika terdapat penyebutan Sifat-Sifat Allah dalam AlQuran maupun AlHadits, maka Sifat –sifat tersebut
harus diimani dan diyakini sebagaimana adanya, tanpa melakukan tahriif(memalingkan lafadz/makna), tidak pula melakukan ta’thiil (penolakan), tidak pula takyiif (mempertanyakan kaifiat), dan tidak pula tamtsill(menyamakan sifat tersebut dengan sifat makhluk).
 Sebagaimana dalam ayat tersebut (Q.S AzZumaar : 67) disebutkan bahwa Allah
memiliki ‘Tangan Kanan’, maka kita yakini bahwa Allah memiliki ‘Tangan Kanan’ secara
hakiki, secara sebenarnya. Tidak kita tahriif atau palingkan maknanya menjadi ‘Kekuasaan’ dan semisalnya, tidak pula kita melakukan ta’thiil (penolakan), tidak pula
melakukan  takyiif dengan bertanya ‘bagaimana’ atau seperti apa ‘Tangan Kanan’ Allah tersebut, dan tidak pula kita menyamakan TanganNya dengan tangan makhluk. Hal yang menguatkan bahwa Allah menggenggam bumi dengan Tangan KananNya secara hakiki dan bukan merupakan majas atau bahasa kiasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya, Rasulullah shollallaahu ‘alahi wa sallam
bersabda :
يَقْبِضُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْأَرْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ، أَيْنَ مُلُوكُ الْأَرْضِ؟
“Allah Ta’ala menggenggam bumi dan melipat langit dengan Tangan KananNya kemudian berkata : ‘Akulah Raja. Mana raja-raja bumi” (H.R Bukhari-Muslim)
Sebagai seorang mukmin hendaknya bersikap sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Imam AsySyafi’i dalam ucapan beliau: “ Aku beriman dengan Kitabullah (AlQuran) sesuai dengan yang datang dari Allah, sesuai dengan maksud yang diinginkan Allah”(Lum’atul I’tiqod karya Ibnu Qudamah hal 7).

[3] Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’  karya Syaikh al-Utsaimin juz 3 hal 16 cetakan
AlMaktabatut Taufiqiyyah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Dinukil dari Buku "Memahami Makna Bacaan Sholat"
(Sebuah Upaya Menikmati Indahnya Dialog Suci dengan Ilahi).

Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Hafidzahullah.

========================
https://pustakahudaya.files.wordpress.com/2015/03/buku-memahami-makna-bacaan-sholat-ed-1-0.pdf

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi