[AUDIO] Pasal ke 6: Hukum Meninggalkan Shalat - Ustadz Muhammad Higa

[AUDIO] Pasal ke 6: Hukum Meninggalkan Shalat - Ustadz Muhammad Higa Download MP3 Audio rekaman kajian
๐Ÿ“˜ Sifat Shalat
๐Ÿ‘ค Ustadz Muhammad Higa
๐Ÿ  Masjid Nurul Hujjaj, Wojo, Bantul


๐Ÿ“ข Pasal ke 6: Hukum Meninggalkan Shalat
๐Ÿ“† 15/12/2015

๐Ÿ’พ https://drive.google.com/uc?id=1kMSRvXGvPTijvYbxjBzsg4LPIH4JuQjk&export=download

Bismillah.
Taklim Malam Rabu, pertemuan ke-8
Pembahasan Kitab Shifat Shalat
Karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

PASAL KE 6

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

Meninggalkan Shalat terbagi menjadi dua macam:
Yang pertama: Disertai dengan mengingkari kewajibannya.
Maka yang demikian adalah kekafiran tanpa diragukan lagi. Sebab, mengingkari kewajiban shalat fardhu jelas suatu bentuk kekufuran karena itu berarti mendustakan Allah, Rasul-Nya serta (kesepakatan, pent.) mukminin. Padahal Allah Ta'aala telah berfirman:

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan justru mengikuti jalannya selain kaum mukminin, niscaya Kami palingkan dia kemana ia berpaling dan Kami akan masukkan dia ke Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali". [An-Nisaa': 115]
Kecuali, apabila orang yang mengingkari kewajiban shalat tersebut adalah orang yang baru saja masuk Islam, sehingga mungkin ia masih jahil (belum tahu) tentang hukumnya, maka ia tidak dikafirkan sampai dijelaskan hal itu kepadanya. Kemudian jika setelah itu ia menentang, barulah ia dikafirkan.
Yang kedua: Meninggalkan shalat disebabkan karena malas dan meremehkan hal tersebut, namun disertai dengan mengakui akan kewajibannya.
Maka orang yang seperti ini, ia diminta untuk mengerjakannya. Jika ia kerjakan, maka itu yang dimaksud. Tetapi jika ia tetap bersikukuh dalam meninggalkan shalat, maka para ulama berbeda pendapat tentang statusnya.
Ada diantara mereka yang mengatakan: Dia telah kafir dan agar dibunuh karena kekafirannya itu, tanpa ia dishalatkan, dan tidak boleh dimakamkan di pemakaman muslim.
Adapun yang menjadi dalil pegangan bagi mereka, dari al-Qur'an yaitu firman Allah -Ta'aala- mengenai musyrikin:

"Maka apabila mereka telah bertaubat, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara kalian seagama. Dan demikianlah Kami telah jelaskan ayat-ayat Kami bagi orang-orang yang mengetahui". [at-Taubah: 11]
Maka di sisi kita sekarang (dari ayat di atas, pent.) ada kalimat syarat, dimana persyaratan di dalamnya berupa tiga perkara, sementara jawaban syaratnya hanya satu perkara.
Adapun syarat yang pertama: ูุฅู† ุชุงุจูˆุง, yang kedua: ูˆุฃู‚ุงู…ูˆุง ุงู„ุตู„ุงุฉ, dan yang ketiga: ูˆุกุงุชูˆุง ุงู„ุฒูƒุงุฉ, semua ini merupakan syaratnya.
Sementara jawab-syaratnya yaitu: ูุฅุฎูˆุงู†ูƒู… ููŠ ุงู„ุฏูŠู†, hanya ada satu.
Dan di sana ada sebuah kaedah: bahwasanya apabila suatu perkara dipersyaratkan padanya satu ataupun beberapa syarat, maka akibatnya tidak akan terwujud kecuali jika telah terpenuhi syarat-syaratnya. Dan di dalam ayat tadi, Allah -'Azza wa Jalla mempersyaratkan untuk terwujudnya "ukhuwwah fid diin", persaudaraan seagama yaitu dengan adanya tiga macam syarat: Bertaubat dari kesyirikan, yang kedua yaitu menegakkan shalat, dan yang ketiga ialah menunaikan zakat. Apabila salah satu saja dari ketiga syarat tersebut tidak ada, maka tidak akan terwujud jawab-syaratnya, yaitu persaudaraan seagama.
Saya akan berikan sebuah contoh yang dapat memperjelas masalah di atas; seandainya engkau berpesan: "Jika si Fulan mengunjungimu, dan memberikan kitab A kepadamu, dan engkaupun boleh membacanya, maka muliakanlah dia".
Maka seandainya ia mengunjungi saja tanpa memberikan kitabnya, tentunya engkau tidak memuliakannya.
Seandainya ia menanyaimu: "Mengapa engkau tidak memuliakanku?". Saya jawab: Karena engkau tidak memenuhi syarat.
Seandainya ia mengunjungimu, memberikan kitabnya, tetapi ia melarangmu dari membacanya, maka engkau juga tidak akan memuliakannya.
Dan seandainya ia mengunjungimu, memberikan kitabnya kepadamu, dan mempersilahkanmu untuk membacanya, maka barula ia pantas untuk dimuliakan.

Begitu pula dalam ayat yang mulia tadi: Jika mereka bertaubat, menegakkan shalat dan menunaikan zakat, barulah mereka berhak untuk menjadi saudara kita dalam agama. Namun apabila mereka tidak memenuhi ketiga sifat tersebut, maka mereka tidak berhak untuk menjadi saudara kita seagama.
Dan persaudaraan (ukhuwwah) seagama tidaklah hilang kecuali dengan kekufuran yang jelas. Karena seberapapun seseorang itu bermaksiat, ia masih saudaramu (seagama). Meski ia berzina, mencuri, mabuk dan membunuh, tetap saja ia saudaramu (seagama, pent.).
Bisa jadi sebagian orang menganggap asing hal ini; bagaimana bisa ia yang sudah melakukan kejahatan besar, tetapi bersamaan dengan itu ia masih menjadi saudara kita?!
Maka kami katakan: Allah Ta'aala berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian (hukum) qishas dalam perkara pembunuhan. Orang merdeka dibalas dengan orang merdeka juga, budak dibalas dengan budak, dan wanita dibalas dengan wanita. Lalu barangsiapa yang sudah dimaafkan oleh saudaranya dengan sesuatu apapun,maka hendaknya ia ikuti dengan cara yang baik". [Al-Baqarah: 178]
Hukum qishas berlaku pada pembunuhan sengaja (berencana, pent.), namun demikian Allah 'Azza wa Jalla masih menyatakan: "..lalu barangsiapa yang sudah dimaafkan oleh saudaranya dengan sesuatu apapun..". Kalau begitu, berarti si pembunuh yang menyengaja tadi tidak dikeluarkan dari Islam, karena ia disebut saudara bagi si korban.
Allah 'Azza wa Jalla mengajak bicara manusia melalui firman-Nya:
"Hai orang-orang yang berIMAN, telah diwajibkan atas kalian (hukum) qishas..", maka ia (si pembunuh) adalah saudaranya (si korban) meski ia telah membunuhnya. Maka, persaudaraan seagama tidaklah hilang dengan kemaksiatan.

Contoh lain:
Pembunuhan oleh seorang mukmin atas saudaranya merupakan sebuah kemaksiatan sekaligus kefasikan dan kekufuran, akan tetapi ia tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, berdasarkan firman Allah Ta'aala:

"Dan jika ada kedua kelompok dari kaum mukminin sedang bertikai, maka damaikanlah antara keduanya. Dan jika salah satu pihak dari keduanya tetap melanggar pihak lainnya, maka perangilah (pihak) yang melanggar tersebut sampai ia mau tunduk kepada perintah Allah. Kemudian jika ia sudah tunduk, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah, sesungguhnya ALlah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Hanyalah kaum mukminin itu bersaudara, maka damaikanlah antara saudara kalian.." [Al-Hujuraat: 9-10]

Maka meskipun kaum mukminin saling berperang, mereka tetap bersaudara, begitu pula pihak ketiga yang mendamaikan antara kedua pihak yang bertikai juga adalah saudara mereka. Oleh karenanya, Allah menyatakan:

"Hanyalah kaum mukminin itu bersaudara, maka damaikanlah antara saudara kalian.."

Kalau begitu, kami katakan bahwa persaudaraan seiman tidaklah dihilangkan dengan semata maksiat, seberapapun besarnya. Tidak akan hilang selamnya (persaudaraan itu, pent) kecuali dengan adanya kekafiran.

Adapun dalil dari as-Sunnah adalah hadits Jabir -radhiyallaah 'anhu- bahwasanya Nabi -shallallaah alaihi wa sallam- pernah bersabda:

"Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat". Diriwayatkan Muslim (1).
Maka Nabi -shallallaah alaihi wa sallam- telah menjadikan kesyirikan terpisah dengan nyata dari Islam, dan beliau menjadikan pemisahnya adalah meninggalkan shalat. Kalau begitu, meninggalkan shalat adalah sebuah kekufuran.

Dan dalam hadits Buraidah ibnul Hushaib -radhiyallaah anhu- yang dikeluarkan oleh ahli Sunan: Nabi  -shallallaah alaihi wa sallam- bersabda:

"Perjanjian yang ada antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkannya sungguh ia telah kafir". (2)

Nabi -shallallaah alaihi wa sallam- juga bersabda:

"Kepala segala urusan adalah Islam, dan tiangnya adlah shalat". (3)
Dan tiang apabila hilang, maka bangunannya akan runtuh.

Berkata 'Umar bin al-Khattaab -radhiyallaah anhu-:

"Tidak ada bagian dari Islam, bagi siapa saja yang meninggalkan shalat". (4)

Dan berkata 'Abdullah bin Syaqiq -rahimahullaah-, salah seorang dari tabi'in yang terbaik:

"Adalah dahulu, para sahabat Rasulullah  -shallallaah alaihi wa sallam-  tidak menganggap adanya suatu hal dari amalan yang jika ditinggalkan berarti kufur, selain daripada shalat". (5)

Dan hal ini menjadi semacam ijma' (kesepakatan) dari kalangan sahabat bahwa orang yang meninggalkan shalat telah kafir.
Lebih dari seorang dari ulama telah menukilkan ijma' bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, diantara ulama tersebut yaitu Ishaq bin Rahuuyah -rahimahullaah-, imam yang masyhur.
Berkata Abdullah bin Nashr (al-Marwazi, pent) -rahimahullaah-:
"Aku pernah mendengar Ishaq bin Rahuuyah berkata: Telah shahih dari Nabi -shallallaah alaihi wa sallam- bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, demikian pula pendapat para ahli ilmu sejak di sisi Nabi -shallallaah alaihi wa sallam- sampai hari kita ini, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa udzur hingga lewat waktunya adalah kafir". Selesai ucapan beliau.

Berkata Ibnu Hazm -rahimahullah- (6):
"Sungguh telah datang dari 'Umar, 'Abdurrahman bin 'Auf, Mu'adz bin Jabal, Abu Hurairah dan selain mereka dari kalangan sahabat -radhiyallaah 'anhum- bahwasanya barangsiapa meninggalkan satu kali shalat fardhu secara sengaja hinggalewat waktunya, maka ia telah kafir dan murtad. Dan kami tidak mengetahui adanya sahabat lain yang menyelisihi mereka".

Hal tersebut juga disebutkan oleh al-Mundziri -rahimahullah- dari Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Jabir bin 'Abdillah dan Abu Dardaa' -radhiyallaah 'anhum-, beliau juga mengatakan:
"Dan dari selain sahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuuyah, 'Abdullaah ibnul Mubaarak, an-Nakhaa'i", beliau juga masih menyebut selain mereka.

Berkata Ibnul Qayyim -rahimahullaah- di sela-sela pembawaan dalil-dalil bagi yang berpendapat dikafirkannya orang yang meninggalkan shalat (7):
"Adalah perkara yang mustahil secara kebiasaan maupun tabiat, adanya seorang yang membenarkan dengan sebenar-benarnya dan keyakinan yang kuat bahwa Allah telah mewajibkan kepadanya lima waktu shalat dalam sehari semalam, dan bahwasanya Allah akan menyiksanya dengan sekeras-kerasnya jika ia meninggalkannya, namun bersamaan dengan itu ia masih terus meninggalkannya. Ini termasuk perkara yang mustahil secara pasti". Selesai ucapan beliau.

Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh, namun sebagai hukuman hadd, bukan karena dikafirkan. Maka ia dihukum mati, dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dimakamkan bersama kaum muslimin, serta didoakan agar diampuni. Hal ini berdasarkan sabda Nabi -shallallaah alaihi wa sallam-:

"Barangsiapa yang telah bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus rasul-Nya, dan bahwa Isa juga adalah hamba sekaligus rasul-Nya dan kalimat (dari)-Nya yang ditiupkan kepada Maryam, dan ruh (dari)-Nya, dan bahwa surga adalah benar, dan neraka adalah benar adanya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga meski seberapapun amalannya". (8)
Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa ia masuk ke surga meskipun tidak shalat.

Berkata Ibnul Qayyim -rahimahullaah- setelah menyebut argumen kedua belah pihak (9):
"Dan jika iman dapat hilang dikarenakan hilangnya amalan qalbu, maka tidak aneh jikalau ia (iman)pun hilang dengan hilangnya amalan badan yang terbesar (yaitu shalat, pent). Terlebih lagi apabila hal itu adalah akibat (konsekuensi) dari ketidak-sukaan dan ketidak-tundukan qalbu yang merupakan akibat dari sikap tidak membenarkan dengan yakin, sebagaimana telah berlalu penegasannya. Sebab, ketidak-patuhan qalbu akan mengakibatkan ketidak-patuhan badan; dimana seandainya qalbunya taat dan patuh, tentulah badannya ikut taat dan patuh".

Alhasil, kedua kelompok telah sepakat atas dibunuhnya orang yang meninggalkan shalat, apakah karena kekafirannya sebagaimana ditunjukkan oleh zhahir dalil-dalil, ataukah sebagai hukum hadd sebagaimana zhahir dalil-dalil lain yang menunjukkan tidak kafirnya orang tersebut.
Dan ijma' (kesepakatan) dari kedua pihak ini menunjukkan atas besarnya kejahatan orang yang meninggalkan shalat, dan bahwasanya tidak ada tempat baginya di tengah kaum muslimin karena besarnya dosa tersebut.

Maka aku begitu heran dengan orang-orang yang menyepelekan shalat mereka di masa ini, dan mereka sibuk dengan syahwat mereka.
Mereka menganggap begitu beratnya satu amalan (shalat, pent) yang paling puncaknya tidak sampai satu jam, sementara mereka meghabiskan berjam-jam pada urusan yang tidak ada kebaikannya sama sekali buat mereka.
Tidakkah mereka yakin kalau mereka kelak akan dibangkitkan pada suatu hari yang dahsyat, hari dimana semua orang berdiri di hadapan Rabb sekalian alam?

Lalu agama apa yang ada pada seseorang yang meninggalkan shalat padahal begitu ringan untuk dikerjakan, begitu sedikit waktu yang dibutuhkan untuk disibukkan dengannya, sementara manfaatnya begitu besar bagi qalbu, badan, pribadi maupun masyarakat, terhadap ucapan maupun perbuatan, dan bahkan shalat merupakan penolong bagi seseorang dalam menghadapi pekerjaannya sebagaimana dahulu Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam apabila beliau terbebani oleh suatu perkara, maka beliaupun segera bangkit untuk shalat; karena Allah telah menyatakan:

"Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat" ?!

Agama apa yang dimiliki seseorang yang meninggalkan shalat, sementara telah datang dalil-dalil dari Kitab Allah maupun sunnah Rasul-Nya shallallaahu alaihi wa sallam yang mengancam terhadap siapa saja yang menyepelekan shalat dan melalaikannya?
Allah Ta'aala telah berfirman:

"Lalu datanglah setelah mereka para pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui Ghayya** (keburukan). Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih.." [Maryam: 59-60]
Ayat yang mulia ini sangat jelas menyebutkan bahwa barangsiapa yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwatnya, maka ia bukanlah seorang mukmin, karena Allah mengatakan:

"Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman..".

Allah Jalla dzikruh juga berfirman:

"Maka Wail* (kebinasaan) bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya". (Al maa'un: 4-5)

Nabi shallallaah 'alaihi wa sallam juga telah mengabarkan bahwa barangsiapa yang tidak menjaga shalat-shalat tersebut, maka ia tidak akan mendapat cahaya, bukti maupun keselamatan pada hari kiamat nanti, dan ia akan dibangkitkan bersama dengan para pimpinan kekufuran, yaitu bersama Fir'aun, Haamaan, Qaaruun dan Ubay bin Khalaf (10).

Agama apa yang dimiliki seseorang yang meninggalkan shalat, sementara ia meyakini adanya ancaman bagi siapa saja yang menelantarkannya dan melalaikannya?
Bagaimana mungkin seseorang yang ia sudah mengucap syahadat: "Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullaah, sementara dia tidak menegakkan shalat?
Sebagian orang beralasan dan berkata: Aku seorang muslim, aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah".
Maka kami katakan kepadanya: Ini belum cukup bagimu di sisi Allah, sampai engkau berserah-diri kepada Allah dan tunduk kepada syariat-Nya, karena keimanan adalah apa yang menancap dalam qalbu dan dibenarkan oleh amalan. Maka meninggalkan shalat adalah sebuah kemurtadan dari Islam dan kekufuran terhadap Allah. Dan kemurtadan dari Islam memiliki hukum-hukum di dunia serta hukum-hukum di akhirat.

Adapun hukum-hukum di dunia, maka seorang yang murtad:
1- Batal nikahnya dari istrinya, dan istrinyapun halal bagi orang lain, sehingga bercengkramanya ia dengannya adalah bercengkrama dengan wanita ajnabi (yang bukan mahramnya, pent).
2- Tidak halal sembelihannya, dan juga hasil buruannya.
3- Tidak bisa menjadi wali dari salah seorang anaknya, dan andai dia menikahkan seorang lelaki dengan salah seorang putrinya sementara lelaki tadi tidak shalat, maka pernikahannya tidak sah.
4- Orang murtad tidak dibiarkan atas kemurtadannya, bahkan wajib untuk dibunuh jika ia tetap melakukannya.
5- Tidak dimandikan, karena air tidak dapat mensucikan dirinya sementara dia kafir.
6- Tidak dishalatkan.
7- Tidak dimintakan ampunan, tidak pula didoakan agar dirahmati.
8- Tidak dimakamkan bersama kaum muslimin.
9- Tidak diwariskan hartanya, akan tetapi hartanya masuk ke Baitul Maal.

Sementara terkait hukum-hukum akhirat:
Maka sesungguhnya barangsiapa yang mati di atas kemurtadan, barangsiapa mati dalam keadaan tidak pernah shalat, maka ia diharamkan masuk ke dalam surga, dan ia akan dimasukkan ke neraka, kekal di dalamnya.

Tidak diperbolehkan seorangpun dari kalian, apabila ada orang yang mati dalam keadaan tidak pernah shalat, maka tidak boleh baginya untuk mengedapankannya di hadapan muslimin untuk dishalatkan. Yang wajib baginya, agar ia bawa pergi jauh, lalu digalikan tanah dan dikuburkan dalam lubang tersebut, karena kekafiran orang murtad adalah lebih berat daripada kekafiran yahudi maupun nasrani. Na'udzubillaah.

Maka takutlah kalian kepada Allah, dan jagalah shalat-shalat kalian, apa yang tersisa dari agama kalian jika kalian menelantarkannya?

"Sesungguhnya hal terakhir yang hilang dari agama kalian adalah shalat" (11)
Berkata Imam Ahmad rahimahullah:
"Segala sesuatu yang hilang bagian akhirnya, tidak tersisa sedikitpun darinya".


(1) Dikeluarkan oleh Muslim dalam Kitabul Iman, Bab Bayaan Ithlaaq i Ismi al-Kufr (82)
(2) Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam beberapa bab tentang Iman, Baab Maa Jaa'a fii Tarkis Shalaat (2621), an-Nasaa'i dalam Kitaabus Shalaat, Baab al-Hukmu fii Taarikis Shalaat (464), Ibnu Maajah dalam Kitaab Iqaamatis Shalawaat was Sunnah fiihaa, Baab Maa Jaa'a fiiman Tarakas Shalaat (1079).
(3) Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi: Abwaabul Iman, Bab Maa Jaa'a fii Hurmatis Shalat (2616).
(4) Dikeluarkan oleh ad-Daaruquthni (2/52)
(5) Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam Kitaabul Iman, Baab Maa Jaa'a fii Tarkis Shalaat (2622)
(6) Al-Muhalla (2/242)
(7) Ash-Shalaat wa Hukmu Taarikihaa (hal. 60)
(8) Dikeluarkan oleh al-Bukhaari dalam Kitaab Ahaaditsul Anbiyaa', Baab Qaulihi Ta'aalaa: "Yaa Ahlal Kitaab Laa Taghluu fii Diinikum" (3435), Muslim dalam Kitabul Iman, Baab ad-Daliil 'alaa anna Man Maata 'alat Tauhiid Dakhalal Jannah (28)
(9) Ash-Shalaat wa Hukmu Taarikihaa (hal. 71)
(10) Dikeluarkan oleh Ahmad (2/169, no. 6576). Berkata al-Haitsami (1/292): "Perawi-perawinya terpercaya". Dan Al Baihaqi di dalam "Syu'abul Iman" (3/46, no.2823). Juga dikeluarkan oleh Abd bin Humaid (hal. 139, no 353) dan ad Daarimi (2/390, no. 2721).
Catatan ed.: Terdapat perbedaan pendapat diantara ulama seputar hadits ini, terkait dengan perawi bernama 'Isa bin Hilal as-Shadafi al-Mishri.
Syaikh al-Albaani berkata tentangnya: "Dia menurutku ada ketidak-jelasan keadaan (jahaalah)". Beliau juga berkata dalam al-Misykah: "Ia seorang tabi'in, namun tidak ada yang meriwayatkan (hadits) darinya kecuali dua orang saja, dan tidak ada yang merekomendasinya selain Ibnu Hibban".
Namun para ulama yang lain menyatakan bahwa muridnya lebih dari dua (lihat Tahdzibut Tahdziib), dan yang merekomendasinya selain Ibnu Hibban adalah al-Fasawi, dan al-Haafizh Ibnu Hajar mengatakan tentangnya: "Shaduuq".
Karenanya sejumlah ulama menerima hadits ini, seperti Ibnul Mundzir, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Shaalih al-Fauzaan, dan selain mereka.
At-Thabraani berkata dalam Mu'jam Kabiir: "Para perawi Ahmad tsiqah semua, namun sanadnya hasan insyaa Allaah, karena keadaan 'Isa bin Hilaal".
Wallaaahu a'lam bis shawaab.
(11) Dikeluarkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/469)

dari t.me/taklim

Kunjungi juga
๐Ÿ“Ustadz Muhammad Higa (Kumpulan Audio dan Artikel/Faidah)
๐Ÿ“kitab sifat shalat nabi (Kumpulan audio dan matan/syarah)
๐Ÿ“salafy bantul (Info dakwah dan jadwal kajian)

Keyword (Kata Kunci) : pengajian islam, audio mp3, kajian sunnah, kajian ilmiah, audio salafy terbaru, download audio kajian salaf, rekaman kajian, audio kajian, salafy indonesia, kajian audio mp3, ceramah agama, kajian islam, ilmu syar'i, ayo ngaji, majelis taklim, telegram, website, blog, dakwah, channel, streaming, update, online, radio islam indonesia, RII, asatidzah, salaf, muslim, ahlussunnah wal jama'ah, islami, manhaj salaf, al qur'an dan sunnah, ayat dan hadits, fiqih ibadah, fiqih islam, fiqih muamalah, tata cara ibadah, hukum syar'i, shalat fardhu, sholat wajib, shalat 5 waktu, sholat maktubah, sholat subuh, sholat zhuhur, sholat ashar, sholat maghrib, sholat isya, bantul,

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi