Sebab Kesyirikan adalah Sikap Berlebihan terhadap Orang Shalih (Bab 19-Tauhid, Anugerah yang Tak Tergantikan)

〰〰〰〰〰〰
🔰 Silsilah KAJIAN TAUHID ke 65

BAB KE-19: SEBAB KESYIRIKAN ANAK ADAM ADALAH SIKAP BERLEBIHAN TERHADAP ORANG SHOLIH (Bagian 1)

✏️ Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman حفظه الله

〰〰〰〰〰〰

📖 Pendahuluan

Bab ini menjelaskan penyebab kesyirikan anak Adam yang pertama adalah sikap melampaui batas dalam memperlakukan orang-orang Shalih, sehingga mereka (orang-orang Shalih itu) disembah. Akan ditunjukkan dalil yang menunjukkan hal itu yang terjadi pada kaum Nuh. Demikian juga sikap Yahudi dan Nashara yang meyakini bahwa Nabi mereka sebagai anak Allah. Sikap melampaui batas terhadap Nabi dan orang-orang Shalih akan menyeret seseorang kepada kesyirikan.

Karena itu, Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wasallam telah memperingatkan umatnya dari sikap memperlakukan atau memuji beliau berlebihan, karena itu bisa menjerumuskan pada kesyirikan.

Seharusnya, sikap seorang beriman terhadap Nabi dan orang-orang Shalih adalah memulyakan mereka sesuai batas-batas syar’i, mengikuti petunjuk dan nasehat-nasehat mereka, dan berakhlak sesuai akhlak mereka yang baik.

Sikap melampaui batas tidaklah baik dalam setiap keadaan. Seorang yang melampaui batas dalam menjalankan ibadah atau Dien, bukan sesuai dengan batasan-batasan syar’i akan menimbulkan mudharat dan kerugian-kerugian baik di dunia maupun di akhirat.

📖 Dalil Pertama

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

Wahai Ahlul Kitab, janganlah kalian bersikap melampaui batas dalam (berkeyakinan atau beramal) pada Dien kalian (Q.S anNisaa’ ayat 171 dan al-Maaidah ayat 77)

📌 Penjelasan Dalil Pertama

Ahlul Kitab adalah kaum yang diturunkan kepadanya Kitab Allah, yaitu Taurat kepada umat Nabi Musa dan Injil kepada umat Nabi Isa. Sedangkan kaum Arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam disebut kaum Ummi, yaitu kaum yang tidak membaca, karena tidak diturunkan kepada mereka Kitab Allah untuk dibaca.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman kepada Ahlul Kitab, yaitu Yahudi (umat Nabi Musa) dan Nashara (umat Nabi Isa), agar jangan bersikap melampaui batas (ghuluw) dalam beragama. Harusnya mereka berkeyakinan dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan Kitab yang diturunkan kepada mereka, tidak boleh melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan. Tapi justru mereka berkeyakinan yang melampaui batas terhadap Nabi mereka. Kaum Nashara menganggap Isa sebagai anak Allah, padahal Isa ‘alaihissalam adalah hamba dan utusan Allah. Sedangkan kaum Yahudi menganggap ‘Uzair sebagai anak Allah. Padahal ‘Uzair adalah hamba dan Nabi Allah.

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى

Dan Yahudi berkata bahwa Uzair adalah anak Allah, dan Nashara berkata bahwa al-Masih (Isa) adalah anak Allah. Itu adalah ucapan dengan mulut mereka yang menyerupai ucapan orang-orang musyrik sebelumnya. Allah melaknat mereka. Bagaimana mereka bisa dipalingkan? (Q.S atTaubah ayat 30)

📖 Dalil Kedua:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

Dan mereka (pembesar-pembesar kaum Nuh) berkata: Jangan sekali-kali kalian meninggalkan sesembahan-sesembahan kalian. Jangan sekali-kali kalian meninggalkan Wadd, Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr (Q.S Nuh ayat 23)

Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhu menyatakan:

أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ

(Wadd, Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) itu adalah nama-nama orang-orang Shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka meninggal, syaithan membisikkan kepada kaum mereka agar membuatkan monument/ patung di tempat-tempat yang mereka biasa duduk dan memberi penyebutan monumen-monumen itu dengan nama-nama mereka. Maka mereka (kaum Nuh) melakukan hal itu. (waktu itu) monumen/ patung itu belum disembah. Hingga saat generasi pembuat monumen itu telah meninggal, dan ilmu terhapus (hilang orang-orang berilmu), maka monumen-monumen itu kemudian disembah (diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahihnya)

📌 Penjelasan Dalil Kedua:

Nuh ‘alaihissalam adalah Rasul pertama yang diutus Allah di muka bumi. Sedangkan Adam ‘alaihissalam adalah Nabi pertama. Dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, saat didatangi manusia untuk dimintai syafaat, Nabi Adam ‘alaihissalam menyatakan:

ائْتُوا نُوحًا فَإِنَّهُ أَوَّلُ رَسُولٍ بَعَثَهُ اللَّهُ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ

Datangilah Nuh, karena sesungguhnya dia adalah Rasul pertama yang Allah utus untuk penduduk bumi (H.R al-Bukhari no 4116, 6080, 6861 dan Muslim no 284)

Awalnya, manusia pada generasi-generasi awal yang diciptakan Allah mentauhidkan Allah. Terlepas adanya kemaksiatan yang mereka lakukan, seperti pembunuhan, dan semisalnya, namun mereka adalah orang-orang yang mentauhidkan Allah. Belum ada kesyirikan atau kekufuran yang mengeluarkan dari Dien Allah (Islam) sama sekali. Itu berlangsung selama 10 kurun (generasi) sejak Nabi Adam diciptakan di muka bumi. Semuanya masih mentauhidkan Allah. Saat terjadi kesyirikan pertama, yaitu penyembahan terhadap patung-patung orang sholih (Wadd, Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr), barulah Allah mengutus Nuh sebagai Rasul untuk mengajak mereka kembali mentauhidkan Allah. Awalnya patung-patung itu dibuat untuk sekedar mengenang kebaikan dan kesholihan mereka, namun setelah generasi para pembuat patung itu sudah meninggal, dan ilmu (syariat) dilupakan, maka patung-patung itu disembah oleh generasi berikutnya.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ

Dulunya manusia adalah umat yang satu (di atas Islam). Kemudian (setelah mereka berselisih) Allah mengutus Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan al-Kitab secara haq bersama para Nabi itu. Agar Nabi menetapkan hukum di antara manusia berdasarkan Kitab tersebut dalam hal-hal yang mereka perselisihkan…(Q.S al-Baqoroh ayat 213). 

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَنَبِيٌّ كَانَ آدَمُ؟ قَالَ: "نَعَمْ، مُعَلَّمٌ مُكَلَّمٌ ". قال: كَمْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نُوْحٍ؟ قَالَ:" عَشْرَة قُرُوْنٍ ".قَالَ: كَمْ كَانَ بَيْنَ نُوْحٍ وَإِبْرَاهِيْمَ؟ قَالَ: " عَشْرَة قُرُوْنٍ ". قَالُوا: يَا رسول الله! كم كانت الرسل؟ قال: "ثلاث مئة وخمسة عشر، جمّاً غفيراً"
Dari Abu Umamah –radhiyallahu anhu- bahwa seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, apakah Adam adalah Nabi? Rasul menjawab: Ya. Ia diberi ilmu dan diajak bicara (oleh Allah). Orang itu bertanya: Berapa masa antara Adam dengan Nuh? Rasul menjawab: 10 kurun (generasi). Orang itu berkata: Berapa jarak antara Nuh dengan Ibrohim? Rasul menjawab: 10 kurun. Mereka (para Sahabat bertanya): Wahai Rasulullah, berapa jumlah Rasul? Beliau shollallahu alaihi wasallam menjawab: 315 orang. Jumlah yang sangat besar (H.R al-Hakim, atThobaroniy, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Albaniy)

1 kurun adalah masa rata-rata usia hidup orang-orang di jaman itu (anNihaayah fii ghoriibil atsar karya Ibnul Atsir (4/81)). Bisa juga disebut 1 kurun adalah 1 generasi. Sebagian Ulama ada yang menyatakan masanya 40 tahun, ada yang menyatakan 80 tahun, dan ada juga yang menyatakan 100 tahun. Namun, yang lebih tepat durasi masanya adalah sesuai dengan rata-rata usia hidup orang di jaman itu. Wallaahu A’lam.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى : {كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً} قَالَ : عَلَى الْإِسْلَامِ كُلِّهِمْ

Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhu- tentang firman Allah : « Dulunya manusia adalah umat yang satu » artinya adalah: di atas Islam seluruhnya (riwayat Abu Ya’la al-Mushiliy dan dinyatakan sanad para perawinya terpercaya oleh al-Bushiry)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كَانَ بَيْنَ نُوْحٍ وَ آدَمَ عَشْرَة قُرُوْنٍ كُلُّهُمْ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ الْحَقِّ فَاخْتَلَفُوْا فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّيْنَ مُبَشِّرِيْنَ وَ مُنْذِرِيْنَ قَالَ : وَكَذَلِكَ فِي قِرَاءَةِ عَبْدِ اللهِ كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوْا

Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma- beliau berkata: Antara Nuh dengan Adam ada 10 kurun (generasi). Semuanya di atas syariat al-haq, kemudian mereka berselisih, sehingga Allah utus kepada mereka para Nabi (para Rasul) sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Demikian juga dalam qiro’ah (bacaan) Abdullah (bin Mas’ud):

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوْا

Dulunya manusia adalah umat yang satu kemudian mereka berselisih (Q.S al-Baqoroh ayat 213)

Jadi, awalnya manusia sejak Nabi Adam adalah di atas tauhid. Kemudian setelah 10 generasi berjalan, terjadilah kesyirikan di muka bumi. Berupa penyembahan kepada patung orang-orang sholih yang sebelumnya patung-patung itu dibuat untuk dikenang jasanya. Yang memerintahkan untuk membuat patung-patung itu adalah syaithan dengan tipu dayanya. Setelah generasi pembuat patung meninggal, dan ilmu dilupakan, patung-patung itu kemudian disembah.
Beberapa faidah lain yang bisa diambil dari ayat dan atsar Sahabat Nabi tersebut:

1⃣ Awalnya semua manusia di atas fitrah, kemudian baru muncullah kesyirikan, akibat bujuk rayu syaithan.

2⃣ Haramnya pembuatan patung-patung makhluk bernyawa, selain karena tersebut larangan dalam hadits yang lain, juga karena itu bisa berakibat akan disembahnya patung tersebut, meski bukan di masa saat patung itu baru dibuat, tapi bisa jadi pada generasi-generasi berikutnya. Hal ini juga menunjukkan berlakunya penerapan saddudz-dzarii’ah (upaya pencegahan terhadap suatu perbuatan agar tidak berimbas terjadinya kemunkaran yang lebih besar).

Salah satu dalil yang menunjukkan larangan pembuatan patung atau gambar makhluk bernyawa, adalah hadits:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

Sesungguhnya termasuk manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah para perupa makhluk bernyawa (dengan gambar atau patung, pent)(H.R al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud)

Namun jika patung hanya berupa bentuk bukan makhluk bernyawa atau makhluk bernyawa tanpa kepala, maka yang demikian tidak mengapa, sebagaimana ucapan Ibnu Abbas:

الصُّوْرَةُ الرَّأْسُ فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُوْرَةٍ

Gambar patung (yang terlarang) adalah kepala. Jika dipotong kepalanya, maka itu bukanlah gambar/ patung (yang dilarang)(H.R al-Baihaqy)

Di dalam sebuah hadits, Nabi shollallahu alaihi wasallam menyatakan:
أَتَانِي جِبْرِيلُ فَقَالَ إِنِّي كُنْتُ أَتَيْتُكَ الْبَارِحَةَ فَلَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَكُونَ دَخَلْتُ عَلَيْكَ الْبَيْتَ الَّذِي كُنْتَ فِيهِ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فِي بَابِ الْبَيْتِ تِمْثَالُ الرِّجَالِ وَكَانَ فِي الْبَيْتِ قِرَامُ سِتْرٍ فِيهِ تَمَاثِيلُ وَكَانَ فِي الْبَيْتِ كَلْبٌ فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِي بِالْبَابِ فَلْيُقْطَعْ فَلْيُصَيَّرْ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ وَمُرْ بِالسِّتْرِ فَلْيُقْطَعْ وَيُجْعَلْ مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ مُنْتَبَذَتَيْنِ يُوطَآَنِ وَمُرْ بِالْكَلْبِ فَيُخْرَجْ فَفَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Jibril ‘alaihissalaam mendatangiku kemudian berkata: Aku mendatangimu tadi malam. Tidak ada yang mencegahku masuk ke rumahmu kecuali karena di pintu ada patung-patung laki-laki, di dalam rumah juga ada tirai tipis yang di dalamnya ada gambar makhluk bernyawa dan di rumah juga ada anjing. Maka perintahkan agar kepala patung di pintu rumah itu dipotong sehingga menyerupai pohon. Dan perintahkan agar tirai itu dipotong sehingga bisa dipakai sebagai dua bantal yang dibentangkan dan diinjak/ diduduki. Dan perintahkan agar anjing itu dikeluarkan dari rumah. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melaksanakan hal itu…(H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, lafadz sesuai riwayat atTirmidzi, dishahihkan Ibnu Hibban dan al-Albaniy)

3⃣ Syaithanlah yang memerintahkan untuk berbuat kesyirikan dan segala penyelisihan terhadap perintah Allah.

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آَدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Bukankah Aku telah mengambil perjanjian dengan kalian wahai Anak Adam: Janganlah kalian menyembah (mentaati) Syaithan. Sesungguhnya dia adalah musuh nyata bagimu (Q.S Yasin ayat 60)

Syaithanlah yang membisikkan kepada kaum Nabi Nuh untuk membuat patung-patung orang Shalih itu. Syaithan memiliki jangka panjang untuk membuat manusia berbuat kesyirikan dengan menyembah patung itu, meski belum terlaksana saat generasi pembuat patung masih hidup, tapi baru terjadi setelah generasi berikutnya.

4⃣ Penyebab terjadinya kesyirikan adalah karena hilangnya ilmu. Tidak adanya para Ulama, atau majelis-majelis ilmu atau tulisan-tulisan yang berisi ilmu: al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang shahih dengan penjelasan Ulama Ahlussunnah menyebabkan terjadinya kemunkaran-kemunkaran. Atau karena ilmu tersebut diacuhkan, tidak diindahkan. Sebagaimana kesyirikan yang terjadi pada kaum Nabi Nuh adalah karena ilmu dilupakan atau hilang. Sebagaimana ucapan Ibnu Abbas di atas:

حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ

Hingga ketika telah meninggal orang-orang (generasi pembuat patung) itu dan ilmu lenyap, maka disembahlah patung-patung itu (riwayat al-Bukhari dalam Shahihnya).

📖 Dalil Ketiga:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu beliau mendengar Umar radhiyallahu anhu berbicara di atas mimbar dengan menyatakan: Saya mendengar Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian memujiku sebagaimana pujian Nashara kepada putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hambaNya. Maka ucapkanlah (aku sebagai) hamba Allah dan RasulNya (H.R al-Bukhari)

📌 Penjelasan:

Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan larangan memuji Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam berlebihan, karena hal itu bisa menjerumuskan pada kesyirikan.

〰〰〰

📝 Disalin dari Draft Buku "Tauhid, Anugerah yang Tak Tergantikan (Syarh Kitabit Tauhid)".

👆 Bagi yang ingin mendapatkan postingan sebelumnya dari kajian ini silahkan kunjung situs kami via link http://bit.ly/kajian-kitab-tauhid

📎 atau silahkan klik hashtag berikut #kitab_tauhid

〰〰〰〰〰〰〰
📚🔰Salafy Kendari || http://bit.ly/salafy-kendari
Pada 26.12.2015


Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi