Tahdzir Adalah Rahmat

Tahdzir Adalah Rahmat

Diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rahmat/kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala untuk semesta alam sebagaimana firman-Nya,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧

“Dan tidaklah kami mengutusmu kecuali untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya: 107)

Demikian pula, al-Qur’an yang dibawa oleh beliau juga merupakan rahmat, sebagaimana tersebut dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارٗا ٨٢

“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al- Isra’: 82)

Oleh karena itu, perintah dan larangan syariat adalah semata-mata untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat; bukan beban yang memberatkan dan bukan pula kekangan terhadap ruang gerak dan kebebasan mereka.

Coba Anda perhatikan! Apakah salah ketika seorang dokter melarang pasiennya yang menderita suatu penyakit mengonsumsi makanan tertentu yang bisa memperparah sakitnya?! Demikian pula seorang ibu yang mencegah anak balitanya mendekati api yang akan membakarnya. Apakah ibu yang seperti ini dikatakan telah mengekang kebebasannya?!

Hanya sifat belas kasihan yang ada pada ibu dan dokter tersebut yang mendorong mereka melarang anak atau pasiennya melakukan hal yang membahayakan.

Apabila ini adalah kasih sayang makhluk terhadap makhluk, lantas seperti apa kiranya kasih sayang Allahsubhanahu wa ta’ala terhadap hamba-Nya? Kasih sayang Allah subhanahu wa ta’alalebih besar daripada kasih sayang hamba terhadap dirinya sendiri; termasuk dalam masalah mentahdzir dan mengingatkan umat dari orang yang menyimpang dari kebenaran.

Bagi mereka, sebenarnya tahdzir adalah bentuk nasihat agar mereka kembali kepada jalan yang benar. Tahdzir juga bentuk berbuat baik kepada mereka agar kejelekannya tidak diikuti. Sebab, orang yang mengajak kepada kejelekan atau mencontohkan kejelekan akan menanggung dosa perbuatannya dan dosa orang yang mengikutinya.

Pada dasarnya, seorang yang menyimpang diberi nasihat dengan kelembutan. Akan tetapi, apabila cara lembut tidak berguna bagi mereka, cara yang bijak adalah dengan teguran keras dan umat diperingatkan darinya, bahkan sampai diboikot.

Bahkan, apabila ada seseorang yang menyimpang dari kebenaran dan telah bertobat darinya, sedangkan buku-bukunya yang berisi kesesatan dan pemikiran batil telah menebar, umat tetap harus diperingatkan dari buku dan pemikirannya. Sekali lagi, ini adalah bentuk kasih sayang Islam kepada pemeluknya yang menyimpang agar tidak membawa beban dosa di akhirat kelak.

Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memboikot tiga sahabat yang absen dari Perang Tabuk. Di antara mereka adalah Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallammemboikot mereka karena kemaksiatan mereka. Padahal, sebelum kepulangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatradhiallahu ‘anhum dari Tabuk, mereka radhiallahu ‘anhumtelah menyesali perbuatannya. (Shahih al-Bukhari, no. 4481).

Al-Imam al-Baghawi rahimahullah dalam kitabnya,Syarhus Sunnah, di sela-sela penjelasan terhadap hadits Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu tentang absennya tiga sahabat radhiallahu ‘anhumdari Perang Tabuk, menyatakan bahwa dalam kisah tersebut terdapat dalil pemboikotan ahli bid’ah bersifat terus-menerus.

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan Ka’b radhiallahu ‘anhu dan teman-temannya terjatuh dalam sifat kemunafikan saat mereka absen untuk keluar (berperang) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar mereka diboikot sampai Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan (ayat yang menjelaskan diterimanya) tobat mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi tahu selamatnya mereka (dari kemunafikan). Telah berlalu (sunnah) dari para sahabat, tabi’in, pengikut mereka, dan ulama sunnah dalam hal ini; yaitu mereka sepakat untuk memusuhi ahlul bid’ah dan memboikot mereka. (Bayan Ma fi Nashihati Ibrahim ar-Ruhaili minal Khalal wal Ikhlal, hlm. 43—44)

Coba Anda perhatikan, sahabat Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu sudah menyesal sebelum kepulangan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Tabuk. Meski demikian, Ka’b dan kawan-kawan tetap diboikot, sampai turun ayat yang menerima tobat mereka. Lantas bagaimana kiranya ucapan sebagian orang, “Wis tobat koh deneng asih ditahdzir?” (Sudah bertobat kok masih ditahdzir?)

Kalau tobatnya serius, pertanyaan yang bersifat pengingkaran di atas mungkin tepat. Akan tetapi, sebagian orang yang katanya bertobat dari penyimpangan belum menampakkan perbaikan, bahkan terkadang ada makar yang sedang diagendakan.

Intinya, mentahdzir orang yang menyimpang adalah prinsip agama demi kebaikan yang ditahdzir, demi kebaikan umat; bahkan merupakan bentuk membersihkan agama dari hal yang mencoreng keindahannya.

Apabila sudah ditahdzir ternyata tidak tobat juga, urusannya kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Yang jelas, kemaslahatan umat lebih didahulukan daripada kemaslahatan pribadi.

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.

Dinukil dari http://asysyariah.com/antara-tahdzir-dan-rahmat/
Pada 24.01.2016


Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi