Upaya Rasulullah Menjaga Tauhid dan Menutup Jalan Keyirikan (Bab 22-Tauhid, Anugerah yang Tak Tergantikan)

Silsilah KAJIAN TAUHID

BAB KE-22: UPAYA RASULULLAH DALAM MENJAGA TAUHID DAN MENUTUP JALAN MENUJU KESYIRIKAN
Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman حفظه الله

〰〰〰〰〰〰

Pendahuluan

Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wasallam sangat penyayang kepada umatnya. Segala hal kebaikan yang menyampaikan seseorang kepada Jannah (Surga) telah beliau jelaskan. Demikian juga segala macam keburukan yang bisa mengantarkan seseorang kepada anNaar (Neraka) telah pula beliau jelaskan. Beliau adalah penyampai risalah yang amanah.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ : قَالَ : تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : ( مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ )
Dari Abu Dzar radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam meninggalkan kita (dalam keadaan) tidaklah seekor burung mengepakkan sayapnya di udara kecuali beliau menjelaskan ilmunya. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah tertinggal sesuatu yang mendekatkan kepada Jannah dan menjauhkan dari anNaar kecuali telah dijelaskan kepada kalian (H.R atThobaroniy dalam al-Mu’jamul Kabiir, dishahihkan al-Albaniy dalam Silsilah as-Shahihah)

Telah kita ketahui bahwa Tauhid adalah ketaatan yang tertinggi, sedangkan kesyirikan adalah perbuatan dosa yang terbesar yang tidak diampuni. Jika dalam hal-hal yang kecil terkait syariat saja tidak luput dari bimbingan Nabi shollallahu alaihi wasallam, maka terlebih lagi dalam hal kesyirikan, beliau sangat menjaga agar umat tidak terjatuh ke dalamnya.

Beliau sangat tegas untuk urusan kesyirikan. Bahkan, jalan-jalan yang menuju pada kesyirikanpun berusaha beliau tutup. Beliau peringatkan umat dari segala hal yang akan mengarah pada kesyirikan.

Beberapa bab sebelum ini telah menunjukkan contoh demikian kuat penjagaan Rasul dan ketegasan beliau untuk menghindarkan umat dari kesyirikan. Namun, meski demikian kuatnya perhatian dan penjagaan yang dilakukan Nabi tersebut, atas takdir Allah tetap saja terjadi kesyirikan-kesyirikan. Allah menakdirkan hal itu terjadi sesuai hikmah yang diketahuiNya.

Pada saat perjalanan hendak menuju perang Hunain, saat ada Sahabat yang baru masuk Islam minta dibuatkan pohon sebagai Dzatu Anwaath (tempat menggantungkan pedang) agar bisa bertabarruk dengannya, Nabi menegur dengan keras dan memperingatkannya karena hal itu adalah kesyirikan. Sebagaimana hadits Abu Waqid al-Laitsy riwayat atTirmidzi.

Saat 5 malam sebelum meninggal dunia, dalam kondisi sakit parah Nabi memperingatkan umatnya agar tidak mengikuti perbuatan Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan Nabi dan orang-orang sholihnya sebagai masjid.

Nabi shollallahu alaihi wasallam juga telah berdoa kepada Allah agar jangan sampai kuburan beliau menjadi berhala (watsan) yang disembah selain Allah. Sebagaimana telah dikemukakan haditsnya pada bab sebelum ini.

Pernah pula datang utusan menghadap Rasul dengan memuji-muji beliau yang Rasul menegurnya, dan beliau tidak ingin dipuji dan didudukkan pada kedudukan yang lebih dari kedudukan beliau yang seharusnya. Beliau mengkhawatirkan kesyirikan bagi umatnya. Beliau tidak ingin dijadikan sekutu bagi Allah. Kisah ini disebutkan dalam hadits :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا مُحَمَّدُ يَا خَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا وَيَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا فَقَالَ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ أَنَا مُحَمَّدٌ عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنَزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Dari Sahabat Anas, beliau berkata : Seseorang datang berkata di hadapan Nabi : Wahai Muhammad, wahai yang terbaik di antara kami, wahai putra dari yang terbaik di antara kami, wahai sayyid kami, wahai putra dari sayyid kami. (Mendengar hal itu Rasul berkata):’ Kalian telah mengucapkan dengan ucapan kalian, jangan sampai syaitan menggiring kalian. Aku adalah Muhammad hamba dan utusan Allah, aku tidak suka jika kalian mengangkatku melebihi kedudukanku yang memang Allah tempatkan aku pada kedudukan itu” (Hadits shohih diriwayatkan oleh Ahmad dan AnNasaa’i)

Rasulullah benar-benar sangat khawatir umatnya menjadikan beliau sebagai tandingan / sekutu bagi Allah. Beliau sangat mengkhawatirkan umatnya terjerumus pada kesyirikan. Pernah beliau menegur dengan keras ketika seseorang mengatakan ucapan yang mungkin sering dianggap remeh oleh sebagian besar manusia. Ada orang yang mengatakan: Ini adalah sesuai dengan kehendak Allah dan kehendakmu. Mendengar ucapan itu Nabi marah dan mengatakan: Apakah engkau menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah?!

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ فَقَالَ أَجَعَلْتَنِيْ ِللهِ نِدًّا قُلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ
“Dari Ibnu Abbas beliau berkata : Seorang laki-laki berkata pada Rasulullah : “Sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan yang engkau kehendaki”. Rasul berkata : ‘Apakah engkau akan menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah !!!’ Cukup katakan : ‘Sesuai dengan apa yang Allah kehendaki saja!” (H.R Ibnu Mardawaih dan diriwayatkan pula oleh AnNasaa’i dan Ibnu Majah dari hadits Isa bin Yunus dari al-‘Ajlah, disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya).

Pernah ada seorang berkhutbah di sisi Nabi, dan orang itu menyebut Nabi bergandengan dengan penyebutan Allah dalam kata ganti untuk dua pihak. Nabi marah dan mengatakan bahwa orang itu seburuk-buruk khotib. Nabi sangat tidak rela disejajarkan dengan Allah dalam khutbah, karena beliau hanyalah hamba Allah. Mestinya penyebutan beliau dengan Allah tidak digandengkan dalam satu kata ganti, tapi mestinya dipisah untuk menunjukkan ketidaksepadanan. Hal itu tidak boleh dalam konteks penyampaian khutbah yang bisa memperjelas dan menjabarkan kalimat-kalimat yang diucapkan.

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ أَنَّ رَجُلًا خَطَبَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ رَشَدَ وَمَنْ يَعْصِهِمَا فَقَدْ غَوَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِئْسَ الْخَطِيبُ أَنْتَ قُلْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Dari Adi bin Hatim -radhiyallahu anhu- bahwa seorang laki-laki berkhutbah di sisi Nabi shollallahu alaihi wasallam kemudian dia berkata: Barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya maka ia sungguh mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada keduanya maka ia telah sesat. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Seburuk-buruk khotib adalah engkau! Ucapkanlah: barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan RasulNya (H.R Muslim)

Semua itu adalah dalil yang menunjukkan begitu perhatian dan bersungguh-sungguhnya Nabi shollallahu alaihi wasallam dalam menjaga kemurnian tauhid dan memperingatkan umat dari bahaya kesyirikan serta jalan-jalan yang mengarah pada kesyirikan.

Pada bab ini akan dikemukakan juga hadits lain yang menjadi dasar tersebut.

Dalil Pertama:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari jenis kalian. Berat dirasakannya hal-hal yang menyulitkan kalian. Beliau sangat bersemangat (terhadap kebaikan) untuk kalian. Bersikap penyantun dan penyayang bagi orang-orang beriman (Q.S atTaubah ayat 128)

Penjelasan Dalil Pertama:

Suatu anugerah yang sangat besar bagi kaum beriman dengan diutusnya Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam.

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Sungguh Allah telah menganugerahkan kepada kaum beriman, ketika DIa mengutus seorang Rasul dari jenis mereka yang membacakan ayat-ayatNya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan hikmah. Padahal mereka sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata (Q.S Ali Imran ayat 164)

Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam diutus Allah kepada bangsa Arab yang orang-orang Arab telah mengenal dengan jelas. Nabi mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan sesembahan lain selain Allah. Nabi juga mengajak kepada hal-hal yang baik, akhlak yang mulya setelah sebelumnya di masa Jahiliyyah mereka banyak berbuat keburukan.

Hal tersebut sebagaimana ucapan Ja’far bin Abi Tholib ketika berbicara di hadapan Najasyi. Ja’far radhiyallahu anhu menyatakan:

أَيُّهَا الْمَلِكُ كُنَّا قَوْمًا أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ نَعْبُدُ الْأَصْنَامَ وَنَأْكُلُ الْمَيْتَةَ وَنَأْتِي الْفَوَاحِشَ وَنَقْطَعُ الْأَرْحَامَ وَنُسِيءُ الْجِوَارَ يَأْكُلُ الْقَوِيُّ مِنَّا الضَّعِيفَ فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْنَا رَسُولًا مِنَّا نَعْرِفُ نَسَبَهُ وَصِدْقَهُ وَأَمَانَتَهُ وَعَفَافَهُ فَدَعَانَا إِلَى اللَّهِ لِنُوَحِّدَهُ وَنَعْبُدَهُ وَنَخْلَعَ مَا كُنَّا نَعْبُدُ نَحْنُ وَآبَاؤُنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ الْحِجَارَةِ وَالْأَوْثَانِ وَأَمَرَنَا بِصِدْقِ الْحَدِيثِ وَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَحُسْنِ الْجِوَارِ وَالْكَفِّ عَنْ الْمَحَارِمِ وَالدِّمَاءِ وَنَهَانَا عَنْ الْفَوَاحِشِ وَقَوْلِ الزُّورِ وَأَكْلِ مَالَ الْيَتِيمِ وَقَذْفِ الْمُحْصَنَةِ وَأَمَرَنَا أَنْ نَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا نُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَأَمَرَنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ قَالَ فَعَدَّدَ عَلَيْهِ أُمُورَ الْإِسْلَامِ فَصَدَّقْنَاهُ وَآمَنَّا بِهِ وَاتَّبَعْنَاهُ عَلَى مَا جَاءَ بِهِ فَعَبَدْنَا اللَّهَ وَحْدَهُ فَلَمْ نُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا وَحَرَّمْنَا مَا حَرَّمَ عَلَيْنَا وَأَحْلَلْنَا مَا أَحَلَّ لَنَا فَعَدَا عَلَيْنَا قَوْمُنَا فَعَذَّبُونَا وَفَتَنُونَا عَنْ دِينِنَا لِيَرُدُّونَا إِلَى عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ مِنْ عِبَادَةِ اللَّهِ وَأَنْ نَسْتَحِلَّ مَا كُنَّا نَسْتَحِلُّ مِنْ الْخَبَائِثِ فَلَمَّا قَهَرُونَا وَظَلَمُونَا وَشَقُّوا عَلَيْنَا وَحَالُوا بَيْنَنَا وَبَيْنَ دِينِنَا خَرَجْنَا إِلَى بَلَدِكَ وَاخْتَرْنَاكَ عَلَى مَنْ سِوَاكَ وَرَغِبْنَا فِي جِوَارِكَ وَرَجَوْنَا أَنْ لَا نُظْلَمَ عِنْدَك أَيُّهَا الْمَلِكُ
Wahai raja, kami dulu adalah kaum Jahiliyyah menyembah berhala-berhala, memakan bangkai, berbuat perbuatan keji, memutus silaturrahmi, berbuat buruk kepada tetangga, yang kuat dari kami memakan yang lemah. Kami berada dalam kondisi itu hingga Allah utus kepada kami Rasul dari kami yang kami kenal nasabnya (garis keturunannya), kejujurannya, sikap amanah dan iffah pada dirinya. Beliau mengajak kami untuk untuk beribadah hanya kepada Allah dan melepaskan sesembahan yang disembah oleh kami dan ayah-ayah kami berupa batu dan berhala-berhala. Beliau memerintahkan kami untuk jujur dalam menyampaikan berita, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari hal yang diharamkan dan menjaga darah (orang lain). Beliau melarang kami dari perbuatan keji, ucapan palsu, memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang baik berbuat zina. Beliau memerintahkan kami untuk menyembah Allah semata tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun. Beliau memerintahkan kepada kami untuk sholat, zakat, shaum (puasa) –kemudian beliau menyebutkan perintah-perintah Nabi yang lain- selanjutnya Ja’far berkata maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikutinya. Maka kami beribadah hanya kepada Allah tidak berbuat syirik sedikitpun. Kami mengharamkan yang diharamkan kepada kami dan kami menghalalkan yang dihalalkan kepada kami. Maka dengan itu kaum kami memusuhi kami, menyiksa dan memfitnah kami dari Dien kami agar kami kembali menyembah berhala-berhala selain Allah, kembali menghalalkan yang sebelumnya kami halalkan berupa keburukan-keburukan. Ketika kaum kami itu memaksa dan mendzhalimi kami hingga berat itu kami rasakan, mereka mencegah kami dari Dien kami, maka kami keluar menuju negeri anda. Kami memilih anda bukan yang lain kami ingin berada dekat dengan anda. Kami berharap tidak didzhalimi ketika berada di sisi (dekat) anda wahai raja   (H.R Ahmad, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Albaniy dalam Shahih Fiqh Sirah)

Dalam ayat ini Allah menyebutkan 3 sifat utama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam terkait umatnya, yaitu :

🔹Pertama, merasa berat jika umatnya merasa kesulitan. Karena itu ajaran beliau adalah ajaran yang mudah dan penuh kasih sayang. Kesulitan yang terbesar yang akan dialami umatnya adalah jika umatnya terjerumus ke dalam kesyirikan. Itu adalah kerugian di dunia dan di akhirat. Karena itu beliau shollallahu alaihi wasallam menutup semua celah menuju ke arah kesyirikan.

🔹Kedua, sangat bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada umatnya.

🔹Ketiga, penyantun dan penyayang kepada kaum beriman.

〰〰〰

Dalil Kedua:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan, dan janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied (tempat yang selalu berulang dikunjungi), bersholawatlah (di manapun kalian berada) karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada (H.R Abu Dawud, dinyatakan sanadnya shahih oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, dihasankan Ibnul Qoyyim, dishahihkan al-Albaniy)

Penjelasan Dalil Kedua:

Penjelasan dan pelajaran terkait hadits ini, di antaranya:

1.Jangan menjadikan rumah kita sebagai kuburan yang sepi dari sholat sunnah, dzikir, dan baca Quran. Makmurkan rumah dengan aneka ibadah agar ia tidak menjadi seperti kuburan.

2.Jangan menjadikan kuburan beliau sebagai ‘ied, yaitu tempat yang selalu berulang dikunjungi dalam periode tertentu, apakah setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, atau setiap tahun.

Ini adalah poin penting yang sesuai dengan bab ini. Nabi shollallahu alaihi wasallam sangat perhatian dengan masalah ini. Beliau tidak ingin kuburannya dijadikan tempat berziarah yang secara periodik selalu dikunjungi. Karena hal itu dikhawatirkan bisa menjerumuskan umatnya untuk mengkultuskan kuburan beliau berlebihan hingga menjadikan kuburan itu sebagai sesembahan selain Allah. Sebagaimana hadits yang telah dikemukakan di bab sebelumnya (Bab ke-21).

3.Bersholawatlah kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam di manapun kita berada. Tidak harus di sisi kubur beliau, karena di manapun kita bersholawat kepada beliau akan sampai kepada beliau dan kita mendapat keutamaannya.

Bersholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam hendaknya dengan lafadz-lafadz yang telah dituntunkan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam, tidak mengada-adakan dengan pujian yang berlebihan terhadap beliau.

Dalil Ketiga:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ ، أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً يَجِيءُ إلَى فُرْجَةٍ كَانَتْ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَيَدْخُلُ فِيهَا فَيَدْعُو فَدَعَاهُ ، فَقَالَ : أَلاَ أُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ أَبِي ، عَنْ جَدِّي ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَلاَ بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ وَتَسْلِيمَكُم يَبْلُغُنِي حَيْثُ مَّا كُنْتُمْ
Dari Ali bin al-Husain bahwasanya dia melihat seseorang yang datang ke celah yang berada di sisi kubur Nabi shollallahu alaihi wasallam kemudian dia masuk dan berdoa di sana. Maka Ali bin al-Husain memanggilnya dan berkata: Maukah engkau aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam? Beliau bersabda: Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied (tempat yang terus berulang dikunjungi dalam periode tertentu). Dan jangan kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Bersholawatlah kepadaku, karena sholawat dan salam kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada (H.R adh-Dhiyaa’ al-Maqdisi dalam al-Mukhtaaroh, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya)

Penjelasan Dalil Ketiga:

Hadits ini dihasankan oleh al-Hafidz as-Sakhowy (murid al-Hafidz Ibnu Hajar), sebagaimana dijelaskan dalam al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘ala habiibisy Syafii’ halaman 228.

Hadits ini matannya sama dengan hadits sebelumnya. Namun, ada tambahan kisah pemberian nasehat dari Ali bin al-Husain bahwa berdoa di sisi makam Nabi shollallahu alaihi wasallam tidaklah disyariatkan. Beliau menegurnya dan menyampaikan hadits tersebut. Hadits ini menunjukkan bahwa sikap para Ulama Salaf mengingkari perbuatan orang yang bertawassul pada kuburan Nabi atau orang sholih.
Sangat banyak hadits-hadits yang dikutip dan disebar tentang tawassul di kubur Nabi dan orang sholih, namun hadits-hadits tersebut dijelaskan oleh para Ulama Ahlul Hadits sebagai hadits-hadits yang lemah atau palsu yang tidak bisa dijadikan sebagai dalil/landasan.

〰〰〰

📝 Disalin dari Draft Buku "Tauhid, Anugerah yang Tak Tergantikan (Syarh Kitabit Tauhid)".
>〰〰〰〰〰〰〰
Salafy Kendari || https://telegram.me/salafykendari/

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi