Cara Menetapkan Masuknya Bulan Ramadhan

✅ PEMBAHASAN KITAB SHIYAM DARI BULUGHUL MAROM
—----------------—

✳️ HADITS KETIGA DAN KEEMPAT
(Cara Menetapkan Masuknya Bulan Romadhon)

▶️ HADITS KETIGA
Dari Shahabat Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘anhu; Beliau mengatakan: “Aku pernah mendengar Rasulullah Shollallahu ‘alaihi waSallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Jika kalian telah melihatnya (yakni hilal Romadhon), berpuasalah Kalian! Dan jika kalian telah melihatnya (yakni hilal Syawwal), berbukalah kalian (maksudnya ber-Idul Fithri). Jika (hilal) tertutup awan, tentukanlah (jumlah)nya.”

Dalam riwayat Muslim (lafadznya):

فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ .
“Jika (hilal) tertutup awan, maka tetapkan (jumlah)nya menjadi 30 (hari).”

Dalam riwayat Al-Bukhori (lafadznya):

فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi 30 (hari).”

▶️ HADITS KEEMPAT

Dari Shahabat Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu, dalam riwayat Al-Bukhori (dikatakan);

فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Maka sempurnakanlah bilangan (bulan) Sya’ban menjadi 30 (hari).”

〰〰〰〰

✳️ CATATAN: Kami sebutkan hadits ketiga dan keempat dalam satu pembahasan, karena kedua hadits tersebut saling berkaitan.

✳️ TAKHRIJ HADITS
 Hadits yang ketiga diriwayatkan dari shahabat Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘anhuma oleh al-Bukhori no.1900,1907, Muslim no.1080-(4), 1080-(7), 1080-(8), Ahmad no.6323, an-Nasa’i no.2120, Ibnu Majah no.1654, Al-Hakim dalam Al-Mustadrok no.1539, dan selain mereka.

 Lafadz tambahan Muslim terdapat pada Shohih Muslim no.1080-(4)

 Lafadz tambahan Al-Bukhori terdapat pada Shohih Al-Bukhori no.1907.

 Hadits yang keempat diriwayatkan dari Shahabat Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu oleh Al-Bukhori no. 1909.

✅ MAKNA KOSAKATA

1.Hilal artinya bulan sabit, bulan yang terbit pada tanggal satu bulan Qomariyah. (KBBI)

2.Kata “hilal” dalam tanda kurung; bertujuan memperjelas makna kata ganti di dalam hadits.

 Hal ini berdasarkan beberapa riwayat yang menyebutkan lafadz “hilal” dengan jelas. Di antaranya dalam Shohih Muslim no.1080-(7), Rasulullah Shollallahu ‘alaihi waSallam bersabda:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا
“Satu bulan ada 29 (hari), Jika kalian telah melihat hilal (Romadhon); berpuasalah kalian!”

3.Kata “ فَاقْدُرُا لَهُ” artinya “tentukanlah (jumlah)nya”.
 Makna lafadz ini diperjelas dengan riwayat-riwayat yang disebutkan setelahnya:

 Dalam shohih Muslim no. 1080-(4), “maka tetapkan (jumlah)nya menjadi 30 (hari).”

 Dalam Shohih Al-Bukhori no.1907,“maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi 30 (hari).”

 Dalam Shohih Al-Bukhori no.1909 hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu,
فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“maka sempurnakanlah bilangan (bulan) Sya’ban menjadi 30 (hari).”

 “Tidak diragukan lagi, bahwa orang yang paling tahu dengan (maksud) ucapan adalah yang mengucapkannya.” Kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rohimahullah. (Lihat Fathu Dzil-Jalal 3/175)

▶️ Sehingga makna "tentukanlah (jumlah)nya" adalah menyempurnakan jumlah hari menjadi 30, jika hilal tertutup sesuatu. 

Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi waSallam dalam riwayat-riwayat tersebut..

〰〰

✳️ PENJELASAN HADITS

▶️ Di dalam hadits ini Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kita –umat Islam- untuk berpuasa romadhon jika hilal ramadhan terlihat. Dan memerintahkan kita untuk berbuka –berhari raya Idul Fithri- jika hilal Syawwal terlihat.

Apabila hilal tertutup sesuatu; baik hilal Romadhon maupun Syawwal, maka jumlah bulan digenapkan menjadi 30 hari. Yang demikian itu bertujuan untuk menghilangkan keragu-raguan dan kebingungan, sehingga mereka berada di atas keyakinan (tatkala menjalankan ibadah Puasa maupun ber-Idul Fithri, pen). (Lihat Fathu Dzil-Jalal 3/176)

✳️ FAEDAH-FAEDAH HADITS

1.Puasa di bulan Romadhon wajib dilaksanakan jika hilal Romadhon telah terlihat. Demikian pula dengan berbuka (Hari Raya Idul Fithri) wajib diselenggarakan jika hilal Syawwal telah terlihat. (Lihat Taudhihul Ahkam 3/138)

 hukum wajib diambil dari lafadz perintah yang disebutkan di dalam hadits, serta dalil-dalil lain yang semakna.

2.Pelaksanaan ibadah puasa Romadhon dan penetapan hari raya Idul Fithri tergantung rukyatul hilal (pengamatan hilal). Artinya, puasa Romadhon dimulai jika hilal Romadhon telah terlihat, demikian pula hari raya Idul Fithri diselenggarakan jika hilal Syawwal telah terlihat.

 Pengamatan hilal boleh dilakukan dengan mata telanjang, ataupun dengan bantuan alat, semisal: teropong maupun teleskop. (Lihat Fathu Dzil-Jalal 3/177 & Taudhihul Ahkam 3/138)

Hal ini sesuai zhohir hadits yang bersifat umum, tidak dikhususkan dengan mata telanjang saja. (Lihat Fathu Dzil-Jalal 3/177)

3.Dianjurkan menyebarkan berita tentang masuknya bulan Romadhon  seluas dan secepat mungkin. (Taudhihul Ahkam 3/138)

4.Syariat ini –alhamdulillah- tidak membiarkan celah yang bisa membingungkan umat. Faedah ini diambil dari lafadz (yang artinya); “Jika hilal tertutup awan, maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi 30 (hari).”

▶️ Bayangkan jika tidak ada solusi, tatkala hilal tidak terlihat. Bisa jadi kita akan mengatakan, “Jangan-jangan hilal muncul tapi di balik awan”, atau “bisa jadi hilal muncul tapi tertutup gunung”, atau “tertutup debu (asap)” (walhasil, akan muncul kebingungan, pen).

▶️ Solusi tersebut menghilangkan kebingungan tadi untuk selamanya. Sehingga ketika didapatkan kondisi hilal tak terlihat, kita tinggal menggenapkan jumlahnya menjadi 30 hari, tanpa harus bingung lagi. (Lihat Selengkapnya pada kitab Fathu Dzil-Jalal 3/179-180)

5.Faedah berikutnya: “Bangunan di atas pondasi lebih diperhitungkan”, diambil dari lafadz (yang artinya): “Tentukanlah (jumlah)nya.”  atau “Sempurnakanlah bilangan (bulan) Sya’ban menjadi 30 (hari).” (Fathu Dzil-Jalal 3/180)

 (maksud dari istilah ini adalah hukum yang dibangun di atas pondasi keyakinan, tidak bisa digeser dengan hukum yang dibangun di atas keragu-raguan, pen)

Contoh Kasus: Saat hilal Romadhon tak terlihat pada tanggal 29 Sya’ban karena tertutup mendung. Keyakinan berada di bulan Sya’ban sampai tanggal 30 belum bisa tergeser, karena masuknya bulan Romadhon masih diragukan.

Oleh karena itu, hukum asal akan tetap berlaku sampai keadaannya dipastikan telah berubah. (Lihat selengkapnya pada kitab Fathu Dzil-Jalal 3/180)

6.Faedah berikutnya; “Hisab Falaky (atau perhitungan astronomi (*)) tidak boleh dijadikan sandaran dalam penentuan hilal (awal bulan), dan bahkan tidak sah jika hukum-hukum terkait disandarkan kepadanya.

Karena hanya rukyatul hilal sandaran dalam penentuan masuknya awal bulan yang sesuai dengan syari’at. Sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Bassam Rohimahullah. (Lihat Taudhihul Ahkam 3/139)

(*) Astronomi adalah ilmu tentang matahari, bulan, bintang, dan planet-planet lainnya; disebut pula dengan ilmu falak. (KBBI)

Beliau kemudian menukilkan penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahullah, “Tidak diragukan lagi, bahwa di dalam sunnah yang shohih dan atsar-atsar Shahabat (yakni kesepakatan mereka (**), pen) telah ditetapkan ketidak bolehan penyandaran kepada hisab (perhitungan astronomi).
(Sehingga) Orang yang menyandarkan penentuan hilal (awal bulan) kepada hisab (perhitungan astronomi), (bisa dikatakan) dia telah berbuat bid’ah di dalam agama; sebagaimana dia tersesat di dalam syari’at,... (Taudhihul Ahkam 3/139; & Lihat pula Al-Fatawa Al-Kubro; 2/464, Majmu’ Fatawa 25/207)

(**) Kata “kesepakatan” tercantum di dalam Al-Fatawa Al-Kubro dan Majmu’ Fatawa.

✳️ Berikut ini dalil yang dibawakan Syaikhul Islam Rohimahullah, kami cantumkan teks lengkapnya beserta penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar Rohimahullah:

1.Hadits dari Shahabat Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi waSallam pernah bersabda:

إنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَ لَا نَحْسُبُ،  الشَّهْرُ هكَذَا و هكَذَا و هكَذَا ، -وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ-، و الشَّهْرُ هكَذَا و هكَذَا و هكَذَا ، -يَعْنِي تَمَامَ ثَلَاثِينَ-.
“Sesungguhnya kami adalah masyarakat yang ummi (buta huruf (***); yang tidak bisa menulis dan berhitung. Satu bulan (ada) sekian, sekian, dan sekian, -beliau melipat jempolnya pada hitungan ketiga- (mengisyaratkan 29 hari, pen), atau Satu bulan (ada) sekian, sekian, dan sekian, -yakni sempurna 30 hari-.” (HR. Al-Bukhori no.1913 dan Muslim no.1080-(15), dengan lafadz Muslim.)

(***) Tidak bisa baca tulis.

2.Hadits dari Shahabat Ibnu ‘Umar dan Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi waSallam pernah bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (yakni hilal Romadhon), dan berbukalah kalian karena melihatnya (yakni hilal Syawwal)” (HR. Al-Bukhori no.1909 dan Muslim no.1080-(4), 1080-(18), 1080-(19))

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rohimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari “berhitung” di sini adalah perhitungan astronomi (atau hisab falaky). Dimana saat itu, orang yang mengenalnya sangat sedikit sekali.

▶️ (Bukan perhitungan bilangan, buktinya pada lafadz: “sekian, sekian, sekian” Rasulullah Shollallahu ‘alaihi waSallam menunjukkan bilangan 29 dan 30, pen)

Oleh karena itu, hukum puasa dan yang semisalnya dikaitkan dengan rukyatul hilal, agar mereka (kaum muslimin) terbebas dari kesulitan mempraktekkan ilmu hisab (astronomi). (Fathul Bari 4/127)

☑️ Kita dapatkan penjelasan dalam hadits, bahwa Rasulullah Shollallahu ‘alaihi waSallam tidak memerintahkan kita untuk bertanya kepada ahli hisab (astronomi) tatkala hilal tak terlihat, namun yang beliau perintahkan adalah menggenapkan jumlah hari menjadi 30. (Lihat selengkapnya di Fathul-Bari 4/127)

Sehingga seluruh kaum muslimin berkesempatan untuk melihat hilal.

7.“Apakah diharuskan bagi setiap muslim untuk melihat hilal secara  serentak?”

Pertanyaan tersebut merupakan pendalaman masalah dari lafadz:

“ وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا ”
“Jika kalian telah melihatnya (yakni hilal Romadhon), berpuasalah Kalian!”

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rohimahullah menjelaskan, "Bahwa maksud yang dimaukan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dari lafadz tersebut adalah,  “Jika “kalian” (yakni kaum muslimin) telah melihat hilal sesuai dengan ketentuan syariat (*).”

‼️ (Jangan sampai kita memahami bahwa setiap muslim harus melihat hilal, pen)

Karena jika diharuskan bagi setiap muslim untuk melihat hilal, niscaya orang buta akan terkecualikan, karena dia tidak mampu melihat.

(*) Ketentuan syariat yang dimaksud adalah hilal harus terlihat oleh minimal dua orang (muslim). (Fathu Dzil-Jalal 3/177)

☑️ Dalil yang menunjukkan ketentuan tersebut terdapat dalam hadits riwayat Ahmad no.18895 dan An-Nasa`i no.2116:

وَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ مُسْلِمَانِ، فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Jika (ada) dua orang muslim yang menyaksikan (hilal), maka berpuasalah dan (atau) berbukalah!”.
(Hadits ini diriwayatkan dari beberapa Shahabat Nabi tanpa disebutkan namanya. Dan dinyatakan Shohih oleh Asy-Syaikh Al-Albani Rohimahullah di dalam kitab Shohih Al-Jami’ no. 3811 dan Al-Irwa` no.909).

Catatan: Terjadi khilaf (silang pendapat) di kalangan para Ulama; Jika yang berhasil melihat hilal hanya satu orang saja. Insya Allah pembahasan ini akan kita bahas pada pelajaran hadits berikutnya.

(Lihat selengkapnya penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rohimahullah di kitab Fathu Dzil-Jalal 3/177)

8.“Apakah seluruh kaum muslimin di dunia ini harus berpuasa; jika hilal terlihat di satu tempat (matlak (*))?”

(*) Matlak adalah daerah tempat terbit matahari, terbit fajar, atau terbit bulan. (KBBI)

Pertanyaan tersebut juga merupakan pendalaman masalah dari lafadz: “Jika kalian telah melihatnya (yakni hilal Romadhon), berpuasalah Kalian!”

✳️ Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rohimahullah menjelaskan, "Bahwa dalam permasalahan ini ada tiga pendapat yang memiliki bobot (sisi pendalilan, pen).

1.Pendapat Pertama: Jika hilal terlihat di satu matlak; maka hukum terkait (seperti: puasa Romadhon dan Idul Fithri, pen) juga berlaku bagi kaum muslimin (di seluruh dunia); di manapun mereka berada. (Istilahnya: Satu matlak untuk seluruh dunia, pen).

2.Pendapat Kedua: Jika hilal terlihat di satu tempat; maka hukum terkait hanya berlaku bagi mereka yang matlak-nya sama.

3.Pendapat Ketiga: Jika hilal terlihat di suatu negara (dalam pemerintahan yang sama, pen); maka hukum terkait hanya berlaku bagi mereka yang tinggal dalam satu negara tersebut. Pendapat ini sering diamalkan pada masa sekarang ini. (Lihat Fathu Dzil-Jalal 3/179)

✔️ Adapun Pendapat yang benar adalah pendapat kedua, menurut Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rohimahullah; Yang menyatakan jika hilal terlihat di satu matlak; maka hukum terkait berlaku bagi mereka yang matlaknya sama. Dan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Rohimahullah, yang dikuatkan dengan zhohir Al-Qur`an dan Sunnah." (Lihat Fathu Dzil-Jalal 3/179)

Dalil dari Al-Qur`an Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa di antara kalian menyaksikan hilal awal bulan (**) (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaknya ia berpuasa pada bulan itu.” (Al-Baqoroh:185)
(**) Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/503).

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rohimahullah menjelaskan, "bahwa mereka yang tidak melihat hilal -karena beda matlak- tidak wajib berpuasa (pada saat itu)." (Lihat Fathu Dzil-Jalal 3/178)

▶️ Dalil dari As-Sunnah yang menguatkan pendapat kedua; adalah hadits tentang kisah Shahabat Kuraib Rodhiyallahu ‘anhu yang diutus bertemu Mu’awiyah Rodhiyallahu ‘anhu di Syam oleh Ummul-Fadhel binti Harits Rodhiyallahu ‘anha. (Ringkas cerita) Hilal Romadhon terlihat di Syam pada malam Jum’at. Sedangkan di Madinah hilal Romadhon terlihat pada malam Sabtu.

Shahabat Kuraib menyatakan: “Apakah kita tidak mengikuti rukyatul hilal yang dilakukan oleh Mu’awiyah di Syam beserta puasanya?”

Shahabat Ibnu ‘Abbas menjawab dengan tegas: “Tidak! Seperti inilah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi waSallam memerintahkan kita.” Sehingga Shahabat Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya tetap melanjutkan puasa sampai tanggal 30 atau sampai melihat hilal. (HR. Muslim no.1087-(28))

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rohimahullah menjelaskan, hadits ini adalah dalil yang jelas tentang perbedaan matlak. (Lihat Fathu Dzil-Jalal 3/178)

Permisalan yang cukup jelas terdapat dalam hadits (yang artinya); “Jika malam telah datang dari arah sini, siang telah menghilang dari tempat ini, dan matahari telah tenggelam; maka tibalah saat bagi orang berpuasa halal untuk berbuka (***).” (HR. Al-Bukhori no.1954 dan Muslim no.1100-(51), dari Shahabat ‘Umar ibnul-Khotthob Rodhiyallahu ‘anhu)

(***) Lihat Fathul-Bari (4/197).

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rohimahullah menjelaskan (Tentang hadits tadi); Tatkala matahari terbenam pada  matlak suatu kaum; Hal itu tidak menjadikan kaum lain yang beda matlak boleh berbuka; karena matahari masih di hadapan mereka. (Lihat Fathu Dzil-Jalal 3/178)

Sehingga perbedaan matlak merupakan perkara yang jelas dan diperhitungkan.

Wallahu A’lam Bisshowaab

〰〰➰〰〰
 Warisan Salaf menyajikan Artikel dan Fatawa Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah
 Channel kami https://bit.ly/warisansalaf
 Situs Resmi http://www.warisansalaf.com

23/05/2016
24/05/2016
25/05/2016
27/05/2016
28/05/2016

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi