إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَمَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ
“Hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 45)
Sebagai pembawa ajaran akhlak yang paling luhur, beliau shallallahu ‘alaihi wa salam sendiri berada pada puncak kemuliaan akhlak. Hal ini sebagaimana persaksian Rabbnya ‘azza wa jalla,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤
“Dan sungguh engkau di atas akhlak yang agung.” (al-Qalam: 4)
Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam , istri beliau Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab,
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Maknanya, menurut al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berpegang dengan al-Qur’an dalam perintah dan larangan yang ada di dalamnya. Beliau menjadikan aturan al-Qur’an sebagai perilaku dan akhlak beliau. Beliau meninggalkan tabiat asli beliau (apabila tidak sesuai dengan al-Qur’an). Jadi, apa saja yang diperintahkan oleh al-Qur’an, beliau lakukan. Sebaliknya, apa saja yang dilarang oleh al-Qur’an, beliau tinggalkan.
Hal ini bersamaan dengan tabiat asli beliau berupa akhlak yang agung yang Allah subhanahu wa ta’ala jadikan ada pada diri beliau, seperti sifat malu, dermawan, pemberani, mudah memaafkan, sangat penyabar, dan seluruh akhlak yang indah. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mempersaksikan, sebagaimana ternukil dalam ash-Shahihain,
“Aku melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam selama sepuluh tahun. Tidak pernah beliau berkata ‘uf’[1] kepadaku sama sekali. Tidak pula beliau berkata terhadap sesuatu yang telah aku lakukan, ‘Mengapa kamu lakukan itu?’ Tidak pula berkomentar terhadap sesuatu yang belum kulakukan ‘Mengapa kamu tidak melakukannya?’.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa salam adalah manusia yang paling bagus akhlaknya. Aku tidak pernah menyentuh sutra dan sesuatu yang lain, yang lebih halus daripada telapak tangan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa salam. Belum pernah pula aku mencium wangi misik dan tidak pula minyak wangi lain, yang lebih harum daripada keringat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.” (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 8/150)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjanjikan kecintaan beliau dan kedekatan majelis dengan beliau di hari kiamat kelak bagi orang yang terbaik akhlaknya. Sahabat yang mulia, putra dari sahabat yang mulia, Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, menyampaikan berita ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ وَأَقْرَبِكُمْ مِنّيِ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحْسَنُكُمْ أَخْلاَقًا
“Sungguh, orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat majelisnya denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. at-Tirmidzi, ash-Shahihah no. 791)
Lebih dari itu, berperilaku dengan akhlak yang baik menyebabkan seorang hamba dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Usamah bin Syarik radhiallahu ‘anhu memberitakan,
كُنَّا جُلُوْسًا عِنْدَ النَّبِيِّ كَأَنَّمَا عَلَى رُؤُوْسِناَ الطَّيْرُ، مَا يَتَكَلَّمُ مِنَّا مُتَكَلِّمٌ،إِذْ جَاءَ أُنَاسٌ فَقَالُوْا: مَنْ أَحَبُّ عِبَادِ اللهِ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: أَحْسَنُهمْ خُلُقًا
“Kami tengah duduk-duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, seakan-akan di atas kepala-kepala kami ada burung yang hinggap[2]. Tidak ada seorang pun dari kami yang berbicara. Tiba-tiba ada orang-orang yang datang lalu bertanya, ‘Siapakah di antara hamba-hamba Allah yang paling dicintai oleh-Nya?’ Nabi menjawab, ‘Yang paling bagus di antara mereka akhlaknya’.” (HR. ath-Thabarani, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 432 dan Shahih al-Jami’ no. 179)
Bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencintai pelakunya, sementara Dia subhanahu wa ta’ala mencintai akhlak yang tinggi dan membenci yang sebaliknya?!
Dari Sahl bin Sad radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأَخْلاَقِ وَيَكْرَهُ سَفَاسِفَهَا
“Sesungguhnya Allah mencintai akhlak yang tinggi dan membenci akhlak yang rendah/hina.” (HR. al-Hakim, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 1378 dan Shahih al-Jami’ no. 1889)
Kebaikan Islam seseorang pun dikaitkan dengan kebagusan akhlaknya. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
خَيْرُكُمْ إِسْلاَمًا أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا إِذَا فَقُهُوْا
“Sebaik-baik keislaman seseorang dari kalian adalah yang paling bagus dari kalian akhlaknya, jika mereka faqih.” (HR . al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 3312)
Makna “ jika mereka faqih”, diterangkan oleh al-Munawi rahimahullah, “Jika mereka memahami perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala (taat dalam perintah tersebut) dan larangan-larangan-Nya (menjauhi apa yang dilarang-Nya), serta berjalan di atas manhaj al-Kitab dan as-Sunnah.” (Faidhul Qadir, 3/500)
Satu lagi yang menggiurkan dari amalan ini, seperti yang diberitakan oleh Abud Darda radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda,
لَيْسَ شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنَ الْخُلُقِ الْحَسَنِ
“Tidak ada suatu amalan pun yang paling berat dalam timbangan (seorang hamba) daripada akhlak yang bagus.” (HR . Ahmad, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah 2/564)
Nah, bertolak dari keutamaan dan keagungan akhlak yang baik tersebut, seorang muslimah harus bersemangat untuk berhias diri dengannya. Dia bergaul dengan manusia dengan keluhuran akhlak dan kebagusan budi pekertinya, sebagaimana perintah sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam yang tersampaikan lewat dua sahabat yang mulia, Abu Dzar Jundab ibnu Junadah dan Muadz ibnu Jabal radhiallahu ‘anhuma,
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang bagus.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan dalam Shahih Sunan at-Tirmdizi dan al-Misykat no. 5083)
Maknanya, kata al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah, “Pergaulilah manusia dengan pergaulan yang Anda suka mereka bergaul denganmu seperti itu.”
Kemudian Ibnu Daqiqil ‘I ed rahimahullah membawakan hadits tentang keutamaan akhlak, lalu berkata, “Akhlak yang baik adalah sifat para nabi, para rasul, dan orang-orang terbaik dari kalangan mukminin. Mereka tidak membalas kejelekan dengan kejelekan. Mereka justru memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berlaku jelek kepada mereka.” (Syarhu al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyah, hlm. 53)
Dalam Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi (2/1654) disebutkan penjelasan hadits di atas,
“Bercampur dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik. Maksudnya, mempergauli mereka dengan pergaulan yang indah dan semisalnya, seperti berwajah cerah berseri (ketika bertemu saudara), rendah hati, lembut, ramah, tidak kaku, mencurahkan kebaikan, dan menahan diri dari mengganggu. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut diharapkan akan beroleh kesuksesan di dunia. Di akhirat kelak dia akan beruntung dan selamat.”
Oh ya, apa sebenarnya hakikat ‘akhlak yang mulia’ yang sedang kita bicarakan?
Kata al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah, “Hakikat hasanul khulq (akhlak yang baik) adalah mencurahkan kebaikan, menahan gangguan, dan wajah berseri-seri (bermuka manis).” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim)
Al-Imam al-Mujahid Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah menyifati akhlak yang baik dengan, “Wajah berseri-seri, mencurahkan segala kebaikan, dan menahan diri dari mengganggu orang lain.” (Tafsir al-Qurthubi)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyatakan, akhlak yang baik adalah bergaul dengan manusia dengan pergaulan yang indah, wajah cerah berseri, mencintai mereka, kasih sayang kepada mereka, bersabar terhadap mereka dalam apa yang tidak disukai, tidak merasa besar diri, tidak melanggar kehormatan mereka, menjauhi sikap kaku keras, marah, dan menuntut balas.
Di antara akhlak mulia ini ada yang merupakan tabiat seseorang, artinya dia terlahir dianugerahi sifat demikian. Ada pula yang diperoleh dengan mengupayakan agar dirinya bersifat demikian, melatih jiwanya dan mencontoh orang lain yang bersifat seperti itu.
Demikian dikatakan oleh al-Qadhi rahimahullah sebagaimana dinukilkan dalam al-Minhaj.
Al-Munawi rahimahullah berkata, “Akhlak yang baik adalah mencurahkan segala kebaikan, menahan diri dari mengganggu orang lain, berwajah cerah, dan tawadhu’ (rendah hati). Berita yang disebutkan dalam hadits mengandung anjuran yang besar agar seseorang berakhlak dengan akhlak yang baik. Sebab, akhlak yang baik dikaitkan dengan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala kepada pelakunya.
Sepantasnya setiap muslim berambisi besar untuk meraihnya. Dalam berita yang datang (dari Rasul) juga ada isyarat bahwa akhlak yang baik itu bisa diupayakan dan dilatih. Sebab, jika tidak demikian, niscaya perangai ini hanya khusus dimiliki orang yang memang terlahir dengan tabiat demikian. Konsekuensinya, tidak ada maknanya dorongan dan anjuran untuk bersifat dengannya….” (Faidhul Qadir)
Keterangan di atas cukuplah menjelaskan kepada kita tentang maksud akhlak yang baik menurut pandangan syariat.
Seperti yang telah dinyatakan di atas, seorang muslimah harus berhias diri dengannya. Dia tidak boleh tidak peduli terhadap akhlaknya, padahal agamanya mengutamakan urusan akhlak. Sampai-sampai dalam senandung doanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pernah meminta,
اللَّهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِي فَأَحْسِنْ خُلُقِي
“Ya Allah, Engkau telah membaguskan penciptaanku, maka mohon baguskanlah (pula) akhlakku.” (HR . Ahmad, dinyatakan sahih dalamIrwaul Ghalil no. 74)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa salam berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلاَقِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak yang mungkar.” (HR . at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Mencurahkan Segala yang Ma’ruf
Yang dimaksud dengan al-ma’ruf adalah semua yang dianggap baik oleh syariat. (at-Ta’rifat hlm. 215, al-Jurjani)
Kata Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, ma’ruf adalah
urusan yang dikenali manusia sebagai kebaikan atau yang dikenali
sebagai kebaikan menurut syariat. Apabila hal tersebut terkait dengan
ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ma’ruf adalah urusan yang dikenali kebaikannya dalam syariat. Apabila terkait dengan muamalah bersama manusia, ma’ruf berarti urusan yang dikenali kebaikannya oleh manusia.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/541)
Seorang
muslimah yang berakhlak mulia tidaklah kikir untuk berbuat baik kepada
manusia. Kebaikan yang disanggupinya, akan dia berikan kepada manusia.
Apabila
memiliki harta, dia tidak segan-segan membelanjakannya di jalan
kebaikan, dengan berinfak, bersedekah, mengeluarkan zakat, memberi makan
orang yang lapar, memberi minum orang yang dahaga, menyambung
silaturahim dengan memberi kepada karib kerabat, dan sebagainya.
Apabila
memiliki ilmu, dia ajarkan ilmu tersebut kepada manusia. Tentu saja hal
ini dilakukan setelah ia berupaya mengamalkannya. Sebab, ilmu
dipelajari untuk diamalkan dan disedekahkan dengan diajarkan kepada
sesama. Dia tidak kikir untuk memberikan faedah kepada orang lain apa
yang diketahuinya. Dia tidak merasa tersaingi ketika orang yang
diajarinya menjadi luas pengetahuannya dan menjadi lebih pandai darinya.
Apabila
memiliki kedudukan, dia gunakan untuk membantu dan memudahkan manusia
untuk beroleh hajat mereka dan mempermudah urusan mereka. Dia siap
memberikan syafaat kepada manusia agar tersampaikan kebaikan kepada
mereka dan tertolak bahaya dari mereka.
Andai
pun dia tidak memiliki harta, tidak pula ilmu dan kedudukan, tidaklah
tertutup jalan baginya untuk berbuat baik kepada manusia. Sebab, jalan
kebaikan itu banyak dan berbilang. Dia masih punya tenaga untuk bisa
membantu manusia.
Tahukah Anda, orang yang suka berbuat ma’ruf berarti dia banyak bersedekah? Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini sebagai buktinya,
كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ
“Setiap yang ma’ruf adalah sedekah.” (HR. al-Bukhari dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dan Muslim dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu )
Terkait
dengan ibadah, seluruh amalan yang dilakukan seorang hamba terhitung
sedekah. Demikian pula seluruh urusan yang dianggap sebagai kebaikan
oleh manusia merupakan sedekah. Misalnya, berbuat baik kepada orang lain
dengan harta yang kita miliki, atau dengan kedudukan yang ada pada
kita.
Termasuk
berbuat baik adalah berwajah cerah berseri ketika kita bertemu dengan
saudara kita, bukan wajah masam cemberut; berucap yang lembut ketika
berbicara dan memberikan kebahagiaan dan kegembiraan kepada orang lain.
Sampai-sampai
apabila ada orang yang duduk di sebelah kita yang bercucuran keringat,
lantas kita berikan kepadanya kipas tangan yang kita miliki, maka hal
ini teranggap sedekah.
Demikian
pula menyambut tamu dengan hangat, penuh senyuman, lalu menyegerakan
hidangan atau jamuan untuk mereka, termasuk sedekah.
Abu Musa al-Asy’ariz, menyampaikan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ. قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُوَيَتَصَدَّقُ. قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ؟ قَالَ: يُعِيْنُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوْفِ. قَالَ: أَرَأَيتَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ؟ قَالَ: يَأْمُرُ بِالْمَعرُوْفِ أَوِ الْخَيْرِ. قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَفْعَلْ؟ قَالَ:يُمْسِكُ عَنِ الشَّرِّ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ
“Wajib bagi setiap muslim untuk bersedekah.”
Abu Musa bertanya “Apa pendapat Anda apabila seseorang tidak mendapatkan sesuatu untuk bersedekah?”
Beliau
menjawab, “Dia bekerja dengan tangannya (menghasilkan sesuatu dengan
tangannya sendiri) hingga bisa memberikan manfaat kepada dirinya dan dia
bisa bersedekah.”
Abu Musa bertanya, “Apa pendapat Anda apabila dia tidak mampu?”
“Dia menolong orang yang membutuhkan,” jawab beliau.
Abu Musa bertanya, “Apa pendapat Anda apabila dia tidak mampu?”
“Dia memerintahkan yang ma’ruf atau mengajak kepada kebaikan,” jawab beliau.
Abu Musa bertanya lagi, “Apa pendapat Anda apabila dia tidak bisa melakukannya?”
Beliau menjawab, “Dia menahan diri dari berbuat kejelekan, itu adalah sedekah. “ (Muttafaqun ‘alaihi)
Intinya,
seorang muslimah yang berakhlak mulia tidaklah pernah terhalang untuk
memberikan kebaikan kepada manusia dalam bentuk apa pun, selama hal
tersebut dalam kesanggupannya.
Tidak Mengganggu Orang Lain
Akhlak mulia tidak sekadar pengakuan atau klaim, “Si Fulanah, masya Allah, akhlaknya bagus”, tetapi harus ada bukti lahiriahnya.
Salah
satu tandanya adalah tidak mengganggu dan menyakiti orang lain, baik
dengan ucapan maupun perbuatan. Oleh karena itu, seorang muslimah yang
berakhlak mulia selalu memerhatikan ucapannya ketika, jangan sampai
kalimat-kalimatnya menyakitkan dan menyinggung perasaan orang lain.
Terkadang ada muslimah yang, masya Allah, lahiriahnya
komitmen terhadap agama, rajin ibadah, dan sebagainya, tetapi ucapannya
kasar kepada saudaranya. Kalimat-kalimat yang terasa tajam menghunjam
kalbu, membentak, bersuara tinggi, sepertinya sudah biasa baginya. Akan
tetapi, tentu tidak biasa bagi orang lain yang menerimanya. Sakit!
Nasihatnya
pun terasa menyakitkan karena disampaikan di depan banyak orang, tidak
dengan diam-diam. Padahal, cara seperti itu jelas mempermalukan orang
yang dinasihati.
Ini
hanyalah sedikit contoh kekasaran lisan dan perilaku. Orang yang
seperti ini jelas tidak bisa dikatakan berakhlak mulia. Justru dia
berakhlak buruk.
Seharusnya
seorang muslimah berlaku lembut kepada saudaranya, mencintai untuk
saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya, dan menasihatinya dengan
cara yang baik, sebagai bentuk kasih sayang kepada sesama hamba yang
beriman.
Mengganggu
dan menyakiti orang yang dekat tentu lebih banyak dosanya daripada
mengganggu dan menyakiti orang yang jauh. Mengganggu tetangga lebih
besar dosanya daripada selain tetangga.
Maka
dari itu, termasuk kemuliaan akhlak seorang muslimah ialah berbuat baik
kepada tetangganya dengan tidak mengganggu mereka, baik dengan
kata-kata yang merendahkan, mengumpat, mencaci, mencela, melaknat;
maupun dengan perbuatan, seperti membuang sampah di halaman rumah
mereka, menghalangi atau menyempitkan jalan tempat mereka lalu lalang,
membuat keributan di rumah yang menimbulkan suara yang mengusik
ketenangan tetangga, apalagi pada saat istirahat mereka, dan sebagainya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيلاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman!”
Beliau ditanya, “Siapa orang yang dimaksud, wahai Rasulullah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan dan kejelekannya.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam sebuah riwayat Muslim,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak akan masuk surga, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan dan kejelekannya.”
Bayangkan! Sampai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan
keimanan bagi seorang pengganggu yang menyakiti tetangga dan memvonis
‘tidak masuk surga’. Apakah bisa dikatakan dosanya ringan? Apakah bisa
dikatakan pelakunya berakhlak baik?
Hendaknya
hal ini menjadi perhatian seorang muslimah. Jangan pernah Anda
menyakiti orang lain! Lapangkan hati Anda untuk selalu meminta maaf dan
mengakui kesalahan apabila suatu ketika anda khilaf menyakiti manusia.
Tahukah Anda, orang Islam yang seperti apa yang dipuji keislamannya?
Jawabannya ada pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin (lainnya) selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Muslim)
Dengan
demikian, tidak menyakiti orang lain dengan ucapan dan perbuatan adalah
tanda baiknya keislaman seseorang, sekaligus bukti kemuliaan akhlaknya.
Di
antara bentuk gangguan kepada manusia yang harus dihindari ialah
mengganggu penciuman mereka dengan aroma tidak sedap yang keluar dari
diri kita, baik dari tubuh maupun bau mulut kita secara khusus.
Seorang
muslimah selalu memerhatikan kebersihan mulut, tubuh, dan pakaiannya
agar tidak menebarkan aroma tidak sedap yang dapat mengganggu
orang-orang di sekitarnya. Tidak boleh muslimah berdalih, ‘Bagaimana mau
harum, sementara kita tidak boleh keluar rumah memakai minyak wangi?!’
Yang menjadi masalah bukan karena tidak boleh pakai minyak wangi. Sebab, hal ini adalah aturan Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak boleh digugat. Masalahnya terletak pada ketidakpedulian menjaga kebersihan diri dan pakaian.
Terkadang
pakaian ‘hijab’ yang dipakai keluar rumah, tidak dicuci berhari-hari
lamanya, padahal sudah dipakai berkali-kali. Tentu saja ini menciptakan
bau yang tidak sedap. Yang seperti ini akan mengganggu orang lain yang
berdekatan dengan si muslimah.
Yang naif lagi
apabila orang awam sampai mengecap ‘orang yang berhijab itu jorok dan
bau’. Padahal itu hanyalah ulah segelintir muslimah yang tidak paham
bahwa termasuk kemuliaan akhlak dan kebagusan Islam seseorang adalah
tidak memberikan gangguan kepada manusia.
Wajah Berseri-seri
Berwajah
cerah ketika bertemu saudara adalah bentuk kemuliaan akhlak seseorang.
Tidak menghadap kepada manusia terkecuali dengan wajah yang manis penuh
senyuman adalah perangai yang disenangi oleh setiap orang yang berjumpa
dengannya.
Nah,
seorang muslimah yang memerhatikan kebagusan akhlaknya tentu tidak
merasa berat untuk berwajah manis kepada manusia. Sebenarnya, ini adalah
amalan yang ringan bagi orang yang Allah subhanahu wa ta’ala mudahkan. Tidak butuh biaya dan tidak butuh berpayah-payah.
Cukup
dengan menarik wajah Anda membentuk sebuah senyuman, hal tersebut sudah
menggembirakan saudara Anda. Lanjutkanlah dengan tutur kata yang manis,
semanis senyuman yang tersungging di wajah Anda.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan suatu kebaikan walaupun (hanya dalam bentuk) engkau menemui saudaramu dengan wajah cerah berseri.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu)
Orang Beriman yang Berakhlak Mulia Akan Masuk Surga
Kita
tentu senang sekali jika ada yang mau membangun sebuah istana untuk
kita di dunia. Bagaimana lagi senangnya, bahkan bahagia yang tak bisa
diungkapkan dengan kata, jika istana itu dibangun untuk kita di surga?
Plus, letaknya di surga paling atas? Luar biasa!
Amalan
apakah gerangan yang harus kita lakukan agar mendapat sebuah rumah
(baca: istana) di surga? Hadits berikut ini jawabannya.
Abu Umamah al-Bahili radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَناَ زَعِيْمُ بَيْتٍ فِي رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبَيْتٍ فِي وَسَطِالْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا، وَبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
“Aku
menjamin sebuah rumah di bagian bawah surga bagi orang yang
meninggalkan perdebatan walaupun dia benar. Aku menjamin sebuah rumah di
bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta walaupun sekadar
main-main/bergurau. Aku menjamin sebuah rumah di bagian paling atas surga bagi orang yang bagus akhlaknya.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 273)
Penyebab terbanyak orang meraih surga adalah kemuliaan akhlak, setelah bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Memerhatikan kemuliaan akhlak adalah satu bentuk perealisasian takwa kepada Allahsubhanahu wa ta’ala. Sebab, bukankah Dia Yang Mahasuci yang memerintahkan agar hamba-hamba-Nya berakhlak mulia?
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan,
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ.وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ: الْفَمُ وَالْفَرْجُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang amalan yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga.
Beliau bersabda, “Takwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan akhlak yang baik.”
Ketika ditanya tentang sebab terbanyak yang memasukkan orang ke dalam neraka, beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinyatakan hasan dalam Shahih at-Targhib no. 2642)
Hadits di atas sangat sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تْمحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah engkau kepada Allah subhanahu wa ta’ala di
mana saja engkau berada. Susullah keburukan dengan kebaikan, niscaya
kebaikan itu akan menghapus keburukan tersebut. Dan pergaulilah manusia
dengan akhlak yang bagus.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan dalam Shahih Sunan at-Tirmdizi dan al-Misykat no. 5083)
Bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan berakhlak mulia kepada para hamba adalah dua amalan besar yang akan membahagiakan hidup Anda di akhirat kelak.
Berhiaslah dengannya, wahai muslimah! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi taufik kepada kita semua.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Kalimat kasar/hardikan yang paling ringan.
[2] Diibaratkan demikian karena tenang dan diamnya mereka.Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
26 Juli 2016
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi