Manusia vs Iblis

Setiap kenikmatan yang dirasakan oleh manusia, pasti ada yang berusaha merampas atau melenyapkannya. Demikian pula dalam perjalanannya di dunia yang tidak ringan ini, banyak musuh yang mengintai kelengahan seorang manusia, lebih-lebih seorang mukmin.
Ada musuh yang membisikkan di dalam dirinya dan mendorongnya ke jalan yang salah. Ada musuh yang tegak berdiri di hadapannya, merintangi langkahnya, atau membelokkannya ke arah yang salah. Kadang mereka bersatu padu untuk menjauhkan manusia dari tujuannya. Kadang mereka bekerja sendiri-sendiri dalam upaya untuk menggelincirkan manusia itu.
Kadang mereka menghiasi berbagai kejelekan agar terlihat indah lalu manusia tertarik untuk melakukannya. Atau, sebaliknya, membuat yang baik seakan-akan sebuah keburukan yang harus dijauhi dan dimusuhi.
Banyak hal yang merintangi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah ‘azza wa jalla. Ada dunia yang berhias secantik-cantiknya sehingga manusia terlena dan berjuang mengejarnya. Ada nafsu yang selalu mendorongnya dan tidak pernah merasa terpuaskan. Ada pula setan yang menipunya dengan janji-janji palsu, sehingga dia mengikuti bujukannya.
Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah menyebutkan, “Musuh manusia itu ada tiga; dunia, setan, dan nafsunya. Bentengilah diri dari dunia dengan zuhud terhadap dunia, dari setan dengan menyelisihi perintahnya, dan dari nafsu dengan meninggalkan syahwatnya.”[1]
Secara bahasa, musuh (‘aduw) adalah lawan dari teman, pelindung, penolong (waliy), dan bentuk jamak dari ‘aduw ialah a’da`.
Di antara musuh-musuh yang dihadapi oleh manusia, ada yang kita memang diperintahkan untuk memusuhinya, bahkan memeranginya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,

فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ

“Maka jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang menjadi musuh bagi kamu….” (an-Nisa: 92)
Ada pula golongan yang memusuhi mereka bukan sebagai tujuan utama (harus dimusuhi). Akan tetapi, kadang-kadang seseorang terpaksa harus menghadapi sikap permusuhan (gangguan –red.) dari golongan ini, sebagaimana dalam firman Allah ‘azza wa jalla,

إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ

“Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu.” (at-Taghabun: 14)[2]
Mereka (istri dan anak-anak) pada dasarnya bukanlah musuh, tetapi digolongkan sebagai musuh, karena mendorong seorang suami atau ayah melakukan pelanggaran untuk menuruti kemauan istrinya; Atau menyebabkan seorang ayah bermaksiat demi menyenangkan anak-anaknya, hingga menjerumuskannya ke dalam kebinasaan abadi.
Hanya karena permintaan istri yang ingin memiliki rumah dan perabotan mewah, kendaraan yang bagus, atau perhiasan yang mahal, seorang suami tergerak melakukan penipuan, pencurian, penggelapan, pengkhianatan, bahkan pembunuhan. Hanya karena memenuhi keinginan anak kesayangannya yang ingin tampil di hadapan teman sebayanya, sang ayah rela merampok dan membunuh.
Akhirnya dia harus menjalani hukuman had, kisas, atau penjara. Itu baru di dunia, belum lagi di akhirat.
Lebih buruk lagi dan ini terjadi demi meraih impian duniawinya, seorang ayah atau suami ‘terpaksa’ menjual manhajnya, merendahkan dirinya, dan menghinakan ilmu yang dibawanya, hingga dia terlepas dari lingkup pergaulannya dengan Ahlus Sunnah. Bahkan, ia ikut menyebarkan fitnah dan syubhat di kalangan Ahlus Sunnah serta orang-orang awam. Wal ‘iyadzu billahi.
Menurut istilah, al-‘aduw (musuh) adalah siapa saja yang berusaha mencelakakan orang lain dan melawannya hingga menjerumuskan lawannya ke dalam kerugian.[3]
Bisa juga dikatakan bahwa musuh seseorang adalah siapa saja yang merasa senang melihat kesengsaraannya dan tidak senang dengan keberhasilannya. Sebagaimana salah satu sifat orang-orang munafik yang disebutkan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya,

إِن تَمۡسَسۡكُمۡ حَسَنَةٞ تَسُؤۡهُمۡ وَإِن تُصِبۡكُمۡ سَيِّئَةٞ يَفۡرَحُواْ بِهَاۖ وَإِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ لَا يَضُرُّكُمۡ كَيۡدُهُمۡ شَيۡ‍ًٔاۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيطٞ ١٢٠

“Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Ali ‘Imran: 120)
Setelah menerangkan sifat-sifat orang munafik, yaitu mereka yang menampakkan keimanan dan kasih sayang kepada orang-orang beriman, padahal hati mereka bertolak belakang dengan apa yang mereka tampakkan, Allah ‘azza wa jalla menjelaskan pula betapa besarnya permusuhan dan kebencian mereka terhadap orang-orang mukmin.
Apabila kaum mukminin mendapatkan kesuburan, dukungan, dan pertolongan, serta bertambah banyak jumlah mereka, hal itu sangat menyusahkan dan merisaukan hati orang-orang munafik ini. Sebaliknya, jika kaum mukminin ditimpa paceklik (kekeringan, kemarau), atau dikalahkan oleh musuh, orang-orang munafik itu bergembira dan merasa senang.
Allah ‘azza wa jalla berfirman mengingatkan bahwa orang-orang munafik adalah musuh yang sesungguhnya bagi kaum mukminin,

وَإِذَا رَأَيۡتَهُمۡ تُعۡجِبُكَ أَجۡسَامُهُمۡۖ وَإِن يَقُولُواْ تَسۡمَعۡ لِقَوۡلِهِمۡۖ كَأَنَّهُمۡ خُشُبٞ مُّسَنَّدَةٞۖ يَحۡسَبُونَ كُلَّ صَيۡحَةٍ عَلَيۡهِمۡۚ هُمُ ٱلۡعَدُوُّ فَٱحۡذَرۡهُمۡۚ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُۖ أَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ ٤

“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (al-Munafiqun: 4)
Demikianlah kehidupan manusia, orang-orang beriman khususnya, dalam perjalanannya menuju Allah ‘azza wa jalla, senantiasa menghadapi musuh yang beragam. Permusuhan sampai kepada peperangan yang terjadi, akan senantiasa berlanjut hingga hari ketika Allah ‘azza wa jalla mewarisi alam semesta dan isinya.
Yang akan kita bahas pada kesempatan ini adalah permusuhan antara syaitan dan manusia. Apa sebabnya dan bagaimana bentuk permusuhan tersebut serta dari mana awalnya.
Semoga menjadi pelajaran berharga bagi orang-orang yang beriman sekaligus bekal agar selamat dari tipu daya musuh mereka, dengan izin Allah ‘azza wa jalla.
Wallahul Muwaffiq.

Siapakah Setan Itu?

Syaitan (setan, Ind.) dalam bahasa Arab adalah pecahan dari kata; شَطَن (jauh), karena (tabiatnya) jauh dari tabiat manusia dan jauh pula dari semua kebaikan, karena kefasikannya.
Ada juga yang berpendapat bahwa syaitan dari kata شَاطَ, karena diciptakan dari api.
Al-Imam Sibawaih menukil bahwa orang Arab mengatakan, تَشَيْطَنَ فُلَانٌ (SiFulan kesetanan) jika dia melakukan perbuatan syaitan (kejahatan).
Karena itulah, orang-orang Arab menamakan semua yang jahat baik manusia, jin, maupun binatang adalah syaitan.
Iblis juga makhluk ciptaan Allah ‘azza wa jalla dan termasuk kalangan jin; bahkan dia adalah nenek moyang para jin.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلۡجِنِّ فَفَسَقَ عَنۡ أَمۡرِ رَبِّهِۦٓۗ أَفَتَتَّخِذُونَهُۥ وَذُرِّيَّتَهُۥٓ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِي وَهُمۡ لَكُمۡ عَدُوُّۢۚ بِئۡسَ لِلظَّٰلِمِينَ بَدَلٗا ٥٠

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim. (al-Kahfi: 50)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ يُوحِي بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورٗاۚ

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (alAn’am: 112)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَبَا ذَرٍّ، تَعَوَّذْ بِاللهِ مِن شَيَاطِيْنِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ، فَقُلْتُأَوَ لِلْإنْسِ شَيَاطِيْنُ؟ قَالَنَعَمْ.
“Hai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari syaitan manusia dan jin.”
Aku bertanya, “Apakah pada manusia ada syaitannya?”
“Ya,” kata beliau.
Dalam Shahih Muslim, dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُفَقُلْتُيَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْأَحْمَرِ وَالْأَصْفَرِ؟فَقَالَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ.
“(Yang dapat) memutuskan shalat (ialah) wanita, keledai, dan anjing hitam.”
Aku bertanya, “Ya Rasulullah, apa urusannya anjing hitam dibandingkan yang merah dan kuning?”
Kata beliau, “Anjing hitam itu setan.” (HR. Muslim no. 510)
Syaitan adalah musuh pertama, paling utama, dan paling hebat. Paling hebat di sini, bukan karena dia tidak terkalahkan dan selalu menang, melainkan paling hebat makar, kelicikannya, dan usahanya mencelakakan manusia. Dia dan tentaranya selalu mengintai dari arah yang tidak bisa dilihat oleh manusia.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,

يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ لَا يَفۡتِنَنَّكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ كَمَآ أَخۡرَجَ أَبَوَيۡكُم مِّنَ ٱلۡجَنَّةِ يَنزِعُ عَنۡهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوۡءَٰتِهِمَآۚ إِنَّهُۥ يَرَىٰكُمۡ هُوَ وَقَبِيلُهُۥ مِنۡ حَيۡثُ لَا تَرَوۡنَهُمۡۗ إِنَّا جَعَلۡنَا ٱلشَّيَٰطِينَ أَوۡلِيَآءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ ٢٧

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (al-A’raf: 27)
Syaitan selalu menyertai manusia, karena berjalan pada diri manusia, di jalan darah mereka. Ketika manusia lalai, syaitan akan menyerang hatinya dan mulai meniupkan was-was untuk menyesatkan manusia tersebut.
Demikianlah yang diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
إنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sungguh, setan itu berjalan pada anak Adam (manusia) di jalan darahnya.” (HR. al-Bukhari [2035] dan Muslim [2175] [24] dari Ummul Mukminin Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha)

Awal Permusuhan

Ketetapan Allah ‘azza wa jalla berlaku bahwasanya manusia (Adam) dipilih oleh Allah ‘azza wa jalla sebagai khalifah di muka bumi. Setelah dia tercipta sempurna sebagai manusia, Allah ‘azza wa jalla memerintahkan para malaikat sujud kepada Adam.
Para malaikat itu semuanya sujud. Mereka tahu bahwa sujud kepada sesuatu selain Allah ‘azza wa jalla adalah dosa dan pelanggaran besar. Akan tetapi, mereka pun menyadari bahwa sujud kepada Adam adalah bukti ketaatan mereka kepada Rabb yang menciptakan mereka, yaitu Allah ‘azza wa jalla.
Tidak ada yang tersisa kecuali satu makhluk. Dengan angkuhnya dia tetap tegak berdiri. Dia enggan merendahkan kepalanya sujud kepada Adam, yang sesungguhnya sujud itu adalah tanda atau bukti dia taat kepada Allah ‘azza wa jalla yang telah menciptakannya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman menerangkan kejadian ini sekaligus mengingatkan manusia betapa besar perhatian Allah ‘azza wa jalla kepada mereka agar mereka menyadari bahwa Allah ‘azza wa jalla sesungguhnya memuliakan mereka,

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠ وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِ‍ُٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣١ قَالُواْ سُبۡحَٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ ٣٢ قَالَ يَٰٓـَٔادَمُ أَنۢبِئۡهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡۖ فَلَمَّآ أَنۢبَأَهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡ قَالَ أَلَمۡ أَقُل لَّكُمۡ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ غَيۡبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَأَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ ٣٣ وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٣٤

Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Allah berfirman, “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.”
Setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (al-Baqarah: 30—34)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,

قَالَ يَٰٓإِبۡلِيسُ مَا لَكَ أَلَّا تَكُونَ مَعَ ٱلسَّٰجِدِينَ ٣٢

Allah berfirman, “Hai Iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama mereka yang sujud itu?” (al-Hijr: 32)
Dalam ayat lain, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

قَالَ يَٰٓإِبۡلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسۡجُدَ لِمَا خَلَقۡتُ بِيَدَيَّۖ أَسۡتَكۡبَرۡتَ أَمۡ كُنتَ مِنَ ٱلۡعَالِينَ ٧٥

Allah berfirman, “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (Shad: 75)
Padahal, sujud kepada Adam ‘alaihissalam adalah perintah Allah ‘azza wa jalla,

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ أَمَرۡتُكَۖ قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ ١٢

 Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?” (al-A’raf: 12)
Demikianlah, dan dengarlah ketika dia dengan angkuh dan keras kepala memberi jawaban kepada Maharaja yang Telah Menciptakannya dari tidak ada menjadi ada; Yang Telah Memberinya Kehidupan dan Kekuatan; dia justru berkata,

قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ ١٢

Iblis menjawab, “Aku lebih baik daripadanya; Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 12)
Dalam ayat lain, Allah ‘azza wa jalla menyebutkan perkataan Iblis,

قَالَ لَمۡ أَكُن لِّأَسۡجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقۡتَهُۥ مِن صَلۡصَٰلٖ مِّنۡ حَمَإٖ مَّسۡنُونٖ ٣٣

Iblis berkata, “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah ciptakan dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (al-Hijr: 33)
Inilah awal kebenciannya kepada Adam ‘alaihissalam. Dia merasa telah melakukan pekerjaan besar, memimpin para Malaikat langit dunia untuk memerangi makhluk-makhluk yang berbuat kerusakan di muka bumi.
Ketika Adam ‘alaihissalam masih berupa tanah liat kering seperti tembikar dan terbujur di dekat pintu surga, Iblis mendekati dan menendangnya hingga sosok Adam berbunyi, “Makhluk apakah ini?”
“Kalau kamu diberi kekuasaan terhadap diriku, aku akan menentangmu. Kalau aku yang diberi kekuasaan terhadap kamu, pasti aku menindasmu,” itulah yang terbetik dalam hatinya. Demikianlah yang disebutkan dalam riwayat yang dinukil dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Setelah Adam ‘alaihissalam sempurna sebagai manusia, dia diajari oleh Allah ‘azza wa jalla nama-nama segala sesuatu. Kemudian Allah ‘azza wa jalla memerintah para malaikat untuk bersujud sebagai penghormatan kepada Adam. Namun, Iblis menolak dan enggan untuk sujud. Dia tidak rela menghinakan diri dengan menghormati manusia yang diciptakan sesudah dia dan mendapat kedudukan demikian mulia.
Akibat penolakannya, dia dikutuk dan diusir dari barisan malaikat dan dihinakan sebagaimana dalam ayat-ayat di atas. Allah ‘azza wa jalla melaknatnya dan mengusirnya dari surga, mengubah tampilan lahiriahnya menjadi sosok yang paling buruk dan mengerikan. Begitu pula batinnya, menjadi simpanan semua kekejian, kejahatan, dan keingkaran.

Awal Mula Kias
Akhirnya, dendam dan permusuhan Iblis terhadap manusia tidak pernah berhenti. Dia berusaha dengan semua yang ada padanya untuk menghancurkan manusia yang menjadi sebab dia terusir dan terlaknat. Padahal, semua itu adalah kesalahannya sendiri.
Dialah pangkal semua kejahatan yang ada di dunia ini. Dia sangat pandai memanfaatkan kelemahan manusia untuk menghancurkan dan menyeret mereka ke neraka.
Makhluk yang Allah ‘azza wa jalla ciptakan dengan kun ini merasa lebih baik dan lebih mulia dari manusia yang telah diciptakan oleh Allah ‘azza wa jalla dengan kedua Tangan-Nya yang Mahamulia lagi Mahasempurna.
Itulah kesombongan, kekibiran, tidak mau mengakui kebenaran yang sudah nyata. Dia mencoba membuat analogi tetapi salah. Di mana kesalahannya?
Para ulama muslimin menguraikan kekeliruan anggapan iblis bahwa dia lebih baik dari manusia, melalui kiasnya bahwa api lebih baik daripada tanah. Kias yang dilakukan iblis ini adalah sebuah kebodohan dan kezaliman. Kesalahan kias ini dapat dilihat dari beberapa sisi, di antaranya sebagai berikut.
  1. Kias yang diutarakannya menyelisihi nash, yaitu perintah Allah ‘azza wa jalla. Sebab, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ

“Sujudlah kamu kepada Adam,” dan semua kias yang menyalahi perintah Allah ‘azza wa jalla yang sudah jelas adalah kias yang batil.
  1. Dia salah besar karena mengakuaku bahwa api lebih baik dari tanah.
Sebab, tanah itu memiliki ketenangan, keteguhan, sifat memperbaiki, menyatukan, dan sejenisnya. Engkau letakkan padanya sebutir biji gandum, maka dia akan memberimu satu bulir gandum. Engkau letakkan sebutir biji kurma, dia akan memberimu satu pokok kurma.
Adapun api, dia bersifat gegabah, ringan, memisahkan, dan merusak. Setiap Engkau letakkan padanya sesuatu, pasti dia memisahkan dan merusaknya. Dengan sifatnya yang ringan dan gegabah, beterbanganlah berbagai kejahatan dari api itu lalu membakar semua yang di dekatnya, lalu terbang ke tempat lain membakar semua yang ada di balik itu.
Dengan demikian, tanah jauh lebih baik daripada api. Sebab itu pula, tabiat yang ada dalam api ini ikut membentuk watak iblis sehingga durhaka dan membangkang perintah Rabbnya. Sebaliknya, tabiat yang ada pada tanah, membentuk pula watak Adam sehingga meskipun mudah terjatuh dalam kekeliruan, dia segera kembali dan memohon ampunan kepada Rabbnya.
  1. Seandainya api itu lebih baik dari tanah, maka belum tentu unsur asal yang membentuk sesuatu lebih utama dari wujud yang dihasilkannya.
Kenyataannya, sangat banyak benda yang rendah nilainya berasal dari unsur asal yang lebih utama atau sebaliknya. Bukan suatu keharusan bahwa benda yang tercipta dari sesuatu yang lebih baik akan lebih baik juga. Sebab, turunannya bisa jadi memiliki kekhususan dengan sesuatu yang tidak ada pada unsur asalnya.
  1. Meski manusia itu tercipta dari tanah, dia telah menerima tiupan ruh suci yang membuatnya menjadi mulia.
  2. Manusia diciptakan oleh Allah ‘azza wa jalla dengan kedua Tangan-Nya yang mulia, sebagaimana firman-Nya,

مَا مَنَعَكَ أَن تَسۡجُدَ لِمَا خَلَقۡتُ بِيَدَيَّۖ

“Apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku.”
Kenyataan ini saja sudah menunjukkan kelebihan Adam dari seluruh makhluk yang ada sebelumnya.
  1. Andaikata pernyataan Iblis itu diterima, maka dapat dikatakan, “Penghormatan dari pihak yang lebih utama kepada yang kurang utama bukanlah sesuatu yang harus diingkari.”[4]
Akan tetapi, seperti disebutkan dalam sebuah ungkapan bahwa tidak ada yang mengetahui nilai sebuah keutamaan selain orang-orang yang memiliki keutamaan.
Penilaian Iblis terhadap dirinya sebagai sosok yang lebih baik dan mulia berganti menjadi kehinaan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

قَالَ فَٱخۡرُجۡ مِنۡهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٞ ٣٤ وَإِنَّ عَلَيۡكَ ٱللَّعۡنَةَ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلدِّينِ ٣٥

Allah berfirman, “Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk. Dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat.” (al-Hijr: 34-35)
Karena pembangkangan dan sikapnya yang pongah serta merasa besar, Allah ‘azza wa jalla melaknat dan mengusirnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

قَالَ فَٱهۡبِطۡ مِنۡهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَٱخۡرُجۡ إِنَّكَ مِنَ ٱلصَّٰغِرِينَ١٣

Allah berfirman, “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (al-A’raf: 13)
Apakah Iblis menerima begitu saja? Tidak. Dengan menantang dia berkata sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,

قَالَ أَنظِرۡنِيٓ إِلَىٰ يَوۡمِ يُبۡعَثُونَ ١٤ قَالَ إِنَّكَ مِنَ ٱلۡمُنظَرِينَ ١٥ قَالَ فَبِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأَقۡعُدَنَّ لَهُمۡ صِرَٰطَكَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ١٦ ثُمَّ لَأٓتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيۡنِ أَيۡدِيهِمۡ وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ وَعَنۡ أَيۡمَٰنِهِمۡ وَعَن شَمَآئِلِهِمۡۖ وَلَا تَجِدُ أَكۡثَرَهُمۡ شَٰكِرِينَ ١٧

Iblis menjawab, “Berikan tangguhan bagiku sampai waktu mereka dibangkitkan.”
Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguhan.”
Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukumku tersesat. Aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (al-A’raf: 14-17)
Mulanya, pernyataan iblis bahwa banyak di antara manusia yang tidak bersyukur hanya sebatas dugaan (meskipun diperkuatnya dengan sumpah, sebagai sikap optimisnya). Akan tetapi, setelah berlalu masa yang panjang, sumpah itu terbukti, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,

وَلَقَدۡ صَدَّقَ عَلَيۡهِمۡ إِبۡلِيسُ ظَنَّهُۥ فَٱتَّبَعُوهُ إِلَّا فَرِيقٗا مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢٠

“Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman.” (Saba’: 20)

Beberapa Faedah

Di dalam kisah ini ada beberapa faedah, di antaranya sebagai berikut.
  1. Pelajaran berharga tentang buruknya sifat sombong, merasa besar, dan hebat dari orang lain.
Bahkan, dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan,
لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ كَانَ في قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّة مِنْ كِبْرٍفَقَالَ رَجُلٌإنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَناً، ونَعْلُهُ حَسَنَةً؟قَالَإنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمَالَ، الكِبْرُبَطَرُ الحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya masih ada sifat kibir seberat biji sawi.”
Lalu seorang sahabat berkata, “Sesungguhnya orang itu senang pakaiannya dan sandalnya bagus?”
Kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah. Dia menyukai keindahan. Kibir ialah menolak kebenaran dan menghinakan manusia.” (HR. Muslim [no. 91 dan 147] dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
Ketika Iblis merasa besar dan sombong, dia menentang perintah Allah Yang telah Menciptakannya. Allah ‘azza wa jalla memberinya ganjaran berupa kehinaan, mengusirnya dari surga, dan menjauhkannya dari rahmat-Nya.

  1. Melalui kisah ini, tampak jelas besarnya dendam dan permusuhan Iblis terhadap manusia.
Allah ‘azza wa jalla menerangkan pula bahwa Iblis tidak serta merta menjerumuskan manusia begitu saja, tetapi dengan cara halus seakan-akan datang sebagai sosok pemberi nasihat.
Permusuhan dan dendam Iblis tidak berhenti dengan keluarnya Adam‘alaihissalam dan istrinya dari surga, bahkan diturunkan ke dunia, tetapi berlanjut sampai hari kiamat. Demikianlah pertarungan antara yang haq dan yang batil, tidak akan berhenti sampai kiamat.

  1. Iblis dan para syaitan keturunannya adalah musuh manusia yang selalu berusaha mengokohkan dorongan buruk yang ada dalam diri manusia.

Dua Tujuan Utama

Setan sangat pandai memanfaatkan kelemahan manusia. Seperti telah diuraikan pada tulisan sebelumnya, manusia mempunyai banyak kelemahan yang hakikatnya adalah penyakit yang menimpa hatinya. Akhirnya kelemahan-kelemahan itu menjadi sebagian pintu masuk setan.
Setan mempunyai dua tujuan: jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan jangka panjangnya ialah menarik manusia sebanyak-banyaknya menjadi temannya di neraka. Adapun jangka pendeknya ialah menjerumuskan manusia ke dalam kekafiran dan kesyirikan.
Dalam usahanya mencapai tujuan jangka panjang dan jangka pendek ini, setan tidak akan menyuruh manusia, “Tinggalkanlah shalat, jauhilah tauhid, kafirlah kepada Allah!” seandainya dia berbuat demikian, tentu tidak akan diikuti oleh banyak manusia. Sebab, manusia diciptakan di atas fitrahnya, mengakui keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Rabb (Yang Maha Menciptakan, Memberi rezeki dan Mengatur)nya. Tentang hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢

Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan hal itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (al-A’raf: 172)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Dia mengeluarkan anak manusia dari tulang sulbi bapak-bapak mereka, menjadikan mereka saling berketurunan, generasi demi generasi. Ketika mengeluarkan mereka dari perut ibu mereka, Allah subhanahu wa ta’ala menekankan kepada mereka Rububiyah-Nya sebagaimana telah ditanamkan-Nya dalam fitrah mereka, bahwa Dia adalah Rabb mereka, Yang Menciptakan dan Menguasai serta Memiliki mereka, “Bukankah Aku adalah Rabb (Pencipta, Pengatur, Pemberi rezeki dan Pemelihara) kamu?”
Saat itu manusia mengatakan, “Betul, kami mengakui dan bersaksi.”
Siapa pun, telah diciptakan di atas fitrah tersebut. Akan tetapi, fitrah ini bisa berubah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hadits qudsi,

إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِيَ حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْدِينِهِمْ

“Sungguh, Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus semuanya, dan sesungguhnya setan mendatangi mereka lalu menarik mereka keluar dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865 dari ‘Iyadh bin Himar radhiallahu ‘anhu)
Hadits ini menerangkan secara tegas bahwa manusia diciptakan dalam keadaan hanif (Islam dan bertauhid), tetapi setan menyeret mereka keluar dari agama mereka.
Upaya setan menyeret mereka keluar dari fitrah tersebut tidak serta-merta dengan seketika, tetapi bertahap dan berangsur-angsur, sebagaimana telah dijelaskan. Bahkan, dia akan datang dengan cara-cara yang licik, yang tidak pernah diperkirakan oleh manusia.
Di antara caranya yang keji untuk menjerumuskan manusia ke dalam kekafiran atau pelanggaran adalah dengan menampakkan seolah-olah dia sedang memberi nasihat. Dia mendatangi seorang manusia untuk mengajaknya kepada maksiat, sementara manusia itu mengira bahwa setan sedang menasihati dan mengajaknya kepada kebaikan.
Dia selalu berusaha menjegal dakwah para nabi dan rasul dengan seluruh kemampuannya. Dialah yang menjadi sebab terbunuhnya Yahya dan Zakariya ‘alaihimassalam. Dia pula yang berusaha mencelakai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melemparkan api ke wajah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga yang membantu orang-orang Yahudi menyihir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pintu-Pintu Setan

Tidak ada jalan untuk menghindar dari kejahatannya selain dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala. Kita tidak mungkin membatasi jenis-jenis kejahatannya, apalagi menyebutnya satu per satu, karena semua kejahatan di alam ini, dialah sebabnya.
Akan tetapi, mungkin dapat diringkas, menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, secara umum ada enam pintu kejahatan yang dimasukinya Sebab, dia ingin meraih kemenangan dengan menjerumuskan manusia melalui pintu-pintu kejahatan yang sebagiannya lebih sulit daripada yang lainnya. Setan tidak akan berpindah ke pintu yang lebih rendah, kecuali jika dia kesulitan untuk memasuki pintu yang di atasnya.

Pintu yang pertama adalah kekufuran dan kesyirikan serta memusuhi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Apabila dia berhasil menghancurkan manusia melalui kejahatan ini, tenanglah hatinya, redalah kesedihannya, dan dia dapat beristirahat dari kepayahannya melumpuhkan manusia. Inilah yang pertama kali diinginkannya terhadap diri manusia.
Setan tidak henti-hentinya membujuk dan merayu manusia sampai manusia itu jatuh dalam kekafiran, kesyirikan, dan permusuhan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Kalau berhasil, dia akan menjadikan manusia itu sebagai prajuritnya, bahkan menjadi pengganti setan untuk menghancurkan manusia lainnya.
Kaum musyrikin secara lahiriah terlihat menyembah patung dan berhala yang mereka buat dan mereka beri nama, tetapi sesungguhnya, mereka itu sedang beribadah kepada setan yang membuat mereka memandang indah dan baik kesyirikan tersebut.
Seandainya setan gagal dari arah ini, dia akan beralih kepada kejahatan berikutnya, yaitu…
Pintu yang kedua ialah bid’ah.[5] Termasuk pula ide-ide sempalan yang menyelisihi pemahaman dan prinsip para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Mengapa setan menjadikannya sebagai jalan kedua untuk menghancurkan manusia?
Alasannya, karena bahaya bid’ah dan dosanya sangat besar jika menimpa agama seseorang. Bahkan, hampir dapat dipastikan pelakunya sangat sulit untuk bertobat dan berhenti dari suatu kebid’ahan atau pemikiran hizbiyah, karena pelakunya merasa yakin bahwa dia sedang melakukan sebuah kebaikan atau ketaatan yang mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahul Musta’an.
Dikisahkan, di masa tabi’in terkemuka, Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah, ada yang mengerjakan shalat sunah subuh di Masjid Nabawi berulang kali. Sa’id bin al-Musayyab menegur dan menasihatinya. Akan tetapi, orang itu membantah, “Wahai Imam, apakah saya akan disiksa karena mengerjakan shalat?”
Sa’id bin al-Musayyab berkata, “Engkau tidak disiksa karena mengerjakan shalat, tetapi disiksa karena menyelisihi perintah/sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Seperti itu juga yang pernah dialami oleh al-Imam Malik rahimahullah ketika ada seseorang yang bertanya, “Wahai Abu ‘Abdillah, dari manakah saya ihram?”
 Beliau berkata, “Dari Dzul Hulaifah, dari tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ihram.”
Orang itu berkata lagi, “Saya ingin berihram dari masjid, dekat kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kata beliau, “Jangan lakukan, karena saya khawatir kamu ditimpa fitnah.”
Orang itu bertanya pula, “Fitnah apa yang ada dalam masalah ini? Bukankah saya hanya menambah jarak beberapa mil?”
Kata beliau, “Fitnah apa lagi yang lebih besar daripada kamu menganggap bahwa kamu telah bersegera menuju sebuah keutamaan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kurang mendapatkannya?! Sungguh, aku mendengar Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”[6]
Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Akan tetapi, yang dimaksud dalam hadits dan perkataan para ulama Ahlus Sunnah adalah bid’ah dalam urusan agama, bukan dunia.
Oleh sebab itu, bid’ah yang dinyatakan sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah semua ajaran yang menyelisihi dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ajakan untuk menyimpang dari ajaran yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa.
Berdasarkan tinjauan inilah, sebagian ulama salaf mengatakan, “Bid’ah itu lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan. Sebab, pelaku kemaksiatan itu, mungkin saja bertobat, sedangkan pelaku bid’ah tidak mungkin (susah) bertobat (karena merasa dirinya benar).”
Sebab itu pula, semua gagasan pemikiran atau kaidah yang menyalahi sunnah dan manhaj salaf termasuk bid’ah, yang diancam dengan neraka.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنّ اللهَ احَتَجَرَ التَّوْبَةَ على كلِّ صاحِبِ بِدْعَةٍ

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menghalangi tobat setiap pelaku bid’ah.”[7]
Wallahul Musta’an.
Kalau setan berhasil melalui jalan ini, dia akan menjadikan manusia itu sebagai wakilnya yang mengajak manusia lain kepada kebid’ahan. Andaikata dia gagal, misalnya karena manusia itu diberi anugerah kecintaan kepada sunnah dan memusuhi bid’ah dan para pengusungnya, setan akan menggunakan arah berikutnya, yaitu;
Pintu yang ketiga ialah dosa-dosa besar (al-kabair) dengan semua bentuk dan tingkat perbedaannya. Setan sangat berambisi menjerumuskan seorang manusia ke dalamnya. Terutama apabila manusia itu dikenal sebagai seseorang yang berilmu dan diikuti. Setan sangat antusias membuat manusia lari meninggalkan orang tersebut.
Jika dia berhasil menjerumuskan orang yang berilmu itu hingga melakukan dosa besar, dia akan menyebarkan dosa itu di tengah-tengah manusia, bahkan menunjuk wakil-wakilnya di antara mereka untuk menyebarkannya ke seluruh penjuru dengan dalih taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wa ta’ala, namun tanpa disadarinya dia menjadi wakil iblis.
Padahal, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١١

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (an-Nur: 11)
Inilah buahnya jika mereka senang menyebarkannya. Lalu, bagaimana jika mereka justru yang paling berperan menyebarkan aib itu tanpa memberinya nasihat, tetapi menuruti ajakan iblis agar membuat orang lari dari orang alim tersebut dan ilmunya? Adapun dosa yang dilakukan orang alim itu, meskipun sampai ke ujung langit, masih lebih ringan dalam pandangan Allah subhanahu wa ta’ala daripada perbuatan mereka.
Dosa itu adalah kezaliman terhadap dirinya sendiri, yang seandainya dia meminta ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bertobat kepada-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala menerimanya dan mengganti kejelekannya dengan kebaikan. Adapun dosa mereka yang menyebarkan aib tersebut, adalah kezaliman terhadap orang-orang yang beriman dan mencari-cari aib mereka serta sengaja ingin mempermalukan mereka.
Wallahul Musta’an.

Pintu yang keempat, yaitu dosa-dosa kecil (ash-shaghair) dan sering diremehkan. Setan akan berusaha membuat seseorang mudah dan terbiasa melakukan dosa-dosa kecil, hingga manusia itu memandang ringan perbuatannya.
Andaikata setan gagal dari arah ini, dia akan beralih kepada kejahatan berikutnya, yaitu;
Pintu yang kelima, setan akan menyibukkan manusia itu dengan hal-hal yang bersifat mubah yang tidak ada pahala dan siksa padanya. Padahal tidak juga demikian, karena di balik itu sebetulnya ada hukumannya, yaitu hilangnya pahala sesuatu yang disia-siakannya karena mengerjakan yang mubah tersebut.
Apabila manusia itu termasuk orang yang ketat memelihara waktunya, tidak membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa diisinya dengan kegiatan yang bernilai ibadah, walaupun itu adalah bergurau dengan anak dan istrinya dia juga memahami siapa dirinya, yang hanya seorang manusia, banyak salah dan lupa serta sarat dengan berbagai kelemahan dan kekurangan dia menyadari pula kenikmatan dan siksa yang ada di hadapannya sehingga menjaga dirinya dari urusan yang mubah tersebut setan berpindah kepada pintu yang berikutnya, yaitu…
Pintu yang keenam, setan berupaya menyibukkan manusia itu dengan amalan yang sifatnya kurang bernilai (mafdhul), hingga menyia-nyiakan amalan yang lebih utama (afdhal). Setan mendorongnya dan membuatnya memandang indah mengerjakan kebaikan yang kurang bernilai.
Tidak hanya itu, setan justru menyemangatinya agar berkutat dengan amalan tersebut, apabila dengan mengerjakan kebaikan tersebut ada amalan lain yang justru lebih bernilai menjadi telantar atau ditinggalkan.
Akan tetapi, kenyataan ini sangat sedikit yang menyadarinya. Sebab, kebanyakan orang mengira bahwa kebaikan yang dikerjakannya tidak mungkin atas perintah setan, karena setan tidak akan menyuruh kepada kebaikan. Sudah tentu menurut dia kebaikan ini adalah taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Inilah salah satu bukti lain akan kelemahan manusia. Dan dia dimaafkan karena ilmunya belum sampai kepada tingkatan di mana dia mampu menimbang dan memilih mana amalan yang bernilai tinggi dan mana yang tidak, meskipun sama-sama sebagai ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Betapa banyak manusia yang tidak menyadari bahwa setan membuka tujuh puluh pintu kebaikan untuk dua tujuan yang pertama agar dengan melalui pintu kebaikan itu setan menjerumuskan seorang manusia ke dalam satu kejahatan. Atau yang kedua, manusia itu kehilangan pahala yang lebih besar dan lebih utama daripada tujuh puluh kebaikan tersebut.
Wallahul Musta’an.
Apabila setan gagal menghancurkan manusia melalui enam kejahatan ini, dia akan mengerahkan pasukannya dari kalangan jin dan manusia untuk menyakiti dan mengganggu manusia tersebut. Dia akan menghasung tentaranya menyebarkan isu bahwa orang itu kafir, sesat, membuat perpecahan, dan upaya lain agar nama orang itu terkubur, tidak lagi dilirik oleh siapa pun. Dengan cara ini pula setan berusaha menyibukkan hati orang tersebut agar menyiapkan diri untuk memerangi setan dan mencegah orang lain mengambil manfaat dari ilmunya.
Oleh sebab itu, selama hidupnya, seorang mukmin harus memanggul senjata menghadapi setan dan tentaranya, sampai dia berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala.[8]
Akhirnya, dengan berbekal keyakinan, setiap saat dia harus berjihad melawan badai syubhat yang ditiupkan oleh setan. Setiap saat pula dia harus bertahan menangkis gelombang syahwat yang dibisikkan setan dengan kesabaran.[9]
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mengingatkan manusia agar waspada terhadap kejahatan dan tipu daya setan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ وَمَن يَتَّبِعۡ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأۡمُرُ بِٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۚ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ أَبَدٗا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ٢١

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 21)
Dalam hadits qudsi, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan pula,

وَإِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْعَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِى مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا

“Dan sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus, semuanya. Dan sungguh, mereka didatangi oleh para setan lalu menyeret mereka dari agama mereka, mengharamkan apa yang telah Aku halalkan untuk mereka dan memerintahkan mereka menyekutukan Aku, padahal Aku tidak menurunkan keterangan sedikit pun tentangnya.” (HR. Muslim no. 2865 dari ‘Iyadh bin Himar z)
Jadi, setanlah yang merusak fitrah manusia. Dan itulah pembuktian sumpah yang telah diucapkannya.
Apakah dengan kenyataan ini, manusia masih merelakan dirinya diperdaya oleh musuhnya?
Begitu hebat permusuhan setan terhadap manusia, sehingga membuat setiap mukmin harus senantiasa waspada melawan makarnya. Selain itu, dia juga harus senantiasa membekali dirinya dengan senjata untuk menghalau musuhnya yang satu ini.
Sudah tentu, senjata yang paling utama adalah berpegang teguh dengan Kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan sunnah Rasul-Nya di atas manhaj salaf radhiallahu ‘anhum.
Yang kedua, jangan lalai dari dzikrullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan zikir ini seperti seseorang yang dikejar musuhnya, lalu dia masuk ke dalam sebuah benteng yang kokoh dan kuat. Benteng itu adalah dzikrullah yang tingkatan pertamanya adalah;
Zikir yang bersifat lahiriah, yaitu yang terucap oleh lisan dan sejalan dengan yang di dalam hati, bukan sekadar ucapan lisan. Sebagai contoh ialah ucapan-ucapan sanjungan atau pujian dan doa, serta pengawasan.
Dalam bentuk sanjungan atau pujian misalnya, subhanallahwalhamdulillah, wala ilaha illallahu, wallahu akbar. Yang dalam bentuk doa seperti,

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ٢٣

Keduanya berkata, “Wahai Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”(al-A’raf: 23)
Contoh zikir dalam bentuk pengawasan, seperti ucapan orang yang berzikir, “Allah subhanahu wa ta’ala selalu menyertaiku, Dia melihat dan menyaksikanku,” dan sebagainya, yang digunakan untuk menghadirkan kebersamaan Allah subhanahu wa ta’ala. Di dalam tingkatan ini ada pengawasan terhadap kemaslahatan hati, mengatur adab terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, menjaga diri dari kelalaian, dan berlindung dari setan serta dorongan jiwa/nafsu.
Dan zikir-zikir nabawi meliputi tiga hal tersebut, karena zikir-zikir yang beliau ajarkan mengandung sanjungan atau pujian dan doa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, serta menunjukkan adab dan kebersamaan dengan Allah subhanahu wa ta’ala, perhatian terhadap kebaikan hati dan menjaga diri dari sifat lalai, serta berlindung dari waswas dan godaan setan.
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ٢٨

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (ar-Ra’du: 28)
Setan seperti seekor anjing kelaparan yang selalu mendekati manusia. Apabila di tangan seseorang tidak terdapat daging ataupun roti, seekor anjing akan pergi ketika dia mendengar hardikan atau bentakan orang tersebut. Akan tetapi, jika di tangan manusia itu ada makanan, roti, ataupun daging, niscaya dia tetap mendekat, bahkan berusaha keras sampai daging dan roti itu diperolehnya, tidak akan pergi hanya dengan bentakan atau hardikan.
Begitu pula halnya setan. Apabila hati seorang manusia tidak menyimpan makanan untuk setan, setan akan lari ketika manusia itu berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi, jika hati itu kosong dari zikir, bahkan terisi oleh syahwat, setan akan berdiam di sana.
Dan hakikat zikir itu tidak mungkin tertanam dalam hati kecuali jika hati itu dipenuhi oleh ketakwaan dan dibersihkan dari sifat-sifat yang tercela. Jika tidak demikian, zikir hanya sekadar gerakan bibir yang tidak menyentuh hati, sehingga tidak mungkin mampu mengusir setan.
Yang ketiga ialah tobat dan istighfar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ إِبْلِيْسُوَعِزَّتِكَ لَا أَبْرَحُ أُغْوِي عِبَادَكَ مَا دَامَتْ أَرْوَاحُهُم فِي أَجْسَادِهِمْفَقَالَ:وَعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَزَالُ أَغْفِرُ لَهُم مَا اسْتَغْفِرُونِي

Iblis berkata, “Demi Kemuliaan-Mu, aku tidak akan berhenti menyesatkan para hamba-Mu selama nyawa masih di jasad mereka.”
Allah berfirman, “Demi Kemuliaan dan Keagungan-Ku, Aku akan selalu memberi ampunan kepada mereka selama mereka meminta ampunan kepada-Ku.”
Sekali lagi, ingatlah bahwa setan telah mengumumkan permusuhannya terhadap umat manusia, maka perlakukanlah dia sebagai musuh; lawan yang setiap saat berusaha mengintai kelengahan kita untuk mencelakakan kita.
Orang yang berakal (sehat) tentu tidak akan membiarkan dirinya dikelabui apalagi dikalahkan oleh lawannya. Lebih-lebih lagi apabila lawannya lebih rendah dari dirinya. Orang yang cerdas tentu akan berusaha melumpuhkan lawannya. Bukan menjadikannya teman dekat, lebih-lebih sebagai penasihat yang ditaati.
Wallahul Muwaffiq.
 
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] Ihya ‘Ulumiddin (3/71).
[2] al-Mufradat (226—227).
[3] adz-Dzari’ah (259).
[4] Secara ringkas dari Mudzakkirah asy-Syaikh asy-Syinqithi (hlm. 269—271) dan Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah (15/5).

[5] Yaitu perkara baru yang dibuat-buat di dalam urusan agama, menyerupai ajaran agama, dengan tujuan berlebih-lebihan dalam mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi, bukan bid’ah dalam urusan dunia, sebagaimana anggapan sebagian kaum muslimin.
[6] Lihat Dzammul Kalam karya al-Harawi dan al-I’tisham karya asy-Syathibi, sebagaimana dinukil oleh asy-Syaikh al-Albani dalam adh-Dha’ifah (1/377).
[7] HR. ath-Thabarani dari Anas radhiallahu ‘anhu dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ (no. 1699).
[8] Dari uraian Ibnul Qayyim dalam Badai’ul Fawaid dengan beberapa perubahan.
[9] Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim dengan ringkas.

Sumber : Asy Syariah Edisi 105, Ibrah 
24 September 2015

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi