Pendapat-pendapat Yang Dipilih Oleh Asy Syaikh Ahmad Bin Yahya An Najmy Dalam Beberapa Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Puasa Dari Kitab Beliau Ta'sisul Ahkam

الدين القيم:
PENDAPAT-PENDAPAT YANG DIPILIH OLEH GURU KAMI ASY SYAIKH AL ALLAMAH AHMAD BIN YAHYA AN NAJMY حفظه اللّٰه* DALAM BEBERAPA PERMASALAHAN YANG BERKAITAN DENGAN PUASA DARI KITAB BELIAU TA'SISUL AHKAM
✍DITULIS OLEH ASY SYAIKH DR. ALI BIN YAHYA AL HADDADY حفظه اللّٰه
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد :
Ini beberapa pendapat yang dipilih oleh guru kami Asy Syaikh Al Allamah Al Muhaddits Al Faqih Al Walid Ahmad Bin Yahya An Najmy حفظه الله yang berkaitan dengan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan puasa dan perkara-perkara yang mengikutinya dimana beliau menyebutkan pendapat-pendapat yang beliau pilih ini dalam syarh (penjelasan) beliau terhadap Umdatul Ahkam sesuai dengan yang ada di cetakan pertama yang dicetak oleh Darul Minhaj di Mesir tahun 1427 H dengan mengalihkan pandangan pembaca yang mulia kepada pembuatan poin-poin dan ungkapan-ungkapan buatanku dan aku tidak mengharuskan untuk menggunakan ungkapan-ungkapan syaikh حفظه الله تعالى* namun aku berusaha untuk tidak menyelisihi makna ungkapan-ungkapan syaikh, wallahul muwaffiq.
1.Definisi paling bagus untuk puasa ialah : seorang muslim yang berakal atau wanita muslimah yang berakal yang terbebas dari haidh dan nifas menahan dari makan dan minum serta syahwat kemaluan semenjak terbitnya fajar yang kedua hingga terbenamnya matahari dengan niat beribadah.

2.Haram hukumnya berpuasa di hari syak (tanggal 30 Sya'ban) dengan niat menyambut bulan Ramadhan.

3.Tidak mengapa berpuasa di hari syak bagi yang memiliki kebiasaan puasa yang ia amalkan seperti orang yang biasa melakukan puasa senin lalu hari senin bertepatan dengan hari syak.

4.Barangsiapa yang berpuasa di hari syak dengan puasa yang biasa ia amalkan sebelumnya lalu ternyata diketahui bahwa hari tersebut adalah hari awal Ramadhan maka wajib baginya mengqadha.

5.Yang dijadikan sandaran dalam hal ru'yah ialah ru'yah dengan mata dan tidak boleh bersandar dengan hisab falak dan tidak boleh pula bersandar kepada ru'yah menggunakan mikroskop.

6.Masuknya bulan Ramadhan ditetapkan dengan persaksian satu orang yang adil dan cukup seseorang dikatakan adil apabila ia adalah seorang muslim. Adapun keluarnya bulan Ramadhan maka harus dengan persaksian dua orang.

7.Makan sahur hukumnya mustahab (sunnah) dan wajib makan sahur apabila seseorang mendapatkan mudharat kalau meninggalkannya.

8.Apabila fajar terbit sebelum seseorang mandi janabah dengan sebab jima' atau ihtilam (mimpi basah) maka ia tetap berpuasa dan puasanya sah.

9.Apabila fajar terbit sebelum wanita haidh mandi dalam keadaan ia telah suci dari haidhnya sebelum terbitnya fajar maka ia tetap berpuasa dan puasanya sah sama saja ia menyengaja menunda untuk mandi atau tidak.


11.Puasa tidak batal dengan sebab makan atau minum karena lupa.

12.Barangsiapa yang melakukan jima' karena lupa maka batal puasanya dikarenakan lupa dalam hal ini tidak mungkin tergambar sebab ia merupakan perbuatan dimana dua orang berserikat dalam melakukannya dan membutuhkan hal-hal yang mendahuluinya seperti menutup pintu, melepas pakaian dan semisalnya. Dan wajib baginya menunaikan kaffarah.

13.Barangsiapa yang melakukan maksiat yang tidak ada hukuman had padanya dan ia datang dalam rangka meminta fatwa maka ia tidak  dihukum (oleh penguasa).

14.Barangsiapa yang melakukan jima' maka wajib baginya menunaikan kaffarah, dan ada yang mengatakan bahwa tidak wajib kaffarah baginya dan ini merupakan pendapat yang syadz (ganjil) dan tidak bisa dipegangi.

15.Berurutan dalam menunaikan kaffarah hukumnya wajib yakni memerdekakan (seorang budak), kalau tidak mampu maka dengan berpuasa dua (bulan berturut-turut), dan kalau tidak mampu maka dengan memberi makan (60 orang miskin). Dan tidak boleh berpindah ke tingkatan setelahnya kecuali kalau tidak mampu untuk menunaikan tingkatan sebelumnya.

16.Dipersyaratkan untuk budak yang dimerdekakan beberapa syarat:
1-Budak tersebut dimiliki dengan sebab yang syar'i dan sah.
2-Selamat dari cacat yang berat.
3-Budak tersebut adalah orang mukmin.

17.Ucapan orang yang meminta fatwa diterima dalam pernyataannya bahwa ia tidak mampu menunaikan kaffarah, dan wajib bagi sang mufti untuk mengecek sang penanya sehingga jelas sebabnya syar'i ataukah tidak, dikarenakan lemahnya sikap kejujuran di zaman kita.

18.Diantara sebab tidak mampu berpuasa (dua bulan berturut-turut) adalah tidak sabar dari menahan diri dari berjima' karena besarnya syahwat dan ia bekerja untuk menanggung keluarganya dalam keadaan puasa membuatnya lemah dalam bekerja sehingga akan memudharatkan keluarganya.

19.Tidak dipersyaratkan jumlah orang miskin mencapai 60 orang miskin dalam hal memberi makan, namun yang dipersyaratkan adalah makanan tersebut mencukupi 60 orang miskin (walaupun diberikan kepada satu orang miskin dan keluarganya, pent) dikarenakan Nabi صلى اللّٰه عليه و سلم memberikan makanan yang mencukupi 60 orang miskin, beliau berikan kepada si penanya dan keluarganya, dan umumnya jumlah mereka tidak melebihi dari 10 orang.

20.Barangsiapa yang tidak mampu menunaikan kaffarah maka gugur darinya kaffarah tersebut secara keseluruhan.         

21.Apabila orang yang terkena kewajiban kaffarah adalah orang paling faqir di daerahnya maka diperbolehkan baginya untuk memakan dari makanan (kaffarah).

22.Barangsiapa yang tidak mampu menunaikan kaffarah maka kaffarah tersebut ditanggung oleh baitul maal kaum muslimin.

23.Apakah wajib mengqadha puasa bagi orang yang membatalkan puasanya dengan sebab jima'? ada khilaf di kalangan ulama.
Dan guru kami (Asy Syaikh An Najmy) رحمه اللّٰه tidak menguatkan pendapat apapun dalam hal ini.

24.Suami secara khusus terkena kewajiban kaffarah karena menjima' istrinya secara sengaja walaupun istrinya menyetujui ajakan suaminya tersebut, dikarenakan Nabi صلى اللّٰه عليه و سلم tidak bertanya kepada orang yang meminta fatwa, tidak bertanya kepadanya tentang istrinya apakah istrinya tersebut menyetujui ajakannya atau tidak, dan dikarenakan kesenangan jima' didapatkan oleh masing-masing dari suami dan istri namun syariat membebankan mahar dan nafkah serta pakaian kepada sang suami saja maka kaffarah juga demikian (dibebankan kepada suami). Namun sang istri terkena kewajiban kaffarah jika ia menjadi penyebab terjadinya jima' tersebut

25.Apabila terputus kesinambungan puasa dua bulan berturut-turut dalam kaffarah karena sebab yang mendesak maka ia melanjutkan puasanya dan tidak perlu mengulangi puasanya dari awal.

26.Apabila jima' berulang dalam beberapa hari sebelum ia menunaikan kaffarah maka wajib baginya menunaikan kaffarah setiap harinya, adapun apabila jima' terulang dalam satu hari maka cukup baginya menunaikan satu kaffarah.

27.Pertanyaan Hamzah Bin 'Amr Al Aslamy tentang hukum puasa ketika safar yang ia maksudkan adalah puasa Ramadhan.

28.Barangsiapa yang berpuasa ketika safar maka puasanya sah dan tidak ada kewajiban qadha' baginya.
Dan berbuka (tidak berpuasa) lebih utama apabila ia mendapatkan rasa berat namun tidak menghasilkan marabahaya baginya.

29.Wajib berbuka (tidak berpuasa) ketika safar pada dua keadaan :
1. Apabila puasa menghasilkan marabahaya baginya.
2. Apabila telah dekat pertemuan dengan musuh dalam medan jihad.

30.Apabila safar tidak memberatkan dia maka apakah yang lebih utama baginya berpuasa ataukah berbuka (tidak berpuasa) ? dilihat :
Apabila berat baginya mengqadha' lebih banyak daripada beratnya berpuasa maka sama kedudukan antara puasa dan berbuka baginya.
Dan apabila mengqadha'  tidak memberatkan dia maka berbuka (tidak berpuasa) lebih utama dalam rangka mengambil rukhshah (keringanan yang diberikan oleh Allah).
                  
31.Mengkhidmat (melayani) jiwa lebih utama daripada ibadah-ibadah tathawwu' (sunnah) berdasarkan hadits :
"ذهب المفطرون اليوم بالأجر".
"Hari ini orang-orang yang berbuka (tidak berpuasa) membawa pahala".

32.Mengqadha' puasa memiliki waktu yang luas dan tidaklah menjadi sempit kecuali apabila telah masuk bulan Sya'ban.

33.Apabila masuk Ramadhan selanjutnya sebelum ia mengqadha' puasanya dalam keadaan ia tidak memiliki udzur maka ia berdosa. Dan nampaknya wajib baginya memberi makan (orang miskin) disamping mengqadha'.

34.Seorang wanita tidak boleh berpuasa qadha' kecuali dengan ijin suaminya apabila waktu qadha' puasa luas.

35.Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan ia memiliki hutang puasa wajib maka walinya yang berpuasa untuk mengqadha' puasanya.

36.Seorang wali adalah ahli waris sang mayyit, apabila ahli waris sang mayyit sekelompok orang dan mereka saling kikir antara satu dengan yang lainnya untuk mengqadha' tanggungan puasa sang mayyit maka diundi diantara mereka atau masing-masing ikut serta dalam mengqadha' tanggungan puasa sang mayyit. Dan jika masing-masing dari mereka bersedia ikut serta dalam mengqadha' tanggungan puasa sang mayyit maka masing-masing dari mereka berpuasa secara bergantian dan tidak boleh semuanya berpuasa dalam satu hari dikarenakan qadha' merupakan hikayat terhadap penunaian puasa.

37.Barangsiapa yang terus-menerus menderita sakit hingga meninggal dunia setelah Ramadhan maka tidak ada kewajiban qadha' bagi walinya.

38.Disyariatkan menyegerakan berbuka dan mengakhirkan makan sahur.

39.Apabila matahari terbenam maka orang yang berpuasa tidaklah dihukumi berbuka kecuali dengan perbuatan (makan dan minum) dan tidaklah dihukumi berbuka dengan semata-mata terbenamnya matahari sebagaimana yang dikatakan sebagian mereka dikarenakan Nabi صلى اللّٰه عليه و سلم pernah puasa wishal bersama para shahabatnya. Seandainya dihukumi berbuka dengan semata-mata terbenam matahari maka tidak ada artinya Nabi صلى اللّٰه عليه و سلم berpuasa wishal.

40.Berpuasa wishal makruh dan tidak diharamkan kecuali apabila dirasa berat.

*Asy Syaikh Al 'Allamah Ahmad Bin Yahya An Najmy رحمه اللّٰه merupakan salah seorang ulama daerah Shamithah Propinsi Janub (Selatan) Kerajaan Saudi Arabia, wafat tahun 1429 H. (Pent).

ـــــ﷽ــــ
اختيارات شيخنا العلامة الشيخ/
      أحمد بن يحيى النجمي
            - حفظه الله –
      في مسائل الصيام من
         كتاب تأسيس الأحكام
         (الجزء الثاني)
١١- لا يبطل الصيام بالأكل أو الشرب نسياناً.
١٢- من جامع ناسياً بطل صومه لأن النسيان فيه لا يتصور إذ يشترك فيه اثنان ويحتاج إلى مقدمات كإغلاق الأبواب والتجرد ونحو ذلك. وعليه الكفارة.
١٣- من ارتكب معصية لا حد فيها وجاء مستفتياً لم يعاقب.
١٤- من جامع عامداً فعليه الكفارة، وقيل: لا تجب. وهو قول شاذ لا يعول عليه.
١٥- الترتيب في الكفارة واجب. العتق ثم الصيام ثم الإطعام لا ينتقل إلى المتأخر إلا إذا عجز عن الذي قبله.
١٦- لا بد في الرقبة:
١- أن تكون مملوكة بسبب شرعي صحيح.
٢- أن تكون سليمة من العيوب المخلة               ٣- أن تكون مؤمنة.
١٧- يؤخذ بقول المستفتي في عدم الاستطاعة، وعلى المفتي أن يراجع السائل حتى يتبين إذا كان السبب شرعياً أم لا، لضعف الالتزام بالصدق في زماننا.
١٨- من أسباب عدم استطاعة الصوم الشبق _ وهو عدم الصبر عن الجماع_ ، وأن يكون كاسباً على أهله والصوم يضعفه عن ذلك فيتضرر أهله.
١٩- لا يلزم في الإطعام العدد، وإنما يلزم ما يكفي ستين مسكينا لأن النبي صلى الله عليه وسلم أعطى طعام ستين مسكيناً للمستفتي وأهله، والغالب أنهم لا يزيدون عن عشرة.
٢٠- من عجز عن الكفارة في الحال سقطت عنه بالكلية.
٢١- إذا كان المكفر أفقر أهل البلد فله أن يأكل الكفارة.
٢٢- من عجز عن الكفارة لزمت في بيت مال المسلمين.
٢٣- هل يجب القضاء على من أفسد صومه بالجماع؟ خلاف.
ولم يجزم فيه شيخنا _رحمه الله _ بشيء.
٢٤- يختص الزوج بوجوب الكفارة في جماع العمد ولو كانت زوجته مطاوعة، لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يسأل المستفتي عن امرأته هل كانت مطاوعة أم لا ، ولأن متعة الجماع مشتركة بين الزوجين ومع ذلك جعل الشارع المهر والنفقة والكسوة على الرجل وحده فالكفارة تلحق بذلك. لكن تلزمها الكفارة إذا كانت هي المتسببة في ذلك.
٢٥- إذا انقطع  تتابع صيام الشهرين في الكفارة لأمر قهري بنى على ما تقدم.
٢٦- إذا تكرر الجماع في أيام متعددة قبل التكفير لزمه عن كل يوم كفارة، أما إذا تعدد الجماع في يوم واحد فتكفي فيه كفارة واحدة.
٢٧- سؤال حمزة عن بن عمرو الأسلمي عن الصوم في السفر يقصد به صوم رمضان.
٢٨- من صام في السفر فصومه صحيح وليس عليه قضاء. والفطر أفضل إذا كان فيه مشقة لا تعرضه للخطر.
٢٩- يجب الفطر في السفر في حالتين:
•الأولى: إذا كان الصوم يعرضه للخطر.
•الثانية: إذا دنا لقاء العدو.
٣٠- إذا كان السفر غير شاق فهل الأفضل الصيام أم الفطر؟ ينظر:
إذا كان يشق عليه القضاء أكثر من مشقة الصوم استوى صومه وفطره، وإذا كان لا يشق عليه القضاء فالفطر أفضل أخذاً بالرخصة.

٣١- خدمة النفس أفضل من العبادة التطوعية لحديث (ذهب المفطرون اليوم بالأجر).
٣٢- وقت القضاء موسع، ولا يتضايق حتى يدخل شعبان.
٣٣- إذا دخل رمضان آخر قبل أن يقضي ولا عذر له أثم. و الظنُّ أن الإطعام واجب عليه مع القضاء.
٣٤- لا تصوم المرأة القضاء إلا بإذن زوجها إذا كان في الوقت متسع.
٣٥- من مات وعليه صوم واجب صام عنه وليه.
٣٦- الولي هو المباشر للإرث، فإن كان المباشر للإرث جماعة وتشاحوا أقرع بينهم، أو اشتركوا . وإذا اشتركوا فيصوم كل واحد تلو الآخر ولا يصومون كلهم في يوم واحد لأن القضاء يحكي الأداء.
٣٧- من استمر به المرض بعد رمضان حتى مات لم يلزم وليه القضاء.
٣٨- يشرع تعجيل الفطر وتأخير السحور.
٣٩- إذا غربت الشمس لم يفطر الصائم إلا بفعله، ولا يكون مفطراً حكما كما قاله بعضهم لأن النبي صلى الله عليه وسلم واصل بأصحابه ولو كان يفطر حكما لما كان للوصال معنى.
٤٠- الوصال مكروه ولا يحرم إلا مع المشقة.
كتبه/د.علي بن يحيي الحدادي.
www.haddady.com
http://cutt.us/uf1Xq
05/06/2017
06/06/2017
07/06/2017
09/06/2017

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi