Bolehkah Mengingkari Wanita Yang Tidak Bercadar ? (Penjelasan Bolehnya Mengingkari Permasalahan Khilafiyah)

tafsir al quran, hadits, fatwa ulama, artikel, faidah, kata mutiara dan hikmah, serta tanya jawab kajian islam Bolehkah Mengingkari Wanita Yang Tidak Bercadar ?(Penjelasan Bolehnya Mengingkari Permasalahan Khilafiyah)
<Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh, apakah wanita yang membuka wajahnya wajib diingkari? Atau karena masalah ini (menutup wajah) adalah masalah khilafiyah, sedang masalah khilafiyah tidak boleh ada pengingkaran padanya?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin Rahimahullah menjawab:

Kalau kita katakan bahwa secara mutlak masalah khilafiyyah tidak boleh ada pengingkaran padanya, sungguh semua perkara agama ini akan hilang. Karena hampir-hampir tidak mendapati permasalahan kecuali akan ada pada khilaf (silang pendapat) di antara para ulama.

Kita ambil sebagai contoh, laki-laki (suami) menyentuh perempuan (istrinya) disertai dengan syahwat dan masalah memakan daging unta. Lalu ada orang yang berdiri untuk shalat dan mengatakan, “Aku mengikuti pendapat al-Imam Ahmad dalam masalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu. dan aku mengikuti pendapat al-Imam asy-Syafi’i dalam masalah makan daging unta tidak membatalkan wudhu. Aku akan melakukan shalat dalam keadaan seperti ini (setelah menyentuh istri dengan syahwat dan memakan daging unta-pen).”

Apakah shalatnya sekarang menjadi sah berdasar kedua madzhab ini? Shalatnya tidak sah, karena jika tidak menjadi batal menurut pendapat Ahmad bin Hambal, akan menjadi batal menurut madzhab al-Imam asy-Syafi’i. Dan jika tidak batal menurut madzhab al-Imam asy-Syafi’i, akan menjadi batal menurut madzhab al-Imam Ahmad. Maka agama orang itu akan menjadi hilang.

Masalah khilafiyah terbagi menjadi dua:
Pertama: masalah ijthadiyyah yang ada kelapangan padanya khilaf (perbedaan pendapat). Yang dimaksud adalah permasalahan khilaf (perbedaan pendapat) benar-benar terjadi dan memiliki sisi pandang. Maka jenis masalah khilafiyyah seperti ini tidak boleh ada pengingkaran padanya atas mujtahid.

Adapun kalangan awam, maka mereka dituntut untuk mengikuti pendapat yang diikuti oleh ulama di negerinya agar kaum muslimin secara umum tidak tercerai berai. Karena jika katakan kepada seorang awam, “Pendapat apapun yang pernah kamu jumpai, boleh bagimu untuk mengambilnya.”

Jika dikatakan demikian ini, umat ini tidak akan pernah menjadi satu. Oleh karena itu syaikh kami, yaitu asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Kalangan awam harus mengikuti madzhab ulama mereka.”

Sebagai contoh di negeri kami, yaitu Kerajaan Saudi Arabia, wajib bagi wanita untuk menutup wajahnya. Sehingga kami mengharuskan kaum wanita kami untuk melakukannya. Walaupun ada seorang wanita yang mengatakan, “Saya akan mengikuti madzhab Fulan, yaitu masalah membuka wajah adalah perkara yang boleh.” Maka kita katakan, “Yang demikian ini tidak boleh kamu tempuh, karena kamu seorang awam. Kamu tidak sampai pada derajat ijtihad. Yang Kamu inginkan hanyalah ingin mengikuti madzhab ini karena menjadi rukhshah, padahal mengikuti rukhshah adalah perkara yang haram.”

Adapun seorang alim dari jajaran ulama yang ijtihadnya membawanya kepada kesimpulan bahwasanya tidak mengapa bagi wanita untuk membuka wajahnya, lalu ia mengatakan, “Isteriku akan aku biarkan membuka wajahnya.” Maka kita katakan, “Tidak mengapa.” Akan tetapi jangan ia membiarkan membuka wajah di wilayah (negeri) yang penduduk (wanita)nya menutup wajah. Yang demikian ini dilarang karena akan merusak yang lain. Juga dikarenakan ada kesepakatan bahwa menutup wajah adalah perkara yang lebih utama.

Ketika menutup wajah adalah perkara yang lebih utama, maka ketika kami mengharuskannya untuk menutup wajah, kami tidak menjadi pihak yang mengharuskannya untuk melakukan perbuatan yang haram menurut pendapatnya. Yang kami paksakan adalah perkara yang lebih utama menurut pendapatnya.

Juga karena adanya masalah lain agar penduduk di negeri yang menutup wajah wanita tidak taklid kepadanya. Karena hal ini akan menyebabkan perpecahan dan tercerai berainya kalimat.

Adapun jika ia pergi ke negerinya sendiri, kami tidak bisa memaksakan pendapat kami. Selama masalah ini masih menjadi masalah ijtihadiyyah dan masih ada peluang untuk mengikuti hasil penelitian dalil-dalil dan tarjih (pemilihan dalil mana yang lebih kuat)

Kedua: masalah kedua dari masalah khilafiyyah, yaitu tidak boleh adanya perselisihan di dalamnya, serta bukan masalah yang bisa berijtihad di dalamnya. Maka dalam masalah seperti ini pihak yang menyelisihi harus diingkari, karena tidak ada uzur baginya.

Selesai...

Sumber: Silsilah Liqaa-aat al-Baab al-Maftuh, Liqaa’ al-Baab al-Maftuh (Liqo' 49 hal.14)
Diterjemahkan oleh: al Ustadz Fathul Mujib hafizhahullah

#fawaidumum #fatawafikih #fikihwanita

Update Ilmu agama bersama Warisan Salaf di: Website I Telegram I Twitter I Google Plus I Youtube I SMS Tausiyah
Situs Resmi http://www.warisansalaf.com

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi