Kisah Nabi Dawud dan Sulaiman

Kisah Nabi Dawud dan Sulaiman Kisah Nabi Dawud dan Sulaiman

Pernahkah kita berpikir, hewan-hewan yang ada di sekitar kita mengenal Allah ‘azza wa jalla dan suka memuji kepada-Nya? Dari kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam ini, kita ketahui bahwa ternyata hewan juga mengenal Allah ‘azza wa jalla sebagai Rabbnya dan mereka suka bertasbih kepada-Nya. Yaitu dari kejadian burung Hud Hud yang melihat peribadatan Ratu Saba’ dan rakyatnya, yang tidak ditujukan kepada Allah ‘azza wa jalla, tetapi menyembah matahari.

Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimassalam adalah nabi-nabi utama dari kalangan Bani Israil. Allah ‘azza wa jalla himpunkan bagi keduanya nubuwwah (kenabian) dan hikmah serta kerajaan yang besar dan kuat.

Nabi Dawud ‘alaihissalam sebelumnya adalah seorang prajurit dalam pasukan Thalut yang telah dipilih oleh salah seorang Nabi dari Bani Israil sebagai raja mereka. Thalut dipilih karena keberanian, kekuatan serta luasnya ilmu pengetahuan tentang pemerintahan dan siasat perang.

Hal ini sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰهُ عَلَيۡكُمۡ وَزَادَهُۥ بَسۡطَةٗ فِي ٱلۡعِلۡمِ وَٱلۡجِسۡمِۖ

“Dan Allah menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” (al-Baqarah: 247)

Ketika mereka berhadapan dengan Jalut serta tentaranya, pasukan Thalut bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dawud ‘alaihissalam ternyata melampaui keberanian mereka. Segera dia menghadapi Jalut dan membunuhnya, sehingga sisa pasukannya menderita kekalahan. Dan Allah subhanahu wa ta’ala menolong Bani Israil.

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat Dawud menjadi Nabi dan memberinya hikmah serta kerajaan yang kuat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَشَدَدۡنَا مُلۡكَهُۥ وَءَاتَيۡنَٰهُ ٱلۡحِكۡمَةَ وَفَصۡلَ ٱلۡخِطَابِ
“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah.” (Shad: 20)

Allah subhanahu wa ta’ala telah memberinya kekuatan dalam beribadah dan ilmu pengetahuan. Bahkan mensifatkannya dengan dua sifat ini, yang merupakan ciri kesempurnaan seseorang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَٱذۡكُرۡ عَبۡدَنَا دَاوُۥدَ ذَا ٱلۡأَيۡدِۖ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌ ١٧

“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia seorang yang awwab.” (Shad: 17)

Di sini Allah subhanahu wa ta’ala sifati beliau sebagai seorang yang memiliki kekuatan besar dalam melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Dan beliau adalah seorang yang awwab karena begitu sempurna pengetahuannya tentang Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menundukkan burung-burung dan gunung-gunung agar bertasbih bersamanya. Beliau telah pula diberi anugerah oleh Allah berupa suara yang merdu yang belum pernah diterima oleh manusia sebelumnya.

Nabi Dawud ‘alaihissalam biasa tidur di pertengahan malam dan bangun pada sepertiganya, lalu tidur lagi pada seperenamnya. Beliau biasa berpuasa sehari dan sehari berbuka. Apabila bertemu dengan musuh, maka siapa pun akan melihat keperkasaan beliau yang menakjubkan. Allah subhanahu wa ta’ala telah pula melunakkan besi baginya dan mengajarinya bagaimana membuat baju besi, perisai dan alat-alat perang lainnya. Beliaulah orang pertama membuat semua alat tersebut.

Allah subhanahu wa ta’ala pernah menegur beliau dengan mengutus dua orang malaikat sebagai dua orang yang sedang bersengketa. Kedua malaikat itu menemui Nabi Dawud di mihrab, sehingga beliau merasa terkejut, karena mereka masuk pada waktu yang tidak diizinkan seorang pun masuk ketika itu dengan cara memanjat dinding mihrab.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan hal ini,
قَالُواْ لَا تَخَفۡۖ خَصۡمَانِ بَغَىٰ بَعۡضُنَا عَلَىٰ بَعۡضٖ فَٱحۡكُم بَيۡنَنَا بِٱلۡحَقِّ وَلَا تُشۡطِطۡ وَٱهۡدِنَآ إِلَىٰ سَوَآءِ ٱلصِّرَٰطِ ٢٢

“Jangan takut. Kami dua orang yang berselisih. Salah seorang dari kami berbuat zalim terhadap yang lain. Maka berilah keputusan di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.” (Shad: 22)

Kemudian salah seorang menerangkan keadaan mereka, katanya, “Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing—yang dimaksudkannya adalah wanita (istri)—sedangkan saya hanya mempunyai satu ekor. Lalu dia (saudaraku ini) berkata, ‘Serahkanlah kambingmu kepadaku,’ dan dia mengalahkan saya dalam perdebatan. Artinya, alasan dia lebih kuat sehingga mengalahkan pendapat saya.”

Lalu Dawud ‘alaihissalam berkata, sebagaimana diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
قَالَ لَقَدۡ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعۡجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦۖ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡخُلَطَآءِ لَيَبۡغِي بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٞ مَّا هُمۡۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسۡتَغۡفَرَ رَبَّهُۥ وَخَرَّۤ رَاكِعٗاۤ وَأَنَابَ ٢٤

“Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan amat sedikitlah mereka itu.” (Shad: 24)

Akhirnya Nabi Dawud ‘alaihissalam mengetahui bahwa dialah yang dimaksud dalam kasus tersebut, beliau pun tersadar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسۡتَغۡفَرَ رَبَّهُۥ وَخَرَّۤ رَاكِعٗاۤ وَأَنَابَ ٢٤  فَغَفَرۡنَا لَهُۥ ذَٰلِكَۖ وَإِنَّ لَهُۥ عِندَنَا لَزُلۡفَىٰ وَحُسۡنَ مَ‍َٔابٖ ٢٥

“Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya, maka dia pun meminta ampun kepada Rabbnya, menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni kesalahannya dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (Shad: 24—25)

Akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala menghapus dosa beliau dan keadaannya jauh lebih baik daripada sebelum kejadian itu. Beliau mendapat tempat yang sangat dekat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan kesudahan yang baik.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi. Maka berilah keputusan dengan adil di antara manusia. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena hawa nafsu itu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Shad: 26)

Sedangkan kepada Nabi Sulaiman bin Dawud ‘alaihissalam, Allah subhanahu wa ta’ala telah memberinya nubuwah (kenabian), mewarisi ilmu, nubuwah dan kerajaan ayahnya. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan tambahan baginya kerajaan yang besar yang belum pernah dimiliki siapa pun sebelum ataupun sesudahnya.

Allah subhanahu wa ta’ala menundukkan kepadanya angin yang berembus menurut ke mana saja beliau kehendaki, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan di waktu sore juga sama dengan perjalanan sebulan. Juga para jin dan setan serta Ifrit, yang mengerjakan untuknya pekerjaan besar menurut keinginannya. Mereka membuat untuk Nabi Sulaiman ‘alaihissalam gedung-gedung tinggi, patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang (tetap di atas tungku). Mereka datang dan pergi kemanapun sesuai kehendaknya.

Allah subhanahu wa ta’ala juga menundukkan kepadanya pasukan dari manusia, jin dan burung-burung lalu mereka diatur dengan tata tertib yang mengagumkan. Allah subhanahu wa ta’ala mengajarkan kepada beliau pengertian tentang suara burung dan seluruh hewan yang ada. Dan mereka kadang mengajak beliau berbicara dan beliau pun memahami pembicaraan mereka. Oleh sebab itu beliau dapat berdialog dengan Hud Hud dan menanyainya, juga mengerti ucapan seekor semut ketika mengingatkan semut-semut lainnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّمۡلُ ٱدۡخُلُواْ مَسَٰكِنَكُمۡ لَا يَحۡطِمَنَّكُمۡ سُلَيۡمَٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمۡ لَا يَشۡعُرُونَ ١٨

“Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadarinya.” (an-Naml: 18)

Semut itu memperingatkan dan memerintahkan supaya para semut itu melindungi diri mereka dari Sulaiman dan pasukannya. Nabi Sulaiman tersenyum dan tertawa mendengar kata-kata semut itu, lalu berkata,
وَقَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ وَأَدۡخِلۡنِي بِرَحۡمَتِكَ فِي عِبَادِكَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٩

“Wahai Rabbku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua ibu bapakku. Dan agar aku mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (an-Naml: 19)

Salah satu bentuk kebaikan dan ketelitian pengaturan beliau adalah beliau sendiri yang langsung turun tangan memeriksa pasukannya. Padahal sudah ada masing-masing yang menjadi pengawas mereka. Juga karena firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi “Mereka diatur dengan tertib dalam barisan,” menunjukkan hal itu. Sehingga beliau sendiri mencari burung-burung agar mengetahui apakah dia berada di markasnya atau tidak. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan hal ini dalam Al-Qur’an ketika Nabi Sulaiman tidak melihat burung Hud Hud, beliau berkata,
مَا لِيَ لَآ أَرَى ٱلۡهُدۡهُدَ أَمۡ كَانَ مِنَ ٱلۡغَآئِبِينَ ٢٠

“Mengapa aku tidak melihat Hud hud, apakah dia temasuk yang tidak hadir?” (an-Naml: 20)

Dan bukan seperti komentar sebagian mufassir bahwa beliau mencari Hud Hud adalah agar mencarikan daerah yang banyak airnya seberapa jauh dari tempat mereka saat itu. Karena sesungguhnya tanggapan tersebut berbeda jauh dengan susunan kalimat al-Qur’an. Allah tidak mengatakan bahwa beliau mencari Hud hud, tapi justru mengatakan dalam ayat itu “Dan dia memeriksa burung-burung.”

Kemudian Nabi Sulaiman mengancamnya karena telah menyelisihi perintahnya. Namun karena kerajaannya ditegakkan di atas keadilan, beliau menyebutkan pengecualian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan hal ini :
لَأُعَذِّبَنَّهُۥ عَذَابٗا شَدِيدًا أَوۡ لَأَاْذۡبَحَنَّهُۥٓ أَوۡ لَيَأۡتِيَنِّي بِسُلۡطَٰنٖ مُّبِينٖ ٢١ فَمَكَثَ غَيۡرَ بَعِيدٖ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ وَجِئۡتُكَ مِن سَبَإِۢ بِنَبَإٖ يَقِينٍ ٢٢ إِنِّي وَجَدتُّ ٱمۡرَأَةٗ تَمۡلِكُهُمۡ وَأُوتِيَتۡ مِن كُلِّ شَيۡءٖ وَلَهَا عَرۡشٌ عَظِيمٞ ٢٣ وَجَدتُّهَا وَقَوۡمَهَا يَسۡجُدُونَ لِلشَّمۡسِ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَعۡمَٰلَهُمۡ فَصَدَّهُمۡ عَنِ ٱلسَّبِيلِ فَهُمۡ لَا يَهۡتَدُونَ ٢٤ أَلَّاۤ يَسۡجُدُواْۤ لِلَّهِ ٱلَّذِي يُخۡرِجُ ٱلۡخَبۡءَ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَيَعۡلَمُ مَا تُخۡفُونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ ٢٥ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِيمِ ٢٦

“Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika dia benar-benar datang kepadaku dengan alasan yang jelas. Maka tidak lama kemudian datanglah Hud Hud, lalu ia berkata,”Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya, dan kubawa kepadamu dari negeri Saba’ suatu berita yang penting diyakini, Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah. Setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan Allah, sehingga mereka tidak mendapat petunjuk. Mengapakah mereka tidak sujud (menyembah) kepada Allah Yang Mengeluarkan apa yang tersembunyi di langit dan bumi. Dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu tampakkan. Allah, tidak ada ilah kecuali Dia, Rabb yang Mempunyai ‘Arsy yang besar.” (an-Naml: 21—26)

Dalam kesempatan yang demikian singkat ini, Hud Hud datang membawa berita besar ini. Disampaikannya kepada Nabi Sulaiman tentang penguasa negeri Yaman, seorang ratu. Dan ratu itu dianugeahi segala yang dibutuhkan oleh seorang penguasa, bahkan mempunyai singgasana yang besar. Hud Hud ternyata bukan hanya memahami kerajaan dan kekuatan mereka, tetapi juga mengerti apa yang menjadi keyakinan rakyat Saba’. Mereka adalah orang-orang yang musyrik, menyembah matahari. Hud Hud dengan tegas mengingkari kesyirikan yang mereka lakukan.

Hal ini menunjukkan bahwa hewan hewan itu sesungguhnya mengenal Rabb (Yang menciptakan, memberi dan mengatur rezeki) mereka, di mana mereka juga bertasbih memuji dan mentauhidkan-Nya. Mereka mempunyai rasa cinta kepada orang-orang yang beriman dan mereka juga taat kepada Rabbnya. Bahkan mereka juga membenci orang-orang kafir dan orang yang mendustakan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Mereka tunduk kepada Allah dengan sikap ini.



--- 000 ---

Keyakinan dan pemikiran yang menyimpang dapat menguasai akal siapa pun dan mengurangi kecerdasannya, sampai dia mendapatkan sebab atau jalan yang diberkahi yang menerangkan kepadanya hakikat kebenaran dan membimbingnya untuk mengikuti kebenaran itu. Inilah keadaan Ratu Saba’ dan para pengikutnya. Mereka memiliki otak yang cerdas, tetapi mereka justru melakukan peribadatan kepada sesuatu yang tidak mampu memberi kemanfaatan dan kemudaratan. Setelah terjadi dialog dengan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, Ratu Saba’ akhirnya mau kembali kepada fitrahnya, yaitu beribadah kepada Allah.

Kemudian Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mengatakan,
قَالَ سَنَنظُرُ أَصَدَقۡتَ أَمۡ كُنتَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٢٧ ٱذۡهَب بِّكِتَٰبِي هَٰذَا فَأَلۡقِهۡ إِلَيۡهِمۡ ثُمَّ تَوَلَّ عَنۡهُمۡ فَٱنظُرۡ مَاذَا يَرۡجِعُونَ ٢٨

“Akan kami lihat, apa kamu benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka, dan berpalinglah dari mereka, kemudian perhatikan apa yang mereka bicarakan.” (an-Naml: 27—28)

Berangkatlah Hud Hud dengan surat tersebut, lalu dia jatuhkan di kamar Ratu Saba’. Setelah membacanya, Ratu Saba’ menganggap ini adalah masalah besar dan mengkhawatirkannya. Diapun segera mengumpulkan para pembesarnya dan berkata, sebagaimana dikisahkan,
قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ إِنِّيٓ أُلۡقِيَ إِلَيَّ كِتَٰبٞ كَرِيمٌ ٢٩ إِنَّهُۥ مِن سُلَيۡمَٰنَ وَإِنَّهُۥ بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ  ٣٠ أَلَّا تَعۡلُواْ عَلَيَّ وَأۡتُونِي مُسۡلِمِينَ ٣١

“Hai para pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sehelai surat yang mulia, sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan (dimulai) dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Naml: 29—31)

Sebuah surat yang ringkas dan sarat dengan semua tujuan yang diinginkan. Allah menceritakan bahwa ratu itu berkata lagi,
قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ أَفۡتُونِي فِيٓ أَمۡرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمۡرًا حَتَّىٰ تَشۡهَدُونِ ٣٢

“Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku ini. Aku tidak pernah memutuskan suatupersoalan sebelum kalian hadir.” (an- Naml: 32)

Yakni, berilah saya nasihat buah pikiran. Ini menunjukkan kecerdasan dan bagusnya tata tertib yang dibuatnya dengan mengadakan musyawarah bersama para pembesar kerajaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan pembicaraan mereka,
قَالُواْ نَحۡنُ أُوْلُواْ قُوَّةٖ وَأُوْلُواْ بَأۡسٖ شَدِيدٖ وَٱلۡأَمۡرُ إِلَيۡكِ فَٱنظُرِي مَاذَا تَأۡمُرِينَ ٣٣

Mereka berkata, ‘Kita adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dan keberanian yang hebat. Dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang anda perintahkan’.” (an-Naml: 32)

Maknanya, “Kami siap melaksanakan apa yang baginda perintahkan, berperang atau berdamai. Kami kembalikan urusan ini kepada titah baginda.”

Setelah mempertimbangkan semuanya, ratu memilih berdamai, tapi dengan bentuk yang serius. Ia berkata,
وَإِنِّي مُرۡسِلَةٌ إِلَيۡهِم بِهَدِيَّةٖ فَنَاظِرَةُۢ بِمَ يَرۡجِعُ ٱلۡمُرۡسَلُونَ ٣٥

“Saya akan mengirimkan hadiah kepadanya sekarang. Lalu aku akan melihat bagaimana jawaban yang dibawa para utusan kita.” (an-Naml: 35)

Maksudnya, dengan hadiah ini, kalau benar dia seperti raja-raja lain yang tidak ada ambisinya selain dunia, boleh jadi hadiah itu akan merusak kehormatannya dan melumpuhkan semangat (kemauannya). Kita bisa berdamai dengannya jauh sebelumnya. Kalau bukan demikian, maka jelaslah urusannya.

Maka dikirimlah beberapa utusan cerdik pandai menemui Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Sesampai di hadapan beliau dengan hadiah tersebut, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata, sebagaimana Allah kisahkan,
فَلَمَّا جَآءَ سُلَيۡمَٰنَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٖ فَمَآ ءَاتَىٰنِۦَ ٱللَّهُ خَيۡرٞ مِّمَّآ ءَاتَىٰكُمۚ بَلۡ أَنتُم بِهَدِيَّتِكُمۡ تَفۡرَحُونَ ٣٦

“Apakah kamu menolongku dengan harta? Padahal apa yang diberikan Allah kepadaku jauh lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Bahkan kamu merasa bangga dengan hadiahmu itu.” (an-Naml: 36)

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menjelaskan kepada para utusan itu, bukan dunia yang menjadi tujuan dan cita-citanya. Tujuan dan cita-citanya tidak lain adalah menegakkan agama ini dan masuknya hamba-hamba Allah itu ke dalam Islam. Setelah itu beliau berpesan secara langsung kepada para utusan itu, tidak membutuhkan tulisan. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan pembicaraan mereka,
ٱرۡجِعۡ إِلَيۡهِمۡ فَلَنَأۡتِيَنَّهُم بِجُنُودٖ لَّا قِبَلَ لَهُم بِهَا وَلَنُخۡرِجَنَّهُم مِّنۡهَآ أَذِلَّةٗ وَهُمۡ صَٰغِرُونَ ٣٧

“Kembalilah kepada mereka. Sungguh kami akan menyerang mereka dengan bala tentara yang tidak bisa mereka hadapi. Dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu dalam keadaan terhina dan menjadi tawanan yang hina.” (an-Naml: 37)

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tahu mereka tentu akan takluk dan menyerah. Kemudian beliau ‘alaihissalam berkata kepada para pembesarnya, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya,
قَالَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ أَيُّكُمۡ يَأۡتِينِي بِعَرۡشِهَا قَبۡلَ أَن يَأۡتُونِي مُسۡلِمِينَ ٣٨ قَالَ عِفۡرِيتٞ مِّنَ ٱلۡجِنِّ أَنَا۠ ءَاتِيكَ بِهِۦ قَبۡلَ أَن تَقُومَ مِن مَّقَامِكَۖ وَإِنِّي عَلَيۡهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٞ ٣٩

“Siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang menyerah kepadaku?”

Ifrit dari kalangan jin berkata, “Saya akan membawanya kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu. Sesungguhnya aku benar-benar kuat dan terpercaya.” (an-Naml: 39)

Ketika itu posisi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam masih berada di daerah Syam yang jaraknya ke Yaman sekitar dua bulan perjalanan pulang dan pergi. Kemudian berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, Allah sebutkan dalam ayat selanjutnya,
أَنَا۠ ءَاتِيكَ بِهِۦ قَبۡلَ أَن يَرۡتَدَّ إِلَيۡكَ طَرۡفُكَۚ

“Saya akan membawanya kepadamu sebelum matamu berkedip.” (an-Naml: 40)

Menurut sebagian mufassir, laki-laki itu adalah orang saleh yang telah diberi Ismul A’zham (salah satu dari Nama Allah Yang Mahaagung), yang apabila seseorang berdoa kepada Allah dengan menyebut nama ini maka pasti Allah mengabulkannya. Dan dia pun memohon kepada Allah. Tiba-tiba muncullah singgasana itu sebelum Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mengedipkan matanya.

Ada pula yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab itu, mempunyai sebab yang telah ditundukkan Allah untuk Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, yaitu sebab-sebab yang mendekatkan perhubungan jarak yang jauh.

Bagaimanapun juga, ini adalah kekuasaan yang besar yang dengan sekejap mata telah mendatangkan singgasana yang besar milik Ratu Saba’ itu. Oleh karena itu, ketika melihat singgasana itu muncul di hadapannya, beliau segera memuji Allah subhanahu wa ta’ala sebagai rasa syukur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هَٰذَا مِن فَضۡلِ رَبِّي لِيَبۡلُوَنِيٓ ءَأَشۡكُرُ أَمۡ أَكۡفُرُۖ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيّٞ كَرِيمٞ ٤٠

“Ini termasuk karunia Rabbku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkarinya. Barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barang siapa mengingkari, maka sesungguhnya Rabbku Mahakaya lagi Maha Pemurah.” (an-Naml: 40)

Kemudian beliau berkata kepada pembesar di sekitarnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikutnya,قَالَ نَكِّرُواْ لَهَا عَرۡشَهَا  “Ubahlah singgasananya,” yakni tambah dan kurangilah dari bentuk aslinya.
نَنظُرۡ أَتَهۡتَدِيٓ أَمۡ تَكُونُ مِنَ ٱلَّذِينَ لَا يَهۡتَدُونَ ٤١

“Kita lihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenalnya?”

Sebelumnya beliau memuji kecerdasan pikiran ratu tersebut. Beliau ingin agar ratu itu menyadari hakikat yang sebenarnya. Setelah ratu itu tiba, beliau bertanya kepadanya, (sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala ceritakan)
أَهَٰكَذَا عَرۡشُكِۖ 

“Seperti inikah singgasanamu?”

Beliau tunjukkan kepadanya. Tatkala melihat singgasana itu, ratu segera mengenalnya, tapi ragu-ragu karena terdapat beberapa perubahan di sana sini. Namun, ia tetap menjawab,
قَالَتۡ كَأَنَّهُۥ هُوَۚ

“Seakan-akan inilah dia.”

Ia tidak berani memastikan itulah singgasananya, karena sudah mengalami beberapa perubahan, namun juga tidak mengingkari itu adalah singgasananya karena memang dia mengenalnya. Nabi Sulaiman semakin mengenal kecerdasan ratu tersebut.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan kejadian itu,
وَأُوتِينَا ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهَا وَكُنَّا مُسۡلِمِينَ ٤٢

“Dan kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (an-Naml: 42)

Kalau ini adalah ucapan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita, maka maksudnya adalah sesungguhnya kami telah diberitahu tentang kecerdasan ratu ini dan kami tahu sebelum kejadian ini. Lalu terbuktilah apa yang kami yakini setelah kami mengujinya.

Kalau ucapan ini dari Ratu Saba’, maka maksudnya ialah, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya tentang Raja Sulaiman, yang sesungguhnya kekuasaannya adalah kerajaan nubuwah, dan risalah serta kekuatan yang sangat hebat sebelum kejadian ini.
وَكُنَّا مُسۡلِمِينَ ٤٢

“Kami adalah orang-orang yang berserah diri,” artinya kami tunduk terhadap perkataannya sesudah kami tahu siapa Sulaiman sebenarnya.

Seakan-akan dapat dikatakan: dengan akal yang cerdas dan pemikiran yang jernih, bagaimana mungkin terjerumus sehingga beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala dan bagaimana mungkin akal yang sehat seperti ini bergabung dengan peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala yang sama sekali tidak memberi manfaat apalagi mudarat? Dan tidak lain hanya mencelakakan orang-orang yang menyembahnya?

Jawaban atas pertanyaan tadi adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَصَدَّهَا مَا كَانَت تَّعۡبُدُ مِن دُونِ ٱللَّهِۖ إِنَّهَا كَانَتۡ مِن قَوۡمٖ كَٰفِرِينَ ٤٣

“Dan apa yang diibadahinya selama ini selain Allah, telah menghalanginya (untuk beriman). Sesungguhnya dia dahulu termasuk orang-orang yang kafir.” (an-Naml: 43)

Memang demikianlah kenyataannya. Keyakinan dan pemikiran yang menyimpang dapat menguasai akal siapa pun dan mengurangi kecerdasannya, sampai dia mendapatkan sebab atau jalan yang diberkahi yang menerangkan hakikat kebenaran kepadanya dan membimbingnya untuk mengikuti kebenaran itu.

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mempunyai istana dari kaca yang bentuknya seakan-akan aliran sungai. Siapa pun yang memandangnya akan menyangka itu adalah sebuah anak sungai karena beningnya kaca lantai tersebut. Ketika dikatakan kepada ratu itu,
قِيلَ لَهَا ٱدۡخُلِي ٱلصَّرۡحَۖ

“Masuklah ke dalam istana.” Dia mengira lantai istana itu adalah kolam air yang besar dan disingkapkannya kedua betisnya. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata,
قَالَ إِنَّهُۥ صَرۡحٞ مُّمَرَّدٞ مِّن قَوَارِيرَۗ

“Sesungguhnya ini adalah istana licin terbuat dari kaca.”

Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan bahwa akhirnya Ratu Saba’ menyadari dan berkata,
قَالَتۡ رَبِّ إِنِّي ظَلَمۡتُ نَفۡسِي وَأَسۡلَمۡتُ مَعَ سُلَيۡمَٰنَ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٤٤

“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah Rabb semesta alam.” (an-Naml: 44)

Beliau akhirnya tunduk kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan diikuti oleh kaumnya. Ada sebagian mufassir mengatakan beliau dipersunting oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sebagai istri. Wallahu a’lam.

Di zaman Nabi Sulaiman para setan ditundukkan Allah kepada beliau. Sampai berita kepada beliau bahwa para setan ini selama berkumpul dengan manusia telah menyebarkan sihir. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dan mengancam mereka serta mengambil buku yang berisi ilmu sihir itu dan menguburnya.

Sepeninggal beliau, setan-setan itu mendatangi manusia dan berkata, ”Sesungguhnya kerajaan Sulaiman menjadi hebat dan kuat karena didukung oleh kekuatan sihirnya. Keluarkanlah buku yang penah dipendamnya.”

Kemudian para setan itu menyebarkan berita menyesatkan manusia bahwa ilmu sihir ini asalnya dari Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Mereka tuduh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sebagai tukang sihir.

Berita ini juga disebarluaskan oleh sekelompok orang Yahudi. Namun Allah subhanahu wa ta’ala membersihkan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dari segala tuduhan itu, bahkan menerangkan bahwa sihir itu adalah ilmu yang hanya memberikan mudarat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱتَّبَعُواْ مَا تَتۡلُواْ ٱلشَّيَٰطِينُ عَلَىٰ مُلۡكِ سُلَيۡمَٰنَۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيۡمَٰنُ

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh para setan pada masa kerajaan Sulaiman. Dan tidaklah Sulaiman itu kafir.” (al-Baqarah: 102)

Yakni dengan mengajarkan sihir dan meridhainya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala nyatakan,
وَلَٰكِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ كَفَرُواْ

“Akan tetapi setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (al-Baqarah: 102)

Ini merupakan keagungan al-Qur’an yang senantiasa memerintahkan manusia agar beriman dengan para rasul, dan menyebut mereka dengan sifat-sifat mereka yang baik, sekaligus membersihkan mereka dari tuduhan-tuduhan manusia yang mengingkari risalah mereka.

Allah pernah menguji Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan meletakkan di kursinya sebagai teguran baginya atas beberapa kekeliruan beliau dan mengembalikannya kepada ketundukan yang sempurna kepada Rabbnya. Oleh karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, “Kemudian dia bertaubat,” kepada Allah dengan hati dan lisan serta jasadnya lahir dan batin. Allah berfirman menceritakan hal ini:
قَالَ رَبِّ ٱغۡفِرۡ لِي وَهَبۡ لِي مُلۡكٗا لَّا يَنۢبَغِي لِأَحَدٖ مِّنۢ بَعۡدِيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ ٣٥

“Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi.” (Shad: 35)

Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan pemohonan beliau dan memberikan apa yang dimintanya berupa ampunan dosa dan semua yang disebutkan tadi.

Allah subhanahu wa ta’ala memuji Nabi Dawud dan Sulaiman e dengan memberikan ilmu dan hikmah kepada keduanya. Terutama Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dengan tambahan pengertian terhadap suatu permasalahan.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَدَاوُۥدَ وَسُلَيۡمَٰنَ إِذۡ يَحۡكُمَانِ فِي ٱلۡحَرۡثِ إِذۡ نَفَشَتۡ فِيهِ غَنَمُ ٱلۡقَوۡمِ وَكُنَّا لِحُكۡمِهِمۡ شَٰهِدِينَ ٧٨

“Dan (ingatlah) kisah Dawud dan Sulaiman ketika keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kaumnya.” (al-Anbiya’: 78)

Yakni, kambing-kambing itu masuk ke dalam kebun-kebun mereka dan memakan tumbuhan dan tanaman yang ada di dalamnya. Nabi Dawud ‘alaihissalam pada mulanya memutuskan sesuai dengan ijtihad dan perkiraannya bahwa kambing-kambing itu harus menjadi milik si petani. Karena menurut dugaan beliau, sesuatu yang merusak pertanian itu harus diganti sesuai dengan nilainya.

Kemudian kasus itu diserahkan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memutuskan bahwa pemilik kambing harus menggantikan tugas pemilik kebun dalam memberikan pengairan dan pengurusan terhadap tanaman yang ada di kebun itu sampai kembali seperti sedia kala sebelum dirusak oleh kambing-kambing itu. Dan pemilik kambing menyerahkan hasil-hasil dari peternakan kambingnya seperti susu, bulu, lemak dan sebagainya kepada si pemilik kebun, sebagai imbalan karena dia juga mengambil manfaat dari hasil kebun si petani dalam masa-masa tersebut.

Keputusan Sulaiman ‘alaihissalam ini lebih dekat kepada kebenaran serta lebih bermanfaat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itulah Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
فَفَهَّمۡنَٰهَا سُلَيۡمَٰنَۚ وَكُلًّا ءَاتَيۡنَا حُكۡمٗا وَعِلۡمٗاۚ

“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan kepada keduanya telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” (al-Anbiya’: 79)

Sama dengan kejadian ini juga adalah ketika Dawud dan Sulaiman ‘alaihimassalam memutuskan perkara antara dua orang wanita yang masing-masing membawa seorang bayi. Tiba-tiba bayi wanita yang lebih tua diterkam oleh serigala. Wanita itu mengatakan kepada yang lebih muda bahwa anaknyalah yang diterkam serigala itu, dan yang selamat adalah bayinya. Sedangkan wanita yang lebih muda menolak pengakuan tersebut, ”Bahkan yang benar adalah serigala itu menerkam bayi wanita yang lebih tua.”

Akhirnya keduanya mengadukan perkara mereka kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam. Beliau tidak melihat yang lebih benar perkataannya selain pengakuan wanita yang lebih tua sehingga memutuskan bahwa anak itu menjadi haknya karena merasa iba kepadanya.

Adapun wanita yang lebih muda mungkin oleh Allah subhanahu wa ta’ala nanti akan diberi rezeki lagi seorang anak sebagai gantinya.

Namun kasus tersebut akhirnya sampai kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Beliau berkata, “Ambilkan pisau, supaya saya belah dua bayi ini untuk kalian berdua.”

Ternyata wanita yang lebih tua merelakannya. Adapun yang lebih muda berkata—ketika melihat bahwa tetap hidupnya bayi itu meskipun di tangan orang lain masih lebih baik daripada dia mati—,“Dia adalah anaknya, wahai Nabi Allah.”

Mendengar hal ini, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam segera memahami bahwa naluri keibuan wanita yang lebih muda ternyata lebih kuat dan jelas. Sehingga beliau memutuskan bahwa bayi itu sesungguhnya bukanlah milik wanita yang lebih tua karena melihat bagaimana wanita itu merelakan bayi itu dibelah dua, padahal kalau bayi itu betul-betul putranya tidak mungkin seorang ibu akan tega melakukan hal yang demikian.

Dari sini Nabi Sulaiman ‘alaihissalam melihat bahwa yang mendorong hal itu dilakukan wanita yang lebih tua tidak lain karena iri dan dengki. Jelas di dalam kisah ini bahwa mengeluarkan suatu keputusan yang tepat dalam sebuah kasus seperti di atas dengan bukti dan hal-hal yang mendukung serta saksi terhadap permasalahan tersebut merupakan pemahaman yang Allah berikan secara khusus kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

(Diambil dari Taisir al-Lathif al-Manan fi Khulashah Tafsir al-Qur’an karya asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di)

- 000 -

Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah ‘azza wa jalla, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan memberinya ganti dengan yang lebih baik.”

Inilah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah ini. Ketika Nabi Sulaiman ‘alaihissalam membunuh kuda-kudanya karena telah membuat lalai dari berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla, Allah ‘azza wa jalla menggantinya dengan ditundukkannya angin dan setan bagi beliau.

Di antara pelajaran penting yang dapat diambil:

1. Allah ‘azza wa jalla menceritakan keadaan umat sebelumnya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meneguhkan hati dan menenangkan jiwa beliau.

Allah ‘azza wa jalla ceritakan kepada beliau tentang hebatnya ibadah dan kesabaran umat sebelumnya dan tobat mereka. Semua itu akan membangkitkan keinginan untuk berlomba dengan mereka dalam mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dan bersabar atas semua gangguan dari kaumnya.

Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla menyebutkan di bagian awal surat Shad ucapan orang-orang yang mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan gangguan mereka terhadapnya. Setelah itu Allah ‘azza wa jalla mengatakan,
          ٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَٱذۡكُرۡ عَبۡدَنَا دَاوُۥدَ ذَا ٱلۡأَيۡدِۖ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌ ١٧
“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; ingatlah hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia adalah orang awwab[1].” (Shad: 17)

2. Firman Allah ‘azza wa jalla,

ذَا ٱلۡأَيۡدِۖ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌ ١٧
yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia adalah orang awwab

adalah pujian agung dari Allah ‘azza wa jalla terhadap orang yang mempunyai kedua sifat ini, yaitu kekuatan jasmani dan ruhani untuk tetap taat kepada Allah ‘azza wa jalla dan senantiasa kembali kepada Allah ‘azza wa jalla, lahir dan batin.

Semua ini mengandung konsekuensi (tuntutan) keharusan mencintai-Nya dan mengenal-Nya secara sempurna. Kedua sifat ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan sempurna.

Adapun yang ada pada para pengikut mereka, sesuai dengan sejauh mana mereka mengikuti atau menjadikan para nabi itu sebagai teladan yang baik bagi mereka.

Pujian yang Allah ‘azza wa jalla berikan kepada dua sifat ini menunjukkan dorongan untuk menjalankan semua sebab yang akan menumbuhkan kekuatan dan inabah tersebut. Selain itu, menunjukkan dorongan agar seorang hamba senantiasa mau kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dalam setiap keadaan, susah ataupun senang.

3. Allah ‘azza wa jalla memuliakan Nabi-Nya, Dawud ‘alaihissalam dengan menganugerahkan suara yang merdu kepadanya. Gunung-gunung serta burung-burung bertasbih memuji Allah ‘azza wa jalla bersamanya.

Semua ini menjadi tambahan kemuliaan dan derajatnya yang tinggi.

4. Termasuk nikmat Allah ‘azza wa jalla yang paling besar bagi hamba-Nya ini, Allah ‘azza wa jalla memberinya rezeki berupa ilmu yang bermanfaat serta hikmah untuk mengenal pembicaraan manusia dan pendapat mereka ketika terjadi perselisihan.

Firman Allah ‘azza wa jalla
وَءَاتَيۡنَٰهُ ٱلۡحِكۡمَةَ وَفَصۡلَ ٱلۡخِطَابِ
“Dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah.” (Shad: 20)

5. Sempurnanya perhatian Allah ‘azza wa jalla terhadap para Nabi kekasih-Nya. Apalagi ketika mereka tergelincir dengan satu ujian dan cobaan untuk menghapus mahdzur (kekurangan) mereka sehingga kembali menjadi lebih sempurna dari keadaan mereka sebelumnya. Inilah yang dialami oleh Nabi Dawud ‘alaihissalam.

6. Para nabi adalah orang-orang yang maksum (terpelihara dari dosa) dalam menyampaikan risalah dari Allah. Sungguh, Allah telah memerintah kita untuk taat kepada mereka secara mutlak. Adapun tujuan risalah itu, tidaklah akan terwujud kecuali dengan sifat maksum ini. Boleh jadi, suatu saat muncul dari mereka sesuatu yang salah.

Namun, Allah ‘azza wa jalla sudah lebih dahulu dengan sifat-Nya Yang Maha Halus memberikan tobat dan inabah kepada mereka.

7. Nabi Dawud ‘alaihissalam senantiasa memanfaatkan waktunya untuk berada di mihrab (tempat ibadahnya).

Di sanalah beliau menyibukkan diri beribadah kepada Rabbnya. Beliau juga menyediakan waktu khusus bagi kepentingan rakyatnya. Dengan demikian, beliau benar-benar telah menunaikan hak Allah ‘azza wa jalla secara sempurna sekaligus hak para hamba Allah ‘azza wa jalla.

8. Sepantasnya seseorang menunjukkan sopan santunnya ketika ia ingin menemui seseorang, terutama seorang penguasa atau pemimpin.

Sebab, kedua “laki-laki” yang berselisih itu masuk menemui Nabi Dawud justru pada waktu yang tidak biasanya. Bahkan, bukan melalui pintu yang telah disediakan sehingga hal itu memberatkannya. Ini bukanlah suatu hal yang pantas dilakukan.

Meskipun demikian buruk adab sopan santun dari orang-orang yang mengadukan perselisihan mereka, tidak sepantasnya pula seorang hakim menolak untuk mengadilinya. Ini memperlihatkan betapa besarnya sifat santun beliau. Beliau tidak marah kepada keduanya meskipun menemuinya tanpa izin. Bahkan, tidak pula beliau menghardik dan mencela mereka.

9. Bolehnya seseorang yang dizalimi mengatakan kepada orang yang menzaliminya,“Hai orang yang zalim,” “Engkau telah menzalimi saya” atau yang semakna.

Hal ini disebutkan dalam ayat,
بَغَىٰ بَعۡضُنَا عَلَىٰ بَعۡضٖ
“Salah seorang dari kami berbuat zalim terhadap yang lain.”

10. Seseorang yang diberi nasihat, walaupun kedudukannya sangat tinggi dan berilmu, tetap wajib untuk tidak murka dan tidak merasa enggan menerima nasihat tersebut.

Seharusnya dia justru segera menerima nasihat itu dan berterima kasih kepada yang menasihatinya. Dia juga memuji Allah ‘azza wa jalla yang telah menunjukkan kepadanya seseorang yang menasihatinya.

Nabi Dawud ‘alaihissalam sama sekali tidak merasa enggan menerima tuntutan dari kedua orang yang berselisih itu. Mereka meminta kepada beliau,
فَٱحۡكُم بَيۡنَنَا بِٱلۡحَقِّ وَلَا تُشۡطِطۡ وَٱهۡدِنَآ إِلَىٰ سَوَآءِ ٱلصِّرَٰطِ ٢٢

“Maka berilah keputusan di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.” (Shad: 22)

Beliau pun menetapkan keputusan benar-benar sesuai dengan kebenaran.

11. Pergaulan antara kerabat, teman dan para relasi, serta seringnya terjadi keterkaitan dalam hubungan harta tidak jarang menimbulkan permusuhan, yang satu menzalimi yang lain.

Tidak ada yang dapat menepis penyakit ini kecuali ketakwaan, kesabaran, dan keimanan, serta amal saleh. Namun, hal ini sangat sedikit ditemukan di tengah-tengah kehidupan manusia.

12. Penghargaan yang Allah berikan kepada Dawud dan Sulaiman ‘alaihimassalam dengan menjadikan mereka sebagai hamba-hamba-Nya yang terdekat dan mempunyai tempat kembali yang baik di sisi Allah ‘azza wa jalla.

Hendaknya jangan ada yang menyangka bahwa apa yang dialami keduanya mengurangi derajat keduanya di sisi Allah ‘azza wa jalla (justru sebaliknya). Hal ini merupakan kesempurnaan sifat Allah ‘azza wa jalla yang Mahahalus terhadap hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Allah ‘azza wa jalla mengampuni dosa-dosa mereka dan menghapus bekas-bekas dosa tersebut, bahkan mencabutnya dari hati setiap hamba-Nya. Semua itu tidaklah berat bagi Allah Yang Maha Pemurah.

13. Martabat hukum di tengah-tengah manusia adalah martabat diniyah (berkaitan dengan agama).

Ini adalah tugas dan wewenang para rasul Allah dan para hamba-Nya yang istimewa. Yang berlaku adalah penetapan hukum berdasarkan al-haq dan tidak mengikuti hawa nafsu.

14. Memberi keputusan berdasarkan kebenaran berarti mengharuskan seseorang yang akan menanganinya untuk mempunyai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan syariat dan ilmu tentang gambaran kasus yang sebenarnya.

Ia juga harus memahami bagaimana memasukkan masalah tersebut ke dalam ketetapan-ketetapan syariat secara umum.

Adapun orang yang jahil (bodoh) dan tidak memiliki ilmu tentang salah satu dari kedua hal ini, tidak halal baginya untuk maju memberi keputusan di antara manusia.

15.  Nabi Sulaiman ‘alaihisalam dapat dianggap sebagai bukti keutamaan Nabi Dawud ‘alaihisalam dan anugerah Allah kepada beliau.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَوَهَبۡنَا لِدَاوُۥدَ سُلَيۡمَٰنَۚ نِعۡمَ ٱلۡعَبۡدُ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌ ٣٠
“Dan Kami karuniakan Sulaiman kepada Dawud, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia adalah seorang yang awwab.” (Shad: 30)

Ini adalah pujian paling utama dan kebanggaan paling besar bagi Sulaiman.

16. Dalam kisah ini disebutkan betapa banyak kebaikan dan karunia Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang pilihan.

Allah menganugerahkan akhlak yang begitu indah dan (kemauan untuk mengerjakan) amalan saleh kepada mereka. Kemudian Allah ‘azza wa jalla memuji mereka dan menyediakan bermacammacam pahala hasil dari kebaikan tersebut.

Ini menunjukkan bahwa Allah ‘azza wa jalla satu-satu-Nya yang memberi karunia dengan menyediakan semua sebab dan akibatnya.

17. Diterangkan pula dalam kisah ini bahwa Nabi Sulaiman lebih mementingkan rasa cintanya kepada Allah ‘azza wa jalla di atas cintanya terhadap apa pun juga.

Beliau lebih suka membunuh kuda-kuda kesayangannya yang telah membuatnya lupa berzikir mengingat Allah ‘azza wa jalla sampai matahari tenggelam. Ini menunjukkan bahwa semua yang menyibukkan seseorang (sehingga lupa) untuk taat kepada Allah ‘azza wa jalla adalah tercela. Maka dari itu, hendaklah dia meninggalkan kesibukannya itu dan segera berpaling kepada sesuatu yang jelas lebih bermanfaat baginya.

Setelah Nabi Sulaiman membunuh kuda-kudanya yang terbaik yang telah melalaikannya dari mengingat Allah ‘azza wa jalla, kemudian Allah ‘azza wa jalla tundukkan baginya angin yang berembus dan setan-setan.

Dari kisah ini kita lihat alangkah tingginya pelajaran yang disebutkan dalam kaidah ini, “Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah ‘azza wa jalla , niscaya Allah ‘azza wa jalla akan memberinya ganti dengan yang lebih baik.”

Ditundukkannya angin dan para setan dengan cara sedemikian rupa bagi Nabi Sulaiman, tidaklah berlaku bagi siapa pun sesudah beliau.

Oleh sebab itulah, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menangkap setan yang mengganggu shalatnya pada suatu malam dan ingin mengikatnya di tiang mesjid, beliau berkata, “Saya teringat doa saudaraku Sulaiman. Akhirnya saya lepaskan dia.”

18. Disebutkan dalam kisah ini bahwa Sulaiman adalah seorang nabi sekaligus raja, dan diizinkan pula berbuat sesuai dengan keinginannya. Namun, terdorong oleh kemuliaan yang ada pada diri beliau, tidak ada keinginan beliau yang lain kecuali kebaikan dan keadilan.

Berbeda halnya dengan nabi yang hanya seorang hamba Allah ‘azza wa jalla yang biasa. Dia tidak mempunyai keinginan yang bebas. Kehendak atau keinginannya senantiasa mengikuti apa yang diinginkan oleh Allah ‘azza wa jalla atas dirinya. Dia tidak mengerjakan atau meninggalkan sesuatu melainkan karena mengikuti perintah, seperti keadaan Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

19. Allah ‘azza wa jalla telah menganugerahkan kerajaan yang besar kepada Nabi Sulaiman.

Di dalamnya terdapat berbagai hal yang tidak mungkin dicapai (walaupun) dengan sebab-sebabnya. Semua itu tidak lain adalah karena takdir Allah, Raja yang Maha Pemberi.

Misalnya, angin dan setan-setan yang ditundukkan oleh Allah mengikuti perintah Nabi Sulaiman, serta balatentara yang dihimpun dalam pasukan beliau dari manusia, jin, dan burung. Bahkan, burung-burung itu benar-benar memberikan pelayanan begitu besar kepada beliau. Mereka dikirim ke beberapa penjuru untuk mendapatkan berita tentang keadaan daerah tersebut.

Allah ‘azza wa jalla telah memberi burung-burung itu pemahaman tentang keadaan manusia sebagaimana disebutkan dalam kisah ini. Demikian pula orang yang dianugerahi ilmu dari al-Kitab ketika dia menyatakan siap mendatangkan singgasana Ratu Saba sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya.

Inilah mukjizat (ayat) para nabi. Maka dari itu, setinggi apapun ilmu yang dipelajari oleh manusia dan kemahirannya membuat sesuatu yang baru, mereka tidak akan mencapai tingkatan seperti yang dianugerahkan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada Nabi Sulaiman.

20. Diajarkan pula dalam kisah ini, hendaknya para raja dan pemimpin itu menanyakan keadaan para penguasa atau pemimpin dan tokoh-tokoh yang mempunyai keistimewaan dalam sejarah hidupnya.

Tidak hanya sekedar bertanya, tetapi juga mempelajari dan menguji perhatian serta pemahaman mereka terhadap suatu masalah. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman.

Hal ini sangat besar manfaatnya karena mereka jelas amat membutuhkan hal ini. Apalagi suatu kerajaan akan semakin sempurna apabila di sekitarnya adalah orang-orang yang mempunyai pemikiran sempurna.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib

[1]  Orang yang suka bertobat.


dari
http://asysyariah.com/kisah-nabi-dawud-dan-sulaiman/ 
http://asysyariah.com/kisah-nabi-dawud-dan-nabi-sulaiman/
http://asysyariah.com/pelajaran-dari-kisah-nabi-dawud-dan-nabi-sulaiman/

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi