Tayammum

Tayammum


Tayammum tentu bukanlah amalan yang asing lagi bagi masyarakat kita meski barangkali kita jarang melakukannya karena kita hidup di lingkungan yang memiliki persediaan air yang melimpah. Namun akan lebih baik jika kita mengilmui tata cara tayammum yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu saat mungkin kita harus melakukannya.

Penjelasan tentang wudhu dan perkara-perkara yang bersangkutan dengannya telah kita ketahui dan telah lewat pembahasannya. Permasalahan berikutnya adalah masalah tayammum dan beberapa perkara yang berhubungan dengannya. Adapun syariat tayammum ini Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Sempurna kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ  ٦
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian. Allah tidak menginginkan untuk menjadikan keberatan atas kalian di dalam menjalankan syariat Agama ini, akan tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (al-Maidah: 6)


Tayammum Khusus bagi Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Syariat tayammum merupakan kekhususan bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana syariat ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya sebagaimana dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي مِنَ الْأَنْبِيَاءِ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ،وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
“Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan ditanamkannya rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat), dan sebagai sarana bersuci….” (HR. al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan bahwasanya tayammum merupakan rukhshah (keringanan) dan keutamaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan secara khusus kepada umat ini yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. (al-Majmu’ 2/239)

Pengertian Tayammum

Tayammum secara bahasa diinginkan dengan makna “bermaksud” dan “bersengaja.” Sedangkan makna tayammum apabila ditinjau menurut syariat adalah “bersengaja menggunakan tanah/debu untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan disertai niat,” sehingga dengan perbuatan/amalan ini pelakunya diperkenankan mengerjakan shalat dan ibadah yang semisalnya. (Fathul Bari, 1/539)

Tata Cara Tayammum

‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu di tengah perjalanan aku junub sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan hal tersebut kepada beliau, beliau pun bersabda,
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَاظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini.” Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya[1], kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak tangan beliau ke bumi:
وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
“Beliau meniupnya, kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

Dari hadits Ammar radhiallahu ‘anhu di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara tayammum itu adalah:
  • Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/debu dengan sekali pukulan
  • Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut
  • Mengusap wajah lebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya mengusap wajah.


Berniat

Setiap perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah apabila disertai niat, demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam agama ini tentunya harus disertai niat karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Niat tempatnya di dalam hati, tidak dilafadzkan.

Dalam masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. (Bidayatul Mujtahid, hlm. 60)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Niat dalam tayammum adalah wajib menurut kami tanpa adanya perselisihan.” (al-Majmu’, 2/254)

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak diketahui adanya perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya tayammum kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari al-Auza’i[2] dan al-Hasan bin Saleh yang keduanya berpendapat bahwa tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (al-Mughni, 1/158)

Memukulkan Dua Telapak Tangan ke Tanah/Debu dengan Sekali Pukulan

Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi. Di antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian pendapat al-Imam Ahmad, ‘Atha’, Makhul, al-Auza’i, Ishaq, Ibnul Mundzir, dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. (Tharhut Tatsrib 1/269—270, Adhwa’ul Bayan, tafsir surat al-Maidah ayat 6, masalah ke-2)

Ini merupakan pendapat yang rajih menurut penulis, wallahu a’lam.

Hal ini menyelisihi pendapat yang mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti pendapat kebanyakan fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ، ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.” (HR. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 1/180,181, 183)

Namun para imam menghukumi hadits ini mauquf terhadap Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, ad-Daraquthni, dan yang lainnya. Juga dalam sanad hadits ini ada ‘Ali bin Dhabyan, seorang perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ibnul Qaththan, Ibnu Ma’in, dan selainnya
(at-Talkhis 1/237, Adhwa’ ul Bayan, tafsir surat al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam at-Taqrib (hlm. 341), “Dha’if.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Hadits-hadits menyebutkan tentang sifat/tata cara tayammum tidak ada yang sahih kecuali hadits Abul Juhaim ibnul Harits al-Anshari[3] dan hadits ‘Ammar. Adapun selain keduanya maka haditsnya dha’if atau diperselisihkan marfu’ dan mauqufnya, namun yang rajih tidak ada yang marfu’.” (FathulBari, 1/554)

Beliau memaparkan keterangan tentang dhaif dan mauqufnya jalan-jalan sanad hadits dalam at-Talkhis 1/236—240 no. 206—208.

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Ada beberapa riwayat yang semakna dengan hadits ini namun semuanya tidak shahih. Riwayat yang ada hanya mauquf atau dha’if (lemah).” (Subulus Salam, 1/149)

Dalam hadits Abul Juhaim dan hadits ‘Ammar tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa tayammum itu dengan dua kali pukulan ke bumi. Bahkan dalam hadits ‘Ammar ditunjukkan bahwa pukulan ke bumi itu hanya sekali. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-2)

Selain itu, ada pula yang berpendapat tayammum dilakukan dengan tiga kali pukulan seperti pendapat Ibnul Musayyab, Az-Zuhri dan Ibnu Sirin, dengan perincian: sekali untuk wajah, sekali untuk kedua telapak tangan dan sekali untuk kedua lengan. Namun sebagaimana penjelasan di atas, pendapat seperti ini marjuh (lemah). Kata al-Imam asy-Syaukani rahimahullah: “Aku tidak mendapatkan dalil dari pendapat ini.” (Nailul Authar, 1/368)


Meniup atau Mengibaskan Debu dari Dua Telapak Tangan

Dibolehkan meniup tanah atau debu yang menempel pada dua telapak tangan yang telah dipukulkan ke permukaan bumi atau mengibaskannya bila memang diperlukan, berdasarkan hadits dalam ash-Shahihain yang telah lewat penyebutannya.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di sini adalah meringankan debu yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga hal ini disenangi pengamalannya sehingga nantinya hanya tersisa debu yang sekadarnya untuk diusapkan merata ke anggota tubuh (tangan dan wajah, pent). (Syarah Shahih Muslim, 4/62)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah setelah membawakan hadits tentang meniup ini, beliau berkata, “(Dari hadits yang menyebutkan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meniup  tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil dalil tentang sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah dan tangan).” (Fathul Bari, 1/554)

Kata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Apabila pada kedua tangan seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang banyak menempel maka tidak masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut karena dalam hadits ‘Ammar radhiallahu ‘anhu disebutkan bahwa setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau meniupnya. al-Imam Ahmad rahimahullah menyatakan, “Tidak masalah baginya melakukan hal tersebut ataupun tidak.” (al-Mughni, 1/155)


Mengusap Wajah Sebelum Mengusap Dua Telapak Tangan

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan pengikut-pengikut beliau berpandangan mendahulukan mengusap wajah daripada tangan adalah rukun dari rukun-rukun tayammum. (Adhwaul Bayan, tafsir surat al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4).

Al-‘Allamah asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menghikayatkan kesepakatan pengikut mazhab Syafi’i dalam masalah ini. Sekelompok ulama yang lain di antaranya al-Imam Malik rahimahullah dan mayoritas pengikut beliau berpandangan mendahulukan wajah daripada kedua tangan hukumnya sunnah.”

Sementara al-Imam Ahmad rahimahullah dan yang sependapat dengannya berpandangan mengusap tangan didahulukan (daripada mengusap wajah). (Adhwaul Bayan, tafsir surat al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama mendahulukan mengusap wajah sebelum tangan, tapi mereka berselisih apakah hal itu wajib atau sunnah saja hukumnya.” (Fathul Bari, 1/440)

Namun yang kuat dalam permasalahan ini dalam pandangan penulis, wallahu a’lam, sunnahnya dan lebih utamanya mendahulukan wajah daripada pengusapan tangan, karena adanya dua alasan berikut ini :
  • Riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai al-Imam Ahmad rahimahullah berkata bahwa riwayat Abu Mu’awiyah dari al-A’masy tentang mendahulukan tangan adalah salah (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab al-Hambali, 2/90).
  • Mendahulukan wajah merupakan dzahir al-Qur’an karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ
“Maka usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” (al-Maidah: 6)

Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala mendahulukan wajah dari tangan sementara kita tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Aku memulai dengan apa yang Allah mulai.” (HR. Muslim no. 1218)

Dalam riwayat an-Nasa’i disebutkan dengan lafadz perintah,
ابْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Mulailah kalian dengan apa yang Allah mulai.” (HR. an-Nasa’i no. 2913)

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits di atas beliau kemudian membaca ayat Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar-syiar Allah.” (al-Baqarah: 158)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memulai penyebutan Shafa sebelum Marwah sehingga dalam ibadah sa’i (dalam amalan haji) pelaksanaannya dimulai dari Shafa lebih-lebih dahulu lalu menuju ke Marwah. Hal ini dilakukan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits ‘Ammar radhiallahu ‘anhu dalam riwayat al-Bukhari no. 347[4], “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disyaratkannya berurutan dalam tayammum.” (Fathul Bari, 1/569)

Dengan adanya dua riwayat yang menyatakan pengusapan wajah lebih-lebih dahulu baru tangan[5] –dan ini sesuai dengan penyebutan ayat tayammum- dengan penyebutan tangan lebih-lebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam ash-Shahihain, maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan boleh pula mendahulukan telapak tangan (al-Muhalla, 1/379). Namun yang sunnah dan utama mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan yang telah disebutkan, wallahu a’lam.


Batasan Tangan yang Harus Diusap

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Namun pendapat yang rajih menurut penulis adalah yang diusap hanya dua telapak tangan (luar maupun dalam), sebagaimana pendapat al-Imam Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan dinukilkan pula pendapat ini dari Malik.

Al-Imam al-Khaththabi menukilkan pendapat demikian dari ashhabul hadits dan al-Imam asy-Syafi’i berpendapat seperti ini dalam al-Qadim (pendapat yang lama). Al-Imam at-Tirmidzi menukilkan pendapat ini dari sekumpulan sahabat di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir dan Ibnu ‘Abbas serta sekumpulan tabi’in seperti asy-Sya’bi, ‘Atha’ dan Makhul. (Sunan at-Tirmidzi, 1/97)

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa batasan tangan yang diusap harus sampai ke siku[6]. Mereka berdalil antara lain dengan hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi[7]. Pembicaraan tentang hadits ini sudah kita singgung dalam masalah memukulkan dua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan yang haditsnya dha’if atau mauquf.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertayammum dengan satu kali pukulan untuk wajah dan kedua telapak tangan, dan tidak ada hadits yang sahih dari beliau bahwasanya beliau tayammum dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap tangan sampai ke siku. al-Imam Ahmad rahimahullah menyatakan, ‘Siapa yang berpendapat tayammum itu sampai ke siku maka hal itu adalah sesuatu yang dia tambahkan sendiri dari dirinya’.” (Zadul Ma’ad, 1/50)

Ada pula yang berpendapat pengusapan dilakukan sampai ke pundak dan ketiak sebagaimana diriwayatkan hal ini dari az-Zuhri dan Muhammad bin Maslamah. Namun dalil yang mereka jadikan sandaran goncang sekali (mudhtharib) seperti keterangan Abu Dawud dalam Sunan-nya (setelah membawakan hadits no. 273).

Ibnu Hazm membicarakan hadits ini dalam al-Muhalla (1/373—374), dan berkata, “Yang wajib bagi kita adalah kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana Allah memerintah kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Jadi, kalau mau melakukannya, kita akan mendapatkan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Makabertayammumlah dengan debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlahdari debu itu wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.”

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberikan batasan kecuali sekadar menyatakan (mengusap) tangan.

Demikian juga kita yakin apabila Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan pengusapan itu sampai ke siku, kepala dan kedua kaki, niscaya Allah akan menerangkannya dan menyebutkannya sebagaimana Allah lakukan hal ini ketika menyebutkan tentang wudhu.

Bila Allah menginginkan pengusapan tayammum itu mencakup seluruh tubuh, niscaya Allah akan menerangkannya sebagaimana hal ini dilakukan-Nya ketika menyebut tentang mandi. Apabila Allah tidak menyebutkan dalam ayatnya kecuali hanya wajah dan kedua tangan maka tidak boleh seorang pun menambah dari apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan, baik itu kedua siku, kepala ataupun kedua kaki dan seluruh tubuh. Jadi, tidak wajib dalam tayammum selain mengusap wajah dan kedua tangan.”

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah dalam Fathul Bari (2/56) berkata, “Hadits ini sangat mungkar dan terus-menerus ahlul ilmi mengingkarinya.” Guru kami al-Muhaddits asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i rahimahullah juga menyatakannya dha’if.

Al-Imam az-Zuhri rahimahullah sendiri mengingkari hadits yang diriwayatkannya ini, seperti dikatakan al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, “Hadits ini telah diingkari oleh az-Zuhri (sebagai salah seorang perawi hadits tersebut), ia berkata, ‘Hadits ini tidak dianggap oleh manusia’. Setelah itu az-Zuhri menahan diri menyampaikan hadits ini. Beliau pun berkata, “Hadits ini tidak boleh diamalkan.” (Fathul Bari, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali, 2/57)

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan selainnya mengatakan, “Apabila riwayat tentang tata cara tayammum yang demikian (mengusap tangan sampai ketiak) datang dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, riwayat tersebut terhapus dengan tata cara tayammum yang sahih yang datang belakangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika riwayat itu datang bukan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang jadi hujah adalah apa yang beliau perintahkan. Yang menguatkan riwayat ash-Shahihain tentang pembatasan pengusapan hanya pada wajah dan dua telapak tangan adalah ‘Ammar bin Yasir rahimahullah (sahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara tayammum –pen.) memfatwakan hal tersebut setelah meninggalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu perawi hadits lebih mengetahui apa yang dimaukan dengan hadits itu daripada selainnya, lebih-lebih lagi beliau adalah seorang mujtahid.” (Fathul Bari 1/55, Subulus Salam 1/150, Adhwa’ul Bayan, tafsir surat al-Maidah 6, masalah ke-3)


Perselisihan tentang Pengusapan Wajah

Al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat wajib mengusap seluruh wajah dengan debu dan mengusap rambut bagian luar yang ada di atas wajah, baik rambut itu wajib terkena air sampai ke bawahnya seperti rambut tipis yang menampakkan kulit maupun yang tidak.

Adapun pendapat kalangan ahlul ilmi yang lain tidak harus mengusap secara keseluruhan. Ini adalah pendapat Sulaiman bin Dawud, Yahya bin Yahya an-Naisaburi dan al-Jauzajani. Sebab, mereka berpandangan, mengusap wajah dalam tayammum sama dengan mengusap kepala dalam wudhu, di mana mengusap sebagian kepala sudah mencukupi dalam wudhu. (Fathul Bari, Ibnu Rajab, 2/50, al-Muhalla, 1/368)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Thaharah tayammum ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada para hamba-Nya. Hal ini tentu berbeda dengan thaharah ketika menggunakan air. Dalam tayammum tidak wajib menyampaikan debu ke seluruh wajah dan kedua tangan menurut pendapat yang rajih. Bahkan, dimaafkan bila ada bagian yang tidak sampai pengusapan padanya karena sulit diusap seperti pangkal rambut. Tidak wajib menyampaikan debu ke pangkalnya walaupun rambut itu tipis. Jadi, yang diusap hanyalah yang zahir (bagian luar permukaan wajah saja, pent.). Adapun dalam wudhu, bila rambut itu tipis, air wajib disampaikan ke pangkal rambut tersebut.” (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1/349)

Dalam hal ini, penulis lebih condong kepada apa yang dikatakan oleh asy- Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, karena zahir nash yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupi bagi kita kecuali bila ada dalil yang memalingkannya dari zahirnya.

Jadi, dalam tata cara tayammum cukup seseorang itu mengusapkan ke wajahnya, tanpa harus menyela-nyela jenggotnya dan mengusapkan ke tangannya tanpa harus menyela-nyela jari-jemarinya.


--- 000 ---

Tayammum adalah kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang khusus diberikan kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Posisi tayammum adalah sebagai pengganti wudhu saat tidak dijumpai air atau saat seseorang tidak boleh terkena air karena sedang sakit. Bolehkah orang yang junub bersuci dengan cara tayammum?

Yang Digunakan Untuk Tayammum

Sebagaimana disebutkan dalam ayat tayammum pada pembahasan kita sebelumnya, bahwa bila tidak mendapatkan air kita bisa menggunakan (الصَّعِيْدُ /ash-sha’id).

Namun yang menjadi permasalahan adalah makna atau pengertian ash-sha’id dalam ayat tersebut. Al-Fairuz Abadi dalam al-Qamus (hlm. 266) berkata, “Ash-Sha’id adalah tanah/debu atau permukaan bumi.”

Demikian juga yang dikatakan dalam al-Misbahul Munir fi Gharibis Syarhil Kabir (hlm. 339-340), “Ash-Sha’id adalah permukaan bumi, sama saja apakah itu tanah/debu atau yang selainnya. Az-Zujaj berkata, ‘Saya tidak mengetahui adanya perselisihan di antara ahli bahasa dalam masalah pemaknaan ini.’ Bahkan disebutkan juga, ash-sha’id dalam perkataan orang Arab dapat dimutlakkan terhadap beberapa hal, seperti tanah/debu yang berada di permukaan bumi, atau permukaan bumi dan jalanan.” (al-Misbahul Munir fi Gharibisy Syarhil Kabir hlm. 340)

Walaupun didapatkan juga di antara ahli bahasa ada yang menyebutkan ash-sha’id hanya tanah/debu yang berada di permukaan bumi dan tidak menyebutkan yang lainnya seperti ats-Tsa’labi di dalam Fiqhul Lughah (sebagaimana dinukilkan dalam Nailul Authar, 1/364).

Sehingga dalam masalah ini kita dapatkan para ulama berselisih pandangan. Ibnu Rusyd berkata dalam Bidayatul Mujtahid (hlm. 63): “Ulama sepakat bahwa thaharah (bersuci) itu dengan debu dari tanah yang baik/suci. Namun mereka berselisih, apakah boleh tayammum dengan selain debu.”

Di antara mereka ada yang mengatakan hanya debu saja yang bisa digunakan untuk tayammum. Demikian pendapat yang dipegangi oleh kebanyakan ahlul ilmi, di antaranya al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad, dan Dawud azh-Zhahiri, berdalil dengan hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim (no. 522) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلاَثٍ: جُعِلَتْ صُفُوْفُنَا كَصُفُوْفِ الْمَلاَئِكَةِ، وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَامَسْجِدًا، وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
“Kita dilebihkan dari manusia (umat) yang lain dengan tiga perkara yaitu dijadikan shaf-shaf kita seperti shaf-shaf malaikat, dijadikan bumi seluruhnya sebagai masjid (tempat shalat) dan dijadikan tanah/debunya bagi kita sebagai sarana bersuci apabila kita tidak mendapatkan air.”

Adapun ahlul ilmi yang lainnya mengatakan ash-sha’id adalah permukaan bumi semuanya dan apa yang berada di atasnya, seperti pendapat al-Imam al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, ‘Atha, Malik, Abu Hanifah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, dan yang lainnya. (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 2/230; Nailul Authar, 1/364; Adhwa’ul Bayan tafsir Surat an-Nisa ayat 43)

Asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam berkata, “Abu Hanifah dan Malik berpendapat bolehnya tayammum dengan seluruh yang menonjol di permukaan bumi. Sama saja, baik permukaan bumi itu berdebu ataupun tidak berdebu seperti pasir, kerikil, tanah berair, tanah lembab, tanah kering, tanah yang terbakar, batu, rumput kering, pohon dan selainnya. Demikian pula pendapat al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, salah satu riwayat lain dari al-Imam Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Pendapat ini dizahirkan oleh Ibnu Muflih dalam al-Furu’ dan dibenarkannya dalam al-Inshaf, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَجُعِلَتْ لِيَ الْأرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
Sehingga dengan keumuman nash memberikan faedah bolehnya tayammum dengan seluruh apa yang tampak di permukaan bumi.” (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/427)

Dari perselisihan ahlul ilmi yang kami paparkan di atas, penulis dalam hal ini lebih condong pada pendapat yang menyatakan bolehnya bertayammum dengan seluruh permukaan bumi dan apa yang berada di atasnya, wallahu ta’ala a’lam.

‘Allamatusy Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah dalam tafsir beliau terhadap ayat:
فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ
“Maka bertayammumlah kalian dengan tanah/debu yang baik/suci, usaplah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengannya.” (an-Nisa: 43)

menyatakan bahwa huruf min  (مِن) dalam ayat ini bukanlah bermakna tab’idh (sebagian)[8], tetapi maknanya ibtida’ul ghayah[9], sehingga untuk bertayammum tidak harus menggunakan tanah yang berdebu. Selain itu di kebanyakan negeri didapatkan tidak ada padanya kecuali pasir atau pegunungan, maka mengharuskan tayammum dengan tanah debu yang dapat menempel pada tangan merupakan perkara yang memberatkan.[10]

Yang menguatkan pendapat ini juga adalah hadits yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي مِنَ الْأَنْبِيَاءِ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ،وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
“Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan diberikan rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat) dan sebagai sarana bersuci, maka siapa saja dari umatku didapati waktu shalat, hendaklah ia shalat.” (HR. al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)

Hadits ini merupakan nash yang jelas yang menunjukkan bila waktu shalat mendapati seseorang sementara ia berada di tempat yang padanya hanya ada pegunungan atau pasir maka sha’id yang thayyib yang berupa bebatuan atau pasir merupakan penyuci baginya dan tempat shalatnya/masjidnya. (Adhwa’ul Bayan tafsir surat an-Nisa ayat 43)

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bolehnya tayammum dengan seluruh bagian bumi.” (Subulus Salam, 1/146)

Adapun hadits Hudzaifah yang seakan membatasi tayammum dengan menggunakan tanah berdebu maka bisa diterangkan dari beberapa sisi:

    Perkara yang disebutkan dalam hadits ini (tanah berdebu dapat digunakan untuk bersuci) dinyatakan dalam rangka menunjukkan anugerah yang diberikan kepada umat Islam (tidak diberikan kepada umat sebelumnya), sehingga yang demikian mencegah dianggapnya mafhum mukhalafah (yakni selain debu tidak boleh).

Karena itulah ulama bersepakat membolehkan makan dendeng daging ikan, padahal Allah mengkhususkan penyebutan daging ikan yang segar dalam firman-Nya,
وَهُوَ ٱلَّذِي سَخَّرَ ٱلۡبَحۡرَ لِتَأۡكُلُواْ مِنۡهُ لَحۡمٗا طَرِيّٗا
“Dialah yang menundukkan lautan (untuk kalian) agar kalian dapat makan daging (ikan) yang segar dari lautan tersebut.” (an-Nahl: 14)

Sebab, penyebutan dalam ayat adalah untuk menunjukkan anugerah yang dilimpahkan-Nya maka tidak bisa dipahami dengan mafhum mukhalafah bahwa selain daging segar tidak boleh dimakan.

    Yang dipahami dari lafadz turbah (dalam hadits tersebut yang berarti tanah) adalah mafhum laqab, sementara mafhum laqab adalah selemah-lemah pemahaman. Selain itu, mafhum ini tidak bisa diangkat untuk mengkhususkan keumuman al-Kitab dan as-Sunnah.

Oleh karena itu tidak teranggap dan tidak bisa dipakai/diamalkan menurut para imam ahli ushul. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dimaklumi dalam ilmu ushul.

    Turbah adalah salah satu bagian dari sha’id. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, penyebutan sebagian satuan dari sesuatu yang umum dengan hukum yang umum bukanlah sebagai pengkhususan bagi yang umum tersebut, sama saja baik keduanya disebutkan dalam satu nash seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

  حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ
“Jagalah oleh kalian shalat-shalat dan shalat wustha (yakni shalat Ashar).” Atau disebutkan dalam dua nash seperti hadits:
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Apabila kulit telah disamak berarti ia telah suci.” (HR. Muslim no. 366 dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma)

dengan hadits:
هَلاَّ انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا؟
“Tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya (yakni kulit kambing yang telah menjadi bangkai)?” (HR. al-Bukhari no. 1492 dan Muslim no. 363 dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma)

Penyebutan shalat wustha pada contoh yang awal dan kulit kambing pada contoh yang berikutnya, tidaklah menunjukkan bahwa selain shalat wustha tidak dijaga, dan selain kulit kambing tidak boleh dimanfaatkan.

    Penyebutan turbah di dalam hadits ini dan yang selain hadits ini disebutkan penyebutannya secara aghlabiyah (yang lebih banyak digunakan), namun tidak menafikan permukaan bumi yang lainnya. Yang menguatkan hal ini adalah tayammum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dinding.

(Raudhatun Nadiyyah bersama at-Ta’liqat ar-Radhiyah, 1/202; Subulus Salam, 1/146; Adhwa’ul Bayan tafsir surat an-Nisa ayat 43, 2/37-38)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Dalam bertayammum tidak harus (tidak khusus) menggunakan tanah/debu, bahkan bisa digunakan seluruh apa yang menonjol di permukaan bumi. Dalilnya:

    Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا
“Maka bertayammumlah kalian dengan sha’id yang baik/suci.”

Sha’id adalah seluruh yang menonjol yang ada di permukaan bumi. Dalam keadaan Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui bahwa manusia dalam safar mereka akan menempuh tanah yang berpasir, berbatu dan berdebu, namun Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengkhususkan satu dari yang lainnya.

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Tabuk melewati hamparan pasir yang banyak. Namun tidak dinukilkan adanya berita bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa tanah berdebu atau tidak ada berita beliau mengerjakan shalat tanpa tayammum. (asy-Syarhul Mumti’, 1/330—331)


Tidak Disyariatkan Membawa Debu dalam Perjalanan

Tidak disyariatkan bagi musafir untuk membawa debu bila dimungkinkan tidak mendapatkan air dalam perjalanannya. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam safar bersama para sahabatnya dalam perang Tabuk, air yang mereka bawa sangat sedikit namun tidak disebutkan bahwa Nabi membawa debu. Tidak ada pula perintah dari beliau dan tidak ada seorang sahabatpun yang melakukannya. (Zadul Ma’ad, 1/50)

Sebagian ahlul ilmi mengingkari hal tersebut dan mengatakan perbuatan ini tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Fathul Bari, Ibnu Rajab, 2/31)


Siapa Saja yang Diberikan Keringanan untuk Tayammum?

Dalam hal ini ada dua ketentuan, yaitu tayammum berlaku ketika tidak ada air dan ketika ada air namun ada kemudaratan atau kesulitan bagi seseorang dalam penggunaannya.

Jadi, kapan saja seseorang dalam dua keadaan ini maka dibolehkan baginya untuk bertayammum oleh syariat yang mudah ini. Seperti ketika tidak ada air, atau tidak didapatkannya air bagi seseorang yang sedang bepergian (safar) ataupun ia tidak sedang melakukan perjalanan (muqim), maka dibolehkan untuk tayammum.

Sebagaimana disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا

“Apabila kalian sakit atau sedang bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai membuang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (suci)….” (al-Maidah: 6)

Sedangkan dalil bolehnya tayammum bagi orang yang mukim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abul Juhaim radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
أَقْبَلَ النَّبِيُّ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ حَتَّى أَقْبَلَعَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari Bi’r Jamal. Lalu ada seseorang bertemu dengan beliau. Orang itu pun mengucapkan salam namun beliau tidak membalasnya hingga beliau menghadap ke tembok lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau (bertayammum). Setelahnya baru beliau membalas salam orang tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)

Hadits di atas ditempatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya dalam bab yang berjudul “Tayammum ketika tidak sedang bepergian apabila seseorang tidak mendapatkan air.”

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini dipahami, tayammum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidak mendapatkan air.” (Syarh ShahihMuslim, 4/64)

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Apabila orang yang muqim tidak mendapatkan air disebabkan tidak ada air di lingkungan mereka, atau air yang ada tertahan pada satu tempat, maka boleh bagi mereka tayammum dan shalat dengan tayammum tersebut. Ini adalah pendapat Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, dan asy-Syafi’i.” (al-Mughni,1/148)

Masalah muqim bisa bertayammum ketika tidak mendapatkan air di sisinya, ditunjukkan juga oleh hadits yang menyebutkan kisah seorang laki-laki yang menyendiri, tidak shalat bersama orang-orang yang shalat karena sedang junub dan tidak mendapatkan air. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunnya:
عَلَيْكَ بِالصَّعيْدِ فَإِنَّهُ يَكْفِيْكَ
“Silakan engkau menggunakan permukaan bumi (untuk bertayammum), sesungguhnya hal itu mencukupimu.” (HR. al-Bukhari no. 344, 348 dan Muslim no. 682)

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya tayammum untuk mengerjakan shalat ketika tidak ada air, tanpa membedakan antara orang yang junub dan yang selainnya.

Hal ini disepakati para ulama, dan tidak ada seorang dari kalangan khalaf (orang yang belakangan) dan dari kalangan salaf yang menyelisihinya, kecuali ‘Umar ibnul Khaththab dan Abdullah bin Mas’ud.

Namun, dikatakan bahwa mereka berdua telah rujuk (kembali kepada pendapat yang benar dan tidak lagi berpendapat dengan pendapat yang sebelumnya -pen.).

Dihikayatkan pula tentang tidak bolehnya tayammum bagi orang yang junub ini dari Ibrahim an-Nakha’i. Namun, terdapat hadits-hadits yang sahih yang menunjukkan bolehnya tayammum bagi orang yang junub. Apabila orang yang junub ini shalat dengan tayammumnya kemudian dia mendapatkan air maka wajib baginya untuk mandi dengan kesepakatan ulama.

Kecuali pendapat yang dihikayatkan dari Abu Salamah bin Abdirrahman, seorang imam dari kalangan tabi’in, ia berpendapat tidak wajib mandi. Namun, pendapatnya ini ditinggalkan dengan kesepakatan ulama yang sebelum beliau dan setelahnya, juga tertolak dengan hadits-hadits yang sahih yang masyhur tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang junub untuk mandi apabila ia mendapatkan air.” (Nailul Authar, 1/358)

Dari penjelasan dan dalil di atas, alhamdulillah, kita tahu bahwa ketidakadaan air merupakan sebab dibolehkannya tayammum, sama saja baik ketika sedang bepergian ataupun sedang muqim. Adapun dalam ayat tayammum hanya disebutkan safar karena keumumannya memang demikian, yakni orang yang sedang bepergian biasanya kekurangan air atau tidak mendapatkannya, wallahu a’lam.

Adapun bagi orang yang sakit, dalam banyak keadaan termudaratkan ketika berhubungan ataupun bersentuhan dengan air sehingga ia pun dibolehkan tayammum. Ulama berkata, “Siapa yang ketika menggunakan air ia khawatir akan membahayakan badannya, seperti sakit yang ditakutkan akan bertambah parah, atau khawatir memperlambat kesembuhan, atau akan meninggalkan atsar/bekas dan semisalnya, maka ia meninggalkan penggunaan air dalam berwudhu atau mandi dan beralih kepada tayammum sampai ia sembuh.”

Demikian pula semata-mata karena khawatir kemudaratan yang akan dialami—meski tidak sampai pada kematian—ketika menggunakan air maka dibolehkan tayammum berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini satu keberatan pun bagi kalian.” (al-Hajj: 78)

Sementara syariat tayammum ini ditetapkan untuk mengangkat keberatan dari umat ini. Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
“Allah tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286) [al-Muhalla, 1/346; as-Sailul Jarrar, 1/308-310; ar-Raudhatun Nadiyyah bersama at-Ta’liqat ar-Radhiyah, 1/202; Taudhihul Ahkam 1/429]

‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhu tatkala diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan Dzatus Salasil, pada hari yang sangat dingin ia ihtilam (mimpi basah) kemudian bertayammum karenanya dan menunaikan shalat mengimami teman-temannya. Tatkala mereka pulang, mereka menyebutkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau pun bertanya kepada ‘Amr: “Wahai ‘Amr, apakah engkau shalat mengimami teman-temanmu dalam keadaan junub?”

‘Amr menjawab, “Aku ingat dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian sesungguhnya Allah Maha penyayang terhadap kalian.” (an-Nisa: 29)

Aku pun tayammum lalu mengerjakan shalat.”

Mendengar penjelasan ‘Amr tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan tidak mengatakan sesuatupun. (HR. Abu Dawud no. 334 dan Ahmad, 4/203-204, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 154)

Al-Imam al-Bukhari mengeluarkan hadits ini secara mu’allaq dalam kitab at-Tayammum, bab “Diperkenankan tayammum bagi orang yang junub apabila mengkhawatirkan dirinya jatuh sakit, meninggal, atau khawatir kehausan karena kehabisan air.”

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Ulama sepakat bahwa apabila seseorang berada di negeri yang dingin lalu junub dan khawatir dirinya akan meninggal apabila menggunakan air untuk mandi, ia boleh tayammum.” (Mushannaf Abdur Razzaq 1/226, no. 877)

Al-Imam al-Majd Ibnu Taimiyah[11] rahimahullah berkata, “Di sini didapatkan, penetapan tayammum karena takut hawa yang dingin, gugurnya kewajiban (berwudhu) dalam keadaan dingin yang sangat, dan sahnya shalat seorang yang berwudhu di belakang imam yang berthaharah dengan tayammum….” (Nailul Authar, 1/360—361)


--- 000 ---

Mencari Air Untuk Wudhu

Seseorang yang tidak mendapatkan air, hendaknya berusaha mencari air terlebih dahulu. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ
“Jika kalian tidak mendapatkan air, bertayammumlah….”

Pernyataan “tidak mendapatkan air” menunjukkan telah dilakukan usaha pencarian air sebelum itu. (asy-Syarhul Mumti’, 1/324)

Demikian pendapat mazhab asy-Syafi’i, pendapat al-Imam Malik, Dawud, dan satu riwayat dari al-Imam Ahmad. Abu Hanifah berpendapat, apabila orang tersebut memperkirakan di tempat yang dekat dengannya ada air, dia harus mencarinya. Jika tidak ada di sekitarnya, ia tidak wajib mencari air. (al-Majmu’, 2/287)

Al-Imam asy-Syafi’i menyatakan, apabila masuk waktu shalat sementara tidak ada air di tempat tersebut, kemudian ia khawatir kendaraannya akan diambil orang, tertinggal dari rombongan, melewati jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan air, atau waktu shalat akan habis apabila ia mencari air, ia boleh bertayammum. Namun, apabila dirinya aman dari semua itu, dia wajib mencari air sebelum tayammum. (al-Umm, 1/63)

Ibnu Hazm juga menyatakan yang semakna dengan ucapan ini. (al-Muhalla, 1/350)

Dengan demikian, seseorang hendaknya mencari air sebelum bertayammum. Dengan catatan, pencarian air tersebut tidak menyulitkannya. Artinya, dia dengan mudah mendapatkan air di sekitarnya, dan diperkirakan dia bisa mendapatkan air. Demikian pula, pencariannya tidak menyebabkannya terluput dari waktu shalat. (as-Sailul Jarrar, 1/316)



Apakah Tayammum Menghilangkan Hadats?

Dalam masalah ini ahlul ilmi terbagi dalam tiga pendapat:

1. Tayammum mengangkat hadats/janabah secara mutlak.

Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan satu riwayat dari al-Imam Ahmad. Mereka berdalil dengan hadits,
وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا
“Dijadikan bagi kita tanahnya untuk bersuci.” (HR. Muslim no. 522)

Jadi, hukum tanah/debu yang digunakan untuk tayammum sama dengan hukum air. Karena Allah ‘azza wa jalla menjadikannya sebagai pengganti air, hukum air diberikan pula kepada tanah/debu tersebut. Selain itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya menamakan tanah/debu itu sebagai thahur.

Berdasarkan pendapat ini, apabila orang yang junub mendapatkan air (setelah tayammum), ia tidak wajib mandi.

2. Tidak mengangkat hadats, tetapi tayammum membolehkan untuk shalat.

Demikian pendapat Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam pendapatnya yang masyhur.

Berdasarkan pendapat ini, seseorang wajib bertayammum setiap hendak mengerjakan shalat. Sebab, tayammum yang sebelumnya batal dengan masuknya waktu shalat yang berikutnya.

Mereka berdalil dengan hadits ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amr yang shalat, bahkan mengimami manusia dengan tayammum tersebut,
يَا عَمْرُو، أَصَلَّيْتَ مَعَ أَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ؟

“Wahai ‘Amr, apakah engkau shalat bersama teman-temanmu dalam keadaan junub?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya junub, padahal dia telah bersuci dengan tayammum. Namun, ketika ‘Amr menjelaskan sebab tayammumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan tidak mengatakan apa-apa.


3. Tayammum mengangkat hadats hingga didapatkan air.

Di antara dalilnya adalah hadits ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu tentang seorang laki-laki yang menyendiri, tidak shalat bersama orang-orang, karena sedang junub dan tidak mendapatkan air. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan kepadanya,
عَلَيْكَ بِالصَّعيْدِ فَإِنَّهُ يَكْفِيْكَ
“Silakan engkau menggunakan tanah/debu (bertayammum), sungguh itu mencukupimu.”

Ketika didapatkan air, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan satu bejana air kepada orang yang junub tersebut seraya berkata,
اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْكَ
“Pergilah engkau (untuk mandi) lalu tuangkan air ini ke atasmu.” (HR. al-Bukhari no. 344, 348 dan Muslim no. 682)

Hadits ini menunjukkan tayammum yang telah dilakukan batal bila didapatkan air. Jadi, apabila mendapatkan air, dia wajib berwudhu atau mandi bagi yang berhadats besar.

Pendapat yang terakhir ini merupakan mazhab ahlul hadits, sebagaimana dinukilkan oleh al-Khaththabi dan yang dirajihkan oleh Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan asy-Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi.

Pendapat inilah yang rajih (kuat) dan menenangkan menurut penulis karena bisa mengumpulkan perselisihan pendapat yang ada. (al-Muhalla, 1/351; Majmu’ul Fatawa, 21/352; Fathul Bari, 1/566; Subulus Salam, 1/150- 151; Adhwa’ul Bayan, 2/49—50; asy-Syarhul Mumti’, 1/314—316; Taudhihul Ahkam, 1/424)



Tayammum Berlaku untuk Beberapa Kali Shalat

Ahlul ilmi berselisih pendapat dalam masalah ini. Hal ini karena adanya perbedaan pendapat yang telah kita sebutkan di atas, apakah tayammum yang dilakukan dapat menghilangkan hadats atau tidak.

Yang rajih, tayammum mengangkat hadats, namun dibatasi sampai waktu didapatkannya air. Jadi, sebagaimana wudhu boleh digunakan untuk beberapa kali shalat selama belum batal, demikian pula halnya dengan tayammum[12].

Selama orang tersebut belum berhadats besar/kecil atau mendapatkan pembatal tayammum, ia bisa menggunakan tayammumnya untuk melaksanakan beberapa shalat yang dia kehendaki. Sama saja, baik ia tayammum untuk mengerjakan shalat sunnah, shalat sunnah dan shalat fardhu, maupun untuk shalat fardhu saja.

Ini adalah pendapat Sa’id ibnul Musayyib, al-Hasan, az-Zuhri, ats-Tsauri, Ashabur ra’yi, dan dinukilkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Ja’far. (al-Majmu’, 2/347; al-Mughni, 1/164; al-Muhalla, 1/355)

Adapun hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menyatakan,
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لاَ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ بِالتَّيَمُّم إِلاَّ صَلَاةً وَاحِدَةً، ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِلصَّلاَةِ الْأُخْرَى
“Termasuk sunnah, bila bertayammum, seseorang tidak mengerjakan kecuali satu shalat, kemudian bertayammum (lagi) saat hendak mengerjakan shalat yang lain.” (HR. ad-Daraquthni)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sanad hadits ini sangat lemah (dha’if jiddan).” (Bulughul Maram hlm. 52)

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan bahwa dalam masalah ini ada riwayat dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, namun kedua riwayat ini lemah dan tidak bisa dijadikan hujah.

Alasan lainnya, Allah ‘azza wa jalla menjadikan tanah sebagai pengganti air, dan seseorang tidaklah wajib berwudhu dengan air ketika hendak shalat kecuali karena hadats yang menimpanya. Maka dari itu, demikian pula halnya dengan tayammum.

Ini adalah pendapat sekelompok imam ahlul hadits dan selain mereka. (Subulus Salam, 1/156)

Mendapatkan Air Setelah Shalat

Siapa yang shalat dengan bertayammum dan baru mendapatkan air setelah shalat, shalatnya tetap sah dan tidak wajib diulangi.

Demikian pendapat yang dipegangi oleh Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Malik, Ahmad, Ishaq, Yahya, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, Abu Salamah bin Abdirrahman, ats-Tsauri, al-Auza’i, al-Muzani, Ibnul Mundzir, jumhur salaf dan khalaf.

Mereka berdalil dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
خَرَجَ رَجُلاَنِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءً، فَتَيَمَّمَا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا، ثُمَّ وَجَدَا الماَءَ فِي الْوَقْتِ، فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوْءَ وَلَمْ يُعِدِ اْلآخَرُ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُوْلَ اللهِ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ :أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلاَتُكَ .وَقَالَ لِلْآخَرِ :لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
Dua orang laki-laki keluar untuk safar. Waktu shalat tiba dan mereka berdua tidak memiliki air. Keduanya bertayammum dengan debu yang bersih lalu shalat. Setelah shalat, keduanya mendapatkan air dan waktu shalat belum habis. Salah seorang dari keduanya lalu berwudhu dan mengulangi shalatnya, sementara yang lainnya tidak. Lalu keduanya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut kepada beliau.

Beliau berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah mencocoki as-Sunnah dan shalatmu (yang dikerjakan dengan tayammum) mencukupi (sah).”

Beliau berkata kepada yang lain, “Engkau mendapatkan pahala dua kali.” (HR. Abu Dawud no. 338 dan an-Nasa’i no. 433, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud dan Shahih Sunan an-Nasa’i)

Pendapat inilah yang rajih (kuat) menurut penulis. Dalilnya ialah penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya,
أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلاَتُكَ
“Engkau telah mencocoki as-Sunnah dan shalatmu (yang dikerjakan dengan tayammum) telah mencukupi (sah).”

Shalat orang yang tayammum tersebut sah karena dilakukan ketika tidak ada air. Ketika ia mendapatkan air setelah shalatnya, ia tidak wajib mengulanginya. (Subulus Salam, 1/152)

Sementara itu, kalangan ahlul ilmi yang lainnya, seperti Thawus, ‘Atha, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Makhul, Ibnu Sirin, az-Zuhri, dan ar-Rabi’ah—sebagaimana dihikayatkan oleh al-Mundziri dan selainnya—berpendapat shalatnya wajib diulang apabila waktu shalat tersebut masih ada. (al-Majmu’, 2/353; Nailul Authar, 1/371)

Apabila seseorang sedang shalat dan didapatkan air pada waktu itu, shalat tersebut dibatalkan untuk melakukan wudhu. Sebab, tayammum berlaku ketika tidak ada air dan tidak ada halangan untuk menunaikannya. Ketika ada air atau ketika hilang hambatan tersebut, maka tayammum batal dan dia harus berwudhu.

Ini adalah pendapat al-Auza’i, ats- Tsauri, Abu Hanifah, al-Muzani, Ibnu Syuraih, Ibnu Hazm, dan yang lainnya. Inilah yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Dalil mereka ialah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اللهَ وَلْيَمُسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ
“Apabila mendapatkan air, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan mengusapkan air itu ke kulit badannya. Sebab, hal itu lebih baik.” ( HR. at-Tirmidzi no.124, Abu Dawud no. 332, Ahmad 5/155, dari hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no.153 dan ash-Shahihah no. 3029; dinyatakan sahih pula oleh Abu Hatim, ad-Daraquthni, adz-Dzahabi, sebagaimana dinukil dalam Irwa’ul Ghalil no. 153)

Adapun Al-Imam asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, dan Malik berpendapat lain. Al-Imam Malik dan Dawud berkata, “Dia tidak wajib membatalkan shalatnya. Justru, haram dia membatalkan shalat tersebut, dan shalat yang dikerjakan (dengan tayammum tersebut -pen.) sah.” (al-Muhalla, 1/353; Nailul Authar, 1/371)



Pembatal Tayammum

Tayammum merupakan pengganti wudhu sehingga yang membatalkan wudhu juga menjadi pembatal tayammum, seperti berhadats dan yang lainnya. Hanya saja, pembatal tayammum ditambah dengan didapatkannya air dan hilangnya kemudaratan bagi seseorang dalam menggunakan air. (al-Muhalla, 1/351; al-Mughni, 1/169; as-Sailul Jarrar, 1/334; asy-Syarhul Mumti’, 1/341)

Pemahaman ini diambil dari ayat dalam surat al-Maidah yang telah disebutkan. Demikian pula dipahami dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku perintahkan satu perkara kepada kalian, laksanakanlah semampu kalian.” (HR. al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

[1] Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Demikian seluruh riwayat menyebut dengan keraguan. Tapi dalam riwayat Abu Dawud ada pelurusan melalui jalan Mu’awiyah juga dan lafadznya: Lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan tangan kiri dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu mengusap wajahnya. (Fathul Bari 1/456 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 321)(ed)

[2]  Tharhut Tatsrib, al-Imam al-‘Iraqi, 1/268

[3]  Abul Juhaim radhiallahu ‘anhu berkata,
أَقْبَلَ النَّبِيُّ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ بِوَجْهِهِ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ وَيَدَيْهِ،ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari arah sumur Jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan beliau. Lelaki itu pun mengucapkan salam namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke tembok -pen.) lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah itu beliau menjawab salam tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)

[4] Yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ammar radhiallahu ‘anhu,
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِبِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini.” Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung kedua telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” ( HR. al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)

[5] Disebutkan dalam riwayat,
وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
“Beliau meniupnya kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

[6] Seperti pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan pengikut keduanya, ats-Tsauri, Ibnu Abi Salamah, dan al-Laits. Demikian pula pendapat Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam, Ibnu Nafi’, dan Isma’il al-Qadhi. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)

[7] Dengan lafadz,
التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ، ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَ ضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.”

[8] Bila maknanya tab’idh berarti yang digunakan untuk tayammum harus tanah berdebu yang dapat melekat/menempel pada tangan.

[9] Kata مِنْ yang menunjukkan ibtida`ul ghayah seperti seseorang mengatakan:
سِرْتُ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينةِ
“Aku berjalan dari Makkah ke Madinah.”

[10] Padahal syariat tayammum diturunkan untuk meringankan hamba bukan memberatkannya.

[11] Al-Majd Ibnu Taimiyah, penulis Muntaqal Akhbar, adalah kakek Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.


[12] Karena tanah/debu yang digunakan untuk tayammum adalah pengganti air, sehingga diberikan padanya hukum yang berlaku pada air.

Sumber : Asy Syariah Edisi 015, Seputar Hukum Islam, Asy Syariah Edisi 016, Seputar Hukum Islam , Asy Syariah Edisi 017

15 November 2011

http://asysyariah.com/990/
http://asysyariah.com/tayammum-bagian-2/
http://asysyariah.com/tayammum-bagian-3/

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi