Prinsip Yang Tak Pernah Sirna

 Prinsip Yang Tak Pernah Sirna


Abdullah bin ‘Umarr adhiallahu ‘anhuma, ipar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan putra dari sahabat yang mulia ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, menyampaikan kepada kita apa yang dia dengar dari ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
‘Islam itu dibangun di atas lima (tiang ataupun rukun): syahadat Laa ilaaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah ta‘ala) dan Muhammad adalah hamba serta rasul-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan’.”

Penjelasan Hadits

Hadits ini diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallahdalam Shahih keduanya[1] dari jalan ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu ‘Umarradhiallahu ‘anhuma. Al-Imam Muslim juga meriwayatkan dari Sa’d bin ‘Ubaidah as-Sulami dan Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin ‘Umar yang keduanya dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani  rahimahullah berkata, “Dalam riwayat ini didahulukan haji dari puasa, yang karenanya al-Imam al-Bukhari memberikan urutan bab dalam kitab Shahih-nya (mendahulukan haji dari puasa). Akan tetapi dalam Shahih Muslim dari riwayat Sa’d bin ‘Ubaidah dari Ibnu ‘Umar didahulukan puasa daripada haji. Dikatakan kepada Ibnu ‘Umar, ‘Apakah haji dahulu baru puasa Ramadhan?’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘Tidak, puasa Ramadhan dahulu baru haji. Demikian yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’

Dalam hal ini bisa diraba, bahwa riwayat Hanzhalah[2] yang ada dalamShahih al-Bukhari diriwayatkan secara makna. Bisa jadi karena perawi tidak mendengar jawaban Ibnu ‘Umar kepada seseorang yang berkata, ‘Apakah haji dahulu baru puasa Ramadhan?’ Disebabkan banyaknya majelis Ibnu ‘Umar yang diadakan, atau perawi hadir dalam majelis tersebut namun ia lupa.

Oleh karena itu, sangat jauh pendapat sebagian orang yang mengatakan boleh jadi Ibnu ‘Umar mendengar hadits ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua sisi lantas ia lupa salah satunya ketika menjawab orang yang bertanya tersebut. Selain itu, jauhnya anggapan ini karena menyandarkan lupa kepada perawi yang meriwayatkan dari sahabat lebih utama daripada menyandarkannya kepada sahabat. Bagaimana mungkin (kelupaan ini disandarkan kepada Ibnu ‘Umar) sementara dalam riwayat Muslim dari jalan Hanzhalah didahulukan puasa daripada haji. Dalam riwayat Abu ‘Awanah—dari jalan yang lain dari Hanzhalah—dia menjadikan puasa Ramadhan sebelum haji.

Oleh karena itu, beragamnya riwayat ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Umar meriwayatkannya secara makna. Juga yang menguatkan akan hal ini adalah adanya riwayat al-Bukhari dalam tafsirnya yang puasa didahulukan daripada zakat. Apakah kemudian akan dikatakan bahwa Ibnu ‘Umar mendengar hadits ini dengan tiga sisi? Hal ini jelas sangat jauh sekali. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 1/65)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya berkata, “Demikianlah, dalam riwayat ini haji didahulukan daripada puasa Ramadhan. Ini sekadar urutan dalam penyebutan bukan dalam hukum, karena puasa Ramadhan diwajibkan sebelum haji[3]. Telah datang pula dalam riwayat lain, didahulukannya puasa daripada haji.” (Syarhul Arba’in an-Nawawiyyah, hlm. 25)


Kedudukan Hadits

Hadits ini memiliki kedudukan yang sangat penting karena di dalamnya disebutkan asas dan fondasi agama Islam. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah pokok atau dasar yang agung untuk mengenal agama Islam. Di atasnyalah agama ini berpijak dan di dalamnya terkumpul rukun-rukun Islam.” (Syarah Shahih Muslim, 1/179)

Di dalam hadits ini, amalan jihad tidak disertakan penyebutannya bersama lima perkara yang disebutkan. Sementara kita semua tahu keutamaan dan kemuliaan jihad di dalam agama ini. Di antaranya, runtuhnya kecongkakan orang-orang kafir dengan ditegakkannya jihad.

Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah menjelaskan, lima perkara yang disebutkan dalam hadits ini diwajibkan selama-lamanya, sedangkan jihad termasuk fardhu kifayah dan kewajibannya dapat gugur pada sebagian waktu. (Syarhul Arba’in Haditsan, hlm. 20)

Demikian pula yang dikatakan oleh al-Hafizh rahimahullah dalam Fathul Bari (1/64).

Adapun Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menyebutkan dua sisi mengapa jihad tidak dimasukkan dalam hadits ini, yaitu:
  • Jihad adalah fardhu kifayah menurut pendapat jumhur ulama, bukan fardhu ‘ain, berbeda halnya dengan lima rukun ini.
  • Jihad tidak selamanya dilakukan sampai akhir masa, bahkan ketika nanti Nabi ‘Isa ‘alaihissalam turun ke bumi, saat itu tidak ada agama selain Islam. Maka diletakkanlah perlengkapan perang karena tidak ada jihad melawan orang kafir. Berbeda halnya dengan kelima rukun ini, karena kelimanya diwajibkan atas setiap mukmin sampai datang hari kiamat. (Jami’ul Ulum, 1/152)

Islam Diibaratkan Sebuah Bangunan

Islam dibangun di atas lima perkara yang diibaratkan seperti tiang-tiang bagi bangunan Islam. (Jami’ul Ulum, 1/145)

Abul ‘Abbas al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Lima perkara yang disebutkan dalam hadits ini adalah asas agama Islam dan kaidahnya, yang di atas asas inilah Islam itu dibangun dan ditegakkan.” (Syarhul Arba’in Haditsan, hlm. 20)

Islam yang merupakan bangunan secara maknawi juga bisa diserupakan dengan bangunan secara hakiki/inderawi. Sisi keserupaannya, bangunan fisik bila roboh sebagian tiangnya maka bangunan itu tidak bisa tegak dengan sempurna. Demikian pula bangunan secara maknawi. Sebagaimana rumah sempurna dengan tiang-tiangnya, Islam pun sempurna dengan rukun-rukunnya yang lima ini. Siapa yang menjalankan dengan baik kelima rukunnya, maka sungguh telah sempurna Islamnya dan dia menjadi muslim yang sebenar-benarnya. Ia pantas mendapatkan janji dari sisi Allah ‘azza wa jalla berupa jannah (surga) nan penuh kenikmatan. (Syarhul Arba’in an-Nawawiyyah, hlm. 24, Jami’ul Ulum, 1/98, kaset Durus Hadits al-Arba’in oleh asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh)

Apa yang disebutkan di sini merupakan fondasi dari bangunan Islam. Sementara kewajiban lain yang tidak disertakan penyebutannya merupakan pelengkap dan penyempurna Islam, yang bila hilang salah satu darinya, bangunan Islam kurang sempurna, namun ia tetap berdiri, tidak roboh. Berbeda halnya bila yang hilang itu salah satu dari lima rukun ini. Adapun seluruh perkara yang mustahab (sunnah, tidak wajib) merupakan perhiasan bagi bangunan Islam. (Syarhul Arba’in an-Nawawiyyah, hlm. 25, Jami’ul Ulum, 1/145)

Islam sebagai Amalan Lahir

Kata Islam bila disebutkan secara mutlak dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah maka yang dimaksud bisa Islam secara umum dan Islam secara khusus. Islam yang umum adalah ketundukan yang meliputi semua makhluk baik dengan terpaksa maupun sukarela, dan tidak ada satu pun dari makhluk yang bisa keluar darinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
أَفَغَيۡرَ دِينِ ٱللَّهِ يَبۡغُونَ وَلَهُۥٓ أَسۡلَمَ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ طَوۡعٗا وَكَرۡهٗا وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُونَ ٨٣
“Maka apakah mereka mencari agama yang selain agama Allah? Padahal kepada-Nya tunduk berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan sukarela maupun terpaksa dan hanya kepada-Nya lah mereka dikembalikan.” (Ali ‘Imran: 83)

Hanya agama Islam inilah yang diterima oleh Allah ‘azza wa jalla dari hamba-hamba-Nya yang mukallaf (yang telah baligh dan berakal). Karena itu, Nabi Adam ‘alaihissalam dan seluruh para nabi serta para pengikut mereka berada di atas agama Islam yang merupakan Islam yang umum. Islam inilah yang ditafsirkan dengan kalimat berserah diri kepada Allah‘azza wa jalla dengan mentauhidkan-Nya, terikat kepada-Nya dengan menaati-Nya, dan berlepas diri dari kesyirikan berikut pelakunya. Adapun Islam yang khusus adalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kesamaan antara Islam yang umum dengan yang khusus adalah dari sisi tauhid dan akidah, sedangkan dari sisi syariat berbeda-beda. Syariat agama yang diajarkan Nabi ‘Isa ‘alaihissalamberbeda dengan yang diajarkan Nabi Musa ‘alaihissalam dan berbeda pula dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (kasetDurus Arba’in, asy-Syaikh Shalih)

Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini memiliki tiga tingkatan yang masing-masingnya memiliki rukun, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan (al-Ushuluts Tsalatsah, hlm. 8). Adapun Islam sebagai tingkatan pertama dari tiga tingkatan yang ada, berkaitan dengan amalan jawarih (anggota badan) yang lahir, baik berupa ucapan maupun perbuatan (Jami’ul Ulum, 1/98), sebagaimana hal ini diterangkan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril ‘alaihissalam yang masyhur.

Perlu diketahui bahwa Islam tidak sebatas lima rukun ini. Namun seluruh amalan lahir masuk dalam penamaan Islam. Yang menunjukkan hal ini adalah seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang kaum muslimin merasa aman dari lisan dan tangannya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 10, 6484 danMuslim no. 40)

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa menahan diri dari mengganggu dan menyakiti orang lain termasuk amalan seseorang yang memeluk agama Islam.

Ketika ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam bagaimanakah yang dikatakan sebagai Islam yang baik?”

Beliau menjawab dengan menyebutkan amalan berikut, “Engkau memberi makan kepada orang lain dan engkau mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal ataupun tidak engkau kenal.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 12, 28, 6236 dan Muslim no. 1013)

Dengan demikian memberi makan kepada orang lain dan menebarkan salam termasuk amalan Islam.

Syahadatain

Yang dimaksud dengan syahadatain dalam hadits ini adalah beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ditunjukkan hal ini dalam riwayat al-Bukhari, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma (no. 4514), “Islam itu dibangun di atas lima asas: iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Dalam riwayat Muslim, dari Sa’d bin ‘Ubaidah dari Ibnu ‘Umar disebutkan dengan lafadz, “Islam itu dibangun di atas lima asas yaitu agar Allah ‘azza wa jalla ditauhidkan (diesakan).” Dalam lafadz lain, “Agar Allah ‘azza wa jalla diibadahi dan sesembahan yang selain-Nya dikufuri/diingkari.” Dalam riwayat Ahmad (4/364), “Agar engkau beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” Dengan demikian tahulah kita bahwa iman kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam kandungan amalan Islam.

Adapun makna syahadat Laa ilaaha illallah adalah tidak ada sesembahan yang haq/benar selain hanya Allah ‘azza wa jalla, dan inilah yang dimaksud dengan kalimat tauhid. Kalimat Laa ilaaha meniadakan segala apa yang disembah selain Allah ‘azza wa jalla, sedangkan kalimat illallah menetapkan ibadah itu hanya untuk Allah ‘azza wa jalla saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. (Syarhu Tsalatsatil Ushul, asy-Syaikh Ibnu Baz, hlm. 59, at-Tauhid Awwalan Ya Du’at al-Islam, asy-Syaikh al-Albani, hlm. 10)

Makna syahadat Muhammadan rasulullah adalah menaatinya dalam apa yang beliau perintahkan, membenarkan apa yang beliau kabarkan, menjauhi apa yang beliau larang dan cerca, dan tidaklah Allah ‘azza wa jalla diibadahi kecuali dengan apa yang beliau syariatkan. (Ushuluts Tsalatsah, hlm. 8—9)

Kedua syahadat ini tidak sekadar diucapkan dengan lisan, namun harus disertai pembenaran di dalam hati dan direalisasikan dengan perbuatan. (Syarhu Tsalatsatil Ushul, asy-Syaikh Ibnu Baz, hlm. 59)

Syahadatain ini adalah tiang Islam yang paling utama. Karena, dengannya akan terjaga darah dan harta orang yang mengucapkannya, akan diterima amalan seorang hamba, akan diampuni dosa seberapa pun besarnya, serta merupakan sebab masuk surga dan selamat dari neraka.

Empat rukun yang disebutkan setelah syahadatain dibangun di atas syahadatain ini. Karena tidak sah satu pun dari empat rukun tersebut kecuali setelah adanya syahadatain.

Shalat

Shalat secara bahasa maknanya adalah doa. Adapun ditinjau dari pandangan syariat, shalat adalah suatu peribadatan kepada Allahsubhanahu wa ta’ala yang terdiri dari ucapan dan perbuatan tertentu, diawali dengan takbir, diakhiri dengan salam, dan disertai dengan niat. (asy-Syarhul Mumti’ 2/5, Taisirul ‘Allam 1/109)

Kewajiban shalat ini demikian jelasnya ditunjukkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Dalam hadits di atas disebutkan bahwasanya shalat merupakan asas bangunan Islam sebagaimana ia juga merupakan tiang agama. Seperti disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya yang mulia:

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ
“Pokok dari perkara ini adalah Islam dan tiangnya adalah shalat…” (HR. Ahmad, 5/231, 237 dan selainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz[4])

Oleh karenanya, apabila roboh tiang ini maka bangunan Islam tidak akan bisa berdiri tegak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima perintah shalat langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala saat beliau di-mi’raj-kan ke langit sebelum hijrah ke Madinah. (Fathul Bari, 1/576, Syarah Shahih Muslim, 2/210)

Siapa yang menunaikan amalan agung ini sesuai petunjuk Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam disertai kekhusyukan hati dan anggota badannya, niscaya akan mendapatkan keberuntungan yang dijanjikan dalam ayat Allah subhanahu wa ta’ala:
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢
“Sungguh beruntunglah orang-orang beriman, yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.” (al-Mu’minun: 1—2)

Sampai pada firman-Nya:
أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡوَٰرِثُونَ ١٠ ٱلَّذِينَ يَرِثُونَ ٱلۡفِرۡدَوۡسَ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ١١
“Mereka itulah orang-orang yang mewarisi, yaitu orang-orang yang berhak untuk menempati surga Firdaus dan mereka kekal di dalamnya.”(al-Mu’minun: 10—11)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ، وَصَلاَّهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ، وَأَتَمَّ رُكُوْعَهُنَّ وَسُجُوْدَهُنَّ وَخُشُوْعَهُنَّ، كَانَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Shalat lima waktu diwajibkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Siapa yang membaguskan wudhunya guna melaksanakan shalat yang lima ini dan melaksanakannya pada waktunya, dia sempurnakan ruku’, sujud, dan khusyuknya, maka orang yang seperti ini akan mendapatkan janji dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk mendapatkan ampunan-Nya. Namun siapa yang tidak melaksanakan seperti ketentuan tersebut, dia tidak mendapatkan janji dari Allah subhanahu wa ta’ala. Bila Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuninya dan bila Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengazabnya.” (HR. Abu Dawud no. 361, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam mukadimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 36)

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Tidak ada satu ibadah pun dari ibadah-ibadah yang ada setelah iman kepada Allah subhanahu wa ta’alayang Allah subhanahu wa ta’ala namakan dengan istilah iman[5] dan dinamakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang meninggalkannya dengan kufur[6] selain ibadah shalat.” (Mukhtashar Syu’abil Iman, hlm. 52)

Zakat

Secara etimologis, makna zakat adalah tumbuh berkembang dan penyucian. Makna zakat secara bahasa ini juga menjadi makna secara syar‘i, karena mengeluarkan zakat merupakan sebab berkembangnya (bertambahnya) harta, menyucikan jiwa dari kerendahan sifat bakhil, dan membersihkan diri dari dosa (Fathul Bari, 3/319).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا
“Ambillah zakat dari harta mereka untuk membersihkan diri mereka dan menyucikan mereka dengan zakat tersebut.” (at-Taubah: 103)

Dalam ayat yang mulia di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tujuan dikeluarkannya zakat antara lain untuk membersihkan dan menyucikan jiwa pemilik harta dari sifat bakhil, sekaligus membersihkan harta yang dimiliki dari kotoran yang menodainya. Ketika ada seseorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu apabila seseorang menunaikan zakat dari hartanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

مَنْ أَدَّى زَكَاةَ مَالِهِ فَقَدْ ذَهَبَ عَنْهُ شَرُّهُ
“Siapa yang menunaikan zakat dari hartanya maka sungguh telah hilang kejelekan harta tersebut.” (HR. ath-Thabarani dan Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam at-Targhib, no. 743)

Selain itu, zakat akan mengokohkan rasa cinta dan kasih sayang antara orang kaya dengan fakir miskin. Karena jiwa ini memiliki kecenderungan untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya. (Risalatani Mujazatani fiz Zakat wash Shiyam, asy-Syaikh Ibnu Baz, hlm. 6)

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabatnya Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu untuk berdakwah di negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya, “Engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab (Yahudi). Maka bila engkau telah tiba di tempat mereka, awal pertama yang engkau dakwahkan adalah agar mereka mau bersaksi Laa Ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah. Bila mereka menaatimu (mau mengikutimu) dalam perkara ini, beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu setiap malam dan siang hari. Bila mereka menaatimu dalam perkara ini, kabarkanlah bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan zakat kepada mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu diserahkan kepada fakir miskin mereka….” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1395, 1496, 4347 dan Muslim no. 19)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan kita semua untuk mengeluarkan zakat, bahkan diwajibkan. Namun tentunya zakat ini dikeluarkan oleh seorang muslim yang mampu dan memiliki harta yang mencukupi kadar yang telah ditentukan dikeluarkannya zakat baik berupa hasil bumi, hewan peliharaan, maupun emas dan perak, serta genap setahun dalam pemilikan.

Haji ke Baitullah

Haji adalah bersengaja menuju ke Baitullah untuk mengerjakan amalan-amalan yang khusus/tertentu. (Fathul Bari, 3/461)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
“Wajib bagi manusia untuk menunaikan haji karena Allah bagi siapa yang memiliki kemampuan untuk menempuh jalan ke sana.” (Ali ‘Imran: 97)

Haji ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang mukallaf (baligh dan berakal) dan dia seorang yang merdeka (bukan budak) serta memiliki kemampuan (Syarah Shahih Muslim, 8/72). Kewajiban ini harus segera ditunaikan tanpa ditunda oleh seorang hamba yang memiliki kemampuan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama seperti al-Imam Ahmad, murid-murid Abu Hanifah, al-Muzani, dan pendapat yang kuat dari al-Imam Malik. (Nailul Authar, 4/362, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 17/24)

Yang dimaksud mampu di sini adalah memiliki bekal, kendaraan untuk pulang pergi (kalaupun tidak memiliki kendaraan namun ia mampu dan memungkinkan untuk berjalan kaki karena jaraknya yang dekat, maka dia termasuk kategori orang yang mampu), adanya jaminan bagi orang yang ditinggalkan (yang berada di bawah tanggungan/tanggung jawabnya), dan aman jiwa beserta hartanya dalam perjalanan. (Thariqul Wushul, hlm. 154, 167—168)

Kita tahu bahwa masalah kemampuan ini merupakan syarat dalam seluruh ibadah, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (at-Taghabun: 16)

Lalu mengapa dikhususkan penyebutannya dalam permasalahan haji?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Dalam hal ini dikhususkan haji karena umumnya dalam pelaksanaan haji itu adalah kesulitan dan kepayahan serta ketidakmampuan.” (kaset Durus al-Arba’in an-Nawawiyyah, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

Adapun keutamaan haji disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Umrah yang satu ke umrah berikutnya merupakan penghapus dosa antara keduanya, sedangkan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surga.” (HR. al-Bukhari no. 1773 dan Muslimno. 1349)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna haji mabrur yang benar dan masyhur adalah haji yang dilakukan tidak bercampur dengan dosa.”

Beliau melanjutkan, “Adapun makna لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ (tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surga) maksudnya balasan bagi yang mengerjakan haji mabrur, tidak dibatasi dengan pengampunan sebagian dosanya, bahkan pasti ia akan masuk surga. Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 9/119)

Puasa Ramadhan

Puasa secara bahasa adalah menahan diri. Sedangkan dalam pandangan syariat, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, jima’, dan selainnya pada siang hari menurut cara yang disyariatkan. Konsekuensi dari menahan diri tersebut adalah juga menahan diri dari perkara laghwi (sia-sia), dari perkataan keji, serta ucapan yang diharamkan dan dibenci selain keduanya. (Subulus Salam, 2/239)

Sementara perkara-perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan jima’, tidaklah membatalkan puasa seseorang kecuali bila terkumpul padanya tiga syarat:
  • Orang itu mengetahui bahwa perkara tersebut merupakan pembatal puasa
  • Dia ingat ketika melakukannya (tidak dalam keadaan lupa)
  • Dia berkeinginan sendiri ketika melakukannya bukan karena dipaksa… (kaset Durus al-Arba’in an-Nawawiyyah, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

Tidak kita ragukan lagi bahwasanya puasa ini merupakan satu kewajiban agama, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian mau bertakwa.” (al-Baqarah: 183)

Dari ayat di atas dapat diambil beberapa faedah, di antaranya:

Pertama: Kedudukan puasa sangatlah penting yang Allah ‘azza wa jallajuga mewajibkannya kepada umat sebelum kita dan ini menunjukkan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap amalan ini.

Kedua: Keringanan terhadap umat ini yang kewajiban puasa tidak hanya dibebankan kepada mereka tetapi juga terhadap umat sebelum mereka.

Ketiga: Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan bahwasanya Dia memberikan kesempurnaan kepada umat ini dalam perkara agama mereka karena Allah subhanahu wa ta’alamenyempurnakan bagi mereka keutamaan-keutamaan yang pernah dimiliki oleh umat sebelum mereka.

Keempat: Hikmah puasa mengantarkan pelakunya untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. (Syarhu Tsalatsatil Ushul, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 74)

Banyak sekali yang kita dapatkan dari keutamaan puasa ini. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”(Sahih, HR. al-Bukhari no. 1901)

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Allah berfirman, ‘Seluruh amalan anak Adam untuknya kecuali puasa, maka dia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah tameng. Apabila salah seorang dari kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor dan berucap keras (tanpa keperluan). Jika ada seseorang mencelanya atau memeranginya, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang puasa’. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang puasa lebih wangi di sisi Allah daripada wangi misik. Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: apabila berbuka ia bergembira dan apabila bertemu kelak dengan Tuhannya dia bergembira dengan puasanya (ketika di dunia).” (Sahih,HR. al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)

Dalam riwayat al-Bukhari (no. 1894) disebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Ia meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena-Ku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, sedangkan satu kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat.”


Faedah Hadits


  1. Islam diibaratkan sebuah bangunan yang tidak akan tegak tanpa tiang-tiangnya.
  2. Syahadatain, shalat, zakat, puasa, dan haji merupakan pilar-pilar Islam, adapun kewajiban lain merupakan penyempurna bangunan Islam.
  3. Cabang-cabang iman itu banyak, dalam hadits ini hanya dibatasi lima perkara karena kelima perkara ini merupakan pokok, asas, dan fondasi bangunan Islam.
  4. Islam itu adalah akidah/keyakinan dan amalan. Maka tidak bermanfaat amal tanpa iman sebagaimana tidak ada wujudnya iman tanpa amal.
  5. Tidaklah dimaksudkan dari ibadah dalam Islam sekadar model dan bentuknya saja namun yang dimaksudkan adalah tujuannya dan maknanya disertai pengamalannya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari

[1] Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16

[2] Riwayat Hanzhalah yang dimaksud adalah riwayat dari jalan Hanzhalah dari ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.

[3] Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriyah sementara haji pada tahun ke-6 Hijriyah, ada juga yang mengatakan tahun ke-9 Hijriyah.

[4] Sebagaimana dalam ta’liq Syarhu Tsalatsatil Ushul, hlm. 83.

[5] Yang dimaksud al-Baihaqi adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ
“Dan Allah tidaklah menyia-nyiakan keimanan kalian.” (al-Baqarah: 143)

Yang dimaksud dengan “keimanan kalian” dalam ayat di atas adalah shalat kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/197)

[6] Yaitu hadits Jabir radhiallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim (no. 82) :

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran, adalah meninggalkan shalat.”

Sumber : Asy Syariah Edisi 004, Hadits dan Asy Syariah Edisi 005, Hadits
14 November 2011
http://asysyariah.com/prinsip-yang-tak-pernah-sirna-bagian-1/
http://asysyariah.com/prinsip-yang-tak-pernah-sirna-bagian-2/

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi