Saat Cemburu Menyapa

 Saat Cemburu Menyapa

Cemburu merupakan tabiat wanita. Ini juga dialami para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabiyyah yang lain. Namun tentu saja, kecemburuan ini tidak serta-merta membutakan hati mereka. Bagaimana dengan kita?

Cemburu tak hanya milik lelaki, tapi juga milik kaum wanita. Bahkan, wanitalah yang dominan memiliki sifat yang satu ini karena merupakan tabiatnya. Perasaan cemburu ini paling banyak muncul pada pasangan suami-istri. (Fathul Bari, 9/384)

Oleh karena itu, semestinya hal ini menjadi perhatian seorang suami. Sehingga ia tidak serampangan dalam meluruskan ‘kebengkokan’ sang istri dan dapat memaklumi tabiat wanita ini selama dalam batasan yang wajar. Apalagi pada hakikatnya, kecemburuan istri terhadap suaminya bukan merupakan hal yang tercela. Bahkan menjadi tanda adanya rasa cinta di hatinya. Tentunya selama tidak melampaui batasan syariat.

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah, asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela. Bila seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berzina, mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan madunya (yaitu istri yang lain, bila si suami memiliki lebih dari satu istri), kata al-Hafizh rahimahullah, cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).

Dengan syarat, hal ini pasti dan ada bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Bila cemburu itu hanya didasari sangkaan, tanpa bukti, maka tidak diperkenankan. Adapun bila si suami seorang yang adil dan telah menunaikan hak masing-masing istrinya, tapi masih tersulut juga kecemburuan maka ada udzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) bila cemburunya sebatas tabiat wanita yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan ataupun perbuatan. (Fathul Bari, 9/393)

Cemburu Melebihi Batas

Adakalanya kecemburuan seorang istri terhadap suaminya sangat berlebihan. Di benaknya seolah hanya ada sifat curiga. Bahkan tak jarang ia melemparkan prasangka buruk kepada suaminya dan tidak bisa menerima kenyataan bila suaminya memiliki istri yang lain.

Yang ironis adalah bila ada istri yang mengalami hal ini kemudian tidak dapat menahan diri dari perkara yang Allah subhanahu wa ta’alaharamkan, seperti lari ke “orang pintar.” Dengan bantuan tukang tenung atau tukang sihir, ia berharap suaminya membenci madunya dan hanya mencintai dirinya. Padahal perbuatan sihir merupakan perbuatan kekufuran yang diharamkan, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’alanyatakan dalam firman-Nya:
وَٱتَّبَعُواْ مَا تَتۡلُواْ ٱلشَّيَٰطِينُ عَلَىٰ مُلۡكِ سُلَيۡمَٰنَۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيۡمَٰنُ وَلَٰكِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ وَمَآ أُنزِلَ عَلَى ٱلۡمَلَكَيۡنِ بِبَابِلَ هَٰرُوتَ وَمَٰرُوتَۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنۡ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَآ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٞ فَلَا تَكۡفُرۡۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنۡهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَزَوۡجِهِۦۚ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِۦ مِنۡ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡۚ وَلَقَدۡ عَلِمُواْ لَمَنِ ٱشۡتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖۚ وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡاْ بِهِۦٓ أَنفُسَهُمۡۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ١٠٢
“Dan mereka (orang-orang Yahudi) mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman[1] (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidaklah kafir[2] akan tetapi setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidaklah mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanyalah cobaan bagimu, karena itu janganlah engkau berbuat kekafiran.’ Maka mereka mempelajari sihir dari keduanya yang dengannya mereka dapat memisahkan antara suami dengan istrinya. Tidaklah mereka dapat memberi mudarat kepada seorang pun dengan sihir tersebut kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sungguh mereka telah mengetahui bahwa barang siapa yang menjual agamanya (menukarnya) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. Betapa jelek perbuatan mereka menjual diri mereka dengan sihir itu seandainya mereka mengetahui.” (al-Baqarah: 102)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

اجْتَنِتُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قَالُوْا: ياَ رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ…
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, ‘Apa tujuh perkara itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Di antaranya) syirik kepada Allah, sihir’…” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)

Saking cemburunya, sebagian wanita bahkan ada yang sampai berangan-angan tidak dibolehkannya poligami dalam syariat ini[3]. Bahkan ada yang membenci syariat karena menetapkan adanya poligami. Sebagian yang lain mengharapkan kematian suaminya bila sampai menikah lagi. Yang lain tidak berangan demikian, tapi lisannya digunakan untuk mencaci-maki madunya, meng-ghibah[4], dan menjatuhkan kehormatannya. (Nashihati lin Nisa, Ummu Abdillah al-Wadi‘iyyah, hlm. 158—159)

Karena sifat cemburu ini pula, mayoritas wanita merasa mendapatkan musibah yang sangat besar kala suaminya menikah lagi. Semestinya bagi seorang mukminah, apa pun kenyataan yang dihadapi, semuanya itu disadari sebagai ketentuan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Semua musibah dan kepahitan yang didapatkan di dunia itu sangat kecil dibanding keselamatan agama yang diperolehnya.

Salahkah Bila Aku Cemburu?

Mungkin sering muncul pertanyaan demikian di kalangan para wanita. Maka jawabnya dapat kita dapati dari kisah-kisah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun ternyata memiliki rasa cemburu padahal mereka dipuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدٖ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan seorang wanita pun (yang selain kalian) jika kalian bertakwa…” (al-Ahzab: 32)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan bahwa istri-istri Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sama dengan wanita lain dalam hal keutamaan dan kemuliaan, namun dengan syarat adanya takwa pada diri mereka. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/115)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sebagai seorang suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bertutur tentang cemburunya:

مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ الله كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَا
“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku kepada Khadijah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menyebut dan menyanjungnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)

‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah:

كَأَنَّهَ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ؟ فَيَقُوْلُ: إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu[5], dan aku mendapatkan anak darinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3818)[5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sebab kecemburuan ‘Aisyah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menyebut Khadijah radhiallahu ‘anha meski Khadijah radhiallahu ‘anha telah tiada dan ‘Aisyahradhiallahu ‘anha aman dari tersaingi oleh Khadijah radhiallahu ‘anha. Namun karena Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam sering menyebutnya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha memahami betapa berartinya Khadijah radhiallahu ‘anha bagi beliau. Karena itulah bergejolak kemarahan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya untuk mengatakan kepada suaminya, “Allah subhanahu wa ta’ala telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.”

Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.”

Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, karena ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabiat wanita.” (Fathul Bari, 9/395)

Pernah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiam di rumahnya segera memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan pecah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengumpulkan pecahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan lalu beliau letakkan di atas piring yang pecah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.”

Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5225)

Hadits ini menunjukkan wanita yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Karena dalam keadaan demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/391, Syarah Shahih Muslim, 15/202)

Namun, bila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan seperti mengghibah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkannya. Suatu saat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu.”

Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah Shafiyyah itu pendek. Mendengar hal tersebut, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Aisyah:

لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya (yakni mencemarinya).” (HR. Abu Dawud no. 4232)

Juga kisah lainnya, ketika sampai berita kepada Shafiyyah radhiallahu ‘anha bahwa Hafshah  radhiallahu ‘anha mencelanya dengan mengatakan, “Putri Yahudi”, Shafiyyah menangis. Bersamaan dengan itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuinya dan mendapatinya sedang menangis. Maka beliau pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”

Shafiyyah menjawab, “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata menghiburnya,“Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi, dan engkau adalah istri seorang nabi. Lalu bagaimana dia membanggakan dirinya terhadapmu?”

Kemudian beliau menasihati Hafshah radhiallahu ‘anha, “Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah.” (HR. an-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa, hlm. 43 dan selainnya)

--- 000 ---

Suatu ketika, di malam giliran ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan selendangnya, melepas kedua sandalnya, serta meletakkannya di sisi kedua kakinya. Lalu beliau membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidurnya, setelah itu beliau pun berbaring. Tak berapa lama, beliau bangkit lalu mengambil selendangnya dengan perlahan dan mengenakan sandalnya dengan perlahan agar tidak mengusik tidur ‘Aisyah, kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar ‘Aisyah. Setelahnya, pintu ditutup kembali dengan perlahan. ‘Aisyah yang ketika itu disangka telah lelap dalam tidurnya, ternyata melihat apa yang diperbuat suaminya. Ia pun bangkit mengenakan pakaian dan kerudungnya.

Selanjutnya, kita dengar penuturan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, “Kemudian aku mengikuti beliau, hingga beliau sampai di pekuburan Baqi’. Beliau berdiri lama lalu mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berbalik dan aku pun berbalik. Beliau bersegera, aku pun bersegera. Beliau berlari kecil, aku pun berlari kecil. Beliau berlari lebih cepat, aku pun melakukan yang sama, hingga aku dapat mendahului beliau lalu segera masuk ke dalam rumah. Belum lama aku membaringkan tubuhku, beliau masuk.

Melihat keadaanku beliau pun berkata, “Ada apa dengan dirimu wahai ‘Aisyah, kulihat napasmu memburu?”

Aku menjawab, “Tidak ada apa-apa.”

Beliau berkata, “Beritahu aku atau Allah subhanahu wa ta’ala yang akan mengabarkan kepadaku.”

Aku pun menceritakan apa yang baru berlangsung. Mendengar ceritaku beliau berkata, “Berarti engkau adalah sosok yang aku lihat di hadapanku tadi?”

Aku menjawab, “Iya.” Beliau mendorong dadaku dengan kuat hingga membuatku kesakitan. Kemudian beliau bersabda, “Apakah engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu[6]?”

Aisyah berkata, “Bagaimana pun manusia menyembunyikannya, niscaya Allah mengetahuinya, memang semula aku menyangka demikian.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Jibril datang menemuiku saat itu. Dia memanggilku, maka aku pun menyembunyikannya darimu. Aku penuhi panggilannya. Jibril tidak mungkin masuk ke kamar ini sementara engkau telah membuka pakaianmu. Tadi aku menyangka engkau sudah tidur maka aku tidak ingin membangunkan tidurmu, karena aku khawatir engkau akan merasa sendirian (dalam sepi) dalam kegelapan malam. Jibril berkata kepadaku saat itu, ‘Sesungguhnya Rabbmu memerintahkanmu untuk mendatangi pekuburan Baqi’ guna memintakan ampun bagi penghuninya’…” (Sahih,HR. Muslim no. 974)

Masih kisah malam-malam ‘Aisyah. Ia pernah merasa kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun meraba-raba mencari beliau. Ia menyangka beliau pergi ke rumah istri yang lain. Ternyata ‘Aisyah mendapatkan beliau sedang ruku’ atau sujud seraya berdoa:

سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
“Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau.”

‘Aisyah pun berkata, “Sungguh, aku berada dalam satu keadaan, sementara engkau berada dalam keadaan yang lain.” (Sahih, HR. Muslim no. 485)

‘Aisyah juga menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari rumahnya pada suatu malam, maka kata ‘Aisyah, “Aku pun cemburu.”

Lalu beliau datang melihat apa yang kuperbuat. Beliau bertanya, “Ada apa denganmu, wahai ‘Aisyah, apakah engkau cemburu?”

Aku menjawab, “Bagaimana orang sepertiku tidak cemburu dengan orang yang semisalmu?”

Beliau berkata, “Sungguh setanmu telah mendatangimu.[7] ” (Sahih, HR. Muslim no. 2815)

Kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila hendak bepergian (safar) beliau mengundi di antara istri-istrinya siapa yang diajak dalam safar tersebut. Suatu ketika jatuhlah undian kepada ‘Aisyah dan Hafshah, maka keduanya pun keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam safar tersebut, bila malam telah menjelang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersisian dengan unta yang ditunggangi ‘Aisyah (yang berada di dalam sekedup/semacam tandu yang diletakkan di atas unta, sehingga tidak terlihat orang-orang di sekitarnya) dan beliau berbincang bersamanya. Suatu ketika Hafshah berkata kepada ‘Aisyah, “Tidakkah engkau mau menaiki untaku malam ini dan aku menaiki untamu, hingga engkau bisa melihat dan aku bisa melihat?” ‘Aisyah menjawab,“Iya.”[8]

Lalu ia pun menaiki unta Hafshah sementara Hafshah menaiki untanya. Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju unta yang biasa dinaiki ‘Aisyah tanpa mengetahui bahwa di dalam sekedupnya adalah Hafshah, bukan ‘Aisyah. Beliau mengucapkan salam kemudian berjalan bersisian dengan unta tersebut hingga mereka singgah di suatu tempat. ‘Aisyah merasa kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam itu. Ia pun cemburu, hingga ketika mereka berhenti dan singgah di suatu tempat, ‘Aisyah memasukkan kakinya ke dalam rumput-rumputan seraya berkata, “Ya Rabbku, biarkanlah seekor kalajengking atau seekor ular menyengatku. Aku tidak sanggup berkata apa-apa kepada Rasul-Mu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 2445)

Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri ‘terbagi’ dalam dua kelompok, satu kelompok terdiri dari ‘Aisyah, Hafshah, Shafiyyah, dan Saudah. Sedangkan kelompok lain terdiri dari Ummu Salamah, Zainab bintu Jahsyin, Ummu Habibah, Juwairiyah, dan Maimunah[9]. Kaum muslimin mengetahui bagaimana kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap ‘Aisyah. Maka bila mereka ingin memberikan hadiah kepada beliau, mereka menanti saat beliau berada di rumah ‘Aisyah. Mengetahui hal tersebut, berkatalah kelompok Ummu Salamah kepada Ummu Salamah, “Bicaralah kepada Rasulullah agar beliau menyampaikan kepada manusia, ‘Siapa yang ingin memberikan suatu hadiah kepada Rasulullah maka hendaklah dia menyerahkan hadiah tersebut kepada beliau di mana saja beliau berada dari rumah istri-istrinya (jangan hanya di rumah ‘Aisyah)’.”

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha pun menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau hanya diam, tidak mengatakan sesuatu. Ketika Ummu Salamah ditanyai oleh kelompoknya, ia katakan, “Beliau tidak berkata apa-apa kepadaku.” Mereka berkata, “Sampaikan lagi kepada beliau.”

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha pun menyampaikan kembali keinginan mereka saat gilirannya, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap diam. Pada kali yang ketiga, Ummu Salamah kembali diminta untuk menyampaikan keinginan kelompoknya. Ketika itu berkatalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan engkau menyakiti aku dalam perkara ‘Aisyah, karena sesungguhnya wahyu tidak pernah diturunkan kepadaku saat aku berada dalam selimut seorang istriku kecuali dalam selimut ‘Aisyah.”

Mendengar pernyataan demikian, Ummu Salamah berkata, “Aku bertaubat kepada Allah dari menyakitimu, wahai Rasulullah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2581)

Mereka pun pernah mengutus Fathimah bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menemui ayahnya guna meminta keadilan beliau dalam permasalahan ‘Aisyah, karena mereka mengetahui besarnya kedudukan ‘Aisyah di hati beliau dan besarnya cinta beliau kepadanya[10]. Fathimah pun minta izin masuk menemui ayahnya yang ketika itu sedang berbaring bersama ‘Aisyah di dalam selimutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkan. Fathimah radhiallahu ‘anha berkata,“Wahai Rasulullah, istri-istrimu mengutusku untuk menemuimu guna meminta keadilan kepadamu dalam permasalahan putri Abu Quhafah (maksudnya putri Abu Bakr, yakni ‘Aisyah).”[11]

‘Aisyah terdiam mendengar hal tersebut. Sedangkan Rasulullah berucap,“Wahai putriku! Bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?”

Fathimah menjawab, “Ya.”

Rasulullah berkata, “Kalau begitu cintailah ‘Aisyah.”

Mendengar hal tersebut, Fathimah pun bangkit, pamit kepada ayahnya dan berlalu untuk mengabarkan hal itu kepada istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain. Mereka pun berkata kepada Fathimah, “Kami memandangmu sedikit pun belum mencukupi apa yang kami inginkan. Kembalilah kepada Rasulullah dan sampaikan lagi kehendak kami agar beliau berlaku adil dalam permasalahan putri Abu Quhafah.”

Fathimah berkata, “Demi Allah! Aku tidak akan berbicara lagi tentang permasalahan ini kepada beliau.”

Maka istri-istri Nabi pun mengutus Zainab bintu Jahsyin. Kata ‘Aisyah, “Zainab inilah yang menyamaiku dan menyaingiku di antara mereka dalam kedudukan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku belum pernah melihat seorang wanita pun yang paling baik agamanya daripada Zainab. Dia seorang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, paling jujur dalam ucapan, paling menyambung hubungan silaturahmi, paling banyak bersedekah, paling banyak mencurahkan kemampuannya untuk bekerja lalu hasilnya ia sedekahkan serta untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kecuali satu kekurangannya, ia cepat marah (emosional) namun ia cepat pula menyadari kemarahannya tersebut dan tidak terus-menerus dalam emosinya.”

Zainab pun meminta izin masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu berada dalam selimut bersama ‘Aisyah sebagaimana keadaan beliau ketika Fathimah menemuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkan. Zainab lalu mengutarakan maksud kedatangannya. Setelah itu ia mencela ‘Aisyah habis-habisan. ‘Aisyah berkata, “Aku mengamat-amati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari tahu apakah beliau mengizinkan aku untuk membalas. Terus-menerus Zainab melemparkan kemarahannya terhadapku hingga aku tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempermasalahkan bila aku membela diri.”

Maka ‘Aisyah pun membalas perbuatan Zainab tersebut, hingga ia dapat mematahkan ucapan Zainab dan mengalahkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tersenyum seraya berkata, “Inilah dia putri Abu Bakr.”(Sahih, HR. al-Bukhari no. 2581 dan Muslim no. 2442, lafadz di atas adalah menurut riwayat Muslim)

Kecemburuan ini juga ada di kalangan para shahabiyyah. Al-Imam an-Nasa’i meriwayatkan dari Anas bin Malik  bahwasanya para sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menikahi wanita Anshar?” Beliau menjawab,

إِنَّ فِيْهِمْ لَغِيْرَةً شَدِيْدَةً
“Pada diri mereka ada kecemburuan yang sangat.” (HR. an-Nasa’i, 6/69. Asy-Syaikh Muqbil berkata dalam ash-Shahihul Musnad [1/82], “Hadits sahih di atas syarat Muslim.”)

Cemburu Tidak Membutakan Mereka

Kisah-kisah cemburu di atas kita bawakan bukan untuk mencela istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan kita katakan mereka adalah wanita-wanita yang paling mulia. Cukuplah bagi mereka kemuliaan dengan Allah subhanahu wa ta’ala memilih mereka menjadi pendamping hidup Rasul-Nya yang mulia. Seandainya ulama kita tidak membawakan kisah cemburu mereka dalam kitab-kitab yang kita warisi sampai hari ini niscaya kita pun tidak akan menyinggungnya. Namun karena pada kisah mereka ada pelajaran dan ilmu maka disampaikanlah kepada umat. Sekali lagi bukan dengan tujuan melekatkan aib pada mereka.

Jangan pula kisah mereka dijadikan dalil oleh wanita-wanita sekarang untuk membenarkan tindakan salah mereka dengan dalih cemburu. Jangan pula wanita-wanita itu menolak ucapan baik dari suami mereka yang menasihati mereka dalam masalah cemburu dengan mengatakan,“Istri-istri Rasulullah juga cemburu dan berbuat ini dan itu karena dorongan cemburunya.” Memang benar, mereka (istri-istri Rasul) cemburu dan engkau pun cemburu, namun kebaikan yang ada pada diri mereka tidak didapatkan pada dirimu….

Ketahuilah, bagaimanapun cemburu yang ada di tengah mereka, tidaklah membuat mereka menutup mata dari kebaikan yang ada pada madu mereka. Tidak pula mengantarkan mereka untuk membuat kedustaan guna menjatuhkan madu mereka.

Satu contoh, ketika peristiwa Ifk[12], Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat Zainab bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha, salah seorang istri beliau, tentang diri ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau berkata kepada Zainab:

مَاذَا عَلِمْتِ أَوْ رَأَيْتِ؟ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَحْمِي سَمْعِي وَبَصَرِي، وَاللهِ مَا عَلِمْتُ إِلاَّ خَيْرًا
“Apa yang engkau ketahui tentang Aisyah dan apa pendapatmu?” Zainab menjawab, “Wahai Rasulullah, aku menjaga pendengaran dan penglihatanku, demi Allah aku tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 4141)

Lihatlah bagaimana kejujuran Zainab. Cemburunya kepada ‘Aisyah tidak membuatnya lupa akan kebaikan dan keutamaan ‘Aisyah. Demikian pula sebaliknya pada diri ‘Aisyah, ia pernah memuji Zainab, “Aku belum pernah melihat seorang wanita pun yang paling baik agamanya daripada Zainab. Dia seorang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, paling jujur dalam ucapan, paling menyambung hubungan silaturahmi, paling banyak bersedekah, paling banyak mencurahkan kemampuannya untuk bekerja lalu hasilnya ia sedekahkan dan untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” Padahal Zainab inilah yang menyamainya dalam kedudukan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah disinggung di atas.

Dengarkan pula pujian ‘Aisyah terhadap Juwairiyah radhiallahu ‘anha, salah seorang Ummahatul Mukminin, “Kami tidak pernah mengetahui ada seorang wanita yang lebih besar berkahnya terhadap kaumnya daripada Juwairiyah.” (al-Istiab, 4/1805)

Pujian ini dilontarkan ‘Aisyah ketika Bani Mushthaliq, kaum Juwairiyah, dibebaskan oleh kaum muslimin dari penawanan karena pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Juwairiyah. Pujian ini dengan jujur diucapkan ‘Aisyah padahal sebelumnya ‘Aisyah cemburu kepada Juwairiyah. ‘Aisyah mengatakan, “Juwairiyah adalah wanita yang berparas elok dan manis. Setiap orang yang memandangnya pasti akan terpikat. Aku melihatnya dari balik pintu saat menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tolong dalam perkara pembebasan dirinya dari status tawanan perang. Ketika itu aku tidak menyukainya karena aku tahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melihat keelokannya sebagaimana yang aku lihat.” (al-Isti’ab, 4/1804)

Demikian sedikit contoh dari kejadian yang ada yang menunjukkan bahwa kecemburuan tidaklah membutakan mereka dari kebenaran dan dari melihat kenyataan.

Bandingkan dengan apa yang ada pada diri wanita-wanita yang cemburu pada hari ini… Sungguh cemburu membuat mereka buta. Mereka jatuhkan kehormatan wanita yang mereka cemburui di hadapan suami mereka dan di hadapan orang lain. Bahkan mereka menempuh cara-cara yang dilarang oleh agama ini guna “menyingkirkan” wanita yang membuat panas hatinya dengan luapan api cemburu. Wallahu al-musta’an (Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang dimintai pertolongan).

Meredam Cemburu

Kita pasti memiliki cemburu seperti halnya istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Namun seharusnyalah kita bersabar dengan kecemburuan yang ada pada diri kita dan berupaya meredamnya dengan kesabaran yang indah ini. (Nashihati lin Nisa’, hlm. 161).

Ketahuilah kesabaran itu termasuk buah iman kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala. (al-Jami’ush Shahih fil Qadar, asy-Syaikh Muqbil, hlm. 11)

Apa pun yang menimpa dan terjadi pada diri kita, semuanya tidak lepas dari ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dan takdir-Nya. Hendaknya kita sadari bahwasanya semua ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala itu memiliki hikmah, dan hikmah itu terkadang bisa kita ketahui dan pada waktu lain tidak kita ketahui. Allah subhanahu wa ta’ala sekali-kali tidak berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya. Dia Mahatahu apa yang pantas dan baik bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya baik bagi diri mereka, di dunia mereka dan di akhirat mereka kelak.



Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah


[1] Setan-setan menyebarkan berita bohong bahwasanya Nabi Sulaiman‘alaihissalam menggunakan ilmu sihir sehingga ia memperoleh kerajaan yang sedemikian besar. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/139)

[2] Dengan mempelajari sihir. (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 61)

[3] Bahkan poligami (ta’addud) perkara yang disyariatkan sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً

“Nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi, dua, tiga, atau empat. Namun bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil di antara para istri, maka nikahilah satu wanita saja…” (an-Nisa: 3)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata, “Seorang lelaki terkadang tidak tercukupi syahwatnya dengan satu istri, maka dibolehkan baginya untuk menikahi wanita lain, satu demi satu, hingga terkumpul padanya empat istri. Pada jumlah ini terdapat kecukupan bagi setiap orang, kecuali orang tertentu yang jumlahnya sangat minim. Poligami ini juga dibolehkan bagi seseorang bila ia merasa dirinya aman dari berbuat aniaya dan zalim terhadap istri-istrinya serta ia percaya dapat menunaikan hak-hak mereka. Bila ia khawatir tidak dapat berlaku demikian, maka hendaknya ia mencukupkan dengan seorang istri.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 164)

Dan tentu ada hikmah-hikmah lain dalam poligami, seperti dijelaskan oleh para ulama. (red.)

[4] Ghibah, kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

“Engkau menyebut tentang saudaramu dengan apa yang tidak ia sukai.”

Lalu ada yang bertanya kepada beliau, “Apa pendapatmu, wahai Rasulullah, bila apa yang kuucapkan memang ada pada diri saudaraku?”

Beliau menjawab, “Bila memang apa yang kamu ucapkan itu ada pada diri saudaramu berarti engkau telah mengghibahnya, namun bila apa yang kau katakan itu tidak ada pada dirinya berarti engkau telah berkata dusta.” (HR. Muslim no. 2589)

[5] Yakni Khadijah radhiallahu ‘anha itu wanita yang memiliki keutamaan, wanita yang cerdas dan semisalnya. Dalam riwayat Ahmad dari hadits Masruq dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan, “Dia beriman kepadaku ketika semua manusia mengkufuriku, dia membenarkan aku ketika semua manusia mendustakanku, dia mendukungku dengan hartanya ketika manusia menahannya dariku, dan Allah subhanahu wa ta’ala memberi rezeki kepadaku berupa anak darinya ketika aku tidak mendapatkan anak dari istri-istriku yang lain.” (Fathul Bari, 7/170)


[6] Dengan pergi ke tempat istri yang lain sementara malam ini adalah malam giliranmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mungkin melakukan hal tersebut tanpa izin dari Allah subhanahu wa ta’ala. (Hasyiyah al-Imam as-Sindi terhadap Sunan an-Nasa’i, 4/75)

[7] Dengan engkau menyangka bahwa aku pergi ke rumah istriku yang lain, karena itu engkau menyelidikiku. (Hasyiyah al-Imam as-Sindi terhadap Sunan an-Nasa’i, 4/72)

[8] ‘Aisyah memenuhi permintaan Hafshah karena ia sangat berkeinginan untuk melihat apa yang belum pernah ia lihat. Hal ini menunjukkan ketika dalam perjalanan, unta keduanya tidaklah berdekatan. (Fathul Bari, 9/375)

[9] Sedangkan istri beliau yang bernama Zainab bintu Khuzaimah Ummul Masakin radhiallahu ‘anha telah meninggal sebelum beliau menikah dengan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, demikian disebutkan Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat.

[10] Namun sebenarnya dalam permasalahan cinta ini, seorang suami tidaklah dituntut untuk berlaku adil terhadap semua istrinya. Ia diperkenankan untuk mencintai salah seorang istrinya melebihi yang lain.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama bahwasanya tidak wajib bagi seorang suami untuk menyamakan di antara istri-istrinya dalam masalahjima’ (senggama). Ini merupakan pendapat al-Imam Malik dan asy-Syafi’i rahimahumallah. Hal ini karena terjadinya jima’ berawal dari dorongan syahwat dan adanya kecondongan hati, serta tidak akan bisa seorang suami bersikap sama di antara istri-istrinya dalam hal ini, karena hatinya kadang lebih condong kepada salah seorang istrinya lebih dari yang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ

“Kalian tidak akan mampu untuk berbuat adil di antara para istri walaupun kalian sangat ingin untuk berlaku adil.” (an-Nisa’: 129)

‘Abidah as-Silmani berkata, “Yakni kalian tidak bisa berlaku adil dalam masalah cinta dan jima’.” Namun bila seorang suami memungkinkan baginya berlaku adil dalam perkara jima’, maka itu lebih baik dan lebih utama. Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi giliran di antara istri-istri beliau dan beliau berlaku adil terhadap mereka. Beliau pernah berkata, “Ya Allah, inilah pembagianku dalam apa yang aku mampu. Maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang aku tidak mampu.” (al-Mughni, 7/35)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak boleh seorang suami melebihkan salah seorang istrinya dalam pembagian. Akan tetapi bila ia mencintai salah seorang istrinya lebih dari yang lain, begitu pula ia menjima’inya lebih dari yang lain, maka tidak ada dosa atasnya dalam hal ini.” (al-Fatawa, 32/269)

[11] Mereka meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan di antara mereka dalam masalah cinta. (Syarh Shahih Muslim, 15/205)

[12] Dalam peristiwa itu, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dituduh berzina dengan Shafwan ibnul Mu’aththal radhiallahu ‘anhu sekembalinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dari perang Bani Mushthaliq. (Mukhtashar Siratir Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 125)

Sumber : Asy Syariah Edisi 005, Mengayuh Biduk dan Asy Syariah Edisi 006, Mengayuh Biduk

14 November 2011

http://asysyariah.com/saat-cemburu-menyapa-1/
http://asysyariah.com/saat-cemburu-menyapa-bagian-2/

Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi