Tiga Fase Aqidah Imam Abul Hasan al-Asy’ari (Napak Tilas Perjalanan Hidup al-Imam Abul Hasan Al-asy’ari-2)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.)

Menelusuri Tiga Fase Keyakinan yang Dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Faktor lingkungan mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk keyakinan dan kepribadian seseorang, terkhusus lingkungan intern keluarga, yaitu ayah dan ibu. Rasulullah bersabda:
“Tidaklah seorang anak itu dilahirkan melainkan di atas fitrah (naluri keislaman). Kedua orang tuanya yang sangat berperan dalam menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Ini seperti halnya seekor binatang (pada umumnya) melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna fisiknya. Apakah kalian melihat pada anak binatang yang baru dilahirkan itu cacat di telinga atau anggota tubuhnya yang lain?” Kemudian sahabat Abu Hurairah berkata, “Jika kalian mau, bacalah firman Allah (yang artinya), ‘(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.’ (ar-Rum: 30)” (HR. Muslim no. 2658, dari sahabat Abu Hurairah z)
Demikian pula keadaan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Pada usia belia, beliau hidup di bawah asuhan seorang ayah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bahkan, menjelang wafatnya sang ayah berwasiat agar Abul Hasan kecil tumbuh di bawah bimbingan al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang pakar fikih dan hadits kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sepeninggal ayah beliau, sang ibu menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i. Kondisi pun berubah. Abul Hasan kecil tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayah tiri yang berpaham Mu’tazilah tersebut dan dididik dengan doktrin keilmuan ala Mu’tazilah yang sesat. Cukup lama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari berguru kepada Abu Ali al-Jubba’i. Semakin erat hubungan antara keduanya hingga al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari menjadi pewaris ilmu Abu Ali al-Jubba’i dan berposisi sebagai tokoh muda Mu’tazilah yang disegani di kalangan kelompoknya. Dalam banyak kesempatan Abu Ali al-Jubba’i mewakilkan urusan keagamaan kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Bahkan, tak sedikit karya tulis yang beliau luncurkan untuk kepentingan kelompok Mu’tazilah dan menyerang orang-orang yang berseberangan dengannya.
Demikianlah fase pertama dari tiga fase keyakinan yang dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Fase kehidupan sebagai seorang mu’tazili (berpaham Mu’tazilah) yang berjuang keras demi tersebarnya akidah sesat tersebut.[4] (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)

Fase kedua adalah fase bertaubatnya al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari dari akidah sesat Mu’tazilah, setelah berlalu empat puluh tahun dari perjalanan hidup beliau, tepatnya pada tahun 300 H. Tidak tanggung-tanggung, taubat dan sikap berlepas diri itu beliau umumkan di atas mimbar Masjid Jami’ kota Bashrah, seusai shalat Jumat. Bahkan, beliau meluncurkan beberapa karya tulis untuk membantah syubhat-syubhat Mu’tazilah dan kesesatan mereka. Selang beberapa lama setelah pengumuman taubat tersebut, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari meninggalkan Bashrah dan berdomisili di Baghdad. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 39, Wafayatul A’yan karya al-Qadhi Ibnu Khallikan 3/285, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 19)
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Sungguh, Abul Hasan al-Asy’ari dahulunya adalah seorang yang berakidah Mu’tazilah kemudian bertaubat di kota Bashrah. Beliau mengumumkan taubat tersebut di atas mimbar. Setelah itu beliau membongkar berbagai kesesatan dan kejelekan Mu’tazilah.” (al-Bidayah wan Nihayah 11/187)
Al-Imam adz-Dzahabi t berkata, “Ketika (al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, pen.) telah mendalami hakikat Mu’tazilah, muncullah kebencian beliau terhadapnya. Beliau lalu berlepas diri darinya. Beliau naik ke atas mimbar (untuk mengumumkan sikapnya itu, pen.) dan bertaubat kepada Allah. Kemudian beliau meluncurkan bantahan terhadap Mu’tazilah dan membongkar penyimpangan-penyimpangan mereka.” (Siyar A’lamin Nubala’ 15/86)
Al-Qadhi Ibnu Khallikan t berkata, “Dahulu, Abul Hasan al-Asy’ari adalah seorang yang berakidah Mu’tazilah kemudian bertaubat darinya.” (Wafayatul A’yan 3/285)
Pada fase kedua ini al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari condong kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, namun belum berpemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Beliau lebih terpengaruh dengan kelompok Kullabiyah yang saat itu tergolong gencar dalam membantah kelompok sesat Mu’tazilah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ketika keluar dari mazhab Mu’tazilah, Abul Hasan al-Asy’ari mengikuti jalan Ibnu Kullab dan condong kepada Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Dar’u Ta’arudhil Aqli wan Naqli, 2/16)
Al-Imam al-Maqrizi t berkata, “Sesungguhnya, setelah al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan melontarkan bantahan terhadap mereka, beliau mengikuti akidah Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Said bin Kullab al-Qaththan dan berpijak di atas kaidah-kaidahnya.” (al-Khuthath karya al-Imam al-Maqrizi 4/191)
Lebih rinci, al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Fase kedua (yang dilalui oleh Abul Hasan al-Asy’ari) adalah menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah bagi Allah, yaitu al-hayat, al-ilmu, al-qudrah, al-iradah, as-sam’u, al-bashar, dan al-kalam. Di sisi lain, beliau menakwilkan (memalingkan dari makna yang sebenarnya) sifat khabariyah, seperti wajah, kedua tangan, kaki, betis, dan yang semisalnya.” (Thabaqatul Fuqaha’‘Indas Syafi’iyyah, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 35)
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Kullab (baca: kelompok Kullabiyah) menetapkan sifat-sifat wajib bagi Allah, seperti al-ilmu, al-qudrah, al-hayat, dan yang semisalnya, namun mengingkari sifat-sifat fi’liyah (perbuatan) Allah yang berkaitan dengan kehendak dan takdir-Nya, seperti sifat datang dan yang semisalnya. (Lihat Dar’u Ta’arudhil Aqli wan Naqli, 2/6)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada fase kedua ini al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari menetapkan sebagian sifat bagi Allah (sifat wajib yang tujuh), menakwilkan sifat khabariyyah, dan mengingkari sifat fi’liyah (perbuatan) Allah yang berkaitan dengan kehendak dan takdir-Nya. Jadi, beliau berada di antara kelompok Mu’tazilah yang mengingkari semua sifat Allah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menetapkan semua sifat-sifat Allah.
Setelah berlalu sekian masa, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari semakin mendekat kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akhirnya, beliau meninggalkan akidah Kullabiyah dan berpegang teguh dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah fase ketiga kehidupan beragama beliau.
Pada fase ketiga ini, beliau banyak berguru kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti al-Muhaddits al-Musnid Abu Khalifah al-Fadhl al-Jumahi al-Bashri, al-Qadhi Abul Abbas Ahmad bin Suraij al-Baghdadi—panutan mazhab Syafi’i di masa itu—, al-Imam al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji—pakar hadits Kota Bashrah—, dan al-Faqih Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq al-Marwazi—rujukan utama dalam hal fatwa dan ilmu di masa itu. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Fase ketiga (yang dilalui oleh Abul Hasan al-Asy’ari) adalah menetapkan semua sifat-sifat Allah, tanpa menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun, sebagaimana prinsip as-salafush shalih. Demikianlah prinsip yang beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah [5], karya beliau yang terakhir.” (Thabaqatul Fuqaha’‘Indas Syafi’iyyah, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 35)
Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khatib berkata, “Kemudian al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari membersihkan jalan yang ditempuhnya dan mengikhlaskannya karena Allah dengan rujuk (kembali) secara total kepada jalan yang ditempuh oleh as-salafush shalih… dan para ulama yang menyebutkan biografi beliau menyatakan bahwa al-Ibanah adalah karya tulis beliau yang terakhir.” (Catatan kaki kitab al-Muntaqa min Minhajil I’tidal hlm. 41, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 36)
Keterangan di atas adalah bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa al-Ibanah adalah kitab yang dipalsukan atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Demikian pula, ini adalah bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa al-Ibanah bukanlah karya tulis beliau yang terakhir. Tujuan mereka tiada lain adalah pengaburan sejarah agar umat tetap berada di atas mazhab Asy’ari yang hakikatnya adalah mazhab Kullabiyah—sebuah mazhab yang telah ditinggalkan oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari.
Setelah menyebutkan beberapa nukilan dari para imam terkemuka [6] tentang sahnya penyandaran kitab al-Ibanah kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, asy-Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari mengatakan, “Beberapa nukilan yang tegas dari para imam terkemuka ini—yang dua ekor kambing tidak saling beradu tanduk karenanya dan dua orang takkan berselisih karenanya pula—menunjukkan bahwa kitab al-Ibanah bukanlah kitab yang dipalsukan atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, sebagaimana halnya klaim para anak muda dari kalangan ahli taklid. Bahkan, kitab tersebut merupakan karya tulis beliau yang terakhir. Beliau tetap kokoh di atas kandungan kitab tersebut, yaitu akidah salaf yang bersumber dari al-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi.” (al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, hlm. 72)

Satu hal yang penting untuk diingatkan bahwa mazhab yang hingga hari ini dikenal dengan sebutan mazhab Asy’ari atau ASWAJA, tiada lain adalah kelanjutan dari mazhab Kullabiyah, yang telah ditinggalkan oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari sendiri. Bahkan, dengan tegas beliau menyatakan bahwa beliau berada di atas jalan Rasulullah dan as-salafush shalih, sejalan dengan al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, dan menyelisihi siapa saja yang berseberangan dengan beliau[7]. Hal ini sebagaimana yang beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah.
Bisa jadi, di antara pembaca ada yang bertanya, bisakah disebutkan contoh pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari yang ditorehkan dalam kitab al-Ibanah itu?
Jika demikian, perhatikanlah dengan saksama pernyataan beliau berikut ini, “Prinsip yang kami nyatakan dan agama yang kami yakini adalah berpegang teguh dengan Kitab Suci (al-Qur’an) yang datang dari Rabb kami dan Sunnah Nabi Muhammad, serta apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para imam Ahlul Hadits. Kami berprinsip dengannya dan menyatakan seperti apa yang dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal—semoga Allah l menyinari wajahnya, mengangkat derajatnya, dan membesarkan pahalanya. Kami menyelisihi siapa saja yang berseberangan dengan beliau karena beliau adalah seorang imam yang mulia dan pemimpin yang utama. Allah menampakkan kebenaran dengan beliau di kala muncul kesesatan. Dengan sebab beliau pula, Allah memperjelas jalan yang lurus, menghancurkan bid’ah yang diciptakan oleh ahli bid’ah, penyimpangan orang-orang yang menyimpang, dan keraguan orang-orang yang bimbang. Semoga rahmat Allah selalu tercurahkan kepada beliau, imam yang terkemuka, mulia lagi agung, dan besar lagi terhormat.” (al-Ibanah hlm. 20—21)
Bisa jadi pula, ada yang bertanya, semisal apakah prinsip keyakinan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari yang sejalan dengan prinsip salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan bertentangan dengan prinsip Mu’tazilah (fase pertama beliau) dan prinsip Kullabiyah/Asy’ariyah/ASWAJA (fase kedua beliau)?
Tentang hal ini, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari menyebutkannya secara terperinci dalam kitab al-Ibanah. Di antaranya adalah keyakinan beliau bahwa Allah dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala, keyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) bukan makhluk, keyakinan bahwa Allah berada di atas Arsy bukan di mana-mana, dan sebagainya. Semua itu bertentangan dengan prinsip Mu’tazilah (fase pertama beliau) dan juga prinsip Kullabiyah/Asy’ariyah/ASWAJA (fase kedua beliau). Untuk lebih rincinya, silakan Anda membaca kitab al-Ibanah.
Oleh karena itu, tidaklah adil manakala menyandarkan suatu keyakinan/prinsip/mazhab kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari selain apa yang beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah yang mulia, mengingat bahwa itulah potret akhir dari kehidupan beragama yang beliau yakini. Beliau pun berharap bertemu dengan Allah di atasnya.
Para pembaca yang mulia. Demikianlah tiga fase keyakinan yang dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari dalam kehidupan beragama yang penuh kesan. Perjalanan hidup yang sarat akan pengajaran berharga (ibrah) dan renungan. Dari satu keyakinan menuju keyakinan berikutnya, demi mencari kebenaran. Semuanya beliau lalui dengan penuh kesungguhan dan kesabaran. Manakala tampak bagi beliau sebuah kebatilan, tiada enggan beliau tinggalkan. Manakala tampak sebuah kebenaran, tiada enggan pula beliau berpegang teguh dengannya selama hayat masih dikandung badan. Begitulah seharusnya yang terpatri dalam sanubari setiap insan dalam menyikapi kebatilan dan kebenaran di tengah kehidupan dunia yang penuh cobaan.
Akhir kata, sungguh rajutan kata-kata seputar al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari di atas belum cukup menggambarkan sosok seorang imam terkemuka yang diliputi oleh keutamaan dan kemuliaan. Namun, semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat dan berkesan bagi setiap insan yang haus akan kebenaran.
Wallahul musta’an.

Catatan Kaki:
[4] Untuk mengetahui hakikat kelompok sesat Mu’tazilah, silakan baca rubrik “Manhaji” Majalah Asy-Syari’ah Vol. 1/No. 09/1425 H/2004.

[5] Judul lengkapnya adalah al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.

[6] Di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnu Asakir, al-Imam al-Baihaqi, al-Imam Ibnul Qayyim, dll.

[7] Perlu diketahui, mazhab Asy’ari atau ASWAJA atau Kullabiyah, semuanya berseberangan dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Dengan demikian, berseberangan pula dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Tajuddin as-Subki—seorang tokoh mazhab Syafi’i—berkata, “Abul Hasan al-Asy’ari adalah tokoh besar Ahlus Sunnah setelah al-Imam Ahmad bin Hanbal. Akidah beliau adalah akidah al-Imam Ahmad, tiada keraguan dan kebimbangan padanya. Inilah yang ditegaskan berkali-kali oleh Abul Hasan al-Asy’ari dalam beberapa karya tulis beliau.” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra 4/236)

Sumber http://asysyariah.com/napak-tilas-perjalanan-hidup-al-imam-abul-hasan-al-asyari/
Pada 26.04.2012


Postingan terkait:

Tidak ada tanggapan

Posting Komentar

Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi