Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
• Kira-kira 30 tahun sebelum wafat, beliau pernah mendatangi sebuah masjid untuk menyampaikan ceramah. Alas masjid tersebut menggunakan tikar, sedangkan khusus untuk beliau disediakan alas berupa sajadah (permadani). Ketika beliau merasa bahwa alas beliau berbeda dengan keumuman alas di masjid tersebut, digulunglah sajadah itu oleh beliau. Hal itu karena karakter beliau yang tidak suka diistimewakan atas orang lain.
• Pada suatu hari ada seorang pemuda yang menghubungi beliau via telepon seraya berkata, “Wahai Samahatusy Syaikh, umat Islam sangat membutuhkan para ulama yang mempunyai kemampuan berfatwa (mufti). Untuk itu saya mengusulkan kepada Anda agar menempatkan seorang mufti di setiap kota.” Beliau berkata, “Masya Allah, semoga Allah Subhanahu wata’ala memperbaikimu. Berapa umurmu?” Pemuda itu menjawab, “13 tahun.” Beliau pun berkata, “Ini usulan yang bagus, berhak untuk mendapat perhatian.” Kemudian beliau menyuruh sang sekretaris pribadi untuk menulis surat kepada penanggung jawab di Hai’ah Kibar Ulama yang isinya, “Amma ba’du, ada masukan dari seorang penasihat bahwa sudah saatnya ada seorang mufti di setiap kota. Kami memandang, usulan ini perlu diteruskan ke al-Lajnah ad- Daimah (Komite Tetap Fatwa) agar bisa kita diskusikan.”
• Ketika asy-Syaikh Dr. Muhammad Taqiyuddin al-Hilali rahimahullah menulis bait-bait syair yang secara berlebihan memuji beliau dan dimuat di Majalah al-Jami’ah as-Salafiyyah India edisi
09/Sya’ban 1397 H, beliau mengirim surat kepada redaksi majalah tersebut, menyampaikan ketidakrelaan beliau terhadap pujian itu dan meminta redaksi memuat ketidakrelaan beliau itu pada edisi berikutnya.
• Pada musim haji tahun 1418 H, saat beliau duduk di sebuah mushalla di Padang Arafah dan dikitari oleh ratusan orang, dihidangkanlah di hadapan beliau buah-buahan yang sudah dipotongpotong. Mengingat, kebiasaan beliau di hari-hari itu (mayoritasnya) tidak makan
selain buah-buahan, kurma, dan yoghurt. Ketika buah-buahan telah terhidang di hadapan beliau, beliau pun bertanya, “Apakah semua yang hadir di sini juga mendapatkan hidangan seperti ini?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau marah seraya berkata, “Jauhkanlah hidangan ini!”
• Suatu hari (30 tahun sebelum wafat) beliau hendak menjual rumah karena utang yang menumpuk. Hal ini tercium oleh salah seorang pejabat kerajaan dan dia pun segera mengirimkan uang kepada beliau. Sang pejabat berkata, “Telah sampai kepada saya berita bahwa Anda hendak menjual rumah karena kesempitan yang sedang mengimpit. Sungguh, berita itu membuat saya gelisah, kumohon Anda berkenan menerima hadiah dari saya ini3 dan izinkan saya untuk menyampaikan hal ini kepada Raja.” Beliau balas ucapan pejabat itu
dengan banyak-banyak terima kasih dan doa kebaikan untuknya lalu berkata, “Berita yang sampai kepada Anda itu benar, karena banyaknya tamu yang berdatangan dan orang-orang yang membutuhkan bantuan baik di kota Riyadh maupun di kota Madinah, namun saya
tidak ingin hal ini sampai kepada Raja.”
• Asy-Syaikh Ahmad bin Abdul Aziz bin Baz berkata, “Aku adalah salah seorang putra Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Aku dilahirkan saat ayahku telah berusia di atas 60 tahun. Usia beliau yang sudah lanjut itu, ditambah dengan aktivitas kantor, dakwah, dan fatwa yang sangat padat tidaklah menjadi penghalang bagi beliau untuk menjadi seorang ayah bagiku dan saudara-saudaraku, bahkan untuk umat Islam. Beliau sangat memerhatikan kami selaku anak. Layaknya seorang ayah terhadap anaknya, beliau mencurahkan segenap kasih sayang, pengawasan, nasihat, bimbingan, arahan, bahkan dakwah. Dengan segala cara beliau berupaya untuk menjadi seorang ayah yang dekat dengan anak-anaknya di tengah kesibukan beliau yang sangat padat.
dinukil dari http://asysyariah.com/kajian-utama-mengenal-lebih-dekat-as-y-syaikh-abdul-aziz-bin-baz-rahimahullah/
pada 02.07.2013