Tercelanya Ilmu Tanpa Amal dan Amal Tanpa Ilmu
Ilmu dan amal adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jika ilmu ibarat pohon, amal adalah buahnya. Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tidak berbuah. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah wajib beramal berdasarkan ilmu dalam setiap urusan.
Di dalam setiap shalat, kita memohon kepada Allah agar ditunjuki jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah diberi nikmat, bukan jalan orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan bukan jalan orang-orang yang tersesat. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ الْيَهُودَ مَغْضُوبٌ عَلَيْهِمْ وَإِنَّ النَّصَارَى ضُلَّالٌ
Ilmu dan amal adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jika ilmu ibarat pohon, amal adalah buahnya. Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tidak berbuah. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah wajib beramal berdasarkan ilmu dalam setiap urusan.
Di dalam setiap shalat, kita memohon kepada Allah agar ditunjuki jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah diberi nikmat, bukan jalan orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan bukan jalan orang-orang yang tersesat. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ الْيَهُودَ مَغْضُوبٌ عَلَيْهِمْ وَإِنَّ النَّصَارَى ضُلَّالٌ
“Sesungguhnya kaum Yahudi adalah orang-orang yang dimurkai, sedangkan kaum Nasrani adalah orang-orang yang tersesat.” (HR. at-Tirmidzi dari ‘Adi bin Hatim, dinyatakan shahih oleh al-Albani)
Orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya, dia telah mengikuti jalan orang-orang Yahudi. Adapun orang yang beramal tanpa ilmu, dia telah mengikuti jalan orang-orang Nasrani.
Para ulama salaf mengatakan, “Berhati-hatilah kalian dari kesesatan orang alim (berilmu) yang tidak menjalankan ilmunya dan dari ahli ibadah yang bodoh. Sebab, kesesatan mereka berdua adalah sebab sesatnya setiap orang yang terjerumus dalam kesesatan.” (Lihat Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim karya Ibnu Taimiyah rahimahullah )
Hal ini terjadi karena umat meneladani para ulama dan ahli ibadah mereka. Apabila para ulamanya bejat dan ahli ibadahnya sesat, meratalah musibah pada umat.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa kehancuran Islam disebabkan oleh ulah empat jenis manusia:
1.Orang yang berilmu tetapi tidak beramal
Jenis manusia ini paling berbahaya bagi orang-orang awam karena mereka senantiasa menjadikan jenis orang ini sebagai hujjah dalam setiap kebinasaan.
2.Ahli ibadah yang bodoh
Orang-orang awam akan selalu berbaik sangka terhadapnya karena ibadah dan kesalehannya. Mereka pun mengikutinya di atas kebodohannya.
3.Orang yang tidak berilmu dan tidak beramal
Orang yang seperti ini ibarat binatang.
4.Para delegasi Iblis di muka bumi
Mereka menghalangi manusia dari menuntut ilmu dan mempelajari agama. Mereka lebih berbahaya daripada setan-setan dari kalangan jin. Mereka menghalangi hati manusia dari hidayah Allah dan jalan-Nya.
Kemudian, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kejelekan empat jenis manusia ini tidak akan terbongkar melainkan dengan ilmu. Maka dari itu, seluruh kebaikan—dengan berbagai sisinya—kembali kepada ilmu dan yang terkait dengannya. Demikian pula kejelekan dengan berbagai coraknya, kembali kepada kebodohan dan yang terkait dengannya.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah karya Ibnul Qayyimrahimahullah)
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita tentang tercelanya ilmu yang tidak diamalkan dan amalan yang tidak didasari ilmu.
Contoh Amalan Tanpa Ilmu
Belum lenyap dari ingatan kita bencana demi bencana yang melanda negeri ini. Mulai dari tsunami, gempa bumi, gunung meletus di beberapa tempat, banjir bandang di beberapa provinsi, hingga kecelakaan pesawat terbang silih berganti. Terlepas dari perbedaan pendapat manusia tentang sebab terjadinya bencana, yang pasti semua itu terjadi atas kehendak Allah l. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seseorangmelainkan dengan izin Allah.” (at-Taghabun: 11)
Yang akan kita bicarakan di sini adalah bagaimana manusia menyikapi kejadian demi kejadian tersebut.
Gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada 2006 menelan korban ribuan jiwa. Banyak saudara kita di sana menyikapinya tanpa ilmu. Mereka membuat janur kuning yang dililitkan ke tubuh mereka dengan anggapan bahwa hal tersebut mampu menolak petaka. Sebagian yang lain menggunakan jimat berupa gelang, kalung, atau cincin dengan keyakinan serupa. Di banyak rumah digantungi dan ditempeli rajah-rajah untuk menghindari bencana.
Terkait dengan Gunung Merapi, sebagian masyarakat melakukan ritual kurban dengan menyembelih seekor kerbau yang kepalanya dikubur di tempat tertentu dengan keyakinan mampu menolak bala. Sebagian yang lain melakukan larung saji ke Pantai Laut Selatan dengan tujuan yang sama.
Ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang Adam Air, sebagian masyarakat kita melakukan ritual kurban yang dipersembahkan kepada pemilik kubur tertentu dengan keyakinan bahwa hal itu bisa membantu memudahkan pencarian korban yang hilang. Sebagian yang lain mendatangi paranormal dalam rangka ini pula. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Perhatikanlah, wahai saudariku, betapa besar bahaya beramal tanpa ilmu. Musibah yang menimpa raga dan dunia seseorang disikapi dengan tindakan yang justru merupakan musibah yang menimpa agama dan akhiratnya. Bagaimanapun besar musibah yang menimpa dunia seseorang, tidaklah seberapa dibandingkan dengan musibah yang menimpa agamanya. Di antara doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,
وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا
“Dan janganlah Engkau jadikan musibah kami pada agama kami.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani)
Adakah musibah yang lebih besar daripada kezaliman terbesar (syirik) ini?
Contoh amalan lain yang sering terjadi di masyarakat kita adalah keyakinan seseorang bahwa jika orang tua atau kerabatnya meninggal dunia, sebagai bentuk baktinya kepada si mayit adalah dia menyembelih seekor kambing, bebek, dan burung dara pada seribu hari kematiannya. Mereka berkeyakinan bahwa kambing tersebut akan menjadi kendaraan si mayit di darat, bebek menjadi kendaraannya di air, dan burung dara menjadi kendaraannya di udara.
Banyak sekali amalan yang tidak didasari oleh ilmu yang semua itu dilakukan berdalihkan tradisi dan adat istiadat yang mesti dilestarikan.
Dahulu masyarakat jahiliah memiliki tradisi apabila seekor unta betina telah beranak lima kali, jika anak kelima lahir jantan, anak tersebut hanya boleh dimakan oleh kaum lelaki saja. Jika lahir betina, ia dilepaskan, telinganya dibelah (sebagai tanda), tidak boleh ditunggangi dan diperah susunya. Jika lahir dalam keadaan mati, ia boleh dimakan oleh kaum lelaki dan wanita. Unta betina yang telah dibelah telinganya itu disebut bahirah.
Di antara tradisi mereka juga, saat seseorang sakit atau safar, dia bernazar bahwa jika sembuh dari sakit atau selamat dalam perjalanannya, dia akan melepasbebaskan seekor unta. Unta yang dilepasbebaskan lantaran nadzar ini disebut sa’ibah.
Mereka juga memiliki tradisi yang lain terhadap kambing. Apabila seekor kambing betina telah beranak tujuh kali, jika anak ketujuh lahir jantan, anak tersebut disembelih dan dimakan. Jika lahir betina, ia dibiarkan tidak disembelih. Jika lahir jantan dan betina, yang jantan disebut washilah dan tidak boleh disembelih karena keberadaan betina kembarannya.
Terhadap unta, mereka juga mempunyai tradisi, apabila seekor unta jantan telah membuntingi unta betina sepuluh kali, dia dilepasbebaskan, tidak boleh ditunggangi, dan tidak boleh dimanfaatkan bulunya dan segala sesuatu darinya. Unta ini disebut ham. (Lihat Fathul Bari, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani)
Tradisi tersebut diwariskan turun-temurun oleh masyarakat jahiliah. Bisa jadi, sepintas kita menganggap adat istiadat mereka tersebut sebagai urusan biasa. Akan tetapi, perhatikanlah bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukumi perbuatan mereka ini.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Allah sekali-kali tidaklah pernah mensyariatkan adanya bahirah, sa’ibah, washilah, dan ham. Akan tetapi, orang-orang kafir membuat-buat kedustaan atas nama Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (al-Maidah: 103)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ عَامِرٍ بْنِ لُحَيٍّ الْخُزَاعِيَّ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ وكَانَ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِبَ
Orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya, dia telah mengikuti jalan orang-orang Yahudi. Adapun orang yang beramal tanpa ilmu, dia telah mengikuti jalan orang-orang Nasrani.
Para ulama salaf mengatakan, “Berhati-hatilah kalian dari kesesatan orang alim (berilmu) yang tidak menjalankan ilmunya dan dari ahli ibadah yang bodoh. Sebab, kesesatan mereka berdua adalah sebab sesatnya setiap orang yang terjerumus dalam kesesatan.” (Lihat Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim karya Ibnu Taimiyah rahimahullah )
Hal ini terjadi karena umat meneladani para ulama dan ahli ibadah mereka. Apabila para ulamanya bejat dan ahli ibadahnya sesat, meratalah musibah pada umat.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa kehancuran Islam disebabkan oleh ulah empat jenis manusia:
1.Orang yang berilmu tetapi tidak beramal
Jenis manusia ini paling berbahaya bagi orang-orang awam karena mereka senantiasa menjadikan jenis orang ini sebagai hujjah dalam setiap kebinasaan.
2.Ahli ibadah yang bodoh
Orang-orang awam akan selalu berbaik sangka terhadapnya karena ibadah dan kesalehannya. Mereka pun mengikutinya di atas kebodohannya.
3.Orang yang tidak berilmu dan tidak beramal
Orang yang seperti ini ibarat binatang.
4.Para delegasi Iblis di muka bumi
Mereka menghalangi manusia dari menuntut ilmu dan mempelajari agama. Mereka lebih berbahaya daripada setan-setan dari kalangan jin. Mereka menghalangi hati manusia dari hidayah Allah dan jalan-Nya.
Kemudian, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kejelekan empat jenis manusia ini tidak akan terbongkar melainkan dengan ilmu. Maka dari itu, seluruh kebaikan—dengan berbagai sisinya—kembali kepada ilmu dan yang terkait dengannya. Demikian pula kejelekan dengan berbagai coraknya, kembali kepada kebodohan dan yang terkait dengannya.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah karya Ibnul Qayyimrahimahullah)
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita tentang tercelanya ilmu yang tidak diamalkan dan amalan yang tidak didasari ilmu.
Contoh Amalan Tanpa Ilmu
Belum lenyap dari ingatan kita bencana demi bencana yang melanda negeri ini. Mulai dari tsunami, gempa bumi, gunung meletus di beberapa tempat, banjir bandang di beberapa provinsi, hingga kecelakaan pesawat terbang silih berganti. Terlepas dari perbedaan pendapat manusia tentang sebab terjadinya bencana, yang pasti semua itu terjadi atas kehendak Allah l. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seseorangmelainkan dengan izin Allah.” (at-Taghabun: 11)
Yang akan kita bicarakan di sini adalah bagaimana manusia menyikapi kejadian demi kejadian tersebut.
Gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada 2006 menelan korban ribuan jiwa. Banyak saudara kita di sana menyikapinya tanpa ilmu. Mereka membuat janur kuning yang dililitkan ke tubuh mereka dengan anggapan bahwa hal tersebut mampu menolak petaka. Sebagian yang lain menggunakan jimat berupa gelang, kalung, atau cincin dengan keyakinan serupa. Di banyak rumah digantungi dan ditempeli rajah-rajah untuk menghindari bencana.
Terkait dengan Gunung Merapi, sebagian masyarakat melakukan ritual kurban dengan menyembelih seekor kerbau yang kepalanya dikubur di tempat tertentu dengan keyakinan mampu menolak bala. Sebagian yang lain melakukan larung saji ke Pantai Laut Selatan dengan tujuan yang sama.
Ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang Adam Air, sebagian masyarakat kita melakukan ritual kurban yang dipersembahkan kepada pemilik kubur tertentu dengan keyakinan bahwa hal itu bisa membantu memudahkan pencarian korban yang hilang. Sebagian yang lain mendatangi paranormal dalam rangka ini pula. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Perhatikanlah, wahai saudariku, betapa besar bahaya beramal tanpa ilmu. Musibah yang menimpa raga dan dunia seseorang disikapi dengan tindakan yang justru merupakan musibah yang menimpa agama dan akhiratnya. Bagaimanapun besar musibah yang menimpa dunia seseorang, tidaklah seberapa dibandingkan dengan musibah yang menimpa agamanya. Di antara doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,
وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا
“Dan janganlah Engkau jadikan musibah kami pada agama kami.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani)
Adakah musibah yang lebih besar daripada kezaliman terbesar (syirik) ini?
Contoh amalan lain yang sering terjadi di masyarakat kita adalah keyakinan seseorang bahwa jika orang tua atau kerabatnya meninggal dunia, sebagai bentuk baktinya kepada si mayit adalah dia menyembelih seekor kambing, bebek, dan burung dara pada seribu hari kematiannya. Mereka berkeyakinan bahwa kambing tersebut akan menjadi kendaraan si mayit di darat, bebek menjadi kendaraannya di air, dan burung dara menjadi kendaraannya di udara.
Banyak sekali amalan yang tidak didasari oleh ilmu yang semua itu dilakukan berdalihkan tradisi dan adat istiadat yang mesti dilestarikan.
Dahulu masyarakat jahiliah memiliki tradisi apabila seekor unta betina telah beranak lima kali, jika anak kelima lahir jantan, anak tersebut hanya boleh dimakan oleh kaum lelaki saja. Jika lahir betina, ia dilepaskan, telinganya dibelah (sebagai tanda), tidak boleh ditunggangi dan diperah susunya. Jika lahir dalam keadaan mati, ia boleh dimakan oleh kaum lelaki dan wanita. Unta betina yang telah dibelah telinganya itu disebut bahirah.
Di antara tradisi mereka juga, saat seseorang sakit atau safar, dia bernazar bahwa jika sembuh dari sakit atau selamat dalam perjalanannya, dia akan melepasbebaskan seekor unta. Unta yang dilepasbebaskan lantaran nadzar ini disebut sa’ibah.
Mereka juga memiliki tradisi yang lain terhadap kambing. Apabila seekor kambing betina telah beranak tujuh kali, jika anak ketujuh lahir jantan, anak tersebut disembelih dan dimakan. Jika lahir betina, ia dibiarkan tidak disembelih. Jika lahir jantan dan betina, yang jantan disebut washilah dan tidak boleh disembelih karena keberadaan betina kembarannya.
Terhadap unta, mereka juga mempunyai tradisi, apabila seekor unta jantan telah membuntingi unta betina sepuluh kali, dia dilepasbebaskan, tidak boleh ditunggangi, dan tidak boleh dimanfaatkan bulunya dan segala sesuatu darinya. Unta ini disebut ham. (Lihat Fathul Bari, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani)
Tradisi tersebut diwariskan turun-temurun oleh masyarakat jahiliah. Bisa jadi, sepintas kita menganggap adat istiadat mereka tersebut sebagai urusan biasa. Akan tetapi, perhatikanlah bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukumi perbuatan mereka ini.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Allah sekali-kali tidaklah pernah mensyariatkan adanya bahirah, sa’ibah, washilah, dan ham. Akan tetapi, orang-orang kafir membuat-buat kedustaan atas nama Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (al-Maidah: 103)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ عَامِرٍ بْنِ لُحَيٍّ الْخُزَاعِيَّ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ وكَانَ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِبَ
“Aku melihat Amr bin Amir bin Luhay al-Khuza’i menyeret ususnya di neraka. Dia adalah orang yang pertama kali mengada-adakan sa’ibah.” (HR. al-Bukhari)
Lihatlah, wahai saudariku, hukuman bagi orang yang beramal tanpa ilmu, semata-mata berpedoman pada adat istiadat dan tradisi kaumnya. Tidakkah hal ini cukup menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal?
Oleh : Al-Ustadz Syafi’i
Sumber https://qonitah.com/ilmu-sebelum-berucap-dan-beramal/
Pada 08.11.2014
Lihatlah, wahai saudariku, hukuman bagi orang yang beramal tanpa ilmu, semata-mata berpedoman pada adat istiadat dan tradisi kaumnya. Tidakkah hal ini cukup menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal?
Oleh : Al-Ustadz Syafi’i
Sumber https://qonitah.com/ilmu-sebelum-berucap-dan-beramal/
Pada 08.11.2014
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi