BOLEHKAH BEROBAT DENGAN KHAMER?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Pertanyaan: Bolehkah berobat dengan khamer?
Jawaban:
Berobat dengan khamer haram hukumnya berdasarkan nash
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dan jumhur ulama berpendapat
demikian. Telah tetap dari beliau di dalam kitab Ash-Shahih bahwa beliau
ditanya tentang khamer yang digunakan untuk obat, maka beliau menjawab:
إِنَّهَا دَاءٌ وَلَيْسَتْ بِدَوَاءِ.
Sesungguhnya itu adalah penyakit dan bukan obat.” (HR. Muslim no. 1984 dengan lafazh mudzakkar -pent)
Dan di dalam kitab As-Sunan disebutkan dari beliau bahwa
beliau melarang berobat dengan sesuatu yang buruk (Abu Dawud no. 3870
dan Al-Albany menilainya shahih, juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan
Ibnu Majah -pent).
Dan Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya Allah tidak
menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas
kalian.” Dan Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Nabi
shallallahu alaihi was salam beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ أُمَّتِّي فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا.
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan umatku pada apa-apa yang Dia haramkan atas mereka.”
Dan di dalam As-Sunan disebutkan bahwa beliau ditanya
tentang katak yang digunakan untuk obat, maka beliau melarangnya (Abu
Dawud no. 3871 dan Al-Albany menilainya shahih) dan beliau bersabda:
إَنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ.
“Sesungguhnya suaranya adalah tasbih.”
Dan hukumnya tidaklah sama seperti orang yang terpaksa
makan bangkai, karena dengannya tujuan pasti tercapai. Sementara dia
tidak mendapatkan ganti selainnya, dan memakan bangkai dalam kondisi
seperti ini hukumnya wajib. Barangsiapa yang terpaksa harus memakan
bangkai namun dia tidak mau memakannya hingga menyebabkan dia mati, maka
dia masuk neraka. Sedangkan berobat di sini tidak diketahui
kesembuhannya secara pasti dan dia tidak harus berobat dengan obat ini,
bahkan Allah Ta’ala menyembuhkan seorang hamba dengan sebab yang banyak.
Berobat sendiri hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, sehingga
tidak bisa ini diqiyaskan dengan itu, wallahu a’lam.
Sumber: Kitab Al-Janaiz dalam Majmu’ Al-Fatawa- (Juz 24/147-148 – pent)
pada 29.07.2015