Kajian Hadits: Syarh Arbain anNawawiyyah
💎 HADITS KE 1 (Bag. ke 1)
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالِّنيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Amiirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin alKhottob –semoga Allah meridlainya- ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: sesungguhnya amalan-amalan tergantung niat, dan sesungguhnya setiap perkara tergantung apa yang diniatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk (mendapatkan tujuan) dunia yang diupayakan atau wanita yang (ingin) dinikahinya, maka hijrahnya (terhitung) sesuai dengan yang diniatkan (H.R alBukhari dan Muslim)
📌 TEMA HADITS:
Kedudukan niat dalam amalan dan tentang hijrah
📌 PENJELASAN RINGKAS HADITS:
Makna ucapan :
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالِّنيَّاتِ
Penjelasan : Setiap amalan pasti mengandung niat. Tidak dianggap sebagai amalan yang diperhitungkan jika tidak ada niat di dalamnya. Contoh: seseorang yang tanpa sadar melakukan sesuatu, maka ia tidak dihitung sebagai orang yang melakukan perbuatan tersebut.
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Penjelasan : Segala sesuatu tergantung yang diniatkan :
- Jika suatu amalan ikhlas karena Allah, maka ia akan beruntung. Sebaliknya, jika tidak ikhlas, mengandung riya’ maka ia akan menuai kerugian.
- Suatu niat menjadi pembeda antara kebiasaan dengan ibadah.
Contoh: mandi, bisa diniatkan sebagai kebiasaan harian, bisa juga diniatkan sebagai ibadah wajib (mandi janabah) atau sunnah (mandi akan menghadiri sholat Ied). Pembedanya adalah niat.
Contoh Lain:
Makan, bisa sekedar kebiasaan dan kebutuhan harian, bisa juga menjadi bernilai ibadah jika diniatkan supaya lebih kuat dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Pembedanya adalah niat.
- Niat menentukan apakah amalannya sah atau tidak.
Contoh: Seorang yang junub setelah berhubungan dengan istrinya, kemudian ia mandi ( dan terbetik dalam pikirannya bahwa ia mandi rutin setiap pagi), lupa berniat mandi janabah, maka selesai mandi ia masih dalam kondisi junub (belum suci) karena lupa berniat.
Contoh Lain :
Seseorang yang berpuasa wajib, namun ia lupa berniat pada malam harinya, maka shoumnya (puasanya) tidak sah. Karena salah satu syarat sah puasa wajib adalah menginapkan niat di waktu malam sebelum fajar. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa yang tidak menginapkan niat sebelum fajar (maka tidak ada puasa baginya) (H.R Abu Dawud)
Berbeda dengan puasa Sunnah, seseorang tidak harus berniat di waktu malam. Sebagaimana ketika Nabi di suatu pagi bertanya kepada Aisyah : ‘apakah ada makanan?’ Aisyah menjawab: tidak ada, kemudian Nabi menyatakan: ‘kalau begitu aku berpuasa’ (H.R Muslim)
📌 PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG KEDUDUKAN HADITS INI:
Al-Imam asy-Syafi’i menyatakan: “Hadits ini masuk dalam 70 bab permasalahan fiqh”[1]
Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Kalau seandainya aku menulis suatu kitab, aku ingin hadits ini diletakkan pada setiap permulaan bab”[2]
Al-Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa: “Pokok-pokok pondasi Islam bertumpu pada 3 hadits (salah satunya adalah hadits ini)” [3]
📌 KEWAJIBAN IKHLAS DALAM BERAMAL
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ...
Tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan amalan (Q.S alBayyinah:5)
Seseorang laki-laki datang kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: Seseorang yang berperang (di jalan Allah) menginginkan pahala dan pujian. Apakah ia mendapatkan (pahala yang diinginkannya)? Rasul menjawab : Ia tidak mendapat apa-apa. Pertanyaan itu diulang 3 kali, Rasul tetap menjawab: Ia tidak mendapat apa-apa. Kemudian Rasul bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ خَالِصًا وَاْبتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya Allah tidaklah menerima suatu amalan kecuali (amalan) yang ikhlas dan mengharapkan Wajah Allah (H.R Abu Dawud dan anNasaai) [4]
_______________
👣 Catatan kaki :
1. Perkataan alImam asy-Syafi’i ini diriwayatkan oleh alKhothiib alBaghdaady dalam kitab alJaami’ li akhlaaqir Raawi wa adaabis saami’ no 1898 juz 5 halaman 175.
Sebagian Ulama’ mengartikan jumlah 70 itu bukan sebagai batasan, tapi untuk menunjukkan jumlah yang sangat banyak. Artinya, hadits ini adalah landasan pada bab-bab pembahasan fiqh yang sangat banyak: thoharoh, sholat, puasa, haji, pernikahan, dsb.
2. Abdurrahman bin Mahdi, adalah salah seorang Ulama’ Ahlul Hadits termasuk perawi dalam Shahih alBukhari dan Muslim. Beliau memiliki hafalan yang sangat kuat. Abdullah bin Umar alQowaariry berkata:Abdurrahman bin Mahdi mendiktekan hadits kepadaku dengan hafalannya sebanyak 20.000 hadits (Hilyatul Awliyaa’ juz 9 halaman 3). alImam Ahmad bin Hanbal berkata: Seakan-akan ia diciptakan untuk hadits (Hilyatul Awliyaa’ juz 9 halaman 3).
3. Al-Imam Ahmad berpendapat bahwa sendi-sendi Islam berporos pada 3 hadits: (i) hadits Innamal A’maalu bin Niyaat ini, (ii) hadits Aisyah: Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam urusan kami ini (agama) yang tidak ada tuntunannya, maka tertolak, (iii) hadits anNu’man bin Basyir : Sesungguhnya halal itu jelas dan haram itu jelas, di antara keduanya ada perkara yang mutasyaabihaat.
4. Hadits ini dinyatakan bahwa sanadnya hasan oleh alHafidz al-Iraqy dalam takhrij ahaaditsil Ihya’ dan al-Mughniy ‘an Hamlil Asfaar. Asy-Syaikh alAlbany juga menghasankan hadits ini dalam Shahih atTarghib wat Tarhiib.
📌 UCAPAN PARA ULAMA SALAF TENTANG KEIKHLASAN NIAT
Ibnul Mubarak berkata: “Betapa banyak amalan yang kecil, menjadi besar karena niat. Betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niatnya”(Jaami’ul Uluum wal Hikam (1/13).
Al-Fudhail bin ‘Iyaadl berkata: “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’, beramal untuk manusia adalah syirik” (al-Aadabus Syar’iyyah (1/333)).
📌 CONTOH KEIKHLASAN SALAF
Penduduk Madinah sering mendapatkan makanan pada waktu malam dan mereka tidak tahu dari siapa bantuan tersebut. Hingga ketika Ali bin alHusain (cucu Ali bin Abi Tholib) wafat, penduduk Madinah tidak pernah lagi mendapatkan bantuan itu di waktu malam. Ternyata, semasa hidupnya Ali bin alHusain sering mengirimi makanan kepada 100 kepala keluarga tanpa diketahui oleh orang lain (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ (4/394)).
📌 NIAT TEMPATNYA DI HATI, TIDAK DISYARIATKAN MELAFADZKANNYA
Niat tempatnya di hati. Tidak ada dalil yang shohih dari ucapan atau perbuatan Nabi maupun para Sahabatnya yang menunjukkan bahwa sebelum melakukan wudhu’, sholat, puasa melafadzkan niat terlebih dahulu. Seperti ucapan: Usholli... atau nawaitu...dan semisalnya. Di antara dalil yang menunjukkan ini adalah hadits:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“ Jika engkau akan melakukan sholat maka sempurnakanlah berwudlu’ kemudian menghadaplah kiblat kemudian bertakbirlah” (H.R alBukhari dan Muslim)
Dalam lafadz yang lain beliau bersabda:…
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ
Jika engkau berdiri untuk melakukan sholat maka bertakbirlah…”(H.R Bukhari-Muslim)
Jelas sekali dalam hadits-hadits tersebut Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh seseorang untuk mengucapkan niat sebelum bertakbir dalam sholat.
📌 KESALAHAN DALAM MEMAHAMI HADITS
Sebagian orang berlebihan dalam menilai hadits ini dan menganggap bahwa niat adalah penentu satu-satunya diterimanya amal. Padahal, syarat diterimanya amal ada 2, yaitu: (i) keikhlasan niat, (ii) sesuai dengan Sunnah Nabi. Amalan yang ikhlas namun tidak sesuai dengan tuntunan Nabi akan ditolak.
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah (tuntunan) kami, maka tertolak (H.R Muslim)
Sebagian Ulama’ (di antaranya Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali) memberikan syarat yang ke-3 untuk diterimanya amal, yaitu harus memiliki aqidah yang shahihah. Seorang yang aqidahnya rusak, seperti berpemahaman Qodariyyah (mengingkari taqdir), tidak akan diterima amalannya (sebagaimana ucapan Sahabat Nabi Ibnu Umar terhadap Qodariyyah).
📝 Disalin dari Buku 40 HADITS PEGANGAN HIDUP MUSLIM (Syarh Arbain anNawawiyah). Penulis Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman حفظه الله
〰〰〰〰〰〰〰
📚🔰Salafy Kendari || https://telegram.me/salafykendari
Pada 10.11.2015
12.11.2015
13.11.2015
15.11.2015
Tidak ada tanggapan
Posting Komentar
Ketentuan mengisi komentar
- Pilihlah "BERI KOMENTAR SEBAGAI:" dengan isian "ANONYMOUS/ANONIM". Identitas bisa dicantumkan dalam isian komentar berupa NAMA dan DAERAH ASAL
- Setiap komentar akan dimoderasi